raellee

Shannon Adeline, duduk dengan meremas tautan tangannya di sebuah bangku di dalam rumah makan yang ia dan mantan suami sepakati dua jam yang lalu bahwa hari ini, mereka akan bertemu. Jantungnya berdegup dengan kencang serta keringat agaknya sudah menguap dari tubuh wanita berusia tiga puluh tahun lebih ini karena rasa gugup yang berlebihan. Kakinya terus bergerak dengan gusar guna mengurangi rasa khawatir yang menyelimuti diri, yang ternyata juga tidak membantu sama sekali. Dulu, jika ia sedang tidak bisa mengontrol dirinya seperti ini, ada sebuah tangan kekar lain yang menggenggam tangannya dan berkata bahwa semua akan baik baik saja. Tetapi sore ini, lelaki yang dulu selalu ia jadikan hari hari pertamnya itu, entah bagaimana bisa tidak ada disana dan hanya menyisakan ia dan sang ibunda yang juga sama sama was was karena lawan bicara mereka nanti, adalah penentu bagaimana hidup Shannon selanjutnya.

“Itu mereka” ucap Bunda ketika ia melihat mantan menantunya, berjalan dengan seidkit gontai dengan senyum yang terlihat dipaksakan, dengan kedua tangannya menggenggam tangan lain di sebelah kiri dan kanan.

“Mamaaaaa” ucap Samara riang kemudian ia melepaskan diri dan berlari sekencang kencangnya ke arah sang ibunda, yang entah bagaimana mulanya pula, Shannon sudah lebih dulu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan tinggi sang anak agar Jodi dan Samara bisa langsung masuk ke dalam dekapannya.

“Hati hati, adek” ucap Jaehyun menapat tingkah anak perempuannya. Sementara satunya lagi, menatap Shannon aneh penuh benci dengan banyak pertanyaan yang tak sempat ia ucapkan karena kini matanya sudah penuh dengan air dan mungkin sebentar lagi, restoran lenggang tempat mereka bertemu sore ini akan dipenuhi dengan suara tangis Jodi.

“Kakak ngga mau peluk mama?” tanya Shannon kepada anak laki lakinya setelah cukup lama memeluk Samara. Dengan satu tangan yang masih mengusap punggung Samara, ia membuka tangannya yang lain untuk meminta Jodi juga masuk ke pelukannya.

I hate you” jawab Jodi meremas tangan sang papa seolah mencari kekuatan dari sana. Mengetahui bahwa hati Jodi lebih sensitif dari biasanya, Jaehyun pun kemudian sedikit mengguncangkan genggaman tangan mereka yang otomatis membuat Jodi mendongakkan kepala “kakk?” ingat Jaehyun kepada anak sulungnya.

“Mama sorry, kak” balas Shannon putus asa. Seolah mengerti bahwa kakaknya mengalami pergulatan jiwa, Samarapun melepas pelukan ibunya dan beralih menatap yang lebih tua.

“Mama sorry, don't you hear it?” tanya Samara sedikit jengkel. Niatnya memberitahu Jodi bahwa ibu mereka sudah meminta maaf, maka segera peluklah karena ia tahu, si sulung amat sangat merindukan pelukk hangat ibundanya. Alih alih menurut, Jodi malah tetap memilih diam dan berdiri mencoba membereskan perasaannya sendiri. Ah benar, Jodi memang keturunan Jaehyun dan Shannon Adeline, mau bagaimanapun keadaannya, gengsi adalah yang utama.

I miss you, come here kak, mama sorry” ulang Shannon dengan sedikit menarik tangan anak laki lakinya. Jodi tidak menolak. Ia berjalan mendekat dan langsung mendekap sang mama hangat. Tidak ada kata lagi setelahnya selain suara bunda yang dengan tiba tiba membalikkan diri, mengusap air matanya kasar dengan cepat sebelum kedua cucunya melihat. Juga suara rengek Samara yang ingin ikut berpelukan bersama mama dan kakaknya guna melepas rindu setelah tiga minggu mereka tidak bertemu.

I counted the days and mama tiga minggu” ucap Samara setelah ia melepaskan pelukan sebagai yang pertama “why didn't you come?” lanjutnya. Shannon tersenyum dan mengusap halus pipi gembil anaknya sembari menjawab “didn't your papa tell you?

Samara menggeleng yang kemudian dijawab dengan lantang oeh Jodi “papa bilang mama sibuk” ucapnya sembari membuka pelukan sang mama. Dapat Shannon dengar ada begitu banyak pertanyaan di kepala dua buah cinta di hadapannya yang tak sempat mereka suarakan. Hatinya tiba tiba remuk, menyadari fakta bahwa selama itu Shannon mencoba menata perasaanya sendiri, akibat dari bahtera rumah tangganya yang tak sampai di akhir cerita, sehingga ia melupakan perasaan lain yang masih sangat menbutuhkannya. Jika tidak dijanji oleh sang mantan suami sebelumnya, mungkin Shannon akan menangis dan meminta maaf serta kelapangan hati anak anaknya karena membiarkan mereka sendirian tanpa kabar selama hampir satu bulan.

“Iya mama si-”

But why? Kenapa mama ngga nelvon?” belum sempat dijawab, Jodi melontarkan pertanyaan lain yang membuat Shannon kelabakan memutar otak kebingungan.

Are you guys hungry?” tanya Jaehyun tiba tiba yang sedari tadi hanya diam menyaksikan mantan istrinya melepas rindu dengan kedua anaknya.

