He's Just, A Human
Ali merebahkan kepalanya pada sandaran sofa di dalam kamarnya yang beberapa hari belakangan ini ia tiduri berdua bersama Yuan, tentunya dengan ranjang yang terpisah. Raganya lelah begitupun dengan jiwanya. Pikiran Ali bekerja berkali kali lipat hari ini karena Deka membuat satu tragedi yang hampir membahayakan buah hati mereka. Walaupun sempat menolak, tetapi perasaan takut kehilangan agaknya mulai muncul dalam diri calon bapak berusia dua puluh empat tahun ini.
Ketika satu bubble chat dari istrinya muncul dalam notifikasi ponsel Ali, dengan kabar buruk yang datang bersamanya, dunia Ali seketika runtuh. Dunianya runtuh. Pikiran pikiran akan keadaan terburuk dimana ia akan kehilangan jabang bayi mereka menghantam kepala Ali secara tiba tiba.
Perut aku sakit, Li
Sial, nasib buruk apa lagi yang datang menghampirinya kali ini? Bukankah ia juga manusia? Mengapa tidak ada hari tenang sebentar saja dalam hidup Ali setelah pernikahannya dengan Deka? Mengapa Deka selalu menempatkannya dalam keadaan sangat tersiksa? Benar, Deka. Selain buah hati mereka, eksistensi Deka yang notabennya sebagai ibu dari si jabang bayi juga amat menganggu pikiran Ali hari ini. Bagaimana jika wanitanya terluka? Bagaimana jika Deka membutuhkannya? Seharusnya Ali menjadi lebih tegas. Seharusnya Deka memang tidak berangkat karena ia melarangnya dengan keras. Ali menyesal. Sore ini, selepas bekerja, Ali menyesal karena mengizinkan Deka pergi untuk pekerjaannya. Ali marah. Sore ini, selepas bekerja Ali ingin marah, tetapi entah kepada siapa, karena ia yakin benar ia tidak bisa menyalahkan Deka pun dengan orang yang menyerempetnya karena Ali sendiri belum mengetahui bagaimana kejadian itu berkronologi. Maka ia marah dirinya sendiri, seharusnya Ali lebih memilih beradu argumen dengan istrinya dari pada berakhir kehilangan dua pusat dunianya. Sore itu, selepas bekerja Ali marah dan menyesali keputusannya.
“Cape banget kayanya?” buka Yuan sembari menyodorkan segelas kopi kepada Ali.
“Mas, punya lo kopi susu kan?” tanya Ali sembari bangkit menegakan diri.
“Iyaa, banyak susu sama gulanya” balas Yuan yang masih berdiri.
“Tuker mas, gue butuh yang manis manis” balas Ali lalu merampas kopi milik Yuan yang juga dibiarkan saja oleh empunya. Tidak ada percakapan lain yang terjadi setelahnya. Hanya Yuan sesekali menyesap kopi paitnya sembari sibuk menatap cakrawala yang mulai menjingga seraya melihat ponselnya dan ikut duduk bergabung dengan Ali di sofa kamar mereka, sedangkan Ali kembali tenggelam dalam pikiran kalutnya sendiri.
“Kenapa? Banyak pikiran?” buka Yuan akhirnya.
“Engga” jawab Ali menoleh sebentar lalu kembali menghadap ke depan.
“Deka lagi?” tanya Yuan tepat sasara. Ali masih enggan menjawab, ia hanya melontarkan kekehan atas pertanyaan Yuan.
“Namanya juga rumah tangga, Li, pasti ada aja cobaannya” lanjut Yuan yang sebenarnya sudah terlanjur tahu.
“Cobaan si boleh, tapi kok kebangetan banget haha” balas Ali akhirnya.
“Emangnya—kenapa?” pancing Yuan.
“Apa ya, tiap kali gue tinggal jauhan dikit Deka itu selalu ada aja, mas” kena. Ali masuk ke perangkap. “Kaya gue itu kaya ngga dibiarin bebas, sebentar aja, selalu ada aja yang ini yang itu, kenapa ya haha, capeknya double kalo gini” lanjut Ali. Yuan kemudian mengangguk anggukan kepalanya mengerti.
“Nyesel?” tanya Yuan kembali. Ali tidak menjawab, ia hanya membelalakan mata sembari menatap tajam ke arah yang lebih tua, kepalang terkejut dengan pertanyaan yang Yuan berikan.
“Nyesel nikahin Deka?” lanjut Yuan.
“Kok gitu si mas lo nanyanya?” balas Ali.
“Coba telvon dulu anaknya tanyain gimana keadaanya, siapa yang salah, kok bisa keserempet, anak lo gimana, ajakin ngobrol dulu coba, jangan didiemin” jawab Yuan.
“Kok lo tau?” tanya Ali bensr benar terkejut.
“Apa si yang gue ngga tau?” jawab Yuan santai.
“Lo mah enak mas, bini lo udah sama sama dewasanya, even lo seumuran juga tapi Mba Nita bisa lebih mikir dari Deka haha” balas Ali dengan tawa sarkas di akhirnya. Yuan hanya terkekeh. Ia memahami yang sekarang Ali rasakan. Mengapa harus ia lagi ia lagi yang mengalah kepada Deka? Bukankah Deka yang berbuat salah kepadanya? Mengapa harus Ali lagi yang menghubunginya?
