Forgiveness

Deka telah terlelap ketika Ali dengan perlahan menurunkan kenop pintu kamar tidur mereka. Seperti biasa, Deka akan membelakangi pintu yang mana artinya ia juga membelakangi tempat tidur Ali. Menyadari nafas Deka yang berulang secara teratur, Alipun memutar kaki untuk bisa melihat paras cantik istrinya di seberang sana.

Ia kemudian berjongkok. Menyamakan tinggi badannya dengan wajah sang wanita. Matanya bengkak. Deka pasti banyak menangis barusan tadi. Muncul perasaan bersalah di hati Ali, sejalan dengan ingatan yang tiba tiba membawanya di hari dimana Deka hancur karena Bangkit meninggalkannya. Seperti luka lama yang dikorek kembali, Ali kemudian memejamkan matanya. Selama empat belas tahun mengenal Deka, baru kali ini Ali merasa sebegini bersalahnya. Ternyata Deka yang ia kenal dulu adalah Deka si wanita aneh yang menjadi sabahatnya, bukan Deka yang manja dan selalu ingin berdua karena sekarang Deka adalah istrinya.

Lama ia pandang wajah yang akan menemaninya hingga akhir hayat itu namun nampaknya Deka tak kunjung memberikan tanda tanda kebangunan. Maka Ali memilih untuk mengecup lama pucuk kepala sang istri, sembari melantunkan permintaan maaf teramat sangat di dalam hati, berharap tanpa diucapkan pun, Deka akan mengerti.

Pukul dua dini hari, satu setengah jam sejak Ali pulang, Deka terbangun di tengah malam. Seperti biasa, ia akan memulai makan malamnya dengan lahap tanpa ada rasa mual karena tidak ada Ali menemaninya. Rasanya aneh, rasanya seperti jabang bayi mengerti apa yang sedang Deka batin dalam hati. Ia tidak membenci Ali, tidak sama sekali. Deka hanya kepalang kesal karena Ali yang tidak memahaminya. Maka untuk tetap bertahan hidup dan menunbuhkan kembali nafsu makannya, pukul dua malam adalah jam jam yang mujarab bagi wanita ini.

Deka membuka mata dan menemukan Ali yang meringkuk tanpa selimut di sebelahnya. Tidak ada kata kata yang Deka buka, ia hanya merasa geram, mengapa Ali tidak menyelimuti dirinya sendiri? Mengapa ia memilih kedinginan dialam hari? Bukankah seharusnya Ali mengerti apa yang ia butuhkan? Kekanakan sekali pikir Deka. Ia kemudian melemparkan selimut kasar ke arah sang lelaki, lalu sedikit membenarkannya dan kemudian turun untuk memulai aksinya.

Setelah malam malam penuh kedinginan yang Deka dan Ali alami, Deka sadar bahwa kehidupan pernikahan bukanlah laut tenang dengan banyak ikan dan terumbu karang, yang dinikmati indah sejauh mata memandang, tetapi pernikahan adalah laut dalam berwarna biru pekat yang cantik tetapi juga menakutkan. Seberapa hebatpun ia bertengkar, Ali akan tetap tertidur di sampingnya dari petang menjelma terang. Seberapa hebatpun bertengkar, wajah Ali adalah penampakan pertama yang Deka lihat ketika dirinya membuka mata. Seberapa hebatpun bertengkar ia akan tetap berbagi ranjang dengan Ali walaupun sunyi tak ada peluk dan kecup ringan. Setelah malam ini Deka paham, ia dan Ali harus sama sama diperbaiki.

“Seblak jeletot mau ngga?” “Anak?” “Tidur ya? Bangun dulu makan, kita gladi bersih sahur” “Kamu ngga akan kepedesan kan?” “Ngga papa kepedesan juga, latihan, tapi jangan mencret dalem perut aku ya?” rancau Deka sembari mulai menyalakan kompor dan memasak makanannya. Sunyi. Sunyi sekali. Hanya ada denting piring yang beradu dengan sendok yang mengisi telinga. Bahkan saking sunyinya, Deka sekaan bisa mendengar suara nafasnya sendiri. Jika dipikir pikir lagi memang benar, siapa pula manusia yang akan terjaga di tengah malam seperti ini jika bukan dirinya sendiri? Deka agaknya mulai menikmati kesunyian yang ia ciptakan beberapa hari ke belakang.

