We Don't Know
“Dek?” panggil Ali menatap istrinya yang terlihat terus memandang ke depan dengan sorot mata yang kosong. Pukul empat sore ini mereka habiskan di dalam mobil dengan guyuran hujan yang rintiknya memenuhi rungu mereka berdua.
“Deka?” panggil Ali lagi sembari memegang tangan mungil Deka yang sedang memegang sebuah foto hitam putih yang entah apa gambarnya.
“Sayang?” panggil Ali untuk ke tiga kalinya. Tanpa balasan sang puan, Ali pun merengkuh tubuh Deka dan memeluknya erat, mencoba menyalurkan kekuatan yang ada. Deka kemudian menangis. Air matanya tiba tiba menetes begitu saja ketika wajahnya di hadapkan dengan daksa bidang yang selalu menjadi tempat favoritenya untuk mengadu ketika dunianya sedang tidak baik baik saja. Setelah menahan dan mencoba, Deka runtuh juga.
“Ali aku hamil” ucap Deka di sela sela tangisnya. Ali tidak menjawab. Ia hanya terus memeluk sang wanita sembari mengusap punggung Deka berharap sang puan mengerti bahwa semua akan baik baik saja nantinya.
“Kita gimana Li?” lanjut Deka membuka pelukan. Menatap wajah tampan sang suami. Ali meringis melihat muka Deka yang penuh air mata. Hatinya menciut, perasaan menyesal muncul disana. Tidak ada jawaban dari mulut Ali.
Terima kasih dan maaf
Adalah dua kata yang Ali pikiran sedari ia dan istrinya masuk ke dalam ruangan dokter beberapa waktu yang lalu. Ruangan penuh gambar persalinan itu seakan memutus harapan Deka akan gambaran masa depannya dengan Ali. Apalagi ketika dokter mendakwa bahwa Deka telah berbada dua, runtuh seketika dunianya. Seolah merasa bahwa masa depannya akan ia habiskan di rumah memakai daster lusuh dengan suara tangis bayi menggema di telinga. Deka bahkan sekalipun tidak pernah memikirkan hal tersebut. Ia mencintai hidupnya saat ini, bangun pagi pergi dan pulang pada sore hari, Deka jatuh cinta.
Berbeda dengan Ali. Pikirannya dari tadi melanglang buana, haruskah ia berterima kasih pada sang istri karena ia menyimpan bayi mereka sedangkan rencana mereka ke depan mungkin akan berubah total? Atau memohon maaf pada Deka karena ia mengandung anaknya yang jelas jelas hal ini sama sekali bukan salah Ali. Kehamilan Deka di luar kuasa manusia.
“Mau digugurin aja gak?” tanya Ali akhirnya. Deka sontak menghentikan air matanya lalu menatap tajam ke arah sang suami. Menyorot setiap hembusan nafas yang Ali ambil sebagai dosa karena ucapannya barusan kepada sang jabang bayi.
“Lo yang gue gugurin duluan kalo sampe lo berani sentuh anak ini. Gila lo anjing” balas Deka akhirnya. Ali kemudian berbalik menatap ke depan seraya menarik rambutnya frustasi. Diikuti Deka setelahnya.
Hening cukup lama hingga dengan hati hati, Ali kembali membuka kata di antara mereka “Dek, lo mau hamil kan tapi? Kalo bisa di pindah ke gue, pindah ke gue aja.”
“Gue ngga siap, Li” jawab Deka. “Gue punya cita cita karir yang mau gue ambil. Lo tau planning gue dari awal apa. Gue bukannya gamau kalah sama lo, engga, tapi lo enak bisa kerja, jalan sana sini, nah gue? Baru dua minggu Li, tapi kerjaan gue keteteran. Belom lagi nanti kalo anaknya lahir, gue lagi yang ngalah. Ini hamil pake badan gue, nanti lahir harus sama gue lagi. Gue belom siap Li, kalo sekarang.” lanjut Deka. “Gue bukannya gamau punya anak, mau. Tapi engga sekarang, gue masih pengen ini itu” final Deka dengan suaranya yang bergetar. Ali masih diam. Benar. Apa yang Deka ucapkan benar. Anaknya meminjam tubuh Deka, nanti ketika sudah terlahir ke dunia, anaknya juga akan lebih memerlukan Deka. Ali tersesat saat ini. Pikirannya buntu.
“Sama gue Dek” jawab Ali akhirnya. Ia menoleh ke arah sang wanita. “Bagi sakitnya sama gue, lo yang hamil gue yang kerja, lo yang lahirin gue yang rawat, lo yang taruhan nyawa gue yang berdoa. Ada gue Dek. Bagi sakitnya sama gue. Lo ngga sendirian, kita hamil berdua, ya?” minta Ali pada sang istri. Deka masih tidak menjawab. Ia hanya terus memandang mata coklat suaminya, mencoba meyakinkan diri sendiri disana.
“Lo tapi harus janji ngga boleh tinggalin gue gimanapun gue nanti, gimanapun keadaan gue, Li” balas Deka. Ali kemudian mengangguk dengan setuju.
“Gue janji” jawab Ali. Deka kemudian merentangkan tangannya meminta sebuah daksa.
“Maaf ya Dek, jujur gue ngga tau nanti gimana kedepannya, tapi lo punya gue. Kalo mau hancur kita hancur berdua, pegangan tangan terus ya Dek. Aku sayang kamu, banget” final Ali kepada sang wanita. Tidak ada jawaban dari Deka, ia hanya semakin mengeratkan pelukannya kepada Ali. Jika boleh dilihat, baik Ali maupun Deka masih sama sama penuh dengan pertanyaan, keragu raguan, bagaimana nanti ke depan, apa yang harus mereka lakukan, ini adalah tanggung jawab yang besar terlepas mereka berdua sadar bahwa hamil adalah resiko yang mengintai.
Sore itu dua manusia sok tau ini sedang mencoba memantapkan hati, membulatkan niat dan mengompori semangat karena mereka tau, dari pada hari ini, hari esok akan lebih keras lagi. Selamat memulai, Deka dan Ali.