Without You

Terang cahaya yang mataku tangkap ketika aku membuka mata adalah terang cahaya rumah sakit yang menyilaukan. Lampu lampu ini sama sekali tidak membantuku mencari tau apa sebenarnya yang terjadi setelah aku memejamkan mata beberapa waktu tadi. Benda tumpul macam apa yang menghantam kepalaku dengan begitu bebasnya? Ahh ini mungkin bukan lagi hantaman biasa, dengan rasa sakit seperti ini, mungkin bisa saja aku sudah tak memiliki kepala. Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa manusia hidup tanpa sebuah mahkota di tubuhnya? Aneh. Bahkan pikiranku masih saja aneh ketika mungkin nyawaku sedang diperjuangkan oleh beberapa orang dengan title title panjang berjas putih di belakang nama mereka.

Aku meraba anakku yang tidak bergerak di dalam perut. Jam jam seperti ini, biasanya dia sedang bermain bola atau berlatih silat karena gerakannya yang terlampau hebat hingga perutku tak lagi berbentuk bulat. Namun malam ini berbeda. Aku merasa denyut nadinya tak lagi ada di bawah sana. Delapan bulan lebih aku membawanya kemana mana, walau belum pernah bersua, tapi aku bisa menyerahkan hidup dan matiku untuk Gloria.

Gloria Rudine Aulia. Berarti kemanangan milik Ali yang ia bangun atas dasar kasih sayang. Diberikan papa kepada anaknya pukul dua malam ketika aku lagi lagi membuat sebungkus mie instan dan memakannya dengan tenang. Aku sempat tidak terima karena hanya nama Ali yang disematkan padahal aku yang mengandungnya berbulan bulan. Namun Ali lagi lagi memenangi juara pertama karena ia dengan pintarnya berkata bahwa sebagian dari dirinya adalah aku, maka nama Aulia yang kini juga menjadi nama belakangku, adalah aku dan dirinya di nama anak kami berdua. Dan dengan bodohnya pula, aku mengiyakan ucapan suamiku yang sudah jelas jelas hanya pembodohan semata.

Berbicara tentang Ali, dimana batang hidung laki laki yang sangat ku cintai ini berada? Kali terakhir mataku merekamnya adalah ketika mobil kami porak poranda karena gas yang ia injak dengan lumayan dalam beradu dengan rem setelahnya secara tiba tiba. Aku tidak begitu tau bagaimana persisnya, tapi aku ingat bahwa sepersekian detik setelahnya, kepala Ali berdarah hingga seluruh bajunya basah.

Aku bahkan tidak sempat berdoa kepada Tuhan selain kalimat dalam hati yang berkata dengan amat memohon “tolong selamatkan kami.” Kami dalam doa yang ku langitkan tak lagi tentang aku dan Ali, tetapi ada nama Gloria yang selama delapan bulan sebelumnya membawa banyak pelajaran di hidup kedua orang tuanya.

Jika aku boleh memutar waktu, aku ingin menuruti apa kata bundaku. Duduk diam di dalam rumah, atau hanya sekedar berpindah tempat tidur ke hotel dengan pemandangan lampu kota yang menjanjikan, dari pada membawa badan yang sudah sangat besar ini berkemudi menuju lain kota dengan alasan yang sama, sehingga kejadian traumatis sore ini tak akan terjadi. Tetapi bukan itu kunci utamanya, kata utama dari perjalananku dan Ali sore ini adalah berkendara. Maka untuk berkendara, kami butuh dua tempat sebagai tempat pergi dan tempat datang.

Sebenarnya, sudah aku pikirkan apa yang akan kami lakukan ketika kedua kaki kami menyentuh tanah dimana Bandung di bangun dengan begitu megahnya. Tetapi rancana manusia tinggalah rencana, karena mau semulus apa hidup yang kami buat, Tuhanlah yang memiliki kuasa.

Dengan perasaan yang amat sangat menyesal, aku masih terus mencari cari dimana Ali. Mengapa dari banyaknya suara yang telingaku dengar, tidak ada satupun suara Ali yang aku kenali?

“Dekaaaaaaaaaa, dokter tolong anak cucu saya” itu bunda. Raungan suara bunda yang begitu menyakitkan aku rasakan sedari tadi terus memohon kepada pria berjas putih agar mempertahankan nyawaku di dunia. Aku dan gloria. Lagi lagi aku mencari dimana Ali berada? Mengapa tidak ada yang memohonkan Ali doa? Bukankah suamiku lebih membutuhkannya?

“Dekaaaa, astaga Dekaa” yang ini suara ibu. Ia memegangi tanganku yang aku sendiri tudak kuasa menggerakannya. Menyebut Tuhan, sama dengan yang ku lakukan, agar mempertahankan hidupku dan Gloria, bedanya, aku berdoa untuk Ali yang tidak ku dengar sama sekali bagaimana kabarnya. Kamu masih disini kan, Li?

“Bayinya kami tindak untuk yang pertama” ucap salah seorang dari mereka yang aku tidak tahu siapa namanya.

“Apapun, tolong kami dokter” suara Ale yang terdengar bergetar. Itu Ale, adikku yang tidak pernah secara terang terangan menunjukan cinta kasihnya kepada ku. Tapi secara ajaib pula aku tau bahwa Ale amat menyayangiku. Tidak ada suara lagi yang aku tangkap ketika suara roda brankar tempatku berbaring sekarang sedang di dorong lagi namun dengan kecepetan lebih besar. Terakhir kali aku mendengar suara wanita yang menangis dengan keras yang sudah pasti ibu dan Bunda adalah pelaku utamanya. Lagi lagi kali ini, dinding dinding rumah sakit lebih tau bagaimana doa tulus seseorang dilangitkan.

Mataku menyipit ketika kepalaku semakin berdenyut karena cahaya yang aku lihat semakin terang dari sebelumnya. Aku takut. Ruangan ini dingin. Bau obat obatan yang tak ramah dihidungku masuk begitu saja ke dalam paru paru. Aku takut. Anakku pasti baik baik saja kan? Karena sejurus kemudian, aku baru sadar jika kakiku terasa sangat lembab dan basah. Ini bukan air. Aku yakin ini bukan air, karena alirnya yang terasa begitu kental. Anakku akan baik baik saja bukan? Aku kembali ketakutan karena belum juga aku dengar suara Ali di telinga.

Kemana perginya? Bukankah aku sudah pernah berucap bahwa jika Ali tidak ada di sampingku ketika aku memberikan hidup kepada anak kami, aku tidak akan bisa? Kemana perginya Ali? Aku takut. Aku hanya ingin mendengar suaranya sekali saja jika ini memang akhir dari cerita kami berdua. Tapi kemana perginya laki laki ini? Ali, kamu masih disini, kan? Ingatanku selanjutnya adalah kegelapan yang disengaja karena ketika sebuah benda dipasangkan begitu saja di atas hidungku, aku mulai mengantuk, sesudah entah untuk kali keberapa aku memanjatkan doa agar kami tetap dibiarkan, di dunia.