“Kakak tadi katanya mau makan burger, yaa?” lanjut Jaehyun mengalihkan perhatian mereka.

“Oh yaa? Ayoo, mama tau disini ada burger enak, ayokk? Adek mau apa sayang?” sahut Shannon seolah mendapat pertolongan. Ia kemudian menarik kedua tangan anaknya dan berjalan menjauh membawa mereka untuk bisa memesan makanan apapun yang ingin mereka makan.

Sementara Shannon mulai membalasa rasa rindu yang ia tahan sendirian, Jaehyun menaku tatap pada setiap gerakan yang ketiga orang itu lakukan. Matanya tidak lepas barang sedikitpun dari wanita yang kini menjaga anak mereka, badannya yang terlihat sangat kurus, kantong matanya yang menghitam serta matanya yang sangat bengkak, menandakan bahwa Shannon memang banyak menangis.

“Duduk dulu” ucap bunda mempersilahkan mantan menantunya.

“Udah lama ya, bun?” tanya Jaehyun basa basi.

“Lima belas menit?” tanya bunda seolah mengingat ingaat kedatangannya ke restoran ini sore tadi.

“Kamu nggak telat kok, emang bunda yang datang awal” lanjutnya menenangkan sang mantan menantu. Jika boleh digambarkan, atmosfer antara Jaehyun dan mantan mertuanya, tidak pernah setegang ini sebelumnya. Bunda selalu memperlakuaknnya seperti anak sendiri, bahkan di hari dimana pengadilan memutuskan bahwa statusnya dengan Shannon sudah bukan lagi suami istri. Ah, Jaehyun agaknya banyak berhutang budi.

“Maaf ya, kamu kayanya sibuk” kata bunda mencoba mencairkan suasana.

“Nggakpapa, bun” balas Jaehyun dengan seulas senyum.

“Makasih yaa, makasih udah bawa anak anak kesini, seenggaknya hari ini bunda liat Nona hidup, ngga kaya kemarin kemarin” ucap Bunda tiba tiba. Pandangannya bukan ke lawan bicara. Bunda juga memaku tatap pada anak dan cucunya yang terlihat amat bahagia bersama. Agaknya bunda merasa lega karena Shannon Adeline, sore ini, mencoba bangkit dan merawat diri.

“Makasih ya, J” ulang bunda sembari mengusap air mata. Jaehyun tidak menjawab. Ia hanya tersenyum getir dan terus menatap semestanya di kejauhan sana dengan pandangan yang perlahan memburam. Air mata di pelupuk matanya siap jatuh kapan saja berbarengan dengan perasaan menyesal dan bersalah yang tiba tiba muncul di lubuk hatinya. Berdosa sekali ia karena telah menjauhkan apa yang seharusnya bersama, Shannon dan kedua anaknya. Melihat tawa ketiganya muncul, dengan Shannon yang benar benar menepati ucapannya untuk tidak menangis, membuat Jaehyun merasa menjadi manusia paling kejam yang ada di dunia. Entah, bagaimana pola pikir lelaki ini, tetapi nampaknya kacau menjadi kata yang pantas untuk menggambarkannya.

“Tinggal aja, nanti pasti dipulangin ke kamu. Pasti, bunda janji” ucap bunda setelah mendengar beberapa kali ponsel mantan menantunya berbunyi. Entah siapa di seberang sana, tetapi ada sedikit perasaan jengkel dalam diri Jaehyun karena suara ini pasti membuatnya harus segera pergi.

Jaehyun akhirnya mengangguk dan memilih untuk berpamitan kepada yang lebuh tua tanpa mengangguu waktu mantan istri dan anak mereka, pergi meninggalkan restoran begitu saja.

Langkahnya masih gontai, tetapi hatinya merasa sangat lega ketika ia masuk ke sebuah mobil hitam yang tadi ia gunakan untuk menepati janji setelah memasrahkan anaknya ke tangan sang mama. Jaehyun kemudian menatap ke arah depan dengan nanar, air mata nampaknya sudah memenuhi pelupuk matanya dan siap jatuh kapan saja. Lagi dan lagi. Kiranya, ayah dua anak itu, sore ini banyak menyimpan emosi.

Jaehyun menyugar rambutnya kebelakang dengan frustasi sebelum setelahnya menjatuhkan kepala ke setir di hapadanya dan mulai terisak dengan suara yang tertahan. Entah bagaimana awalnya, ia dan Shannonn bisa menjadi seasing ini, tapi satu hal yang Jaehyun imani, bahwa hatinya sore ini terluka, melihat keadaan Shannon dan acara melapsa rindu dengan kedua anak mereka. Bagaiman bisa wanita yang masih amat sangat ia cintai ini menjadi begitu kacau dengan mata serta diri yang sangat menahan hanya karena Jaehyun berucap bahwa bagaimanapun nanti keadaanya, Shannon dilarang keras untuk menangis di depan Jodi juga Samara. Dan seperti uacapan di pesan singkat mereka siang tadi, wanita ini benar benar sekuat tenaga menahan tangisnya hanya agar kembali diijinkan bertemu dengan anak yang ia lahirkan ke dunia suatu saat nanti.

“Jangan jadi sekuat itu Shan, kamu bikin aku jadi manusia paling jahat di dunia”

Jaehyun kemudian memukul mukul dadanya yang sesak sementar air mata masih sangat deras mengalir di kedua pipinya mengingat kembali bagaimana raut wajah Jodi yang juga menahan tangis karena rindu yang ia tahan sendirian kepada sang Ibu. Jodi masih berusia tujuh tahun ketika ia harus menghadapi fakta akan perpisahan kedua orang taunya. Jodi masih berusia tujuh tahun ketika ia dengan sendirian menangis di tengah malam dan enggan memberi tahu sang papa bahwa ia merindukan sang ibunda. Berbeda dengan Samara yang terang terangan meminta untuk segera bersua, Jodi lebih memilih untuk menahan dan bersikap seolah ia sedang baik baik saja.

