After You Leave
Deka berjalan dengan gontai ketika kakinya kembali menginjak lantai lantai yang menjadi saksi bahwa dirinya pernah menjabat sebagai wanita paling bahagia di dunia, dua tahun yang lalu. Ruangan gelap yang kini melindunginya dari sapuan dingin angin malam ini, dulunya adalah ruang tamu dan ruang keluarga yang di sampingnya terdapat dapur serta meja makan yang selalu ia dan Ali gunakan untuk menghabiskan waktu berdua.
Ketika hari hari dimana keduanya hanya ingin saling memeluk dengan secangkir coklat panas dengan alunan film layar lebar diputar, mereka berada ruangan ini. Atau hari hari ketika amarah lebih dominan menguasai sehingga Deka yang sedang mengandung anaknya menyantap sebuah jamuan makan larut malam sendiria, juga berada di ruangan ini. Atau hari hari ketika kata cinta dan permohonan maaf melayang di udara karena salah paham agaknya menganggu kehidupan mereka berdua, juga berada di ruangan ini. Ruangan pertama dari rumah yang dulu Ali beli dengan susah payah ini, adalah satu dari banyaknya ruangan lain yanh menyimpan ceritanya sendiri sendiri.
Bangunan yang kini nampak luas karena perabotan di dalamnya telah dikemas tadi siang ini, pernah hidup dengan penuh canda dan tawa dari dua orang muda mudi yang berjanji akan selalu bersama. Rumah yang diisi dengan banyak cerita ini, pernah melalui masa jayanya dengan begitu bergembira, sebelum salah satu pilar penyangga bangunan saksi bisu bagaimana luluh lantaknya rumah Ali dan Deka ini, pergi.
Tanpa sepatah kata, tanpa aba aba, Ali pergi begitu saja, tertidur dengan tenangnya meninggalkan Deka. Dan naasnya, putri semata wayangnya yang saat dirinya diseret dengan tenaga putus asa oleh seorang petugas rumah sakit untuk di bawa ke kamar jenazah, saat itu pula seluruh keluarganya menyambut kelahiran Gloria Rudine Aulia. Memang begitulah hidup, jika ada yang datang, maka ada pula yang pergi.
Jadi ketika Deka dengan gagah beraninya memasuki rumah ini kembali, entah bagaimana bisa dan dari mana asalnya, hatinya merasa aman dan benar karena disinilah ia seharusnya. Dua tahun dibiarkan koson begitu saja, agaknya juga menganggu pikiran Deka, karena bagaimanapun, rumah ini adalah satu dari banyak peninggalan Ali yang harusnya bisa ia jaga. Tetapi karena perasaan takut dan bayangan indah tentang ia dan sosok mendiang suami yang selalu menghantui, dua tahun berlalu tanpa terasa untuk Deka, juga anaknya.
Satu persatu cahaya di sudut rumah mulai menyala. Deka kembali membawa dirinya berjalan melewati kotak perkotak ubin yang melapisi lantai, dengan hati yang tenang serta senyuman pahit di ujung bibirnya setiap kali ia mendengar tembok tembok ruangan bercerita bahwasanya dulu, ia dan Ali pernah tertawa dan menangis bersama hingga langkahnya berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih pucat.
Jantungnya berdegup dengan kencang tatkala tangannya secara lancang bergerak dengan tiba tiba memutar kenop pintu ke bawah hingga penampakan dalam ruangan, dapat Deka lihat dengan bebas. Sebuah ranjang terbungkus kain putih dengan tata letak ruang yang tidak berubah semenjak dua tahun yang lalu. Lampu tidur yang tidak bergeser, gorden cendela yang tidak diganti, foto pernikahannya dengan Ali yang tidak berubah, hingga handuk yang tergantung dengan tenang di sudut ruangan, dibiarkan berada di tempatnya secara alami. Untuk sepersekian detik selanjutnya, Deka hanya diam mematung memandang semua hal yang sekarang sedang berada di depannya.
“Dek, sini? Buruan ah, cepet” panggil Ali meminta Deka untuk segera naik ke atas tempat tidur bersama.
