You Better Say Sorry
Wanita dengan rambut panjang sepunggung itu bahkan tidak menangis, ketika jemarinya dengan gemetar menganggeman kemudi mobil yang melaju di bahu jalan. Jantungnya berdegup dengan kencang tat kala sang adik iparnya memberi tahu dimana letak suaminya berada. Yang membuatnya lebih tak kuasa menahan diri adalah, fakta bahwa laki laki yang menyandang status sebagai ayah dari anak anaknya ini tengah hancur dihajar sang papa mertua.
Ini di luar kuasanya. Sudah sejak satu minggu yang lalu coba Shannon tutupi agar tak tercium hidung tajam keluarga, tetapi usahanya gagal juga. Hari ini, mungkin sudah ditakdirkan bahkan jauh sebelum dirinya bernafas dengan bebas di dunia, bahwa hari kehancuran Shannon dan Jaehyun telah tiba setelah beberapa tahun bahtera rumah tangga mereka dibangun.
Gerbang putih tanpa aksen yang Shannon lihat dari jatak dekat itu ternyata sedang terbuka. Tanpa babibu banyak pertanyaan, ibu dua anak ini segera memutar setir mobilnya dan memarkir si kereta besi sembarangan agar segera dapat mencapai pusat dunianya. Di dalam rumah luas berukuran tak terhingga itu pula, Shannon dengar dari luar dengan jelas suara seorang laki laki, setengah berteriak, menggema di telinga.
“Ini yang kamu contoh? Kaya begini?! Papa malu punya anak kaya dia.”
“Liat Jeno! Mbak Nona kurang apa sampe dia cari perempuan lain?! Kamu itu ngga bersyukur!” Lanjutnya.
Plakk
Satu tamparan agaknya menyusul di pipi entah sebelah mana, karena suaranya yang keras tak kalah dari suara berat sang ayah mertua. Mendengar suasana benar benar kacau karenanya, Shannon segera membawa langkah kaki gontainya untuk masuk ke dalam rumah. Jika tidak dapat diselesaikan, maka setidaknya suaminya tidak berakhir berantakan.
“Nona?” ucap mama lirih ketika mendapati sang menantu tengah berlari menyusul sang suami. Jeno dan mama yang berdiri di samping papa hanya dapat diam dengan penuh perasaan was was ketika seorang lainnya ikut bergabung.
Tidak ada hal lain yang dapat wanita paruh baya dan remaja laki laki ini lakukan untuk membantu si sulung karena perbuatannya kali ini memang di luar kendali. Dengan sumpah serapah yang sudah berhenti keluar dari mulut sang ayahanda, Shannon Adeline Jung duduk bersimpuh penuh sesal di hadapan mertua serta adik iparnya. Kedua tangannya mengepal di atas paha seolah menahan segala sesak yang ada. Seolah dengan meremas kedua permukaan tangannya sendiri diam diam, kesakitan yang ia rasa beberapa hari belakangan akan turut menghilang. Kepalanya tertunduk seakan ia siap menerima segala macam omongan busuk yang ditujukan untuk lelaki yang ia sayangi sepenuh hati, yang wajah tampannya sudah tak berbentuk lagi berada tepat di belakangnya. Seakan segala macam kekacauan yang Jaehyun ciptakan hari hari ini, siap untuk Shannon bereskan walaupun bukan ia biang keroknya. Shannon selalu bersedia menjadi garda terdepan untuk siapapun orang yang ia sayang.
“Bangun.” bariton rendah yang keluar dari mulut sang papa agaknya menyapa gendang telinga siapapun yang ada disana dengan sedikit desir khawatir di dalam hati.
“Bangun, Nona bangun!” ulang sang mertua. Masih tidak ada jawaban. Shannon Adeline Jung masih duduk bersimpuh dengan kepala menunduk dengan maksud membela sang pria. Sementara Jaehyun, mencoba bangkit dengan terseok seok penuh luka kemudian merangkak dan duduk sedikit maju dari tempat dimana istrinya berada.
