So I Am
Pintu ruang kerjanya diketuk. Walaupun telinganya mendengar suara gedoran dari luar ruangan, tak lantas membuat Johnny mengalihkan atensinya. Komputer dan setumpuk kertas nyatanya telah berhasil menyita waktu, tenaga, dan perhatiannya selama beberapa hari ke belakang.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut manusia. Hanya suara keyboard yang terus ditekan, yang mengudara, serta desisan AC yang sudah tidak terlalu dingin.
Aleeah membuka pintu ruang kerja atasannya dengan berhati hati. Amat sangat perlahan seakan ia enggan menggores porselen yang saat ini sebenarnya sedang ia injak.
“Pak?” sapa Aleeah dari seberang sana. Membuyarkan fokus Johnny sedari pagi.
“Bapak tidak mau pulang?” tanya Aleeah. Ia tidak mengizinkan seluruh badanya untuk masuk ke ruangan sang atasan. Hanya menampakkan kepala munggilnya dengan mata yang lebar agar dapat melihat serta memastikan bahwa Johnny masih bernafas di muka bumi.
“Kamu duluan aja” balas Johnny. Tidak menoleh sedikitpun.
“Hmmm, bapak sudah makan?” tanya Aleeah lagi. Mencoba mencairkan keadaan. Pasalnya beberapa hari ini sikap dingin Johnny kembali. Entah apa yang merasukimu salah, maksudnya entah apa yang merasukinya, Johnny sudah beberapa kali bersikap seperti ini. Membangun Tembok Raksasa Cina secara tiba tiba. Johnny juga dengan entah ide dari mana seakan mempertinggi pertahanannya yang entah siapa musuhnya. Tidak Aleeah lihat seseorang mencoba bergerilya menyerang Johnny. Namun pria ini sudah beberapa kali seperti ini. Menjauh dari hangatnya dirinya sendiri.
“Nanti aja” jawab Johnny singkat.
“Bapak belum makan sejak tadi siang pak, keluar juga tidak. Kalo masih ada yang bisa saya bantu, saya bantu pak biar cepet selesai” balas Aleeah. Kali ini ia membuka lebar pintu ruangan dan menampakkan seluruh badannya di hadapan Johnny.
“Saya ngga laper” balas Johnny tetap dengan suara datar. Penuh dengan perasaan tidak minat pada percakapan.
“Okey it's night mide ok? Im no longer your secretary pulang sekarang pak. Besok lagi saya bantu, bapak mau jadi mumi kerja lembur terus? Udah hari ke berapa?” ingat Aleeah disana. Johnny kemudian mengalihkan pendangannya. Matanya ia larikan pada sesosok perempuan yang menemaninya selama lima bulan terakhir, yang saat ini sedang berdiri dengan angkuh di depan pintunya.
“So i use my 'your wife' section. Come home atau bapak bakal sakit.” lanjut Aleeah penuh penekanan. Johnny kemudian menurunkan tangannya dari atas meja, sejurus kemudian sang hasta ia gunakan untuk melonggarkan dasi sembari sekejap menutup mata.
”'Your what? Your wife section?*” tanya Johnny sembari bersandar dengan tetap memandang Aleeah. Jika boleh jujur, pandangan Johnny saat ini amat sangat menyebalkan. Tatapan yang belum pernah sekalipun Aleeah lihat selama lima bulan terakhir, adalah tatapan merendahkan yang ternyata dimilili oleh seorang Johnny Seo. Dengan nyali yang mulai menciut Aleeah meremas ujung kemejanya dan menjawab..
“We made a deal with this right? Im your wife, no excuse” balas Aleeah.
“Le, you got that. You got that position but never have it. Please know your limit. Remember we're just pretending.” balas Johnny. Bagai menjadi sasaran tembak, peluru yang Johnny tembakkan pas mengenai dada Aleeah. Bagai dihantam meteor yang sebenarnya Aleeah juga tidak tahu bagaimana rasanya, yang jelas ada lubang besae yang disebabkan Johnny di mungkin pojokan hati Aleeah. Dadanya mendadak sakit mendengar perkataan Johnny.
Mengapa sang lelaki harus menarik garis dengan amat sangat ketara bahwa mereka hanya berpura pura ketika Aleeah mencoba untuk peduli? Mengapa rasa kemanusiaan Aleeah harus ditangkis oleh raket dan dihempaskan ke net ketika dirinya hampir menjadi poin penyumbang kemenangan? Mengapa Johnny harus mengatakannya dengan mulutnya sendiri? Mengapa fakta ini menyakitkan untuk Aleeah? Mengapa dirinya sakit hati? Mengapa? Aneh.
Aleeah hanya memutar bola matanya tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Dengan sisa tenaga yang ada dan kemampuan mengontrol emosinya, Aleeah berikan senyuman manis untuk suami sekaligus atasannya ini.
“Baik pak. Saya duluan, bapak hati hati jangan pulang larut larut” balas Aleeah dengan mata panas memerah.
“Selamat malam pak” lanjutnya lalu berjalan mundur dan menutup pintu dengan lembut. Sedetik kemudian ia berjalan cepat ke arah mejanya, menyambar tas yang telah ia siapkan sebelumnya dan pergi melalui lorong kantor yang mulai sepi.
Suara hak tinggi sepatunya menyapu seluruh sudut ruangan yang ia lalui. Bibirnya tetap tersenyum semenjak ia meninggalkan ruangan Johnny. Tak kalah dengan matanya yang mulai secara tiba tiba meneteskan air mata. Dengan keadaan kacau balau seperti ini, Aleeah tetap berjalan keluar gedung tinggi milik sang suami dan menunggu taxi untuk dalat segera kembali ke rumah.
Sementara Johnny. Duduk dengan frustasi sembari melempar hamparan kertas di depannya, menyadari apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Memepringatkan sang istri. Nafasnya memburu. Jantungnya beradu tetapi tidak jelas apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Rasanya sedak di dada.