Perempuan dua puluh empat tahun dengan ranbut panjang lurus tergerai itu kemudian duduk di kursi meja makan dan membuka ponselnya. Seperti manusia normal pada umumnya, Deka membuka social media dan mulai melihat akun teman teman wanitanya di kantor. Wendi Syafiardi. Nama yang menganggu Deka beberapa waktu ini karena eksistensinya adalah bentuk nyata dari mimpi yang Deka dulu pernah punya. Cantik, bertalenta, berintegritas, kaya, sukses di usia muda, belum menikah. Belum menikah lah poin utamanya. Entah mengapa Deka mulai menyesali keputusannya menerima pinangan Ali, bahkan tak segan segan Deka dengan sadar membandingkan dirinya dengan perempuan lain yang belum berada di posisinya seperti sekarang, yang hasilnya sudah pasti kalian tau sendiri insecurity.

“Cantik banget haha” ucap Deka lirih. Tanpa sadar air matanya mengenang. Jauh ia ingin membuang pikiran pikiran ini tetapi selalu datang kembali. Mengapa dirinya? Mengapa Tuhan memberikannya? Kenapa harus sekarang? Tidak bisakah ia mendapatkannya nanti? Bagaimana pekerjaannya ke depan? Benarkan ia akan berakhir seperti bunda menjadi wanita rumahan? Pikiran pikiran ini selalu datang menghampiri Deka pukul dua malam. Nampaknya malam memang menjadi waktu terbaik untuk memikirkan hal yang belum tentu terjadi, terbukti dengan Deka yang mulai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali menangis sendirian.

“Anak makannya bentar ya? Aku mau nangis dulu, bentar aja” katanya sembari bangkit dan mematikan kompor. Deka lalu berjalan ke arah tangga dimana di tengah tengahnya, ada bagian lebih lebar dan jendela besar terpampang nyata tanpa kelambu, hanya kaca yang menutupnya. Deka berdiri menatap ke bawah, ke kegelapan dimana hanya ada lampu lampu rumah tetangga yang berpendar menyinari sebagian rumahnya.

It's ok, it's ok Dek, everything is going to be ok” ucap Deka pada dirinya sendiri sembari menepuk nepuk dadanya yang terasa sesak. Sejurus kemudian dua tangan kekar melingkar di pundak dan leher Deka. Sedikit tersentak namun ia sebisa mungkin menahannya. Air matanya masih mengucur deras jatuh tanpa aturan.

“Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf” ucap Ali lirih di telinga sang wanita. Dari belakang, Ali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Deka. Ia terus mengucapkan maaf sembari runggunya menangkap suara isakan dari sang puan. Deka tidak berkutik. Ia hanya sesekali mengusap air mata yang malah semakin menjadi karena pekukan Ali.

“Maad dek, maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maafin aku” ucap Ali terus menerus.

“Lo itu brengsek tau ngga si Li?” “Hampir tiga bulan gue lewatin semuanya sendirian” balas Deka dengan suara yang teramat bergetar. Ali masih mengucapkan kata maaf tiada henti. Hatinya sakit mendegar Deka berucap dengan amat sangat tersakiti seperti ini.

“Lo bilang hamil berdua itu mana?” “Gue benci sama lo, Li” lanjut Deka masih bercucur air mata.

“Maaf maaf maaf maaf maafin aku Dek, maaf maaf maaf maaf”

“Enak? Ngga ada gue enak? Enak kan lo pergi pagi pulang malem capek ngga ada yang nenangin, enak?” “Gue ngga akan begitu kalo lo sadar dari awal, Li” lanjut Deka masih dengan air mata.

“Gue itu kasian juga liat lo capek kerja, di rumah masih harus adu mulut sama gue, gue kasian tapi lo ngga ngerti dikasianin, lo itu egois” ucap Deka semakin menumpahkan air mata.

“Maaf dek” akhir Ali.

“Jangan nangis, lo ngga berhak nangis disini gue yang sakit. Jangan nangis” balas Deka sedikit bertenaga. Ia kemudian menolehkan kepalanya ke ara Ali yang sudah diam tetapi masih enggan menampakkan muka. Dapat Deka rasakan bahwa bahu dan ceruk lehernya basah saat ini.

“Ali liat gue” lanjut Deka membuka pelukan. Menarik Ali dan mencari mata lelakinya.

“Ali liat gue” kata Deka sembari mengangkat wajah tampan Ali yang tertunduk. Pecah. Wajah Ali basah, air mata dimana mana. Ia seakan tidak berani menatap manik mata Deka karena terlampau takut dan merasa bersalah. Pun dengan Deka. Melihat bentuk suaminya yang juga sama sama hancur hatinya remuk. Ingin rasanya Deka berteriak kepada seluruh dunia agar meninggalakn Ali dan jangan ada yang berani menyentuhnya, bak gelas kaca tipis yang akan pecah hanya karena jatuh tersapu angin. Ali rapuh. Di mata Deka malam ini, Ali rapuh.

“Jangan nangis” kata Deka mengusap air mata suaminya. Hatinya sakit. Sakit sekali melihat Ali seperti ini.