Tangisnya semakin kencang ketika Jaehyun menyadari bahwa beberapa menit tadi, Shannon tidak berbicara atau bahkan menatapnya. Wanita yang masih amat sangat ia cintai itu, sedang sibuk meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik baik saja bahkan jika Jaehyun tak lagi dapat menorehkan tinta di halaman buku yang sama dengannya. Bahwa hidup terpisah dengan kedua anaknya, anak menjadi hal yang biasa seiring dengan waktu yang terus melaju. Bahkan, di keadaan paling hancur seperti inipun, Jaehyun masih tau kata hati terdalam sang mantan istri. Sebenarnya, Jaehyun juga masih ingin, memeluk Shannon erat dan memperbaiki semua yang telah berantakan, jika saja janji suci lain belum kinjung ia ikrarkan.

Tetapi apa boleh jadi, nasi telah menjadi bubur. Satu satunya hal yang dapat Jaehyun lakukan adalah dengan tidak meminta Shannon kembali, dan memulai hidup baru sebagai seorang mantan suami, yang dulu pernah menjanjikan bahagia selama lamanya tetapi juga sebagai seorang pengingkar yang tidak menepati kata katanya. Sore ini, di dalam mobil di halaman parkir yang begitu luas, ditemani dengan rintik hujan yang turun secara beriringan, Jaehyun meraung kesakitan, seolah mengeluarkan seluruh perasaan yang ia tahan sejak awal ia menyalahi pernikahannya dengan Shannon. Ia membiarkan anaknya kembali ke tampat paling nyaman di dunia yang juga masih menjadi candu untuknya, peluk Shannon. Ia membiarkan, dirinya kalah dihajar hidup yang ia hancurkan sendiri bahkan ketika Jaehyun sudah mendapat permaafan dari sang mantan istri. Sore itu, Jaehyun kembali menapaki dunia penuh kehancuran atas suatu hal yang ia lakukan. Pada akhirnya, memang hanya resiko yang menemani kita hingga tua.

Aroma khas yang mengudara seirama dengan kepulan asap dari secangkir kopi yang meninggi secara tidak sadar meningkatkan kefokusan Deka dan Ali. Sudah sejak satu setengah jam lalu, keduanya duduk bersandingan di halaman depan caffe mereka yang Deka urus segera setelah Gloria lahir ke dunia. Bergelut dengan laptop dan pekerjaan masing masing hingga tak menyadari, bahwa sejak tadi, tidak ada yang memulai kata diantara keduannya.

Sinar matahari nampaknya juga tak mau kalah menghangatkan pagi sepasang suami istri ini, bersinar dengan eloknya menerangi setiap sudut kota sehingga debu debu haluspun dapat dengan bebas dilihat oleh mata berterbangan dengan gembira. Ketenangan milik bunda dan papa ini berbanding terbalik dengan suasana di dalam gedung yang ricuh karena seorang gadis muda sibuk berlarian kesana kemari dan merenggek memohon kepada yang lebih tua untuk dibolehkan mencicipi satu dua bahan makanan yang tersedia. Yang menjadi sumber masalah adalah, anak berusia empat tahun ini ingin sekali meneguk segelas es berasa taro yang mana setelah sekali saja sesuatu dingin memasuki tubuhnya, batuk dan influenza sudah dapat dipastikan akan datang segera. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, barista dan rekan kerja yang Deka sewa lebih memilih berdebat dengan Gloria dari pada kena marah setelahnya.

“Kakkkkkkkk? Aku mau mau mau, i want to try” ucapnya gemas.

“Nggak ya! Nanti kakak yang diomel bunda. No” balas yang lebih tua. Mendengar baku teriak antara anaknya dengan seseorang lainnya. Ali tersenyum kemudian segera memberi atensi kepada sang istri yang masih tidak menyadari atmosfer keseriusan ini. Deka dengan wajahnya yang fokus serta jemari yang lincah menari di atas keyboard agaknya sedikit menganggu konsentrasi Ali. Bagaimana bisa wanita ini menjadi begitu sensual hanya karena sedang fokus dengan dunainya sendiri? Seakan tak ingin menyia nyiakan kesempatan, Ali kemudian sedikit menarik kepala ang istri ke arahnya kemudian membubuhkan sebuah kecup manis di dahi sang wanita. Yang tentu saja, Deka juga tidak mengalihkan atensinya barang sebentar.

Tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda tanda Deka dan Ali akan mengakhiri kegiatan mereka. Masih sama duduk berdua dengan sesekali menyesap kopi masing masing yang sudah berangsur menjadi semakin dingin sejalan dengan Gloria yang sudah tidak berteriak entah apa yang mengalihkan perhatiannya di dalam sana.

“Astagaaa” keluh Deka kepada semua pekerjaanya Sabtu pagi ini.

“Padahal juga dikerjain dari tadi ini laporan keuangan kenapa deh” lanjutnya sendirian. Ia kemudian menghelakan nafasnya kasar sembari mulai menyenderkan punggunya ke belakang. Matanya tidak berpindah dari komputer bawa yang masih menyala di hadapannya, berpikir keras serta mencari cari dimana letak kesalahan yang mungkin ia lewatkan.

