Not A Bomb But Explode
Wajahnya masih nampak kesal walau satu tangannya sudah ia gunakan untuk mengenggam erat bundaran setir tempat seluruh kemudi kendaraan besi ini beroperasi, sementara jemari yang lain ia biarkan terkulai tanpa tenaga di atas pahanya. Matanya menerobos jauh ke depan, apa yang kurang dari dirinya? Mengapa masih ada celah padahal usahanya sudah di batas maksimal? Apa yang seorang Elnando punya tapi Ali tidak bisa berikan? Bukankah hasil tidak pernah menghianati usaha? Pikiran Ali melayang jauh ke bayang bayang apa yang harus ia perbaiki, karena lelaki ini agaknya menuntut kesempurnaan.
Sementara itu, seorang wanita dengan setelan tidur santai dan kardigan berwarna hitam, sedang sibuk dengan dunianya sendiri menatap ke luar jendela mobil. Tidak ada yang istimewa, ia hanya menikmati waktu sorenya berdua bersama sang suami. Walau Deka tau tidak ada percakapan yang berarti, namun kepala Ali menyimpan banyak suara gaduh yang entah mengapa kali ini tidak Ali bagi.
Jalanan nampak lenggang setelah adzan isya berkumandang. Sesuai rencana yang telah disepakati, Deka akan turut andil dalam kepergian Ali memulangkan sang ibu ke rumah Ali dahulu. Lampu kota nampak sudah banyak yang menyala, handuk dan baju kering satu dua biji masih ada yang terterbangan ditiup angin di bagian luar jendela apartment tinggi yang selalu ingin Deka tempati. Keren saja menurutnya, pergi pagi pulang petang lalu masuk ke dalam ruangan gelap akibat lampu yang belum dinyalakan pertanda tak ada seorangpun disana, lalu menikmati kesendirian sembari mendengarkan suara air mengalir memenuhi volume bathup. Keren sekali menurut Deka. Kehidupan itu adalah kehidupan yang ia impikan sebelum Ali dengan amat tergesa gesa menerobos masuk ke hidupnya dan mulai dari sekarang mau tak mau ia harus membuang jauh jauh mimpinya.
“Ali, mau sate dong” ucap Deka membuka kata.
“Oke” balas Ali singkat lalu mulai kembali fokus pada otaknya sendiri. Cukup lama ia melajukan mobil namun tak kunjung berhenti di tempat yang Deka minati. Tukang sate.
“Loh kok ngga berenti?” tanya Deka mengingatkan Ali karena sang lelaki melewatkan lagi dan lagi, tidak seperti persetujuannya di awal tadi.
“Loh? Udah kelewat ya? Maaf maaf nanti aja nyari yang di depan” kata Ali sambil melirik kaca spion mobilnya. Deka tidak menjawab, ia hanya terus menatap sang suami. Katakan saja feeling perempuan kuat namun memang benar adanya, Deka menangkap hal janggal pada suaminya malam ini. Diam bukanlah Ali.
“You can share it if you want” ucap Deka tiba tiba.
“Sorry?” jawab Ali.
“Bagi sama aku kalo punya beban, kalo ga bisa bantu seengakknya kamu ngga terlalu pikiran, Li” balas Deka kemudian.
“Engga kok, ngga papa, kerjaan aja Dek ngga papa” “Sate ya? Itu depan itu mau?” ucap Ali pada Deka yang terdengar seperti berbicara pada diri sendiri. Deka tau, Ali sedang mencoba mengalihkan perhatiannya. Tanpa menunggu persetujuan sang istri, Ali kemudian menepikan mobilnya dan langsung turun untuk memesan sate untuknya dan sang wanita.
Dari dalam mobil dapat Deka lihat Ali sedang menyembunyikan sesuatu. Matanya berandai andai, tangannya dilipat di depan dada dan kakinya digerakkan dalam gusar. Biasanya, seberat apapun hari mereka berdua, Ali dan Deka akan sama sama membaginya, dengan dekapan hangat di atas ranjang, atau dengan kopi hitam selepas jam sembilan malam, atau dengan berputar putar mengelilingi kota menaiki sepeda motor mereka, apapun itu Ali akan bercerita, namun berbeda dengan malam ini. Malam ini Ali memilih menyimpannya sendiri. Sadar bahwa hal yang Ali coba sembunyikan bukan perkara yang kecil, maka Deka memilih untuk tidak memaksa dan menunggu suaminya sendiri yang membuka kata.
