When He About Worried

Aleeah mulai membereskan barang barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Selepas berkirim pesan dengan sang suami, Aleeah mulai menyusun rencana setelah bekerja. Pulang, scrub badan, keramas, ganti baju, pesen ayam, makan samyang, nonton moana, nyebat, tidur.* Inginnya malam ini. Biasanya, bahu Aleeah akan mulai kebas karena mengetik seharian, namun kali ini kaki, tangan, badan, pikiran bahkan hatinya ikut lelah habis habisan. Dihajar oleh tanggung jawab kantor dan kewajibannya menyanggupi permintaan Dissa untuk merawatnya selama beberapa hari membuat Aleeah mau tidak mau membagi waktu dengan Johnny, siapa di rumah sakit, siapa di kantor.

Baru saja dirinya dibuat senang oleh imajinasinya sendiri, lamunannya kemudian dibuyarkan dengan denting ponsel yang mengatakan bahwa ia harus segera menyusul ke rumah sakit karena suami dan sepupunya ini terlibat cek cok adu mulut. Dokter Dissa mengirim pesan sebelumnya. Pasalnya, Johnny benar benar melarang Dissa untuk makan makanan tidak sehat yang sebenarnya, jika Aleeah yang berjaga, makanan makanan ini adalah teman mereka mengobrol sepanjang hari selama hampir satu minggu kebelakang. Alhasil dengan segenap tenaga yang masih tersisa, mau tidak mau Aleeah membatalkan rencana selepas kerjanya, karena persepupuan ini bisa meninggal dunia salah satu jika mereka tetap dibiarkan adu mulut dan berada pada satu ruangan.

Dimulai dari keluar kantor, kakinya ia bawa untuk mendatangi sebuah toko pizza dan membeli lebih dari dua kotak disana. Selanjutnya kembali berjalan lagi menyusuri trotoar untuk membeli beberapa samyang pedas kesukaannya dan Dokter Dissa yang biasa mereka makan berdua apabila Aleeah dan Johnny sedang menginap di rumah mama. Terakhir, Aleeh berhenti di toko minuman yang menjual beberapa varian dengan toping kesukaan seluruh semesta dan orang orang telah sepakat menamainya boba.

Selesai dengan perbekalan, Aleeah kemudian mulai menepi di pinggir jalan untuk mendapatkan kendaraan menuju tempat dimana Dokter Dissa dan suaminya berada. Perjalanannya ditemani mendung yang mengungkung ini, akhirnya mengundang gerimis juga. Ada perasaan lega dalam diri Aleeah ketika punggungnya bertemu dengan sandaran jok belakang serta bau jalanan ketika hujan mulai berjatuhan, yang ia yakinin seluruh manusia di bumu ini candu dengan baunya. Petrichor. Maka Aleeah mulai membuka jendela. Membiarkan angin basah menerpa wajahnya sedikit demi sedikit.

Kedamaiannya tidak bertahan lama karena setelahnya suara si supir taxi membuyarkan sesi melankolis yang sedang Aleeah dalami.

“Mbak. Maaf banget maaf sekali saya harus puter balik. Mbaknya mau ngga turun di U turn depan sana? Istri saya melahirkan. Udah deket kok mbak rumah sakitnya” kata si bapak sembari sesekali mengecek hp dan memastikan kondisi Aleeah melalui kaca spion depan.

“Boleh pak” jawab Aleeah. Sebebarnya, sebelum kalimat ini terlontar, Aleeah sempat terperanjat beberapa saat. Mengapa tidak ada yang berjalan lancar untuknya hari ini? Ada apa dengan hari ini? Mengapa semesta bekerja amat ekstra untuknya? Alih alih mengeluh, Aleeah memilih tersenyun dan mengikuti kata takdir untuknya. Siapa yang tidak berbahagia ketika mendapat kabar bahwa buah cintanya akan segera hadir di dunia? Yang ia yakini dari sang ayah dan ibunda adalah, hari ketika ia dilahirkan adalah hari dimana ayah dan ibunya merasa menjadi manusia paling bahagia. Untuk itu, dari pada berkeluh kesah, Aleeah memilih untuk turut bersuka cita menyambut kedatangan sang jabang bayi.