Masih dalam keheningan yang anak, perhatian Deka kemudian dialihkan dengan lelaki 29 tahun yang tidak bergerak sama sekali. Kaca matanya masih bertengger dengan setia di hidung besarnya serta tangannya sibuk menekan nekan tombol yang menyela entah apa tujuannya. Dalam keadaan sedekat ini, Deka lagi dan lagi jatuh hati pada Sabima Ali Aulia, suaminya sendiri, karena diciptakan amat sangat sempurna dan pas proporsinya untuk Deka.

Masih betah berlama lama menganggumi Ali, Deka kemudian menggeser laptopnya sedikit lebih jauh hingga ia bisa menaruh tangannya di atas meja, kemudian menempatkan kepalanya di atas sana. Menghadap Ali yang masih tidak terganggu dan mulai kembali mengamati ciptaan Tuhan itu.

“Cape ya?” tanya Ali menyadari gerak gerik sang istri. Matanya berpendar dari laptop, ke Deka sebentar, kemudian kembali ke laptopnya. Deka tidak menjawab, ia hanya terus memaku tatap.

“Sini aku kerjain”

Jodi mendapati seorang wanita dengan pakaian lengan panjangnya yang sudah digulung naik hingga ke siku, cepolan rambut berantakan yang asal seolah wanita ini tidak mempunyai cukup waktu hanya untuk menata rapi rambutnya sendiri atau entahlah, mungkin ia sudah merasa nyaman hingga tak perlu terlalu menyiapkan diri untuk berada di ruangan ini.

Sebuah tas jinjing dengan selempang panjang berwarna hitam menempati sisi lain pantri marmer berwarna hitam bergaris putih dengan sebuah setelan luar berwarna senada yang juga menumpang dari padanya karena wanita yang diduga duga menjadi pemilik dari dua barang tersebut tengah sibuk sendiri hingga tak menyadari bahwa Jodi sudah dua menit berdiri memperhatikannya.

“Maa?” sapa sang anak pertama akhirnya membuat Shannon tersentak tak sengaja. Sembari membalikan badan dan menolehkan kepala, sebuah kata balasan keluar begitu saja dari mulutnya “Kak? kaget” balas yang lebih tua.

“Maaf. Mama ngapain?” tanya Jodi kembali sembari mendekat seolah menutup mata ketika ibunya tengah memasakkan sebuah hidangan khusus seperti dahulu ketika, hari hari ayahnya sedang menjadi amat sangat menjengkelkan, atau ketika ayahnya tiba tiba pulang dalam keadaan lemas dan pucat karena beberapa hal jahat mencoba menyerang kekebalan tubuhnya, atau ketika ayahnya tengah merajuk dan ibunya harus sedikit membujuk, maka Bubur Manado dan sepotong ikan asin akan menjadi solusi untuk semua permasalahan ini.

“Biasalah. Mau kemana, Kak? Udah baikan? Kok bawa tas? Katanya hari ini nggak kelas? Mama yakin kamu masih pusing, di rumah aja” cecar Shannon kepada anak laki lakinya. Jodi sontak tersenyum dengan manis sembari mulai terbayang kata kata ayahnya pagi tadi “mamamu ngomel lagi, Kak, heheh lucu banget” sembari menarikan jari di atas ponselnya.

“Papa bener, mama yang ngomel gini emang lucu. Jodi kangen diomelin mama tiap hari” batinnya dalam hati.

“Satu satu, Ma. Ada kepanitiaan yang nggak bisa diskip jadi Kakak mau ke kampus bentar. Ngojol kok tenang aja. Nanti pulangnya nebeng Ara” jelas Jodi kepada ibundanya. Shannon hanya menatapnya putus asa sembari menghelakan nafasnya kasar. Sama saja, baik ia, mantan suaminya, Samara, dan Jodi sama saja, keras kepala dan penggila kerja. Jika sudah begini, ingin protespun Shannon telan sendiri karena mau bagaimana juga, sifat anak anaknya merupakan turunan dari ia dan mantan suaminya.

I'll take care of me, Ma. Aman. Minta tolong mama jaga papa sebentar aja, yaa” lanjut Jodi sembari merangkulnya sekejap kemudian membubuhkan cium di kening sang ibu. Shannon Adeline masih tidak berontak. Ia membalas pelukan si sulung dengan hangat seolah Jodi adalah balita munggil berusia lima tahun yang menangis meraung bersama saudara kembarnya karena akan ditinggalkan untuk ke kantor barang sebentar.

“Hati hati , Kak” ucap Shannon ketika Jodi membuka pelukan kemudian melangkah ke luar.

“Ma?” panggil Jodi kembali yang sebenarnya sudah cukup jauh dari tempat surganya berada, dengan tiba tiba memanggil sang mama hingga membuat aktifitas Shannon yang semula dilanjutkan menjadi terhenti kembali.

“Aku nggak mau punya adek lagi, ya” pesan Jodi kemudian. Shannon sontak melemparkan sebuah penggorengan yang sedang ia pegang. Agaknya guyonan yang selalu Jodi berikan ini belum juga membuat Shannon merasa harus memaklumi.

“Sembarangan” balas Shannon dengan geram yang kemudian terdengar suara tawa memenuhi telingga. Jodi meninggalkan ibunya dengan rasa puas dan bahagia.

