How I Show That I Love You
Aroma khas yang mengudara seirama dengan kepulan asap dari secangkir kopi yang meninggi secara tidak sadar meningkatkan kefokusan Deka dan Ali. Sudah sejak satu setengah jam lalu, keduanya duduk bersandingan di halaman depan caffe mereka yang Deka urus segera setelah Gloria lahir ke dunia. Bergelut dengan laptop dan pekerjaan masing masing hingga tak menyadari, bahwa sejak tadi, tidak ada yang memulai kata diantara keduannya.
Sinar matahari nampaknya juga tak mau kalah menghangatkan pagi sepasang suami istri ini, bersinar dengan eloknya menerangi setiap sudut kota sehingga debu debu haluspun dapat dengan bebas dilihat oleh mata berterbangan dengan gembira. Ketenangan milik bunda dan papa ini berbanding terbalik dengan suasana di dalam gedung yang ricuh karena seorang gadis muda sibuk berlarian kesana kemari dan merenggek memohon kepada yang lebih tua untuk dibolehkan mencicipi satu dua bahan makanan yang tersedia. Yang menjadi sumber masalah adalah, anak berusia empat tahun ini ingin sekali meneguk segelas es berasa taro yang mana setelah sekali saja sesuatu dingin memasuki tubuhnya, batuk dan influenza sudah dapat dipastikan akan datang segera. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, barista dan rekan kerja yang Deka sewa lebih memilih berdebat dengan Gloria dari pada kena marah setelahnya.
“Kakkkkkkkk? Aku mau mau mau, i want to try” ucapnya gemas.
“Nggak ya! Nanti kakak yang diomel bunda. No” balas yang lebih tua. Mendengar baku teriak antara anaknya dengan seseorang lainnya. Ali tersenyum kemudian segera memberi atensi kepada sang istri yang masih tidak menyadari atmosfer keseriusan ini. Deka dengan wajahnya yang fokus serta jemari yang lincah menari di atas keyboard agaknya sedikit menganggu konsentrasi Ali. Bagaimana bisa wanita ini menjadi begitu sensual hanya karena sedang fokus dengan dunainya sendiri? Seakan tak ingin menyia nyiakan kesempatan, Ali kemudian sedikit menarik kepala ang istri ke arahnya kemudian membubuhkan sebuah kecup manis di dahi sang wanita. Yang tentu saja, Deka juga tidak mengalihkan atensinya barang sebentar.
Tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda tanda Deka dan Ali akan mengakhiri kegiatan mereka. Masih sama duduk berdua dengan sesekali menyesap kopi masing masing yang sudah berangsur menjadi semakin dingin sejalan dengan Gloria yang sudah tidak berteriak entah apa yang mengalihkan perhatiannya di dalam sana.
“Astagaaa” keluh Deka kepada semua pekerjaanya Sabtu pagi ini.
“Padahal juga dikerjain dari tadi ini laporan keuangan kenapa deh” lanjutnya sendirian. Ia kemudian menghelakan nafasnya kasar sembari mulai menyenderkan punggunya ke belakang. Matanya tidak berpindah dari komputer bawa yang masih menyala di hadapannya, berpikir keras serta mencari cari dimana letak kesalahan yang mungkin ia lewatkan.
Masih dalam keheningan yang anak, perhatian Deka kemudian dialihkan dengan lelaki 29 tahun yang tidak bergerak sama sekali. Kaca matanya masih bertengger dengan setia di hidung besarnya serta tangannya sibuk menekan nekan tombol yang menyela entah apa tujuannya. Dalam keadaan sedekat ini, Deka lagi dan lagi jatuh hati pada Sabima Ali Aulia, suaminya sendiri, karena diciptakan amat sangat sempurna dan pas proporsinya untuk Deka.
Masih betah berlama lama menganggumi Ali, Deka kemudian menggeser laptopnya sedikit lebih jauh hingga ia bisa menaruh tangannya di atas meja, kemudian menempatkan kepalanya di atas sana. Menghadap Ali yang masih tidak terganggu dan mulai kembali mengamati ciptaan Tuhan itu.
“Cape ya?” tanya Ali menyadari gerak gerik sang istri. Matanya berpendar dari laptop, ke Deka sebentar, kemudian kembali ke laptopnya. Deka tidak menjawab, ia hanya terus memaku tatap.
“Sini aku kerjain”