Settled Down
Ali menghentikan langkahnya ketika ia mendapati seorang perempuan sedang duduk di tepi kolam renang dekat tempat acara pernikahannya besok berlangsung, memeluk kedua kaki dan menyandarkan kepalanya ke atas lutut. Saat itu Ali tau, Deka sedang berada di titik paling pasrah yang ada di dunia. Deka, bisa saja memaki Ali atau berkata kotor mengabsen berbagai macam binatang atau bahkan menyumpah serapahinya, namun malam itu Deka memilih untuk diam. Deka memilih untuk pasrah dengan keadaan, walaupun jauh dalam lubuk hatinya, ia tau Ali tidak pernah ingkar, lelaki itu pasti akan datang, tetapi Deka memilih diam karena sudah terlampau kesal. Taukah kamu puncak termarah seseorang bukan lagi mencaci maki, tetapi tidak peduli?
Dengan langkah yang berat, badan yang masih lemas serta kepala pening, Ali berjalan menghampiri pengantinnya dengan perlahan. Setelah berada tepat di belakang Deka, Ali kemudian menghentikan langkahnya. Tidak ada gerakan di antara keduanya, nampaknya Deka tidak menyadari kehadiran Ali. Ia hanya tetap fokus melamun menatap ke kilatan air yang terkena cahaya di dalam kolam.
“Dingin Dek, masuk” sapa Ali sembari memeluk wanitanya dari belakang. Bohong jika Deka tidak terkejut dengan gangguan super cepat yang Ali berikan, namun sebisa mungkin ia tahan. Deka telah bertekad ia tidak akan melepaskan Ali dengan mudah malam ini, maka untuk mempertahankan niatnya, Deka memilih untuk tidak menjawab, ia hanya terus memandang ke depan dan mencoba menormalkan degup jantungnya.
Berbeda dengan Deka yang masih ingin memenangkan pertandingan, Ali malah terlihat melepas rindu dengan perempuannya. Ia betah bertengger di bahu Deka dan menghirup aroma bunga yang selalu keluar dari tubuh wanitanya.
“Istirahat aja, Li. Cape kan?” ucap Deka akhirnya setelah cukup lama. Ali kehilangan kata kata, ia akan lebih bersyukur jika detik sekarang Deka mengamuk kepadanya semacam singa, atau menghunuskan pedang tajam memulai peperangan dengan bermacam kata kata yang telah Ali buang sejauh mungkin dari hidupnya, anjing babi dan semacamnya, namun malam ini berbeda. Deka tidak menyerang, serangan yang Deka berikan adalah pertahanan. Pertahanan untuk dirinya sendiri sehingga alasan yang Deka berikan terlampau memilukan untuk Ali dengar. Wanita ini marah, wanitanya marah. Deka dirundung amarah.
“Sorry Dek” balas Ali masih enggan membuka dekapan. Dengan nafas yang memburu serta kekuatan untuk menahan isakan Deka memberanikan diri menoleh ke kiri, mencoba mencari manik mata Ali.
“Pukul gue sekarang” lanjut Ali akhirnya melepaskan Deka dan memutar tubuh perempuannya hingga menghadap ke arahnya. Tatapan mata mereka bertemu. Sepasang mata hitam legam dengan iris yang bercahaya serta air yang terbendung di pelupuk mata sedang membunuh Ali dalam diam. Lawannya adalah dua bola berwarna coklat gelap yang sedang sibuk berkata bahwa ia menyesal, ia memohon, meminta maaf dan dengan tidak tahu malunya meminta izin akan kesempatan kedua. Mata coklat itu milik Ali.
“Pukul gue, Dek” minta Ali lagi dengan keberanian yang ia punya menatap manik mata Deka.
“Gue salah, gue salah, maafin gue, maafin gue” lanjut Ali kini memegang kedua tangan Deka. Tidak ada perlawanan dari sang wanita. Ia hanya diam dan terus menatap lelaki berraut pucat yang sedang memohon di depannya.
