A Landing

Surabaya pada pukul tiga sore hari, dengan sinar matahari yang masih terang, serta suasana gerah yang Deka dan teman temannya rasakan membuat mood mereka sedikit memburuk. Pelataran Bandar Udara Internasional Juanda-pun tampak ramai bahkan dihari kerja. Ternyata orang orang dengan segudang mimpi, setumpuk harapan, bahkan segunung rasa luka sedang beramai ramai datang dan pergi melalui pintu pintu persegi yang dengan sengaja disediakan landasan ini.

Setelah menunggu cukup lama, mobil van besar yang akan membawa mereka ke tujuan selanjutnya sampai untuk mengangkut anak anak manusia ini melanjutkan perjalanannya. Deka sedikit membuka kaca ketika pintu pertama tol dilewati oleh kendaraan yang ditumpanginya begitu saja. Badannya lelah, agaknya membawa satu nyawa lagi dalam tubuhnya menguras seluruh tenaga.

“Nyampe Batu jam berapa, Li?” tanya Deka kepada sang suami dengan tenaga yang masih terisi, bahkan Ali telah membuka kembali laptopnya dan mengutak atik sesuatu yang Deka tidak tahu apa guna dan tujuannya.

“Magrib mungkin” jawab Ali singkat tanpa mengalihkan atensinya. “Kenapa?” lanjut sang pria, kini dengan pandangan ke arah Deka sepenuhnya.

“Pengen rebahan” jawab sang puan dengan tatapan mata masih ke luar, sembari mulai menyenderkan kelapa ke bahu sang pria.

“Sabar yaaa” balas Ali kemudian menggesekkan kepalanya ke kepala sang istri, lalu memgucapkan kata yang sama dan mengecup perut buncit Deka. Anak mereka disana.

Join dong” ucap Hadrian tanpa aba aba dari belakang. Ali menoleh, begitu pula dengan Deka. “Gue juga pengen disayang” lanjut Hadrian. Tidak ada jawaban kemudian. Hanya Ali yang tersenyum kecil lalu kembali berkutat dengan benda elektronik di pangkuannya, sementara Deka yang bangun dan memandang Hadrian ke belakang dengan tatapan penuh pertanyaan.

“Bukan lo, gue mau rebut Ali. Yakali gue mau sama lo, kaga berani, malaikat izroil aja puter balik ketemu lo Dek” ucap Hadrian yang mengerti arti tatapan mata Deka.

“Yan, lo jangan menganggu ketenangan hidup orang. Gue cantolin di atas juga lo” sahut Jevano dengan maksud memadamkan api pertikaian sebelum sempat dinyalakan.

“Maaf ya Deka, lain kali Hadrian bakalan lebih gue perhatiin omongannya” tambah Jodi menarik Hadrian agar kembali duduk di bangkunya.

“Bacot banget lu punya mulut, tidak mencerminkan remaja islami. Diem” lanjut Jodi. Lalu ia kembali menyengir kuda ke arah Deka.

“Temen temen kamu tu, takut ya sama aku?” tanya Deka heran kepada suaminya. Ali lagi lagi hanya tersenyum karena ia tahu apa yang akan Deka lanjutkan selanjutnya jika jawaban iya meluncur begitu saja dari mulutnya.

“Tidur aja, nanti kalo udah sampe aku bangunin” balas Ali mengambil kepala Deka lalu menyenderkannya di bahu kemudian kembali melanjutkan kegiatan. Begitu pula dengan Hadrian, Jevano serta Jodi yang malah sibuk bermain Uno padahal Ali sedang kembali bekerja sendiri.