Hold On, It's Hurt I Know
Deka hanya terus mengusap air matanya yang dengan sekuat tenaga, ia sembunyikan ketika notifikasi pesan dari Ali menghilang, digantikan dengan pemberitahuan yang bunda berikan. Perasaan takut yang Deka kira kira sebelumnya, hari ini datang juga. Bukan takut karena ingatan Ali yang tak kunjung kembali. Bukan. Sebaliknya. Deka ketakutan dengan kembalinya ingatan sang suami yang pasti akan membuat Ali ingin menghilang dari bumi, karena perasaan bersalah yang teramat sangat, hingga dadanya sesak bahkan hanya untuk sekedar mengingat kembali wajah Deka dan sang anak. Perasaan takut yang Deka kira kira sebelumnya bahwa mungkin saja, Ali memilih untuk pergi karena sekali lagi, rasa bersalah yang menghantui.
“Mbak Deka, everything is going to be ok abang ngga kenapa napa kok” tenang Ian di sebelahnya, sedang melajukan kereta besi sekuat tenaga guna menghentikan tangis duka sang ipar di sisi kirinya.
“Thanks yan” balas Deka dengan senyuman yang dipaksa. Berusaha menguatkan diri sendiri serta menyiapkan mental karena ketika dirinya sampai di rumah nanti, Deka harus menghadapi laki laki yang amat sangat ia cintai, Sabima Ali.
“Bunda nginep sini aja, ya?” tanya sang ibu berdiri di belakang Deka. Mengusap surai lembut sang anak pertama yang masih menangis sembari menggenggam jemari lemas milik sang pria yang tidur dengan tenang di atas ranjang.
“Pulang aja, bun. Ibu juga, Ian juga. Deka ngga papa kok” balas Deka meyakinkan ketiga manusia lain yang mencoba memberi secercah kekuatan melalui uluran tangan.
“Deka, nduk kalo mau nangis, nangis aja, jangan ditahan. Ibu, bunda, Ian ngerti, ngga usah malu. Ngga papa, kamu udah kuat banget sampe sekarang, biarin ya nak, dibantuin ya Deka, kamu sama Ali ngga ngrepotin sama sekali” rayu sang ibu mertua kepada menantunya. Deka kemudian membalikkan badan, mengusap setiap air mata yang ada lalu kembali berkata “Deka beneran ngga papa, bu, tadi nangis soalnya kangen Gloria. Ali nanti bangun kok pasti, biasanya juga begini kalo lagi sakit. Pulang aja ngga papa bun, ibu, Deka beneran ngga papa” balas Deka dengan wajah tersenyum yang sudah pasti dengan tangis yang ia coba sembunyikan. Ibu kemudian mengikis jarak. Memperpendek ruang, sebelum kemudian mendekap gadis kecil yang dulu juga ia rawat seperti buah hatinya sendiri, karena Deka merupakan sahabat Ali. Mengusap lembut punggung sang anak seolah berkata bahwa meminta bantuan sah sah saja hukumnya, lagi pula Deka dan Ali adalah keluarga, merepotkan atau tidak, saling memberi bahu adalah hal wajib yang harus dilakukan. Menjadi rapuh itu boleh, nduk, Deka. Ibu tau kamu anak pertama, tapi jangan terlalu kuat, ya?
“Kalo ada apa apa langsung telvon ya mbak?” minta sang bunda lebih ringan karena sudah lebih dulu tau watak dan ciri Deka seperti apa. Alih alih berdebat dengan anak perempuan pertama yang merupakan jilid kedua dari sang suami, bunda memilih mengiyakan permintaan Deka dengan janji, jika sesuatu terjadi, maka bunda menjadi orang nomor satu yang harus dihubungi.
“Pasti. Mau minta tolong ke siapa lagi kalo ngga ngrepotin ibu sama bunda? Hehe terima kasih, yaa” balas Deka ceria. Sejurus kemudian semua orang dalam ruangan ini berlari ke luar, karena mendengar Gloria yang berteriak dengan kencang, tanda haus atau mungkin hanya ingin sekedar ditemani.
“Ali, jangan ingat cepat cepat ya, aku butuh kamu sembuh, tapi jangan buru buru, ini bukan salah kamu, ali, aku janji.”
Waktu kiranya tak mau menunggu walaupun dunia sedang digempur, porak poranda sekalipun. Dan fakta kejam lainnya, bahwa hari ini, milik Deka juga ikut hancur, karena beban yang selama ini ia tahan meledak dengan amat sangat menyakitkan. Hampir tiga bulan ia memendam segala rasa yang dengan lantang ingin wanita ini teriakan Sakit, lelah, pasrah, bahkan setiap hari Deka merindukan wangi tubuh kebahagiaan yang tidak pernah menjamahnya walau barang sebentar, hingga hari ini datang. Hari penuh dengan mimpi buruk akan masa masa indahnya dengan sang suami yang ia nanti nanti, karena secara tiba tiba berganti dengan kerusakan karena rasa bersalah yang Ali miliki.
