He Is Still His Mommy's Baby

Deka sedang berbaring sembari sesekali mengusap perutnya yang sudah berusia tujuh bulan di dalam kamar Ali yang tidak berubah barang sedikitpun sejak Deka mengenal sang suami. Gitar gitar dengan berbagai ukuran masih setia bertengger di tembok tembok pelindung tempatnya berada sedari semula, mainan mainan karakter yang beberapa darinya Ali bawa untuk ikut pindah bersama Deka juga masih ada di sana, bahkan cat serta aroma kamar ini masih sama seperti pertama kali Deka memasuki kamar Ali.

“Bentar ya nak, sabar ya, papa bentar lagi pulang” ucap Deka sendirian kepada perutnya sembari menatap langit langit kamar tanpa rasa minat. Pukul sepuluh malam tanpa aba aba yang memperingatkannya terlebih dahulu, wanita hamil ini tiba tiba merasa lapar yang luar biasa. Perutnya bahkan mengencang karena sang anak yang tak berhenti bergerak di dalam sana ikut merasakan kelaparan yang Deka derita.

“Sabar sayang yaa” ucap Deka sekali lagi sebelum kemudian pintu kamar Ali diketuk. “Deka, nduk, sudah tidur kah?” suara ibu menginterupsi kegiatannya malam ini. Tidak ada jawaban, Deka lalu bangun dan membuka pintu guna mempertanyakan apa maksud kedatangan ibu.

“Kata Ali kamu laper? Ayo turun, mau makan apa? Wong di rumah e sendiri kok ya malu” balas ibu seraya berjalan mendahului sang menantu.

“Hehhe, ibu udah tidur, nanti ganggu Deka berisik di dapur” balas Deka mengekori sang mertua.

“Ibu nonton tv sama ayah kok, nunggu Ian sama Ali pulang. Kamu mau makan apa, nduk? Nasi goreng mau?” tanya Ibu seraya berjalan menuju dapur. Deka belum sempat menjawab karena sudah dahulu dibuat terkejut dengan sosok lelaki yang kini sedang mengintip api kompor dengan menundukan kepalanya. Ayah disana, dengan sarung dan kaos oblong putih andalannya memegang pengorengan dan satu tangannya lagi berkacak di atas pinggang.

“Nasi goreng ya, Dek? Ayah juga lagi ngidam” ucap ayah menyadari kehadiran istri dan sang menantu. Deka menjawab seadanya dan bergegas membantu sang mertua. Tetapi niatnya tinggalah niat karena dengan cekatan dan cepat pula, baik ibu maupun ayah sama sama mengucapkan kata yang serupa “duduk aja nduk perutmu udah besar begitu pasti cepet pegel kalo berdiri lama lama, duduk aja udah biar ayah.” Sepersekian detik selanjutnya, rasa bersalah Deka berganti menjadi rasa syukur yang teramat sangat, karena ayah dan ibu memperlakukannya seperti anak sendiri. Dengan apa kelak Deka membalas kebaikan dua manusia yang dulu menjadi orang tuanya dan kini benar benar menjadi orang tuanya ini? Setelah anak pertama diberikan kepada Deka, kini ia masih diperlakukan sebaik ini? Pantaskah Deka menerima ini semua? Begitulah kira kira isi pikirannya malam ini.

“Yang hamil kamu kok yang ngidam ayah hahahha” tawa ketiganya pecah kemudian. Selanjutnya kegiatan ini diisi dengan percakapan percakapan mengenai cerita lama bagaimana ayah dan ibu berjumpa, berlanjut pada pemilihan bahan popok yang baik untuk bayi, calon nama hingga jadwal anak Ali dan Deka akan menginap kelak ketika ia dewasa.

Waktu akan berjalan lebih cepat ketika dihabiskam dengan orang tepat nampaknya memang benar adanya. Setelah makan malam larut malam yang dilanjutkan dengan cengkrama ayah ibu serta sang menantu, tak terasa jarum jam sudah berada di angka sebelas lewat sepersekian menit. Atensi ayah ibu dan Deka kemudian beralih kepada suara sepasang lelaki dan perempuan yang sedang bercakap cakap berasal dari pintu kedatangan.

“Weh weh wehhh, begini lo satu mau jadi istri orang, satu lagi malah udah punya istri, pulangnya malah jam segini, kok ngga besok pagi aja?” ucap bunda menyapa kedua anaknya.

“Berangkat lagi aja lah Ian” balas sang anak kedua kepada ibundanya.

“Dari mana? Kok bisa barengan?” tanya sang ayah.

“Ali ke studio, Ian nyusul udah dari jam 9 tadi” balas Ali mendekat ke arah sang istri. Mengusap lengan Deka lalu kepala istrinya, selanjutnya mencuri satu kecupan lembut di dahi sebelum mulai meninvansi dapur milik sang orang tua.

“Nasi goreng siapa? Ayah?” tanya Ali memastikan makan malam yang baru saja wanitanya santap.