“Disini aja nggapapa pak saya dulu atlet lari kok. Salam buat istrinya ya pak, semoga adeknya sehat dan pinter.” lanjut Aleeah sembari memberikan beberapa rupiah kepada si supir taxi yang kemudian senyum sumringah terbit dari bibir si bapak dan Aleeah memulai marathonnya berlari ke loby rumah sakit.

Bohong jika semua orang tidak menatap aneh ke arahnya ketika ia berdiri berjalan memasuki gedung dengan nafas terengah engah dan baju yang sudah menempel posesif ke seluruh badanya. Bahkan sepatunyapun ikut menyumbang tatapan tidak wajar karena bersuara amat dangat tidak manusiawi, yang akhirnya alih alih dipakai, Aleeah memilih untuk melepas dan menentengnya karena ternyata sudah penuh dengan air.


“Kamu renang dulu apa gimana?” tanya Johnny sewot ketika Aleeah mengeringkan rambutnya dengan handuk di depan cermin wastafel kamar mandi tempat Dokter Dissa di rawat. Pemilik kamar sedang sibuk membagi bagikan pizza ke rekan kerjanya dengan kursi roda di dorong oleh dokter lain yang juga temannya.

“Bapaknya istrinya mau melahirkan pak” jawab Aleeah mentap Johnny dari kaca di depannya. Intonasinya masih hangat disini. Demi Tuhan Aleeah kesal setengah mati. Sejak ia memasuki ruangan kamar Dokter Dissa, ia menemukan suaminya menatapnya dengan tatapan tidak suka karena dirinya yang basah kuyup. Entah apa maksudnya.

“Ya tapi ngga gini juga. Etikanya nganter kamu dulu baru ke rumah sakit.” balas Johnny. “Siapa? Kamu naik apa tadi?” katanya sembari mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Aleeah yang tau apa yang akan dilakukan sang suami kini mengehentikan aktivitas menggosok rambutnya lalu berbalik badan dan mulai Johnny dengan tajam dan kesal. Ia hanya basah kehujanan bukan kehilangan uang, mengapa Johnny menjadi begitu overact sampai akan menghubungi perusahaan taxi?

“Bapak mau ngapain?” tanya Aleeah sembari berkacak pinggang. Atensi Johnny yang semual diambil oleh ponsel pintarnya kini sudah sepenuhnya ke Aleeah. Menatap manik mata coklat yang selalu mengangumkannya.

“Siapa?” tanya Johnny dingin.

“Bapaknya buru buru istrinya mau melahirkan. Siapa tau emang ada apa apa makanya emang harus cepet cepet nyusul” jelas Aleeah sekali lagi. Suara Aleeah mulai meninggi.

“Ya tapi ngga biarin kamu basah kuyup begini, le.” balas sang lelaki tak kalah tinghi dari sang istri.

“Pak, kita ngga tau apa yang sebenernya terjadi sampe bapaknya berani bilang gitu ke saya? Saya yakin itu bapaknya udah mikir mikir seribu kali sampe akhirnya berani ngomong mau turunin saya.” jawab Aleeah. “Saya ngga papa pak. Pak Johnny liat saya, saya ngga papa. Kalo saya ngga mau saya bisa juga bilang ngga mau. Tapi saya ngga papa beneran saya ngga papa” lanjut Aleeah sembari mendongak agar bisa mendapat mata hitam sang suami.

Johnny hanya mengenduskan nafasnya kasar. Tetap dengan tatapan yang Aleeah tau kini apa maksudnya, Johnny khawatir. Johnny khawatir padanya.

“Saya nggapapa, ok? Bajunya basah nanti juga kering sendiri” yakin Aleeah pada lelakinya. Tatapan Johnny kini mulai melunak. Ia kemudian melepas kemeja putihnya dan memberikannya Ke Aleeah.

“Ganti, kalo sakit ngrepotin kaya si Dissa” katanya lalu meninggalkan Aleeah. Hidup serumah berdua nampaknya kurang bagi Aleeah untuk terbiasa dengan setiap pesona yang Johnny miliki. Berbalut kaos lengan pendek berwarna putih polos yang di keluarkan dari ikatan sabuk dan celana, bawahan kerja panjang berwarna hitam serta sendal rumahan membuat Aleeah sepersekian detik menahan nafasnya. Tidak pernah Aleeah pikirkan bahwa Johnny akan se-hot ini hanya berbekal kaos dalam (bukan kaos oblong).