Sepuluh menit sejak masakan yang ia gelutkan siap dihidangkan, ibu dari dua anak ini menatap rak cuci piring dekat wastafle yang sudah rapi persis seperti kebiasaannya sehari hari. Setelah memasak, meninggalkan dapur dengan kerapian adalah sebuah keharusan. Wanita dengan pakaian berwarna hitam ini kemudian melangkahkan kaki ke atas untuk melihat mantan suaminya yang tak bersuara sejak ia tiba. Bahkan mungkin, Jaehyun tidak mengetahui bahwa Shannon saat ini berada dirumahnya.

Berbicara mengenai rumah, rumah yang saat ini Jaehyun dan kedua anaknya tinggali, merupakan rumah pertama yang ia dapatkan secara cuma cuma dari orang tuanya ketika ia secara resmi berganti status sebagai seorang suami. Rumah ini merupakan rumah dengan segala mimpi akan bahagianya masa depan yang Shannon susun pukul dua malam bersama Jaehyun dan buah cinta mereka. Rumah ini adalah rumah yang dulu selalu menjadi pelindung bagi dua manusia yang kehilangan arah, serta menjadi saksi bisu atas tawa dan tangis Jaehyun bersama mantan istrinya. Rumah ini, rumah yang Shannon tinggalkan karena jika ia yang harus tinggal setelah sebuah badai besar menerjang, mungkin ia tidak akan bisa bernafas saat ini karena jiwanya pergi disiksa langsung oleh kerasnya kenang dan pahitnya kerinduan. Maka pergi menjadi salah satu bentuk pertahanan diri yang Shannon miliki sementara sang mantan suami, memilih menetap dan merawat apa yang dulu mereka punya, sebagai salah satu bentuk penebusan dosa dengan tetap melangitkan doa bahwa suatu saat nanti, jika keajaiban memang benar adanya, Shannon akan berlapang dada membuka kembali hati dan pulang ke pelukannya.

Mari kita kembali ke seorang wanita yang tengah memutar kenop pintu dengan sunyi kemudian mengintipkan kepalanya dengan hati hati guna melihat keadaan lelaki yang sudah tak sadarkan diri sejak pagi ini. Seperti biasa, kamar utama rumah ini gelap dan terasa dingin seperti hati milik sang penghuni. Semenjak sepeninggalan Shannon, Jaehyun memang dikenal enggan membuka kembali halaman cintanya karena tidak ada ibu dari anak anaknya di dalam sana, atau mungkin, perasaan dingin yang Shannon rasakan ini hanya karena air conditioner yang dinyalan dalam suhu yang teramat sangat. Entah, hanya Jaehyun yang punya jawabannya.

Setelah memastikan bahwa matanya tidak bisa melihat apa apa, Shannon kemudian memberanikan diri untuk masuk ke dalam sana dan mulai meraba dinding, mencari dimana saklar lampu berada. Tidak ada perasaan bingung bagi Shannon. Tubuhnya bergerak secara otomatis seperti sudah terbiasa mengingat letak setiap benda walaupun sendirinya tak pernah lagi masuk ke ruangan ini semenjak ketuk palu di pengadilan beberapa tahun yang lalu.

“Adekk?” ucap Jaehyun dengan bariton beratnya. Ada desir asing yang Shannon rasakan ketika Jaehyun mengudarakan suara. Suara bangun tidur yang dulu selalu ia dengarkan setiap pagi dan entah bagaimana dan kapan mualinya, diktum ini menjadi salah satu kesukaannya.

“Adekk? Nak? Tolong bantuin papa sebentar buat bangun hari ini harus tanda tangan berkas” ulangnya dengan mata memicing dan tubuh terbaring sesaat setelah lampu ruangan dinyalakan.

“Udah sarapan belom sayang? Kakak?” lanjutnya ketika tidak ada balasan dari sekian banyak pertanyaan yang ia keluarkan.

Srekkkkk

Lagi. Bukannya jawaban, telinga Jaehyun malah mendengar seseorang melangkah masuk lebih jauh dan membuka tirai dengan gampangnya. Sontak ayah dari dua anak ini, duduk membangunkan diri dengan tergesa kemudian memaksakan membuka mata. Ingatannya pergi ke hari hari dulu dimana Shannon selalu menyalakan lampu sebelum membuka gorden gorden raksasa setiap pagi hari tiba. Walaupun pening masih enggan meninggalkan kepala, ketika netranya dibuka, ia menangkap seorang wanita dengan jeans melekat sempurna pada kaki jenjangnya, tengah menarik selambu selambu penghadang cahaya karena tidak menemukan remot yang dulu selalu ia gunakan.

“Shan?” sapa Jaehyun terkejut. Suaranya kali ini kembali normal seperti biasa karena sepertinya pula, kesadarannya telah memenuhi jiwa.

“Tanda tangan apaan jam segini? Ini udah jam 2 siang. Kalo aku jadi klien kamu, kayanya udah aku batalain aja kontraknya. Jengkel” balas Shannon masih memaku tatap pada selambu selambu besar kemudian membuka cendela dengan akses ke balkon ruangan mereka.

Shit” balas Jaehyun sontak mencari dimana ponsenya berada. Dan benar saja, berpuluh puluh panggilan dari sekretarisnya ia lewatkan karena sedang berada di ketidak sadaran.

See? Makan dulu, i got you meal” balas Shannon setelah urusannya membuka ventilasi selesai. Ia mendapati Jaehyun dengan wajah menyesal sembari menarikan jemarinya dengan lincah di atas ponsel pintarnya entah pesan kepada siapa. Saking sibuk sendiri Jaheyun dibuatnya, ia tidak memperhatikan bahwa Shannon telah berlalu meninggalakn ruangan.

