Bunda and Her Daughter
Suara langkah kaki yang dibawa dengan amat tergesa gesa, menggema di sepanjang lorong rumah sakit yang menghubungkan ruangan paling ujung ke ujung lainnya. Dentuman dentuman pijakan yang kaki, menyebabkan bunyi keras seakan si empu sedang dikejar waktu untuk segera mempercepat temu. Diiringi dengan tolehan tolehan penuh pertanyaan dari orang orang yang dilewatinya, Hanna Hamira terus memeperkencang pelariannya guna memastikan bahwa Deka benar benar mengiriminya pesan suara.
“Deka? Mbak?” panggil bunda membuka pintu kamar Deka dengan tergesa. Nafasnya benar benar kacau serta keringat agaknya mulai muncul di dahi dan pelipis Hanna, mencoba menjangkau dimana Deka berada.
“Bun?” panggil Deka yang berdiri di depan pintu kamar mandi. Memandang sang ibu yang menoleh kesana kemari yang sudah pasti sedang mencari dimana dirinya berada.
“Ya Allah, Dekaaa” ucap bunda tatkala matanya menangkap lagi sosok anak perempuan yang sedang berdiri menjulang dengan tangan yang berpegang pada tembok di belakangnya. Tak butuh waktu lama bagi Hanna untuk memasukkan Deka ke dalam pelukannya. Mendekap sang anak erat seakan tidak mengizinkan siapapun, bahkan Tuhan, untuk mengambilnya detik itu juga.
“Bun, anak aku ngga papa kan?” tanya Deka di sela sela pelukan mereka.
“Nggak. Nggak papa. Dia sehat. Nggak papa” jawab bunda terputus putus karena sedang menahan air mata yang mencoba meluruh. Perasaannya lega melihat anak sulungnya berdiri di hadapannya kembali. Perasaannya lega mendengar Deka memangilnya bunda. Hanna hanya merasa amat bersyukur karena Deka mau bangun.
“Jangan nangis, Deka ngga papa. Ali dimana, bun?” tanya Deka kembali sembari terus memberikan usapan lembut di punggung yang lebih tua, mencoba meyakinkan bahwa dirinya nyata.
“Kamu belom dicek dokter. Duduk dulu bunda panggilin dokternya. Makasih ya mbak? Makasih udah bangun, makasih ya nduk” akhir sang bunda kemudian menuntun Deka agar kembali ke ranjangnya yang kemudian menghilang dengan dalih memanggil dokter untuk sang buah cinta.
“Mau liat anak kamu ngga?” tanya Ibu kepada menantunya. Deka kini berbaring di ranjang dengan sedikit bangun dan bersandar. Tangannya dan kakinya masih lemas, serta perutnya terasa sakit jika digunakan untuk beraktivitas sedikit berat. Akibat luka jahit yang belum sehat.
“Anak ayah mana?” tanya sang ayah mertua sembari memasuki ruangan dimana Deka berada. Giffario tidak di tempat ketika kabar mengenai bangunnya Deka telah menyeruak kemana mana. Maka setelah dirinya mengetahui jantung sang anak lelaki hidup kembali, ayah dari dua anak ini segera pergi untuk menemui.
“Alhamdulillah, makasih ya nduk baret baret dikit ngga papa ya? Udah ketemu anakmu?” ucap sang ayah mendekat. Kemudian mengusap halus rambut Deka. Lagi lagi semua orang dalam ruangan ini terus menerus memanjatkan syukur karena Deka yang sudah sepantasnya bangun. Dengan keadaan mobil yang porak poranda, keadaan Deka sekarang ini bisa disebut keajaiban bagi siapapun yang menyaksikannya.
Tidak ada yang tersisa dari SUV yang bahkan belum lunas cicilan ini, sekalipun kenangannya bersama Ali. Tetapi melihat Deka yang sudah bisa berjalan payah sendiri, serta Gloria yang lahir dengan keselamatan yang ada, membuat bunda, ibu, ayah, Ale dan Ian semakin yakin bahwa eksistensi Tuhan nyata adanya di dunia.
“Masih diambilin Ian, yah. Ali dimana?” tanya Deka mengenai suaminya, lagi. Ayah kemudian diam. Ale diam. Ibu diam. Bahkan bunda yang tadinya melemparkan tatapan teduh kini juga membuang pandang. Seolah menghindari pertanyaan Deka yang satu ini.