“Udah gue bilang berapa kali? Jangan bawa makanan ke kamar, Ali. Bikin sarang semut, tau?” balas Deka waktu itu.
“Enak dong nanti bisa di jual, lumayan, mahal. Buruan ah ngomel mulu gue cium lo lama lama” jawab Ali kembali.
Dekan hanya tersenyum ketika satu persatu ingatan mulai menyerang pertahanannya. Bahkan kini, ia seakan bisa mendengar suara Ali karena terlampau rindu dengan sosok lelaki yang selalu memberinya dunia kapanpun Deka memintanya.
“Aliiiiiiiiiii! Aliiiii cepet, Aliiiiiiiii” teriak Deka, lagi dan lagi.
“Hah? Kenapa? Kenapa sayang?” jawab Ali dengan nafas terengah engah berlari menaiki anak tangga karena teriakan Deka yang terlampau menggema di telinga.
“Kenapa?” tanya Ali sekali lagi.
“Masa tadi aku masuk ke kamar, kasurnya gak ada?” jawab Deka.
“Hah?“
“Ternyata ketutupan seprei, HAHAHAHHA” balas Deka setelahnya tertawa bahagia. Ali hanya berkacak pinggang di ambang pintu sembari menatap teduh ke arah sang wanita, sebelum setelahnya ia menyerang Deka dengan beribu kecupan kecil di wajah sang wanita hingga kamar ini, dipenuhi oleh tawa bahagia keduanya.
“Hahahahah” kekeh Deka mengudara setelah banyak memori tentangnya dan sang suami memasuki otaknya begitu saja.
“Ahhh what a good old days” lanjut Deka sembari duduk di ujung tempat tidur, mengusap permukaannya perlahan sebelum satu air mata akhirnya lolos begitu saja dari mata cantik ibu satu anak ini. Dengan tergesa Deka mengusapnya kasar karena ia tidak ingin lagi mengenang Ali dalam kesakitan.
“It's ok, nangis aja, nggak papa Deka” suara Ali yang entah dari mana Deka dengar dengan jelas di telinga, membuatnya kembali mengepalkan jemari mencari kekuatan karena pasalnya, pertahanan diri yang ia bangun selama dua tahun ke belakang, hancur seketika wangi tubuh Ali tiba tiba menyeruak menghujam hidungnya begitu saja. Deka menutup wajahnya ketika lagi dan lagi kenangan akan dirinya dengan Ali kembali menghajar kewarasannya. Ali yang tertawa, Ali yang menangis, Ali yang memeluknya, Ali yang marah, Ali, Ali, Ali dan hanya ada Ali di dalam sini.
“Ali” panggil Deka kepada sang suami yang sudah jelas ketidak adaanya eksistensi adalah jawaban mutlaknya.
“Aliiii” raung Deka kali ini dengan memukul mukul dadanya sesak.
“Aliiiiiiiii” rintihnya sekali lagi yang masih saja nihil, tidak ada jawaban membayarnya kembali. Dengan air mata yang Deka keluarkan malam ini, Deka tahu bahwa ini adalah waktunya ia membiarkan Ali pergi. Ini adalah waktunya ia membesarkan anugerah besar yang Ali tinggalkan, anak mereka. Ini adalah waktunya untuk Deka kembali melanjutkan hidup walau separuh nyawanya sudah terbaring lemas tanpa tenaga bersama Ali dalam liang lahat. Ini adalah waktunya.
Maka dengan segala rasa keputus asaan, hari hari sendirian yang Deka jalani, segala perasaan rindu terlampau memburu, serta keyakinan bahwa Ali akan kembali suatu hari nanti, Deka membiarkan Ali pergi melalui air matanya malam ini, mengikhlaskan semua mimpi serta merajut kembali cerita tantang hidupnya dan Gloria berdua. Dengan cinta, kasih, dan sayang yang masih teramat besar, Deka merelakan suaminya terlelap dengan rasa damai hingga waktu kembali membersamakan mereka berdua.