The Tragedy And The Conversation
“Udah Li, jangan dimarahin terus anaknya” ucap Deka sembari mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Sementara Ali, sudah bersiap pergi ke alam mimpi lengkap dengan setelah tidurnya tetapi masih duduk bersandar pada kepala ranjang dan memainkan ponselnya, fokus sekali.
“Engga, aku cuman lagi ngomong, dikit” balas Ali dengan atensi yang tidak berpindah. Deka hanya menggeleng gelengkan kepala lalu mulai menyalakan hair dryer dan melanjutkan aktivitasnya. Merasa terganggu dengan suara yang mesin yang menyala, Ali kemudian menaruh ponselnya di nakas dekat meja kemudian turun dan membantu Deka.
“Kamu ngomong apa sama Ian?” tanya Deka sembari menatap wajahnya sendiri di kaca dan membubuhkan beberapa minyak ke atas mukanya.
“Ngelanjutin yang tadi. Kurang sebaris kamu ngajakin pulang terus” balas Ali.
“Kamu tu strict banget tau sama adekmu, jangan digituin Li, anaknya ngga nyaman lama lama” jawab Deka.
“Ya emang harus, kalo gak gitu nanti dia jadi anak yang ngga bener”
“Ya tapi kamu keterlaluan, Ali. Dari dulu banget lo” “Nanti kalo anak kamu cewe kamu gituin juga?” tanya Deka. Ali lalu menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Deka melalui kaca. Pendangan mereka bertemu.
“Dek, kita udah jadi suami istri gini, berarti udah jadi satu, aku pengen kita juga selalu jadi 'satu' kepala, 'satu'pikiran, 'satu' tujuan kaya apapun bentuknya.” “Jangan sampe nanti pas didik anak cara kita beda” ucap Ali terlihat serius.
“Iyaaaa, tapi aku ngga setuju sama cara kamu yang strict gini, ke Ian, ke anak kita apa lagi” balas Deka memutar badannya ke belakang menghadap sang suami. Ali kemudian berjongkok agar mulutnya mencapai runggu Deka.
“Aku ngga bakalan strict kalo anaknya bisa dipercaya, Dek. Coba kamu inget dari dulu aku mana pernah suruh suruh ian pulang kalo pas jalan, ngasi dia batesan harus pulang jam segini segitu? Engga pernah, dia pacaran pun aku rangkul, ajak pacarnya ke rumah sini abang pengen tau, pengen ngeband juga aku jabanin, yaudah ayok sama abang” “Kamu mungkin kaget aku tadi ngamuk sebegitunya, karena baru aku tinggal berapa hari ibaratnya, dia malah melenceng jauh kemana mana. Ayah, ibu itu ngga mungiin ngingetin Ian, kamu tau sendiri dia kalo ngeyel kaya gimana, jadi kalo bukan aku ya siapa lagi, Deka” jelas Ali panjang lebar. Deka hanya diam mendengarkan suaminya.
“Yang kamu maksud strict itu bukan semata mata aku kaya begitu, engga, aku ngejagain dia. Kalo sampe ada apa apa nanti aku juga yang salah” lanjut Ali.
“Tapi anak itu semakin dibebasin malah semakin punya rem buat diri sendiri, Li. Dia tau mana yang salah mana yang bener” bela Deka.
“Iya itu kalo kamu sama aku, apa ya as a first born kita jadi tau harus begini harus begitu tanpa bener bener perlu dibilangin sama orang tua, kamu pernah ngerasa tiba tiba punya tanggung jawab sebagai kakak ngga? Ngga pernah kamu aja ngomong kasar terus” ledek Ali.
“Apa apaan?” bela Deka.
“Sejak aku sadar Ian selalu ngikutin aku, aku jadi lebih punya kendali buat diri sendiri, makanya aku bilang dari dulu ke kamu, jangan ngasi contoh yang jelek, tapi kamu ngga mau denger” balas Ali. Deka kemudian menundukkan kepalanya, sedikit bersalah kepada Ale karena sedikit banyak, Deka berkontribusi pada hal kecil seringkas Ale yang tanpa sadar suka berkata kotor.