“Deka please, sorry gue salah gue tau maaf” minta Ali putus asa. Deka masih tidak menjawab. Ia melepaskan genggaman tangannya dan mengusap air mata yang ternyata sudah lebih dulu jatuh, lagi dan lagi.
“Lo brengsek tau ngga si, Li?” buka Deka akhirnya. Ali menunduk menatap genggaman tangannya yang kini kosong.
“Lo brengsek tau ngga? Besok kita nikah dan lo malah bikin gue pikiran yang engga engga” lanjut Deka dengan suara mulai meninggi.
“Dek gue bikin lagu buat diputer besok, buat kita” bela Ali masih merasa tidak bersalah atas tindakannya.
“Gue ngga butuh! Gue ngga butuh lagu lo anjing gue ngga butuh Ali, gue cuman butuh lo ada sehat lengkap disini, gue ngga butuh yang lain!!” teriak Deka berderai air mata. Ali tidak menjawab, ia hanya menarik daksa wanitanya semakin dekat, memeluknya hangat dengan tenaga yang kuat, pasalnya Deka meronta. Menolak pelukan hangat yang Ali tawarkan.
“Deka maaf, maaf Dek sorry” tenang Ali ketika Deka sudah mulai melemah dalam dekapanya.
“Gue, gu gue ngga butuh apa apa gue cuman mau lo disini, sehat, utuh, udah itu aja. Lo kenapa kenapa kenapa cari gara gara si, Li?” ucap Deka sedikit tidak jelas dan membalas pelukan Ali tak kalah eratnya. Ia menangis di dada bidang sang calon suami.
“Iya maaf, maaf Dek, maaf yaaaa” tenang Ali kembali sembari mengusap lembut surai hitam milik sang wanita.
“You ok? Lo pucet banget” tanya Deka membuka pelukan, menatap wajah tampan Ali dan mengusap rahangnya barang sebentar. Pucat. Pucat sekali. Ini yang membuat Deka ketakutan sedari tadi. Sejak berumur 17 tahun belum pernah sekalipun Ali seperti ini. Donor darah yang rutin Ali lakukan dan mereka namai sebagai menabung ini selalu berakhir dengan Ali yang biasa saja dan terlihat sehat kembali. Namun entah mengapa, mengapa kali ini ia menjadi selemah ini.
“Gue ngantuk tapi lo masih marah” balas Ali. Deka akhirnya bangkit dan menarik sang lelaki. Mengandeng jemarinya kemudian membawanya masuk ke dalam hotel tanpa bersuara.
“Bagus ya Dek, besok lo pasti cantik” ucap Ali basa basi di tengah perjalanan mereka. Hatinya mulai menghangat karena Deka telah kembali.
“Bunganya fresh gini besok layu ngga si?” tanya Ali lagi mencairkan suasana.
“Dek?” panggil Ali lagi, berhasil. Kali ini Deka berhenti dan berbalik menghadap ke sang calon suami.
“Maafin gue ya?” lanjutnya. Dek kemudian sedikit berjinjit dan menggapai pipi kanan Ali. Mengecupnya sebentar lalu tersenyum ke arah sang lelaki.
“Cepet tidur biar besok sehat. Gue ngga mau gagal nikah cuman gara gara donor darah sialan” balas Deka. Ali tersenyum ia kemudian mengangguk dan berjalan di belakang Deka sembari tangan mereka yang masih setia bertautan.
Bukan seberapa parahnya Ali kali ini, bukan sebanyak apa darah yang disumbangkan, bukan tentang malunya Deka menghadapi sanak keluarga. Tapi tentang rindu yang tidak tahu harus bagaimana memulangkannya, meledak, tumpah, pecah tidak ada yang memunggut karena sendirinya memang belum berada di rumah. Malam itu mereka tau, sehebat apapun mereka bertengkar, seserius apapun takdir hampir memisahkan, mereka hanya harus bersama saling bergenggam tangan.