Lima belas menit berlalu sejak Shannon kembali ke dapur dan duduk dalam diam menuggu mantan suaminya untuk bergabung, tidak ada tandap tanda kehidupan yang Jaehyun berikan. Maka untuk mengurangi rasa kesal, Shannon kembali naik untuk sekali lagi memastikan hal apakah yang mengganggu gerangan. Bukan sebuah kesegaran atau Jaehyun yang terlihat kembali segar setelah mandi atau hal lain yang Shannon pikir sedang sang lelaki kerjakan, melainkan suasana kamar yang kembali sunyi serta seorang manusia yang kembali tertidur dengan selimut tinggi.

“Astagaa, kirain mandi atau ganti, malah balik tidur” keluh Shannon sembari berjalan mendekat.

“Masss?” panggilnya pelan.

“Mass?” ulang Shannon dengan sedikit gerakan menguncangkan tubuh mantan suaminya. Tidak ada jawaban yang Shannon dengar hingga kemudian ia berinisiatif untuk memeriksa suhu badan sang pria berjaga jaga jika hal buruk mungkin terjadi malam ini.

Telapak tangannya seketika terasa panas ketika bersentuhan dengan dahi Jaehyun yang sempit dan proporsional jika bersanding dengan wajahnya yang tampan. Seolah mendapat lampu merah untuk meninggalkan, wanita 30 tahun lebih ini akhirnya memilih untuk mengompres dan merawat mantan suaminya hingga setidaknya anaknya kembali dan merawat sang papa.

I know you want the best tapi jangan nyiksa diri sendiri begini, Mas” ucap Shannon sendirian ketika Jaehyun hanya memberikan hembusan nafas teratur tanda bahwa dirinya sudah jauh dalam alam tidur. Matanya memaki tatap pada damainya dunia sang pria yang memejamkan mata. Otaknya kembali mengulang kejadian kejadian menyenangkan hingga raungan tangisan yang ia lalui sendirian ataupun berdua di hari lalu. Bagaimana bisa sedekat itu kemudian menjadi sejauh ini sekarang?

“Baringan aja kalo cape, Shan. Aku nggak akan ngapa ngapain. Tapi tolong pulangnya nunggu anak anak di rumah” balas Jaehyun dengan matanya yang masih terpejam. Meleset, dugaan Shannon tidak seakurat itu. Jaehyun tidak tidur senyenyak itu hingga ia masih sempat membalas gumaman Shannon seorang diri. Seolah mendapat izin, ibu dari dua anak ini kemudian membaringkan diri dengan hati hati seolah tak ingin membangunkan sang lelaki walaupun ia tahu Jaehyun tidak tidur sedamai itu.

Lima, sepuluh, lima belas menit Shannon berdiam diri menatap wajah Jaehyun yang terpejam yang kebetulan juga sedari tadi menghadap kearahnya. Seoalah enggan membuang buang waktu yang ada, Shannon merekam wajah tampan mantan suaminya sepuas matanya menatap hingga ia merasa bahwa ia tak akan lupa bagaimana paras rupawan sang mantan ketika nantin dirinya harus kembali ke peraduan. Yang kenyataannya, walau tidak diberikan waktu untuk diam dan mengingat wajah Jaehyunpun, Shannon masih akan selalu terbayang setiap bentuk benda yang Tuhan ciptakan untuk lelaki ini.

Ada yang berbeda ketika matanya menelisik lebih jauh tentang mata hidung, pipi dan segala macam hal yang ada di muka sang suami. Garis garis halus yang mulai nampak di area mata dan jidatnya ini, dulu tidak ada. Jika boleh dianalogikan, mungkin garis garis halus ini sama seperti lingkaran cincin di sepanjang batang pohon kepala yang digunakan untuk membaca seberapa tua usia mereka. Dengan ini Shannon kemudian menyadari, bahwa ia dan mantan suaminya mungkin sudah terlalu lambat untuk kembali.

“Kamu bisa nyari pengganti aku, Mas. Biar kalo sakit begini ada yang rawat” monolog Shannon dengan suara yang lirih dengan mata yang memaku tatap pada ciptaan Tuhan di hadapannya. Miris.

I dont mean it. Aku gak bermaksud nyiksa kamu. Kamu boleh pergi, kamu boleh keluar dari rumah ini. Sorry, J” lanjutnya.

Open your heart, if i dont, i swear that another will

I love you too, but it's hurt” akhir Shannon pelan sembari mencium kening sang tuan setelah perhitungannya mengenai tidur atau belumkah lelaki di hadapannya kali ini.

Stay a while. Please” balas Jaehyun yang ternyata lagi dan lagi belum sepenuhnya menutup mata. Tangannya kini bergerak dengan tidak ragu memeluk pinggang wanita di sebelahnya seperti dahulu. Kepala dan badannya bergerak sedikit maju sembari membenam di ceruk leher sang puan.

“Mas, lepas” elak Shannon sedikit tersentak, tak menduga bahwa sang pria masih saja terjaga, sembari mencoba menyingkirkan tangan kekar yang mengalung dengan kuat di pinggangnya. Jaehyun kemudian membuka mata, membuat jarak sehingga ia bisa menikmati wjaah canti sang mantan istri.

One last hug. Kasih aku satu lagi kesempatan Shan. Kalo kali ini belum bisa tebus kesalahan aku dulu, i swear ill leave you” balas Jaehyun masih enggan merelakan dekapan.

“Mas?” balas Shannon dengan suara bergetar.

