Encounter

“Mbak, Gloria gue anterin ya? Apa biar dijemput suster aja?” tanya Ian kepada kakak iparnya yang masih setia menatap wajah sang anak dalam box bayi. Sudah tiga hari ini, Deka menikmati waktunya sebagai ibu walau masih repot berteriak kesana kemari meminta bantuan kepada bunda atau mertuanya untuk membantu merawat Gloria. Sudah tiga hari pula, ketika malam tiba, Gloria akan dipindahkan ke ruang tidurnya bersama bayi bayi lain karena Deka masih belum terlalu kuat untuk mengurusnya lama lama. Jadi, repot atau tidaknya Deka sekarang ini, adalah dirinya sendiri tanpa tahu bagaimana dan dimana Ali berada.

“Anterin deh Yan, kasian anak gue. Bawa deh sekalian” balas Deka kemudian mengusap halus rambut sang anak. Mengecupnya perlahan lalu memberikannya pada Ian.

“Bentar ya mbak, gue sekalian ada urusan” jawab Ian memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah menuliskan beberapa pesan singkat dengan raut wajah serius, yang entah, Deka sendiri juga tidak terlalu tau siapa gerangan penerima pesan singkat Ian.

“Da da anak bunda, main lagi besok ya, doain bunda cepet sehat, papa cepet sehat juga, nanti kita pulang bertiga” finalnya. Ian kemudian mendorong kotak itu untuk dibawa ke tempat dimana seharusnya Gloria berada. Ada rasa tidak terima ketika anak sulungnya dibawa pergi begitu saja walau memang hal ini sudah sepatutnya terjadi. Rasa ingin berlama lama dengan Gloria tumbuh dengan baik di diri Deka walau pertemuan mereka berdua baru sebesar biji jagung. Naluri ibu dan anak, kata bunda. Maka untuk melepas berakakhirnya hari bersama, Deka menatap punggung sang ipar yang berjalan sedikit tergesa gesa melalui pintu, keluar ruangan kemudian meninggalkannya sendirian.

Deka kemudian merebahkan badan. Nyeri jahit yang belum kering di perutnya mulai terasa semakin menjadi ketika malam tiba. Wanita satu anak ini hanya berbaring menikmati nyamannya ranjang rumah sakit yang sudah mendekapnya selama hampir satu minggu lamanya. Suara denting jam mengisi runggu Deka ketika air di pelupuk matanya mulai menggenang. Ingat ingatan akan Ali juga berputar begitu saja di otak Deka. Rasa rindu yang teramat sangat, ia tahan dengan baik di depan keluarga agar tidak menitikan air mata. Namun ketika sendiri tiba, sebelum siapapun malam ini yang ditugaskan menjaganya datang, Deka sesekali menangis dan tersedu untuk Ali. Berharap hal yang keluarganya sembunyikan bukanlah pikiran buruk yang selama ini Deka duga duga.

“Tisunya mana, aduh” ucap Deka sembari bersusah payah menjangkau tisu di sisi nakas dekat timpat tidurnya.

“Ck” decak Deka. Bukannya membantu, tisu ini malah seakan memperberat pekerjaan Deka yang hanya ingin menyeka air mata. Karena terjatuh, Deka akhirnya mau tak mau, turun dari ranjang nyamannya lalu mengambil tisu karena perutnya tidak bisa digunakan untuk membungkuk. Sejurus kemudian celah pintu yang belum tertutup sempurna, menampilkan sebuah bayangan hitam tanda seseorang tangah melewati kamar Deka karena tersorot cahaya dari luar.

“Ali?” ucap Deka asal tatkala matanya menangkap bayangan seorang lelaki pemilik bayangan hitam dari celah pintu tadi. Ucapnya tidak yakin, maka untuk benar benar mengetahui siapa pria yang melewatinya, Deka kembali memanggil nama sang suami “Ali?” kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya. Tidak ada balasan. Ibu satu anak ini akhirnya mengendikkan bahu. Terheran sendiri mengapa ia memanggil nama Ali ketika ia tidak tahu pasti siapa yang baru saja pergi.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk. Ini bukan ibu, Ian, Ale, ayah, ataupun bunda. Manusia manusia liar yang Deka kenal akan membuka pintu kamarnya dengan sembarang tanpa perlu repot repot meminta persetujuan. Karena penasaran, Deka akhirnya melayangkan izinnya pada seseorang entah siapa di seberang sana.

“Iyaa, maaf bisa masuk aja langsung” ucap Deka masih berdiri di samping ranjang.

“Maaf mbak, manggil saya?” tanya seorang lelaki berbaju sama dengan milik Deka. Suara ini. Suara yang Deka yakini ia kenal benar dengan siapa yang memilikinya. Suara yang Deka rindukan beberpa hari kebelakang. Suara yang setiap malam biasanya menyanyikan lagu pengantar tidur untuk sang anak di dalam perut tetapi berakhir dengan Deka yang tersesat mengarungi alam mimpi. Suara ini suara Ali, dan Deka merindukan handir sang suami. Seragam rumah sakit yang dipakai oleh para pasien dengan aksen abstrak berdominan warna biru muda, membalut tubuh pria tampan dengan rambut yang berantakan, bahkan terkesan dipotong dengan sembarangan.

