Beginning

“Dok, aborsi sakit ya?” Tanya Shannon.

Sang dokter pun membelalakan matanya lebar lebar. Mencoba mencerna kembali maksud perkataan Shannon tadi. Sadar sang dokter hanya diam dan menunjukan raut muka penuh tanya, Shannon pun menambah kalimatnya.

“Tadi aku liat ada ibu ibu didorong gitu dok. Katanya habis aborsi ya?” Tanya Shannon. Sebenarnya kalimatnya belum selesai, namun ia putuskan untuk berhenti sejenak. Menengadahkan wajahnya, menatap langit langit ruangan praktek Dokter Nug itu. Menahan ai mata disana.

“Aku emang belum ketemu anak aku dok. Tapi ngebayangin di posisi ibu tadi sakit banget. Aku emang baru tau ada nyawa lain disini. Baru tau banget. Tapi aku ngebayangin kalo aku yang disana gimana? Pasti hancur banget” Lanjut Shannon. Air matanya kembali lolos begitu saja dihadapan orang lain.

Dokter Nug tampaknya mengerti apa yang Shannon bicarakan.

“Aborsi memang sakit bu. Bahkan dilarang. Tapi kalau ada alasan jelasnya sah sah saja dilakukan. Untuk urusan kesehatan misalnya. Ibu yang tadi itu punya riwayat jantung. Kalo kehamilannya diteruskan baik ibu maupun bayi bisa saja tidak bertolong” Jelas sang dokter.

Shannon tidak menjawab. Ia menangis sesenggukan disana. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia membayangkan betapa kehilanggannya seorang ibu ketika harus merelakan anaknya bahkan mereka belum sempat bertemu. Shannon tidak bisa membayangkan jika dirinya ada disana.

Dokter Nug kemudian bangkit dan duduk di kursi sebelah Shannon di susul seorang perawat perempuan yang menepuk nepuk punggung Shannon mencoba menenangkan.

“Hidup sudah ada yang mengatur bu. Kita tinggal usaha dan menjalani saja” Ucap sang dokter.

“Ibu sudah menangisnya” Ucap perawat disana. Mencoba menenangkan Shannon tapi sendirinya juga ikut terisak.

“Saya kira tadi ibu yang mau aborsi” Ucap perawat itu.

“Sembarangan mba, omongannya itu lo” Balas Shannon. Keduanya masih terisak. Dokter Nugraha hanya dapat menyaksikan kedua wanita ini sama sama menenangkan.

Rupanya alasan Shannon tidak menunjukkan epkspresi apa apa tak lain dan tak bukan adalah karena perempuan di atas brankar tadi. Shannon merasa simpati. Haruskan ia bersenang senang di atas rasa kehilangan orang lain. Ia memang belum sepenuhnya menjadi ibu tapi jiwa keibuannya telah tumbuh.

Berkali kali datang dalam bayangan Shannon betapa kehilangan yang amat dalam dirasakan perempuan tadi beserta sang suami.


Setelah keduanya mereda, baik Shannon dan mbak mbak perawat, maka dokter Nug melanjutkan pekerjaannya.

“Nanti sampai rumah suaminya dikasi tau ya bu? Bulan depan bisa cek berdua, kayanya gendernya udah bisa diliat” Ucap sang dokter.

“Baik. Makasi ya dok, aku pamit. Makasi mba” Ucap Shannon pamit undur diri.

“Hati hati dijalan.” Balas sang dokter dan mbak mbak perawat.