“Pukul kakak aja, Pa” balas Jaehyun dengan posisi yang sama dengan yang Shannon lakukan. Bedanya, satu tangannya ia pasrahkan untuk menjadi samsak tinju ayahnya, sementara satu tangannya lagi ia gunakan untuk mengenggam erat jemari sang istri. Dalam keadaan yang kacau tak berbentuk manusia seperti ini, dapat Shannon lihat Jaehyun dengan sekuat tenaga mencoba memberinya kekuatan dan seakan berbicara melalui diam bahwa ia akan baik baik saja, tak perlu khawatir karena semua ini memang sudah Jaehyun terima dengan seharusnya. Bahkan dengan wajah penuh darah dan genggaman yang bergetar hebat, yang Shannon asumsikan bahwa lelaki kesayangan dua anak kembarnya di rumah ini, sedang menahan sakit yang teramat sangat, Jaehyun mencoba memberinya ketenangan.
“Nggak tau malu” jawab papa kemudian pergi meninggalakan lapangan eksekusi.
“Adep sini, mas. Kalo begitu mana bisa diobatin” ucap Shannon yang dengan sabar meraih rahang lelakinya berulang kali karena tidak bosan juga Jaehyun selalu membuang muka enggan menatap paras cantik wanitanya.
“I beg you, please liat aku” minta Shannon putus asa untuk yang kesekian kalinya. Mendengar penuturan tak bertenaga milik sang wanita, Jaehyun akhirya menolehkan wajahnya ke arah dimana Shannon berada. Di lantai dengan kedua kaki yang ditekuk sehingga wajahnya bisa sedikit sejajar dengan wajah Jaehyun yang duduk tanpa rasa minat di ujung ranjang.
Masih cantik. Wajah Shannon selalu cantik bahkan ketika matanya bengkak karena banyak menangis yang sumber utama penyakitnya sudah dapat ditebak, dirinya sendiri. Wajah Shannon masih cantik bahkan ketika hidungnya memerah akibat dari serangan virus virus pilek tak tau diri karena sang empu tak cukup tidur belakangan ini, yang penyebab utamanya juga sudah dapat diketahui. Wajah Shannon masih cantik, selalu cantik.
“God, what happened?” ucap Shannon ketika mata coklatnya dengan milik sang pria bertemu. Permukaan tangan bagian dalamnya yang halus, menyapu setiap inchi wajah sang suami. Dari bibirnya yang pecah hingga nida darah mengering terpampang dengan nyata, naik ke hidungnya yang sedikit bengkok akibat hajaran keras dari sang papa, pipinya jang tergires entah benda apa yang berani menyakitinya, jidatnya yang sobek hingga rambut yang mulai panjang dan berantakan.
Shannon jelajahi setiap bentuk wajah sang suami seperti kaki pertama ia berani menjatuhkan hati. Kemana perginya kulit halus yang selalu membuatnya heran karena Jaehyun bahkan tak pernah mengenakan krim krim perawat jaringan? Kemana perginya tatapan mata tegas yang selalu membuatnya tunduk jatuh tak berbentuk bahkan ketika mereka berada di atas ranjang? Hilang. Mata tegas, kulit halus serta serabut serabut lembut di atas wajah tampan Jaehyun itu hilang. Digantikan dengan darah kering serta goresan goresan penuh luka yang entah butuh berapa lama untuk hilang dengan sendirinya. Ada perasaan menyesal yang timbul dari lubuk hati yang paling dalam melihat keadaan sang tuan hancur seperti ini. Kemana dirinya sampai tak bisa melindungi jantung hatinya sendiri? Mengapa ia biarkan nasib buruk datang menghampiri? Jika saja seharusnya, kalau tidak seandainya, pertanyaan pertanyaan penuh perandai andaian yang tidak pernah bisa dijawab itu terus berputar di otak Shannon bersamaan dengan air mata yang jatuh dan jemari lentiknya yang masih setia menyisir setiap bagian wajah sang pria. Sore itu, Jaehyun hilang. Suami serta tempat pulang ternyamanya pergi.
“That's true” ucap Jaehyun membuyarkan sesi menyesali diri sendiri yang Shannon lakoni.
“That's true itu-” lanjut Jaehyun sembari mengambil perlahan tangan istrinya untuk turun dari wajah rupawannya. Tidak dibiarkan begitu saja. Seolah memanfaatkan kesempatan, Jaehyun genggam dengan erat seakan enggan kehilangan.
“Stop it.” balas Shannon—menunduk. “Aku percaya sama semua hal yang keluar dari mulut kamu, mas” lanjutnya. “Aku percaya sama semua hal yang kamu bilang. Even it's a lie. Neither say sorry you better say it's not me” lanjut Shannon. Air matanya semakin menjadi. Suaranya semakin bergetar tetapi dengan jelas dapat dilihat bahwa ia mencoba menahan dengan sekuat tenaga.