Karena sudah lebih dulu membuka kata, maka ketika sang pria membuka pintu, matanya dan mata Deka bertemu. “Mbak manggil saya?” tanya sang lelaki sekali lagi. Deka bungkam di tempatnya. Kakinya semakin melemas, jantungnya berdegup kencang, wajahnya memucat ketika laki laki di hadapannya ini bertanya dengan amat sopannya kepada Deka bahkan memanggilnya dengan sebutan 'mbak' yang seumur hidup ia mengenal sang suami, Ali tidak pernah sekalipun bercanda dengan mengganti ganti nama panggilannya untuk Deka.

“Oh maaf, saya baru kecelakaan, ingatan saya hilang, saya dengar mbak manggil saya tadi? Ali kan? Apa saya salah denger? Saya kenal mbak ya dulu?” pasti sang lelaki kikuk di ambang pintu masuk. Takdir jenis apa yang kini sedang berjudi dengannya? Setelah kehilangan kesempatan untuk merayakan hari kelahiran Gloria, kini Deka harus menghadapi seorang lelaki dengan raga Ali tetapi jiwanya telah berganti? Runtuh. Dunia Deka runtuh. Bagaimana ia harus menjalani semua ini?

Masih dengan keheningan yang setia menemani, sejurus kemudian suara derap kaki yang lantang didengar telinga mengudara. Semakin dekat semakin besar yang artinya kaki ini sedang menuju ke kamar Deka.

“Atau mbak cari Ali yang lain? Maaf kayanya saya salah dengar” lanjutnya karena melihat Deka yang masih mematung di tempatnya.

“Abang” panggil sebuah suara ketika langkah kaki yang tadinya menggema lenyap seakan hilang entah kemana. Ian di sana. Di belakang Ali yang berada di tengah pintu, sedang menatap Deka yang berpegang erat pada seprei ranjang karena tak kuasa menahan keadaan yang baru saja menghantamnya.

“Ian, abang kenal mbak ini, ya? Kayanya ngga asing, tapi abang lupa dia siapa” tanya Ali kepada adiknya. Ian juga bungkam. Terkejut karena takdir merubah segala rencana yang ia dan keluarganya susun untuk memberitahu Deka, karena pasalnya, sekarang hal yang ia sembunyikan mati matian malah menyerahkan diri ke kandang lawan.

You know who you are?” buka Deka akhirnya setelah cukup lama.

“Saya Sabima Ali Aulia” ucap Ali jelas memperhatikan Deka.

What are you looking for?” tanya kembali sang wanita.

“Istri. Istri dan anak saya. Kata keluarga saya hampir menghilangkan nyawa anak dan istri saya. Saya ingin melihat keadaan mereka. Kata keluarga juga, anak saya juga baru saja lahir, saya ingin melihatnya” jawab Ali apa adanya. Seakan jatuh tertimpa tangga. Deka membiarkan kakinya hilang kendali atas dirinya dan membuatnya duduk bersimpuh lemah tak berdaya. Mengantam lantai yang dingin tanpa ada keinginan untuk kembali berdiri. Semuanya selesai, pikir Deka saat itu juga.

Mengapa dadanya sesak padahal Ali jelas jelas berdiri dengan tegak? Mengapa air matanya seakan ingin meluruh ketika Ali mencarinya dengan sungguh sungguh? Ini bukan perihal Ali yang baik baik saja setelah darah mengucur deras dari kapalanya. Tetapi tentang ingatan Ali yang menghilang serta rasa sakit akibat ucapan sang pria bahwa 'katanya Ali telah memiliki keluarga' mengapa harus ada kata 'katanya' Ali? Bagi Deka ini adalah neraka, karena ia benar benar dihilangkan dari hidup sang pria.

“Mbak Deka!” teriak Ian lelu menerobos masuk ke dalam. Menangkap sang ipar yang sudah kepalang lalu memeluknya erat. Sesekali Ian memberikan kalimat menangkan yang bahwa telinga Deka saja tidak bisa mendengarnya karena suara tentang Ali yang memanggilnya 'mbak' masih setia menggema disana.

“Kamu Deka?” tanya Ali lagi sembari mendekat dan membantu Ian menaikan Deka ke ranjangnya. Deka menutup mata, seolah menghalangi setiap ucapan Ali yang mencoba mencapai runggunya.

“Ah kamu punya nama belakang saya ya? Kamu Deka. Benar kamu orangnya. Kamu istri saya” lanjut Ali setelah ia membaca papan nama di bagian dapan ranjang sang puan. Deka akhirnya membuka mata. Menatap iris coklat gelap milik sang suami yang terlihat asing di matanya kali ini. Ini bukan Ali. Asing. Asing sekali. Bayangan bayangan ketika nanti Deka dan Ali bertemu kembali, adalah bayangan bayangan dimana peluk hangat akan mendekap daksa Deka, decakan decakan mesra karena tautan di bibir keduanya terjadi dalam waktu yang lama, gemuruh gemuruh kata cinta dan ucapan maaf karena hampir melayangkan dunia memenuhi runggu Ali dan Deka yang nyatanya, bayangan bayangan indah itu, tinggalah bayangan, karena saat ini Ali sedang menatapnya datar tanpa rasa cinta, karena Ali sendiri masih bertanya tanya, siapa Deka sebenarnya dan mencoba menemukan dirinya sendiri agar segera kembali.