“Ngga usah nyesel gitu, diingetin aja Alenya baik baik. Itu kita Dek, itu kita. Ian, Ale, anak kita nanti itu bukan kita. Mereka ngga bisa jadi kita, pasti nanti anak pertama anak kedua punya pressurenya sendiri sendiri, tugas kita didik biar tau, biar ngerti, ngga bisa kalo disuruh sama kaya kita.” “Sekarang kamu liat Ale, Ian juga kaya kata kamu kemarin, kena semprot bunda kan? Ian juga gitu, jadi masih yakin mau bebasin mereka sebebas bebasnya kaya kita?” akhir Ali dengan pertanyaan.
Beberapa jam sebelumnya
Safirli Anna Aulia hanya sanggup menundukkan kepala ketika kakaknya dengan tegas menolak pinangan seorang laki laki akan dirinya di hadapan ayah, ibu serta keluarga sang pemuda.
“Saya ngga tau gimana saudara bisa seyakin ini dengan adik saya, tapi dua minggu menurut saya kurang kalau mau dilanjut sampai ke pernikahan. Jawaban saya, selaku kakak kandung dari Ian, sekaligus mewakili ayah ibu dan keluarga saya sudah jelas. Saya mohon maaf tapi pinangan saudara kami tolak” ucap Ali dengan tegas.
“Yan? Kamu yang nyuruh aku ke rumah, Yan?” balas sang pemuda menatap Ian yang bersembunyi di belakang Ali.
“Saya sekali lagi memohon maaf apabila adik saya pernah berkata demikian, tetapi jawaban saya masih sama. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada saudara, silahkan saudara kembali ke rumah saudara” balas Ali dengan nada suara yang dingin. Setelah kalimat tersebut, Ali kemudian berdiri dengan maksud agar tamu di rumahnya malam ini segera pergi. Seakan mengerti maksud Ali, kedua orang tua sang pemuda dengan hati yang lapang mulai pamit undur diri. Setelah bersalam salaman dan pergi meminggalkan pekarangan rumah Ali, lelaki berusia dua puluh empat tahun itu membanting pintu sedikit keras dan langsung menghujamkan tatapan tajam kepada adiknya yang masih setia menundukan kepala tidak tidak membuka mulutnya.
“Abang ngga ngerti sama jalan pikiran kamu, gimana maksudnya bisa nyuruh orang baru ketemu dua minggu ke rumah buat lamaran, ha?” ledak Ali seketika pintu tertutup. Deka yang berada di samping Ian-pun kini ikut ikutan menundukan kepala seolah mengerti akan kekecewaan yang Ali alami. Bahkan Ibu juga tidak berani menatap mata anak pertamanya. Hanya ayah yang mengangkat kepala tetapi juga tidak menemukan pandangnya dengan Ali. Dua puluh menit berlalu dengan suasana rumah yang mencekam karena Ali datang dengan amarah yang ia simpan. Setelah tamu pulang, bukan kembali mencair tetapi malah semakin menakutkan. Begitulah kira kira atmosfer rumah yang dapat mereka rasakan.
“Yang kamu punya sama Ditto itu sebanding sama dua minggu kamu dibaikin sama dia?” lanjut Ali. Rumah besar yang dulu ia tinggali kini hanya berisi aura dingin yang entah mengapa terbangun semenjak mobil Ali terparkir di depan rumah ini. Empat belas tahun berjalan mengenal Sabima Ali Aulia, membuat Deka dengan percaya dirinya merasa bahwa ia mengetahui segala seluk beluk lelakinya, tetapi malam ini ia merasa kecil di depan Ali. Pertama kalinya Deka melihat sisi Ali yang meledak seperti ini. Tidak ada kata kata hujatan seperi anj*g, bai dan teman temannya, tetapi setiap fakta yang Ali keluarkan menampar kepala orang yang sedang berhadapan. Tepat dan menusuk hati.
“Kok bisa kamu bilang dia lebih baik dari Ditto cuman gara gara dua minggu kenal terus dilamar? Bisa mikir ngga?”
“Dia ngomong mau serius, bang” bela Ian di tempat duduknya dengan berani menatap mata Ali.
“Ngomong doang abang juga bisa, Yan, tukang bakso yang ngga kamu kenalpun juga bisa kalo cuman ngomong doang mau serius. Abang ngga habis pikir sama kamu, bisa bisanya selingkuh? Ayah ibu abang ngga pernah ngajarin kamu buat kaya gitu!” balas Ali lebih tajam dengan suara yang lebih meninggi.
“Ia ngga selingkuh!” bela Ian.
