At The Critical Eleven
Kursi bisnis yang ia tempati kini menjadi sesuatu yang amat sangat nyaman bagi Johnny. 16 jam penerbangan menuju tanah air membuatnya muak setiap kali ia membayangkan nyawanya yang hampir tertinggal di awan sedangkan raganya sudah sedikit turun dari posisi sebelumnya. Ditambah lagi keadaan dimana ia harus selalu menelan ludah untuk menyesuaikan pendengaran dengan tekanan udara yang ada.
Johnny benar benar baru saja menyandarkan kepalanya kesandaran ketika seorang perempuan secara tidak sengaja terhuyung ke arahnya. Matanya yang tadi hendak tertutup mendadak terbuka lebar karenanya.
“Sorry.” “Sorry, oh my god, shit” “Sorry” kata wanita itu karena selain dirinya yang tiba tiba oleng, ia juga secara tidak sengaja menumpahkan air dalam tumblr minumnya yang tak ia tutup dengan rapat.
“Oh my god. Sorry sorry sorry sorry sorry” katanya panik setelah melihat celana bagian paha milik Johnny basah karena ulahnya.
“Verzeihen Sie mir” kata wanita itu dalam bahasa Jerman dengan arti maaf.
“It's ok, it's ok” kata Johnny akhirnya.
“Is it yours?” tanya Johnny kemudian menunjuk kursi kosong sebelahnya.
“That's mine” jawab wanita tersebut sembari tersenyum yang entah apa maksudnya. Dapat dilihatnya bahwa wajah Johnny saat ini sedikit tidak mengenakan. Namun ia hanya terdiam. Tidak ada niat untuk bertanya atau menegur lebih dalam.
“Ok” jawab Johnny acuh. Lalu ia kembali duduk dan menyandarkan kepalanya kembali serta mulai memejamkan mata.
Selang dua hari setelah percakapannya dengan teman temannya bahwa tanggal 16 mendatang ia harus hadir dipernikahan salah satu sahabatnya, amat sangat membebani pikiran Johnny.
Biasanya, pertengahan bulan seperti ini ia akan terbang ke Jerman dan memulai kehidupan sebagai seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk orang lain. Johnny biasanya akan kembali awal bulan selanjutnya. Jadi dapat dikatakan hidup Johnny 2 minggu ada di Indonesia 2 minggu lagi ada di Jerman.
Badannya lelah sekarang. Matanya mengantuk serta pikirannya berlarian kemana mana. Tubuhnya ingin diistirahatkan tapi jiwanya menolak. Maka untuk mengurangi rasa letihnya, ia memilih untuk memejamkan mata berharap akan terlelap dengan sendirinya. Ini pula alasan Johnny tidak menegur atau berdebat lebih panjang dengan wanita yang memang sedikit ceroboh, barusan, karena dirinya sudah tidak memiliki tenaga. Ditambah lagi sepulangnya dari Jerman ini ia harus datang ke acara pernikahan sahabatnya yang ia imani tidak akan membiarkannya duduk dengan tenang. Maksud Jeffrey menyuruhnya datang pasti untuk dimintai tolong ini itu serta dipamerkan ke koleganya yang lain dengan dalih siapa yang mau mantu? ini temanku bisa.
Sementara itu, seorang wanita dipertengahan umur 20an sibuk sesekali mencuri pandang ke arah Johnny. Tidak kagum. Hanya sedikit terkejut. Mengapa lelaki di sampingnya ini begitu diam dan bahkan tidak menegurnya sama sekali? Untuk ukuran orang asing sikap Johnny ini memang sedikit masuk akal tapi jiga sedikit memungkinkan. Ada kalanya kita memilih diam karena malas. Ada pula masa dimana kita memilih marah dengan asumsi tidak akan bertemu kembali. Maka pertanyaan Aleeah saat ini adalah, apakah Johnny memang orang yang tidak peduli seperti itu?
“Cape banget kayanya” “Kenapa tidurnya gitu ya, ini dia ngga lagi meninggal kan?” “Baru take off kena turbulance” “Clananya basah astaga le lo kenapa ceroboh banget bego”
Terus begitu setiap ia melihat ke arah lelaki yang mungkin kini sudah tidur nyenyak di kursinya. Tidak ada pikiran lain. Aleeah hanya merasa bersalah pada orang asing yang tak ia kenal jelas asal usulnya. Orang asing yang secara tidak sengaja menerima perbuatan cerobohnya. Orang asing, mungkin. Sedetik kemudian Aleeah ikut terlelap dengan menyelimuti dirinya terlebih dahulu dengan jaket yang ia bawa dan selimut yang disediakan pihak penerbang. Keduanya lalu sama sama terlelap dalam alam mimpi berbeda di dalam satu pesawat dengan tujuan yang sama.