Then We Met
Deka membuka matanya dengan nafas yang tercekal cekal ketika Ali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Jantungnya berdegup kencang tatkala jemari sang suami menari di atas dahi lalu perlahan turun ke ke atas perut membalik kaos kebesarannya.
Udara pukul empat pagi agaknya kalah dengan atmosfer panas yang Deka dan suami ciptakan sejak jarak dua bulan lalu yang mereka lalui. Ali menatap manik mata istrinya lekat, seolah ingin menyelami kehitaman iris mata yang Deka punya. Sementara sang istri, mendongak juga, menatap mata sang suami yang sudah lama tak menyambanginya.
Masih tidak ada percakapan yang mereka ciptakan. Tidak ada kata kata manis yang mengudara karena sejak kembalinya Ali beberapa menit sebelumnya, ia dan Deka hanya sama sama saling menyalurkan rindu dan berbincang melalui kecupan. Decakan decakan ringan yang mulanya dibangun berubah menjadi ciuman menuntut yang membawa keduanya berpindah dari kamar Gloria ke kamar mereka sendiri. Seolah tidak mengizinkan sang anak melihat bagaimana dulu dirinya dicipta.
Setelah tenggelam cukup dalam di mata sang wanita, Ali kemudian kembali menjamah bibir Deka. Melumatnya perlahan. Lembut sekali seperti pertama menjalani. Bedanya, tidak ada rasa gugup seperti kali pertama karena saat ini mungkin sudah ke 12137694,8 kalinya untuk mereka berdua.
Berbeda dengan Deka. Wanita dengan wajah kacau kelelahan yang masih cantik dimasukan dalam ingatan ini merasa gugup setengah mati karena suaminya yang selalu sama. Entah yang ke dua ke tiga atau ke seratus kalipun, Ali selalu sama. Berada di bawah dada sang lelaki, dalam kungkungan Ali seperti ini selalu membuat Deka merasakan debaran jiwa yang selalu gagal ia netralkan.
“God” ucap Ali ketika melihat bekas luka jahit di perut Deka ulah anak mereka berdua.
“Beautiful isn't?” tanya Deka dengan suara yang susah payah ia keluarkan dari tenggorokannya. Agaknya sang wanita hanya ingin menikmati setiap sentuhan yang lelaki berikan.
“Always. Sorry” balas Ali merasa bersalah melihat saksi nyata kelahiran anaknya yang bahkan dirinya tak bisa ada disana. Ia menundukkan mata. Bekas luka jahit di perut Deka menampar Ali untuk kesekian kalinya semenjak ingatannya kembali. Membuatnya lagi dan lagi merasa tak berguna sebagai seorang ayah dan suami. Melihat Ali yang hanya mengusap lembut perut ratanya, Deka tau mungkin kegiatan pagi dini hari ini tak akan berlanjut.
Karena sudah kepalang dimulai, Dekapun mencoba meyakinkan lelakinya “Ali, it's ok. Remember i said that i can't? I did. I passed that hard time by thinking of you every single second. You were there. Kalo aku ngga mikirin kamu aku ngga bakalan disini sekarang. It's ok kamu disana, Ali” ucap Deka sembari mengusap rahang suaminya.
“You are stronger than you seem Dek. Proud of you” balas Ali mengambil tangan sang istri lalu mengecupnya.
“You married a powered woman, remember?” tanya Deka. Ali kemudian terkekeh. Ia menaikan pandangnya dan kembali menangkap netra Deka. Tersenyum penuh harap seraya menangkap sinyal hijau yang sang wanita berikan.
“Fly me to the moon, Ali” minta Deka ketika ia sadar bahwa suaminya tidak ingin melanjutkan kegiatan lebih dalam.
“Fill me, touch me, kiss me, do whatever kaya pertama kali” lanjut Deka.
“I wont hurt you” balas Ali memainkan anak rambut sang istri.
“No. I want you, you want me too, aren't you? Just do Li, don't make me beg” balas Deka merasa putus asa.
“Stop me whenever you feel uncomfy. Stop me whenever you want to stop. You take the control, Dek” balas Ali. Deka mengangguk yakin sebagai jawabannya. Selanjutnya tidak ada lagi kata kata yng dapat menggambarkan keadaan mereka berdua. Deka dibuat gila ketika Ali secara sadar dan perlahan mengecup setiap inci garis yang membentang di perutnya. Menyusuri jalan keluar yang sang anak buat hasil dari ulahnya juga.
Kaitan pada mata Deka semakin dalam berbarengan dengan cengkramannya yang tadi ada pada seprai berpindah ke pundak sang lelaki ketika dunianya dibuat berantakan karena permainan yang Ali mulai. Hentakan demi hentakan tercipta seiring dengan erangan erangan lega yang keluar dari mulut Deka.
Surga mana yang kali ini mereka datangi? Bagi Ali ini adalah kenikmatan dunia yang sudah hampir ia lupa bagaimana bentuknya. Sementara untuk Deka, tempat indah kali ini masih saja seperti pertama bersua. Selalu sama dan tidak pernah berubah, sesekali tempat ini malah menjadi lebih indah.