“Ditto tau? Ditto tau dia kesini? Tau Ditto kamu dilamar orang lain? Sebelum dia kesini pasti udah ada kontak kan berdua, Ditto tau? Kamu bilang ada chat sama cowo lain?” tanya Ali pada adiknya. Kalah telak. Ian menundukkan kembali pandangannya.
“Kamu itu salah dek. Kalo mau sama dia bilang baik baik ke Ditto. Gak main belakang begini, mikirin gak nanti gimana perasaan Ditto? Dari SMA lo, nabung berdua apa apa berdua. Kalo semisal bukan Ditto orangnya ya ngga papa, tapi ngomong baik baik, jangan begini. Abang gak pernah ngajarin. Bukan masalah dilamarnya, masalah main belakangnya yang abang ngga setuju sama sekali.” lanjut Ali. Ian mulai diam merenungkan kesalahannya. Sepersekian detik dalam ingatannya ia mulai membayangkan wajah kekasih hatinya yang mungkin akan sangat kecewa.
“Kalo emang dia jodoh kamu ya abang itu ngga papa, lagian selama ini Ditto juga belum ada kepastian buat kesini minta kamu baik baik, tapi ngga gini dek, caranya. Nikah itu sakral, abang emang baru beberapa bulan nikah, tapi abang tau nikah itu sakral, ibadah seumur hidup, kalo mau mulai jangan dimulai sama hal buruk kaya gini” ucap Ali dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.
“Maaf” ucap Ian mulai bercucur air mata. Deka kemudian memeluk adik iparnya dengan maksud memberikan kenyamanan dan bersimpati atas kesalahan yang ia sadari.
“Minta maaf ke Ditto nduk, minta maaf ke Juan juga, kamu yang salah” ucap Ibu menenagkan anak bungsunya. Ian tidak menjawab, ia kemudian beralih memeluk sang ibunda.
“Maafin ibu ya, maaf ibu harusnya tau kamu cuma pengen nikah, maaf ya” balas Ibu sembari mengusap punggung Ian.
“Ian yang salah. Maaf” balas Ian masih menangis. Sementara Deka di sampingnya hanya menatap ibu mertua dan adik iparnya sembari sesekali mengusap air mata. Ikut merasakan derita yang Ibu dan Ian terima. Hatinya tersentuh melihat Ian dan Ibu saling baku memeluk menenangkan satu sama lain. Atensinya kini berpindah ke Ali. Laki laki yanh masih berdiri di depan pintu itu menatap teduh ke adik dan ibunya sembari mulai melipat tangan ke depan dada. Ada perasaan bersyukur yang Deka rasakan karena ia menikahi Ali. Sabima Ali Aulia yang telah membangun segudang rencana untuknya dan keluarga kecilnya di masa depan. Sabima Ali Aulia yang selalu punya caranya sendiri untuk melindungi orang orang yang ia sayangi. Dalam diamnya menatap sang lelaki, Tuhan mendengar beribu ribu ucapan syukur karena Ali adalah miliknya.
“Udah bang, wis wis udah” tenang sang ayah sembari merangkul dan menepuk nepuk pundak sang anak lelaki.
“Ngomong sama Ditto baik baik, kalo emang mau sama yang dua minggu suruh ke ayah terus ke abang dulu” ucap Ali dengan maksud mengakhiri pertikaian malam ini.
“Mau sama Ditto aja” balas ian tetap dalam dekapan ibunya.
“Udah tau resikonya?” tanya Ali.
“Putus” jawab Ian dengan air mata yang hampir tumpah kembali.
“Bagus kalo tau” final Ali malam ini.
“Tapi kalo anaknya cowo terus berantem gimana, Li? tanya Deka sembari menyamankan kepala di lengan sang pria.
“Ya ngga papa, namanya juga cowo, biarin aja, yang penting ngga tiap hari, ngga sering sering” jawab Ali sembari mulai mengusap surai hitam istrinya dengan lengan yang juga sama sama dibuat bantal oleh Deka. Sementara satu tangannya lagi sibuk dengan sesuatu dalam ponsel pintarnya.
“Kok gitu? Kalo dia sakit nanti gimana? Berantem kan pasti ada yang luka luka”
“Exactly ada yang luka luka jadi kalo mau berantem ya ngga boleh kalah. Kalo kalah mending ngga usah berantem aja, kalo sampe ada yaudah tinggal diobatin” balas Ali enteng.