“Ngga pedes banget, bawangnya banyak” ucap Ali membuka pintu mobil dengan sedikit kesulitan dan memberikan sepiring sate lengkap dengan lontongnya kepada Deka. Setelah diterima, ia kemudian duduk dan menyamankan diri sembari menikmati makan malamnya sendiri.
Seperti biasa dan seperti hari hari sebelumnya, baru dua tusuk sate masuk ke dalam mulut, Deka kemudian dengan geraka super cepat membuka pintu mobil dan memuntahkan isi perutnya di gang kecil dekat tempat sate berada. Cukup jauh hingga tidak ada seorangpun yang memperhatikan Deka sedang bernegosiasi dengan anaknya di bawah cahaya remang.
“Dek, gue cuman mau makan aja, please” batin Ali mulai sedikit kesal. Lalu ia membuntuti sang istri dan membantu Deka menyelesaikan urusannya, cukup lama berada di luar, mereka kemudian kembali ke mobil dengan Ali yang berwajah masam dan Deka yang pucat pasi karena semua makanannya terkuras habis habisan.
“Ali, lo aja yang makan, gue pusing” ucap Deka sembari menyenderkan tubuhnya dan memberikan piringnya yang masih penuh kepada sang lelaki.
“Abisin.” balas Ali tajam. Deka menoleh ke samping, sedikit terkejut dengan nada yang Ali gunakan.
“Abisin Dek, lo pikir buang buang makanan itu boleh? Kurang bersyukur lo, banyak yang ngga bisa makan, ini lo tinggal ngunyah aja rewel. Abisin.” tembak Ali tepat sasaran. Deka masih diam menatap Ali dalam dalam. Bukan sedikit lagi, ia amat sangat terkejut karena sepertinya Alu meluapkan amarahnya pada Deka.
“Abisin” lanjut Ali dingin lalu mulai menyantap kembali makanannya. Deka masih diam terus menatap Ali. Dadanya mulai sesak, nafasnya mulai tercekat, air matanya mulai mengepul siap untuk turun. Empat belas berjalan mereka saling mengenal, belum pernah sekalipun Ali berbicara sedingin ini kepada Deka. Jika sedang dirundung amarah atau kekesalan, baik Deka dan Ali sama sama memilih untuk di-anjing anjingkan dari pada didiamkan seperti yang saat ini terjadi.
“Li, gue kalo ngga hamil juga mau makan sate sewarung juga gue abisin. Bukannya ngga mau, gue ngga bisa, anak lo yang bikin.” balas Deka dengan suara bergetar. Hatinya mendadak kesal diperlakukan sebegitunya oleh sang suami. Bukan mau Deka. Bahkan Deka tidak pernah meminta akan kehilangan nafsu makan seperti ini. Bukan mau Deka, Deka tidak pernah meminta. Namun nampaknya Ali belum menyadari perubahan yang Deka alami. Jika boleh jujur, kehamilan ini menyusahkan bagi Deka begitupun Ali.
Deka lalu menyerahkan piringnya secara paksa kemudian membuka pintu mobil. Dengan air mata yang mulai menetes, Deka berjalan menepi ke tengah aspal dengan niat memberhentikan apapun kendaraan umum yang berlalu. Melihat aksi wanitanya, Ali kemudian segera menyusul dan mengejar Deka.
“Deka” “Dekk!” “Deka, jangan kaya bocah” panggil Ali sembari menarik tangan sang wanita, berniat Deka menghentikan kegiatannya.
“Makanya nikah sana sama orang gede!” balas Deka. Ia mendongak menatap Ali. Matanya merah menahan amarah. Dengan tenaga yang cukup kuat Deka kemudian menghempaskan genggaman tangan sang lelaki. Bak diberikan hujan kejutan, sebuah taxi menepi ketika Deka melampaikan tangannya tanda berhenti. Ali lalu tak tinggal diam. Ia masih setia membuntuti Deka dan menahan pintu taxi.
“Dek please balik sama gue” mohon Ali.
“Jalan pak” ucap Deka pada sang kemudi yang lalu ia mendorong Ali secara paksa hingga taxi dapat berlalu tanpa Ali cekali.
Setelah Deka melesat pergi, Ali hanya diam menatap mobil yang membawa istrinya entah kemana. Pasrah dan menyerah. Menyesal. Entah mengapa dirinya merasa menyesal. Mengapa juga Ali harus membentak Deka, namun Ali tetaplah Ali, ia tidak merasa bahwa dirinya bersalah dan harus meminta maaf.