Setelah decakan demi decakan terjadi, kalimat kalimat pujian sorak sorai dilontarkan, keringat demi keringat diusap, Ali kemudian menjatuhkan diri di samping sang istri. Merangkul Deka erat yang menutup mata menikmati setiap proses pelepasan yang baru saja terjadi. Nafas keduanya masih saling beradu walau tubuh mereka tak lagi menyatu. Deka lelah. Baik Gloria dan Ali agaknya memang tak membiarkan ia bernafas lega seharian ini.
“Tidur” ucap Ali sembari mengecup mesra dahi sang wanita ketika Deka memaksakan membuka mata.
“Aku takut” balas sang wanita.
“Why?” tanya Ali lagi. Dengan sedikit mundur agar bisa menatap wajah Deka lama lama.
“The last time i closed my eyes, i lost you. Kamu ada tapi lupa. Terakhir kali aku tidur, pas bangun kamu ngga inget apa apa. If this is a dream, so don't wake me up. Soalnya mimpinya cantik banget, Li. Aku mau disini aja” balas Deka bersusah payah membuka matanya. Bahkan tubuhnya sudah tak lagi bertenaga.
“Sorry” balas Ali. Matanya kini berpindah. Tak lagi menaruh atensi kepada sang istri.
“It's not your fault. Itu bukan salah kamu Ali. Kita cuman lagi apes aja, kena musibah. You told me. Ngga papa. Jangan salahin diri sendiri. Bukan salah kamu” balas Deka dengan mata yang lebih segar. Ia mengusap rahang suaminya yang mulai mengeras menahan air mata.
“Aku harusnya denger kata ibu, kata bunda, kata Ale buat ngga ngajak kamu pergi. Kalo kita ngga pergi sore itu, aku liat Gloria lahir, aku temenin kamu berjuang, aku bantuin kamu urus dia dua bulan belakangan. Dek, aku kaya malu banget sama kamu. Apa ya, kenapa kamu ngga pergi aja? Gimana bisa kamu tetep disini padahal aku beneran hampir bunuh kamu” balas Ali masih enggan menatap mata sang istri. Lagi. Perasaan bersalah itu, datang lagi.
“Yang penting aku sama anak ngga mati, Li” balas Deka. Ali kemudian melemparkan pandang kepadanya. Bagaimana bisa Deka menjawab kalimatnya dengan kata kata sekasar itu?
“Kamu tau apa doaku pas aku sadar aku udah di rumah sakit tapi ngga ada satu orangpun yang nyebut nama kamu? Aku kira kamu udah ngga ada, Li. Terus aku berdoa, 'Tuhan, kalo diambil satu, ambil semua. Kalo hidup satu hidup semua' makanya aku ngga pernah sekalipun ngeluh depan kamu pas kamu lupa kemaren itu” lanjut Deka.
“Aku tau omongan aku ini tambah bikin kamu ngerasa bersalah lagi kan? Good for you then. Bagus. Kamu ngerasa bersalah terus aja sampe kamu bingung gimana caranya tanggung jawab sama perasaan kamu sendiri sampe kamu sadar satu satunya hal yang kamu bisa lakuin cuman hidup. Dunia itu sejahat itu Li. Mau kamu ngerasa bersalah sampe rasanya malu ketemu aku lagi, dia ngga bakalan ngerti. Dunia ngga mau nunggu. Aku ngga pernah sekalipun mikir ini salah kamu. Kamu ngga seharusnya disini. Kamu harusnya mati aja, engga. Ngga pernah sekalipun. Kalo kamu masih ngga ngerti lagi apa alasan aku ngomong kaya gini? Aku bakalan ngomong lebih kasar lagi, lebih jlep lagi biar kamu sadar” jelas Deka panjang lebar. Matanya yang tadi setengah menutup, kini terbuka lebar bahkan menampung beberapa air di pelupuknya. Suaranya yang tadi lemah. Kini berganti tegas dengan beberapa rasa putus asa untuk meyakinkan.
Ali tidak menjawab. Ia menarik Deka lebih dekat. Memeluknya erat sembari terus memberikan usapan pada punggung sang puan. Seolah memberikan jawaban bahwa ia mengerti. Ia mamahami maksud Deka. Bukan untuknya maupun untuk Gloria. Deka hanya meminta Ali memaafkan dirinya sendiri lalu menjalani sisa hidup yang Tuhan berikan melalui doa Deka beberapa bulan sebelumnya.
“Aku ngga mau denger kamu minta maaf lagi. Aku ngga mau liat kamu ngerasa bersalah lagi, Ali. Aku sayang sama kamu lebih dari apapun *and i hope you do that too” lanjut Deka dalam dekapan suaminya.
“I do. I do love you Dek. *Always” balas Ali. Lalu ia memeluk sang istri lebih erat. Menyalurkan semua rasa yang ada. Ali benar benar menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pagi ini.
Suarakan dengan ramai rasa terima kasih sebesar besarnya kepada Gloria Rudine Aulia yang tidak menangis ketika kedua orang tuanya merajut kembali cinta mereka. Usianya baru dua bulan. Kebetulan atau bukan, tapi Gloria layak untuk segala macam bentuk kebahagiaan. Pagi ini, melalui tatapan mata, decakan cium, dekapan hangat, usapan keringat, Ali kembali kemana seharusnya dirinya berada. Sementara Deka, melalui penantian panjangnya, melihat kembali lambaian tangan Ali yang sempat menghilang dari netranya. Mereka tidak mengulang. Hanya sama sama kembali dan menerima, karena baik Ali maupun Deka, sama sama mencintai sebegitu lebihnya.