Dalam setiap doa yang Tuhan dengar, Deka selalu meminta agar ingatan Ali segera dikembalikan, tetapi ia lupa bahwa seharusnya Deka juga memohon tentang rasa sesal yang ikut dilenyapakan. Sudah kepalang paham lebih dulu, permintaan Deka yang satu ini tidak sempat dilangitkan karena terlampau sibuk menghadapi kenyataan. Dengan hati selembut Ali, tragedi beberapa waktu yang lalu akan amat sangat memukulnya dan sudah pasti ia akan menyalahkan diri sendiri. Ali, kamu harus tau, aku sayang kamu, lebih dari apapun, aku janji, itu bukan salah kamu Ali. Maka setelah pesan pesan dari sang suami siang tadi menampar Deka serta mendorongnya lagi dan lagi ke jurang kenyataan yang menyeramkan, harapan harapan yang tak sempat diamini ini, Deka minta dengan keras di dalam hati, agar Ali tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Pukul sembilan malam Deka lalui dengan keheningan. Karena sejak tadi siang, Ali nampak sangat nyaman dalam tidur panjangnya seharian dan tak kunjung membuka mata walau untuk sekedar mengisi kembali tenaga. Badannya panas, tubuhnya berkeringat, bahkan sesekali Ali mengigau dalam mimpi panjangnya. Entah apa yang ia lakukan sebelumnya, tetapi kini, demam menyerang tiba tiba. Deka hanya terus khawatir tentang ingatan Ali yang kembali dan usaha yang harus ia lakukan guna meyakinkan sang suami. Sementara di ruangan lainnya, dengan bantuan ibu, Ian dan bunda, Gloria juga telah memejamkan mata sebelum waktu bangun tengah malamnya tiba.
Meneliti paras cantik milik Ali yang melekat sempurna pada wajah sang anak pertama, menimbulkan perasaan bersalah dalam diri Deka. Bayi munggil ini, yang hadirnya pernah tidak Deka bela, yang lahirnya tidak Deka sambut, yang sekarangpun tidak pernah terjamah sentuh cinta sang papa, adalah anaknya. Bayi munggil ini, yang dengan sepakat seluruh keluarga memanggilnya dengan nama Gloria adalah bayi paling sendiri di dunia karena ketika tangisnya terdengar di telinga, kedua orang tuanya tengah sibuk perperang di garis pertahanan antara rumah dan liang lahat. Sebagai seorang ibu, perasaan aneh yang dulu Deka tidak pernah tau, kini menghajarnya habis habisan seolah meminta ganti rugi karena bahkan dengan usia yang belum matangpun, Gloria Rudine Aulia dengan berani melahirkan dirinya sendiri.
“Anak bunda, maaf ya sayang, bunda sayang Gloria banget” ucap Deka dengan lagi lagi air mata yang menggenang di pelupuk mata.
“Bunda beneran banyak salah sama Gloria, tapi Gloria harus tau, bunda sayang bangetttttt sama kamu, nanti jangan benci bunda sama paa ya nak? Bunda janji bunda berusaha kok” lanjutnya memeluk bayi kecil dalam dekapan. Tidak ada suara lagi setelahnya, selain suara denting jam dan isakan seorang wanita yang air matanya tak juga habis walaupun telah dikeluarkan seharian yang terus menggema mengisi setiap sudut rumah berada.
Begitulah malam gelap dan dingin Deka lewati, lagi dan lagi sendiri, dengan terbangun beberapa kali karena harus memastikan anak dan suami baik baik saja walaupun sakit kiranya sebentar lagi akan berbalik menyerang Deka, hingga pukul dua malam tiba. Waktu waktu berharga milik Gloria, serta jam jam penuh doa yang Deka ungkapkan kepada Sang pencipta sembari berdiri menimang dan menyusui seorang bayi. Sembilan puluh hari, pada pukul ini Deka selalu bangun untuk memberi makan sang buah hati yang juga setelahnya tak kunjung kembali menjempt alam mimpi, sehingga bergadang, menjadi rutinitas yang tak dapat Deka lewatkan. Tentu saja tidak ada Ali, karena di kamar Gloria yang dulu dibuat bersama, Deka selalu seorang diri tanpa suara lain atau bahkan daksa sang suami untuk sekedar menemani. Bukannya Ali ngga bisa, aku yang yang ngga tega.
Menit demi menit berlalu, jam demi jam terbuang hingga pukul empat pagi datang. Gloria sudah kembali ke tidur lelapnya setelah dengan susah payah Deka gendong kesana kemari dengan sesekali ia bawa untuk menenggok sang papa. Akhirnya, pikir Deka. Bayi tiga bulan ini membiarkannya istirahat setelah malam panjang yang Deka cari dimana ujungnya berada. Wanita dua puluh lima tahun dengan balutan celana pendek dan kaos kebesaran, tak langsung merebahkan badan di atas ranjang, tetapi malah duduk memeluk kedua lutut beralas karpet, bersandar kotak tempat sang anak. Deka termenung. Ia hanya diam mendengarkan suara alam yang begitu menengkan. Melamun tidak jelas dan kembali memikirkan kalimat kalimat yang pernah Ali ucapakan bahwa Tuhan tidak pernah berjudi, selalu ada hitungan dalam setiap hal yang manusia lakukan, tetapi kali ini, Deka juga ikut bertanya, mungkinkah dadu yang mengatur seluruh kehidupannya, dilemparkan secara cuma cuma? Karena kemenangan nampaknya sulit untuk ia dapatkan.