“Iya” jawab Deka singkat. Sontak baik Ali maupun Ian membentak sang ayah dengan berbarengan.

“Abang aja ngga pernah dimasakin?” protes yang lebih tua.

“Aku tiap hari minta malah punya ibu terus yang dikasiin, ngga adil” lanjut Ian kepada ayahnya.

“Hahhaahhah, Deka kan belum pernah” belas sang ayah. Lalu dibalas dengan rengekan Ali dan Ian yang merasa tidak adil karena Deka yang dimasakan, dengan tidak ada sisa yang sengaja ditinggalkan.

“Ali kalo di rumah pulang jam segini juga ya, Dek?” tanya ibu kepada menantunya.

“I i iyaa bu” jawab Deka sedikit gugup dengan sesekali mencuri pandang ke arah sang suami, takut takut jika jawabannya tidak sesuai karena mau bagaimanapun Deka adalah Ali, sebaliknya. Mereka adalah satu, yang tidak bisa didua.

“Gimana bisa ninggalin istri secantik ini di rumah sendiri? Digondol orang tau rasa kamu. Jam sebelas di rumah bang, kalo sampe telat begini awas aja” ucap Ibu menghardik anak pertamanya.

“Ali kan cari uang? Buat Deka juga, bu. Lagian Dekanya juga ngga pernah protes Ali tinggal lama lama” belas sang anak kepada sang ibunda.

“Ngga dikasi liat bukan berarti ngga ada, bang” jawab sang ayah. “Deka mungkin diem, pengen kamu di rumah juga lama lama, tapi ngga bisa ngomongnya. Ngga usah dikasi tau harusnya udah ngerti” satu tuntutan lagi keluar dari mulut orang tua lelaki.

“Jadi cowo itu yang peka, lo mah bang” timpuk Ian sembari berjalan menjauhi kerumunan.

“Eh eh kemana? Kok melipir? Kamu belom ya? Jatah kamu abis ini” panggil sang ayah kepada anak keduanya.

“Besok aja boleh ngga yah? Diqhododeh” balas Ian sekenanga lalu lenyap dilahap kamar.

“Jangan ditinggal tinggal sendiri istrinya, anaknya juga, kualat kamu kapok” tambah sang ibunda kepada Ali. Yang diberi tahupun hanya meng-iya iyakan saja perkataan orang tua agar lekas selesai dan ia lekas bisa memeluk istrinya mesra.

“Udah belom?” tanya Ali kemudian setelah cukup lama.

“Mau ngapain emang?” tanya Ibu.

“Pacaran sama istri aku. Ibu sama ayah tidur aja, Deka nanti malu kalo diliatin” balas Ali mendekat ke arah sang wanita.

“Apaan si?” elak Deka kepada suaminya.

“Loh, kamu ngga ada aku aja malu, apa lagi kalo ada begini. Ayah ibu kalo udah ngga berurusan lagi diharapkan segera meninggalkan tempat” lanjut Ali. Deka kemudian hanga tertawa dan ikut mempersilahkan mertuanya untuk pergi. Merasa menganggu sepasang muda mudi, ibu akhirnya menarik tangan ayah agar pergi dari tempatnya dan memberi ruang bagi anak dan menantu mereka.

“Di kamar aja lo bang, disini ayah ngga mau bersih bersih” ucap ayah penuh canda.

“Nanti abang yang bersihin” balas Ali yang kemudian dibalas satu pukulan keras di lengannya berasal dari Deka.

“Kenyang?” tanya Ali ketika orang tuanya sudah hilang dari pandang. Deka menatap mata suaminya cukup dalam sebelum memberikan gelengan sebagai jawaban.

“Udah aku kira, kamu mana cukup sepiring. Nih” balas Ali lalu mengeluarkan dua bungkus burger McD kesukaan Deka, dan menaruhnya ke atas meja.

“Ini buat aku aja apa dibagi berdua?” tanya Deka dengan mata yang berpendar penuh harap, tak lupa juga senyum manis menghias wajahnya.

“Kamu aja, aku udah makan tadi sama anak anak” balas Ali memperhatikan raut bahagia di wajah Deka. Bagaimana bisa wanita dua puluh lima tahun ini sesenang ini hanya karena burger keju yang ia bawa sepulang bekerja? Gemas pikir Ali.

You know me so well, bestie” balas Deka kemudian mengecup pipi Ali. Sejurus kemudian ia mulai membuka satu bungkus makan tengah malamnya dengan senyum bahagia ditemani sang lelaki. Inilah Sabima Ali, seorang yang Deka kenal tidak pernah menunjukan perhatian secara terang terangan tetapi selalu ada ketika ia membutuhkannya. Dengan hati yang berbunga bunga, Deka mulai mendengarkan cerita hsri sang suami ketika berada jauh darinya. Lalu sesekali bertanya dan ikut menceritakan bagaimana harinya berlalu tanpa Ali. Untuk Deka malam ini, sesedsrhana ini bahagia. Tidak perlu mencari cari, cukup mensyukuri apa yang ia punya.