“Maafin aku, Dek” ucap Ali lagi sembari kembali menundukkan kepala. Persetan dengan ego dan statusnya sebagai kepala keluarga. Di depan Deka malam ini, Ali hanyalah laki laki biasa yang bersalah karena telah mentelantarkan istrinya.

“Maafin aku, please aku sayang kamu, maafin aku Dek” lanjut Ali.

“Iyaa” balas Deka dengan suara yang masih bergetar sedikit parau.

“Iyaa, udah udah” lanjut Deka meyakinkan Ali. Dengan keberanian yang tersisa, Ali kemudian mengangkat kepalanya. Menatap Deka yang sudah berantakan di depannya.

“Maafin aku Dek, aku butuh kamu, aku ngga bisa kalo kamu ngga ada, maafin aku” balas Ali. Deka mengangguk sembari air matanya yang masih menetes. Ia kemudian memeluk Ali, meyakinkan sang suami dan memulangkan rindu ke tempatnya berada. Tak jauh berbeda dengan Ali. Ia memeluk istrinya erat seakan tak membiarkan siapapun mengambil Deka dari dekapannya. Ali masih menangis bahkan tangisnya semakin menjadi. Setelah dimaafkan rasa bersalahnya tidak hilang dan malah semakin bertambah. Dengan mata kepalanya sendiri Ali melihat Deka semurah ini kepadanya. Dengan mata kepalanya sediri Ali melihat Deka segampang ini kepadanya, lantas mengapa ia mempersulit dirinya sendiri? Kemana saja Ali karena baru menyadarinya sekarang? Bodoh. Ali mengutuk dirinya sendiri. Benar kata Mas Yuan, Deka hanya membutuhkan Ali, sebaliknya. Ali tidak bisa jika tidak dengan Deka.

“Maafin aku ya Dek, maaf” ucap Ali sekali lagi membuka pelukan. Wajah mereka basah. Wajah mereka berdua. Deka menatap netra coklat suaminya lama. Lagi. Mata coklat beberapa bulan lalu datang lagi. Mata penuh keyakinan dan tidak ada kedustaan yang ke rumah pukul setengah tujuh malam untuk meminangnya itu datang lagi. Ali benar benar menyesal, Ali benar benar memohon pengampunan. Maka dengan hati yang lapang pula, Deka mengangguk mengiyakan. Kemudian Ali mengikis jarak dan mengecup dahi istrinya lama. Deka memejamkan mata, merasakan kasih sayang yang beberapa minggu ke belakang tak mejamahnya. Pun dengan Ali, ia seakan memberikan segenap jiwa dan raganya kepada Deka.

“Boleh ngga?” tanya Ali kepada istrinya sembari mengusap perut Deka yang masih rata

“Boleh” balas Deka lembut, nyaris tanpa suara. Sejurus kemudian wajah Ali sudah berada tepat di depan perut Deka. Ia bersimpuh agar mulutnya menapai runggu sang anak.

“Hai, kamu bisa denger aku gak?” ucap Ali mengusap perut Deka dari dalam kausnya. “Dia bisa denger aku gak si Dek?” tanya Ali mendongakkan kepala. Deka tersenyum.

“Bisa”

“Hai, anak, maaf ya, maafin aku kemarin jahatin kamu, maaf ya, aku janji ngga jahat lagi. Maaf ya sayang. Kamu tumbuh yang baik di dalam sana, kita ketemu tujuh bulan lagi. Tujuh enam bulan lagi, yaaa? Aku sayang kamu, banget anak” ucap Ali pada perut Deka. Sang empu seakan mendapatkan dunianya kembali, tangan Deka ia gunakan untuk mengusap rambut Ali, sedangkan satunya lagi ia gunakan untuk menutup mulut dan mengusap air mata yanh kembali mencelos tanpa aba aba. Hatinya menghangat. Melihat Ali berbicara kepada anak mereka untuk pertama kalinya, hati Deka menghangat.

“Jangan nangis, nanti anak ikut nangis di dalem sana ngga ada yang peluk dia, kasian nanti dia cemburu sama kita” ucap Ali bangun dan mengusap air mata sang istri.

“Kamu peluk aku sama aja kaya peluk dia” ucap Deka. Tangis bahagia.

“Sini” balas Ali menarik istrinya lebih dekat. “Maaf ya Dek, anak maaf ya, aku sayang kalian berdua, banget” lanjutnya. Tidak ada jawaban lagi dari Deka. Ia hanya semakin mengeratkan pelukannya.

Dengan air mata yang masih menetes sesekali, Ali memohon ampun kepada wanitanya dan berjanji kepada diri sendiri bahwa ia tidak akan pernah mengulangi hal serupa, menyia nyiakan Deka. Sementara sang wanita, dengan hati yang lapang menerima Ali kembali dengan janji bahwa seberapa sabar Deka kepada Ali, pasti ada batasnya.