“Jangan jelasin apapun ke aku, jangan minta maaf. Bilang aja itu bukan kamu. And ill still love you” akhir Shannon mencoba membawa kedua manik matanya menyapa milik sang pria. Pecah. Jaehyun menyimpan lebih banyak genangan air yang juga siap tumpah. Ia tetap menatap ke arah sang istri seolah tak percaya pada hal yang baru saja Shannon ucapkan. Sebuah tawaran akan kesempatan berulang.
“Itu bukan kamu kan? Iya kan? We are totally fine kan?” yakin Shannon pada suaminya. Melihat ketulusan sang wanita, Jaehyunpun menutup mata. Membiarkan aoa yang sedari tadi ingin menetes karena tak kuasa menahan diri sendiri. Sebodoh ini ternyata Jaehyun selama ini. Banyak caci maki yang ingin ia hujatkan pada diri sendiri karena telah berani mencari kehangatan di peluk perempuan lain sementara sang istri memeluk diri sendiri. Jika ada yang lebih hina dari segala sumpah serapah di dunia, mungkin Jaehyun mau menyandang gelarnya.
“Sorry Shan, that was me” balasnya dengan mata tertutup dan kepala tertunduk. Tidak ada lagi percakapan yang dapat didengar telinga selain suara isak tangis yang menggema.
“Aku gak denger apa apa, mas. Kita baik baik aja, kan?” tanya Shanon mencoba menguatkan diri.
“Shan, itu aku. Laki laki di berita yang lari habis tidur sama perempuan lain, itu aku” jelas Jaehyun mencoba menghentikan tangisnya.
“Aku gak denger apa apa, kita baik baik aja” final Shannon mencoba bangkit dari duduknya.
“Aku pergi ke dia lima bulan lalu pas kamu minta anak kedua” jelas Jaehyun dengan berani. Sudah dekat dengan pintu keluar, mau tak mau akhirnya Shannon menghentikan langkah kaki.
“Kamu sibuk” “Kamu ngurus anak, ngurus kantor, ngurus rumah. Aku yang awalnya cuma ngga mau nambah beban kamu akhirnya jadi beban kamu yang paling berat” lanjut Jaehyun mencoba menjelaskan duduk masalah mereka.
“Aku cuma nyari pelarian, tanpa sadar aku keterusan, Shan” lanjutnya. Mendengar penjelasan singkat yang Jaehyun berikan, Shannonpun mendekat.
“Aku selalu disana, J. Aku selalu nanya gimana hari kamu, aku selalu nawarin peluk buat kamu tapi apa? Aku sibuk? Kamu gak mau repotin aku?” balas Shannon dengan sisa air mata yang ada.
“Aku, masih tetep bakalan percaya kalo dua menit yang lalu kamu bilang itu bukan kamu. Aku percaya sama kamu sekalipun semua orang kirim bukti kebejatan kamu sana sini!” ledak Shannon. Dengan perasaan yang paling terluka, ia menunjuk suaminya sembari memecahkan air mata yang ada.
“I'm trying my best, J. Buat jadi istri, jadi ibu, jadi anak, jadu manusia. Waktu kita sama, cuma 24 jam. Kamu tau? Pelukan, ciuman, yang kamu dapet dari simpenan kamu itu, waktu yang bisa dikasih cuma cuma, tapi waktu yang aku kasih ke kamu, itu waktuku satu satunya, J. Cuma itu yang aku punya. I'm done” balas Shannon kemudian meninggalkan suaminya yang mencoba berdiri dengan kedua kakinya sendiri setelah semua kebodohan yang ia lalui.
Pada akhirnya, tidak ada kata yang dapat mewakili rasa sesal Jaehyun dan kekeceeaan sang istri. Segala bentuk maaf dan penyesalan telah ia langitkan hingga hanya satu hal menemaninya di ujung jalan. Resiko yang harus ia tanggung. Kehancuran keluarga kecilnya, kehilangan anak dan istrinya, bahkan terancam dicabut dari posisi pekerjaan yang ia gunakan sebagai pelarian. Dalam keadaan paling hina seperti ini, ayah dari dua anak ini diam diam memohon untuk kesemoatan kedua sekali lagi, setelah segala pertanggung jawaban perbuatan ia lakukan. Dalam keadaan paling hina seperti ini, ayah dari dua anak ini diam duam memohon untuk kemurahan hati sang istru sebelum status mereka berganti menjadi mantan pasutri.