“Biarin aku peluk kamu sekali ini aja. Kalo ini yang terakhir aku gak papa, sekali ini aja Shan” balas Jaehyun putus asa dengan mata yang tampak berkaca kaca. Sepertinya ia melihat bahwa tidak ada lagi masa depan bersama Shannon di dalamnya.

Drttttttt drttttttt

Suara lain membuyarkan sesi melepas rindu pasangan ini. Jaehyun kemudian bangkit dengan sedikit kesal dan membalas sebuah pesan dari entah siapa lagi yang mengganggunya.

“Aku pulang, yaa. Nanti anak anak balik, gak enak kalo liat kita begini” pamit Shannon mencoba keluar dari lingkaran api.

“Anak anak pulang malem itu udah izin. Aku kalo sakit harus dipeluk, Shan, biar cepet sembuh. Stay a while” balas Jaehyun sembari melempar ponselnya asal dan kembali memeluk guling tidur kesayangannya yang hilang sejak ia menyalahi janji sehidup semati.

Okayy” balas sang puan pasrah. Lagi dan lagi ada desir aneh yang Shannon rasakan. Namun alih alih menolak, ia malah mengusap halus rambut bagian belakang sang lelaki berharap Jaehyun agar segera tenang dan kembali ke alam mimpi, kemudian ia akan terbangun dengan gembira esok hari.

God, please” ucap seorang lelaki di bangku kemudi. Satu tangannya mencengkram erat setir mobil dan satu yang lainnya ia gunakan untuk menyisir rambutnya ke belakang dengan sesekali menarik paksa ikatan dasi agar sedikit melonggar.

It's ok masih tiga puluh menit lagi, J” sahut wanita satu tahun labih muda di bangku sebelahnya. Jaehyun tidak menjawab, ia hanya melemparkan tatapan penuh hal ditahan kemudian membuang wajahnya ke arah cendela.

It's ok” ulang Shannon sembari mengusap halus lengan sang pria.

Jakarta, tidak pernah menjadi semenyebalkan ini sebelumnya. Pukul delapan malam, Jaehyun membawa tunangannya keluar dari hiruk pikuk harum kertas dan suara mesin fotokopi bersahut sahutan, untuk sedikit menikmati hidup dengan mendudukan diri mereka pada bangku berwarna merah paling nyawan untuk menonton satu dua film yang ia tunggu tanggal tayangnya bahkan dari jauh jauh hari yang lalu.

Namun naas, nasib baik agaknya tidak berpihak kepada anak manusia satu ini sejak pagi, karena pasalnya sebuah kopi dengan uap yang masih mengepul tumpah di atas dokumen penting yang harus segera ia tanda tangani, kemudian di hari yang sedikit siang, ia tak sempat memasukkan sesuap makanan karena pekerjaannya yang silih berganti terus menerus berdatangan. Hal hal menjengkelkan lainnya juga terjadi seakan turut memporak porandakan suasana hati putra tertua keluarga Jung sehingga ia akan menamai hari ini sebagai an one bad day.

“Kenapa sih?” ucapnya jengkel sem

Shannon Adeline Jung terlihat duduk dengan air muka yang masih sangat mengantuk tat kala sinar matahari menyoroti wajah cantiknya melalui celah celah kaca yang terpasang rapi menutup cendela. Nyawanya masih melanglang buana ketika satu tangannya ia gunakan untuk menyapu rata separuh sisi ranjang ketika satu tangannya lagi mengusap kedua matanya dengan kasar.

“Yanggggggg?” panggil sang wanita seketika dirinya menyadari tidak ada sang suami di sampingnya pagi ini.

“Yangggggggg?” sekali lagi. Nihil. Jaehyun tidak ada di dekatnta untuk sekedar menjawab atau bahkan

Deka berjalan dengan gontai ketika kakinya kembali menginjak lantai lantai yang menjadi saksi bahwa dirinya pernah menjabat sebagai wanita paling bahagia di dunia, dua tahun yang lalu. Ruangan gelap yang kini melindunginya dari sapuan dingin angin malam ini, dulunya adalah ruang tamu dan ruang keluarga yang di sampingnya terdapat dapur serta meja makan yang selalu ia dan Ali gunakan untuk menghabiskan waktu berdua.

Ketika hari hari dimana keduanya hanya ingin saling memeluk dengan secangkir coklat panas dengan alunan film layar lebar diputar, mereka berada ruangan ini. Atau hari hari ketika amarah lebih dominan menguasai sehingga Deka yang sedang mengandung anaknya menyantap sebuah jamuan makan larut malam sendiria, juga berada di ruangan ini. Atau hari hari ketika kata cinta dan permohonan maaf melayang di udara karena salah paham agaknya menganggu kehidupan mereka berdua, juga berada di ruangan ini. Ruangan pertama dari rumah yang dulu Ali beli dengan susah payah ini, adalah satu dari banyaknya ruangan lain yanh menyimpan ceritanya sendiri sendiri.

Bangunan yang kini nampak luas karena perabotan di dalamnya telah dikemas tadi siang ini, pernah hidup dengan penuh canda dan tawa dari dua orang muda mudi yang berjanji akan selalu bersama. Rumah yang diisi dengan banyak cerita ini, pernah melalui masa jayanya dengan begitu bergembira, sebelum salah satu pilar penyangga bangunan saksi bisu bagaimana luluh lantaknya rumah Ali dan Deka ini, pergi.