“Lo ngga ngerti, Li. Nikah sama cewe kaya Nita yang udah dewasa bisa ini itu sendiri juga ada tekanannya. Kadang kadang gue liat lo direcokin Deka juga pengen, Nita itu apa ya, udah mature banget, apapun dikerjain sendiri, gue sampe kadang kadang itu nanya 'aku kamu anggep suami ngga si' saking ngga maunya ngrepotin gue. Lama lama jatuhnya insecure Li” balas Yuan menyuarakan isi hatinya.
“Ngomongin duit juga, dia punya duit, gak jauh beda sama gue, sebelas dua belas, even masih banyakan gue dikit, ngomongin manja ya jangan ditanya, ngga ada manja manjanya si Nita, dia itu bisa apa apa sendiri, kayanya kalo gue ngga ada pun juga dia tetep bisa” lanjut yang lebih tua.
“Mas? Lo ngga lagi mikir mau main belakang kan?” tanya Ali memastikan yang kemudian hanya dijawab kekehan oleh Yuan. Tidak ada jawaban berarti adalah kebenaran, yang selanjutnya dilakukan Ali adalah memegang pundak seniornya dan menangkap mata Yuan dalam dalam.
“Jangan gila lo mas” ucap Ali.
“Minggu depan Nita HPL, lo tau pas gue izin dia bilang apa? 'Berangkat aja yang, aku bisa kok sendiri' mikir lah anjing anak gue mau lahir gue disuruh berangkat katanya bisa sendiri? Gue yang ngga bisa” balas Yuan dengan mata yang berkaca kaca.
“Bayangin anak lo lahir tapi bapaknya ngga ada sama dia, kasihan ngga si Li, anak gue?” lanjut Yuan dengan menengadahkan kepalanya dan mengusap beberapa air yang mulai berjatuhan.
“Mas, sorry gue sok tau banget” balas Ali menatap lawan bicaranya.
“Kita itu hidup saling ngeliat, Li, kalo kata mak gue, orang Jawa, sawang sinawang saling ngeliat, dan yang diliat itu cuman permukaannya aja. Makanya gue percaya don't judge a book from the cover itu beneran adanya” balas yang lebih dewasa.
“Tapi lo emang beneran ada pikiran mau main belakang?” pasti Ali sekali lagi. Yuan tidak menjawab, ia hanya menolehkan kepalanya kepada Ali lalu tersenyum ambigu entah apa maksudnya.
“Lo kalo beneran selingkuh gue gebukin ya mas, bodo mau Mba Nita yang salah juga lo tetep gue gebukin” lanjut Ali. Yuan kemudian memecahkan tawanya. Terheran heran dengan jawaban yang lebih muda.
“Ngga ada lah gila, satu aja bikin pusing apa lagi dua. Gue cuman ngebayangin aja kalo Nita jadi lebih clingy ke gue enak kali ya, ini bentar lagi punya anak juga gue mau ngomong empat mata sama dia heart to heart gitu gue maunya begini kalo dia gimana? Mau seinsecure apapun gue sama Nita masih gedean sayangnya Li” balas Yuan dengan mata yang menerawang jauh ke masa depan. Di sampingnya, Ali hanya menundukan kepala sembari mengangguk angguk sebagai tanda bahwa ia mengerti. Belum pernah sekalipun Ali bayangkan bahwa Yuan, pernah merasa serendah itu dihadapan istrinya, karena milik Yuan dan milik Nita lah yang sebenarnya ingin Ali miliki. Tetapi setelah mendengar pengakuan sang empu sore ini, Ali bersyukur bahwa Deka adalah miliknya. Apa yang ia dan Deka punya adakah milik berdua dan pasti, tak ayal, pasti berbeda dengan orang lain satu sama lainnya.
“Telvon si Deka coba sekarang. Tanyain apa yang sakit. Lo sadar ngga si mau secape apapun, lo bertahan juga gara gara Deka? Cape ke Deka kesel ke Deka apa apa ke Deka juga?” ucap Yuan. Ali kemudian mengangguk sembari tersenyum menyadari bahwa sebagian dirinya ada pada Deka.
“Mas, sorry ya hahah, semoga anak lo lahirnya nunggu lo balik deh hehe” balas Ali sembari bangkit berdiri.
“Hedeh, bocah bocah” jawab Yuan tersenyum bangga. Melihat Ali mulai berjalan menuju balkon dan menarikan jemarinya di atas layar ponsel dengan senyum yang tak kunjung meninggalkan wajahnya. Sementara Yuan juga ikut berdiri dan pergi meninggalkan kamar guna memberikan ruang kepada Ali.
Sore itu, selepas bekerja, Ali tau ada banyak rahasia di muka bumi yang tak ia ketahui. Sore itu, selepas bekerja, Ali tau bahwa tidak ada habisnya jika terus berkiblat pada milik orang lain sedangkan miliknya sendiri sedang dalam proses pengubahan. Sore itu, selepas bekerja, Ali tau bahwa menilai kehidupan orang lain tanpa benar benar mengerti jalan hidup mereka adalah hal yang salah. Sore itu, selepas bekerja, Ali menghubungi istrinya untuk tau bagaimana keadaan ia dan buah hatinya. Sore itu, selepas bekerja, Ali melangitkan doa dan rasa syukur secara bersamaan karena Deka dan anaknya dalam keadaan yang baik baik saja.
If you know people from the surface, you better keep your mouth close – el.