Deka masih duduk di bawah menatap kedua jempol kakinya hingga suara pintu kamar dimana ia berada, dibuka secara tiba tiba dan secara spontan pula, membuyarkan atensi Deka. Sang puan kemudian menoleh dan bangkit, dengan ragu ragu karena Ali, ternaya telah berdiri di ambang pintu. “Udah bangun? Butuh apa, Li? Kenapa? Ke kamar mandi? Apa laper? Apa? Kamu butuh apa?” cecar Deka melihat suaminya yang pucat dengan keringat masih bertengger dengan jelas di pepilis serta kepala. Hening cukup lama hingga satu jawaban yang lolos dari mulut Ali, berhasil menyingkirkan perasaan kesal Deka kepada Sang Pencipta.
“Butuh kamu” “Aku butuh kamu, Dek” “Aku butuh kamu sama anak” “Aku butuh kalian berdua” jawab Ali yang sejurus kemudian sudah berdiri menjulang di depan Deka. Merapatkan badan, meraih tengkuk sang puan, kemudian mempertemukan rasa rindu yang sebelumnya ia lupa. Melumat bibir Deka dengan halus seperti saat pertama, hingga tangan sang wanita, yang tadinya dibiarkan bergantung menjuntai, kini telah meremas kaos Ali karena kembali merasakan degup senang seperti awal melakukan.
Deka menutup mata ketika lumatan Ali terasa sangat nyaman, seperti yang seharusnya. Deka menutup mata ketika rasa rindu yang yang ia tahan, pagi ini terbayar dengan Ali yang memulangkan bibir ke tempat dimana semestinya rumah berada. Deka menutup mata ketika dirinya ragu siapa yang sekarang dengan mesra mencumbu dua buah benda kenyal yang menjadi kesukaan Ali. Entah, Deka juga tidak tahu apa kebenaranya, kembalikah Sabima Ali? Atau Ali lainnya, yang beberapa bulan ini ia bagi ranjang bersama? Deka tidak tahu pasti, ia hanya memejamkan mata karena rasanya, Sabima Ali Aulia, telah disini.
“Maaf” ucap Ali setelah lumatan ia buka, jarak ia buat, sehingga Deka dapat dengan bebas menatap wajah tampan sang pria. Tidak ada jawaban dari wanita yang statusnya telah berganti menjadi ibu satu anak ini. Apa maksud kata maaf yang ali ucapkan setelah ia menciumnya habis habisan? Kesalahankah tadi karena saat ini adalah Ali yang lupa iangatan? Atau, siapakah gerangan?
“Aku harusnya denger kata bunda, ibu, hari itu buat ngga bawa kamu pergi. Maaf kamu sendirian, Dek. Maaf aku hampir beneran bikin kamu ke surga, maaf aku lupa kita punya Gloria, maaf aku bikin kacau semuanya, maaf ak-” kalimat Ali terpotong karena kali ini, Deka yang menyambar bibirnya. Dengan keyakinan yang ada, Deka tahu bahwa suaminya telah kembali.
“It's not your fault, Ali. Bukan salah kamu” ucap Deka menatap kembali netra sang lelaki yang sempat hilang beberapa waktu yang lalu. Mengangkat wajahnya agar pandang mereka bertemu, karena benar dugaan Deka, Ali diselimuti rasa bersalah, hingga tidak berani menatap wajah cantiknya. Ia mengusap rahang sang lelaki yang sempat hilang “Makasih udah balik, Ali” lanjut Deka. Tidak ada jawaban setelahnya krena Ali menarik tangan sang puan hingga masuk ke dalam dekapan, memeluknya erta seolah menyalurkan rasa sayang dan permohonan maaf yang sempat tertuda. Sementara Deka, lagi dan lagi, entah utuk yang keberapa hari ini, kembali menitikan air mata, kali ini diiringgi dengan rasa syukur karena hari kemenangannya tiba. Eksistensi Tuhan yang sempat ia tanyakan benar atau tidak adanya, kini hilang dengan seketika. Dengan rindu yang membuncah, bahagia yang sudah tak lagi bisa ditanya, syukur tiada tara, serta maaf yang tidak dilupa, Ali kembali ke pelukan sang wanita.
Tuhan tidak bejudi untuk setiap hal yang manusia lakukan, selalu ada perhitungan matang yang datang bersama usaha yang sedang diusahakan. Mengapa kita selalu risau padahal memohon atas segala keinginan hanya berada di kedua telapak tangan? Berdoalah. – Albert Einstein & el.