“Tapi kan berantem itu hal jelek, Li. Ngga baik” elak Deka.
“Dia berantem juga pasti bukan buat seneng seneng, Dek. Pasti ada alasannya. I promise you anak kita ngga akan ikut tawuran, mabok mabokan, ngeroko narkoba dan kawanannya itu” janji Ali tiba tiba.
“Caranya?” tanya Deka.
“Sama aku.”
“Hah?”
“Sama aku, kalo mau nyoba minum sama aku, kalo mau nyoba ngeroko sama aku, apapun boleh pokonya harus sama aku. Anak anak baru remaja itu emang selalu curious banget sama sesuatu, kalo belom nyoba sendiri belom percaya, dari pada kita larang larang mending aku ikut aja sekalian biar bisa handle langsung anaknya gimana” jawab Ali. Kini ia mulai menaruh ponselnya dan berbicara sembari menatap Deka.
“Dosa” balas Deka.
“*We all are sinners, aren't we?” tanya Ali dengan wajah jahil seraya mengendikkan bahunya.
“Ih” Plakkkk sebuah tangan menampar lengan Ali.
“Hahahha, resikonya gede, Dek. Mau anak cowo apa cewe gede. Yang minum yang ngeroko bukan cowo doang, cewe juga. Mereka bakalan gitu apa engga, itu tergantung sama kita gimana ngajarinnya” balas Ali tetap mengusap surai sang istri.
“Tapi gedean resikonya anak cewe ngga si?” tanya Deka mendongakan kepalanya agar mendapat netra sang suami.
“Ngga juga, cewe dihamilin tapi cowo ngehamilin, yang tanggung jawab juga tetep cowonya kan, mau cowo mau cewe semua beresiko, Deka. Dari pada takut overthinking sama masa depan mending kita belajar aja banyak banyak how to be a good parent mulai dari sekarang” balas Ali. Deka kemudian tersenyum. Masih saja ia kagum kepada isi kepala Sabima Ali Aulia, suaminya yang kini memeluknya di atas tempat tidur.
“Coba ngomong sama dia, suruh jadi baik” ucap Deka mengelus perutnya yang rata. Ali tersenyum dan bangkit agar bisa mencapai perut istrinya. Sejurus kemudian ia mengusap perut Deka dan mengetuk ngetuknya pelan.
“Kamu denger ngga tadi? Papa sama bunda ngomong banyak, tapi kamu ngga usah takut ya, nanti papa sama bunda pasti nyebelin banget, tapi semua ada alasannya kok. Jangan takut ya, papa sama bunda begitu karena sayang sama kamu. Ok?” monolog Ali seorang diri.
“Katanya minta cium” balas Deka dengan senyum mereka di wajahnya.
Cupppp
“Udah kan? Kamu minta apa lagi sekarang? Papa turutin, sekarang tapi ya? Lima menit lagi papa mau tidur soalnya” ucap Ali lagi.
“Katanya suruh cium bunda juga” balas Deka. Ali kemudian memasang wajah ceriga.
“Ini dia yang minta atau kamu yang modus?”
“Kata anak kok” belas Deka. Ali kemudian merengkuh tengkuk kepala istrinya dan menyatukan pungutan mereka. Ali dan Deka sama sama tersenyum di tengah tengah kegiatan.
“Ali” “Ali” ucap Deka setelah cukup lama dan mulai kehabisan nafas. Ali dengan segera menghentikan ciumannya dan menatap Deka dengan lekat. Didapatinya seorang perempuan sedang terengah engah meraup udara sebisa mungkin karena tidak cukup mampu mengimbangi permainan Ali.
“Hahaha sorry” balas Ali lalu ia sekali lagi menyibak baju sang istri dan memberikan kecupan hangat untuk sang buah hati.
“Good night baby, i love you to the moon and the saturn” ucapnya. Lalu sekali lagi mengecup bibir dan pucuk kepala istrinya, menarik Deka masuk kembali ke pelukannya dan mulai menjemput mimpi.
Malam itu untuk pertama kalinya Deka lihat sisi lain Ali, yang ternyata selama ini selain dirinya sendiri, Ali sudah lebih dulu memikirkan bagaimana nanti kedepan ia akan membawa keluarganya. Malam ini sekali lagi Deka bersyukur karena Ali memilih ia sebagai wanitanya.