“Nah itu itu, Gloria Rudine Aulia udah datang” jawab ayah mengalihkan pembicaraan. Berterima kasih kepada Ian yang kembali di waktu waktu genting hingga sanak keluarga yang ada, tak perlu repot repot memutar otak untuk menjawab pertanyaan Deka.
“Astaga” ucap Deka tata kala ia melihat wajah anaknya untuk yang pertama kalinya. Air matanya mengenang, masih terlampau tidak percaya bahwa bayi dihadapannya adalah anak nakal yang suka membuatnya mual. Masih terlampau tidak percaya bahwa bayi di hadapannya adalah buah cintanya dengan Ali. Masih terlampau tidak percaya bahwa Gliroa Rudine Aulia benar benar seorang bayi yang selalu ia bawa bawa. Ini nyata, Deka teramat bahagia, ini nyata, Deka. Terina kasih banyak ya anak, sudsh lahir ke dunia, dengan selamat. Maafin bunda.
“Harusnya dulu bunda ngga kesel keselan sama papa ya? Biar kamu wajahnya ngga dia semua” lanjutnya sembari mengusap kepala sang bayi. Tangannya masih lemas, bahkan sedikit bergetar hingga mungkin Deka tidak kuasa menahan berat badan Gloria yang hanya seberapa. Deka menolak untuk mengendong anaknya karena khawatir hal hal yang tidak diinginkan akan terjadi.
“Bun, Deka ngga bangun berapa lama? Ini anak aku udah umur berapa hari? Udah ketemu papanya?” tanya Deka lagi dengan sesekali mengusap air mata yang ada. Lega, senang, bahagia, sedih, haru, tercampur menjadi satu. Selain gelar istri, kini gelar ibu Deka juga miliki. Masih sama. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Deka. Bungkam.
“Mau nyoba nyusuin ngga mba?” alih bunda ke anak perempuannya. Deka sedikit mengerutkan dahu ketika satu pertanyaan lagi keluar dari mulut sang ibunda. Bahkan sedari tadi, tidak ada yang menjawab bagian tanya darinya mengenai dimana Ali berada. Bahkan sedari tadi, tidak ada yang membahas sang lelaki di depan Deka. Merasa ada yang sedang ditutupi, Dekapun membuka omongan kembali “Ali kemana sih?” tanyanya mulai sebal.
“Lagi tidur” jawab Ale asal. Sontak seluruh tatap mata menuju ke arahnya.
“Lagi tidur, nanti kalo bangun gue ajak bocahnya kesini. Gak boleh diliat sekarang, jangan ngeyel. Lo gue kasih tau ngeyel jadinya begini kan? Udah sekarang disini dulu sama Gloria, nanti kalo Bang Ali bangun, lo gue anter kesana” lanjut Ale berdiri dengan tegas. Kepalang kesal karena seluruh keluarga tidak ada yang berpihak pada Deka dan memilih menyembunyikan fakta.
“Tapi Ali ngga papa kan, Le? Mau liat bentar, anterin dek” rengek Deka kepada sang adik. Ale meremas celana bagian pahanya secara perlahan. Mencoba mencari kekuatan. Bagaimana ia bisa menjelaskan keadaan Ali ketika Deka baru saja berhasil menghindari kematian? Ini sulit. Ini akan menjadi lebih sulit esok hari. Ale yakin hal ini akan terjadi.
“Ngga. Nanti gue anterin. Sekarang disini aja. Gloria belum pernah ketenu bundanya.” Akhir Ale lalu berlalu meninggalkan ruangan. Kembali menangis dalam diam membayangkan reaksi Deka jika ia tau fakta mengenai suaminya. Berhari hari Ale memutar hati untuk menyampaikan kabar ini kepada sang kakak, tetapi buntu. Tidak ada jalan lagi, bahkan pintas sekalipun. Otaknya mendadak mati. Bagaimana cara yang tepat untuk mengungkapkannya?
“Ian, abangmu ngga papa kan?” tanya Deka kembali ke sang adik ipar. Ian mencoba tersenyum dan memberikan anggukan sebagai jawaban. Mbak Deka, maaf ya balasnya dalam hati.