Tanpa sepatah kata, tanpa aba aba, Ali pergi begitu saja, tertidur dengan tenangnya meninggalkan Deka. Dan naasnya, putri semata wayangnya yang saat dirinya diseret dengan tenaga putus asa oleh seorang petugas rumah sakit untuk di bawa ke kamar jenazah, saat itu pula seluruh keluarganya menyambut kelahiran Gloria Rudine Aulia. Memang begitulah hidup, jika ada yang datang, maka ada pula yang pergi.

Jadi ketika Deka dengan gagah beraninya memasuki rumah ini kembali, entah bagaimana bisa dan dari mana asalnya, hatinya merasa aman dan benar karena disinilah ia seharusnya. Dua tahun dibiarkan koson begitu saja, agaknya juga menganggu pikiran Deka, karena bagaimanapun, rumah ini adalah satu dari banyak peninggalan Ali yang harusnya bisa ia jaga. Tetapi karena perasaan takut dan bayangan indah tentang ia dan sosok mendiang suami yang selalu menghantui, dua tahun berlalu tanpa terasa untuk Deka, juga anaknya.

Satu persatu cahaya di sudut rumah mulai menyala. Deka kembali membawa dirinya berjalan melewati kotak perkotak ubin yang melapisi lantai, dengan hati yang tenang serta senyuman pahit di ujung bibirnya setiap kali ia mendengar tembok tembok ruangan bercerita bahwasanya dulu, ia dan Ali pernah tertawa dan menangis bersama hingga langkahnya berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih pucat.

Jantungnya berdegup dengan kencang tatkala tangannya secara lancang bergerak dengan tiba tiba memutar kenop pintu ke bawah hingga penampakan dalam ruangan, dapat Deka lihat dengan bebas. Sebuah ranjang terbungkus kain putih dengan tata letak ruang yang tidak berubah semenjak dua tahun yang lalu. Lampu tidur yang tidak bergeser, gorden cendela yang tidak diganti, foto pernikahannya dengan Ali yang tidak berubah, hingga handuk yang tergantung dengan tenang di sudut ruangan, dibiarkan berada di tempatnya secara alami. Untuk sepersekian detik selanjutnya, Deka hanya diam mematung memandang semua hal yang sekarang sedang berada di depannya.

Dek, sini? Buruan ah, cepet” panggil Ali meminta Deka untuk segera naik ke atas tempat tidur bersama.

Udah gue bilang berapa kali? Jangan bawa makanan ke kamar, Ali. Bikin sarang semut, tau?” balas Deka waktu itu.

Enak dong nanti bisa di jual, lumayan, mahal. Buruan ah ngomel mulu gue cium lo lama lama” jawab Ali kembali.

Dekan hanya tersenyum ketika satu persatu ingatan mulai menyerang pertahanannya. Bahkan kini, ia seakan bisa mendengar suara Ali karena terlampau rindu dengan sosok lelaki yang selalu memberinya dunia kapanpun Deka memintanya.

Aliiiiiiiiiii! Aliiiii cepet, Aliiiiiiiii” teriak Deka, lagi dan lagi.

Hah? Kenapa? Kenapa sayang?” jawab Ali dengan nafas terengah engah berlari menaiki anak tangga karena teriakan Deka yang terlampau menggema di telinga.

Kenapa?” tanya Ali sekali lagi.

Masa tadi aku masuk ke kamar, kasurnya gak ada?” jawab Deka.

Hah?

Ternyata ketutupan seprei, HAHAHAHHA” balas Deka setelahnya tertawa bahagia. Ali hanya berkacak pinggang di ambang pintu sembari menatap teduh ke arah sang wanita, sebelum setelahnya ia menyerang Deka dengan beribu kecupan kecil di wajah sang wanita hingga kamar ini, dipenuhi oleh tawa bahagia keduanya.

“Hahahahah” kekeh Deka mengudara setelah banyak memori tentangnya dan sang suami memasuki otaknya begitu saja.

“Ahhh what a good old days” lanjut Deka sembari duduk di ujung tempat tidur, mengusap permukaannya perlahan sebelum satu air mata akhirnya lolos begitu saja dari mata cantik ibu satu anak ini. Dengan tergesa Deka mengusapnya kasar karena ia tidak ingin lagi mengenang Ali dalam kesakitan.

It's ok, nangis aja, nggak papa Deka” suara Ali yang entah dari mana Deka dengar dengan jelas di telinga, membuatnya kembali mengepalkan jemari mencari kekuatan karena pasalnya, pertahanan diri yang ia bangun selama dua tahun ke belakang, hancur seketika wangi tubuh Ali tiba tiba menyeruak menghujam hidungnya begitu saja. Deka menutup wajahnya ketika lagi dan lagi kenangan akan dirinya dengan Ali kembali menghajar kewarasannya. Ali yang tertawa, Ali yang menangis, Ali yang memeluknya, Ali yang marah, Ali, Ali, Ali dan hanya ada Ali di dalam sini.

“Ali” panggil Deka kepada sang suami yang sudah jelas ketidak adaanya eksistensi adalah jawaban mutlaknya.

“Aliiii” raung Deka kali ini dengan memukul mukul dadanya sesak.

“Aliiiiiiiii” rintihnya sekali lagi yang masih saja nihil, tidak ada jawaban membayarnya kembali. Dengan air mata yang Deka keluarkan malam ini, Deka tahu bahwa ini adalah waktunya ia membiarkan Ali pergi. Ini adalah waktunya ia membesarkan anugerah besar yang Ali tinggalkan, anak mereka. Ini adalah waktunya untuk Deka kembali melanjutkan hidup walau separuh nyawanya sudah terbaring lemas tanpa tenaga bersama Ali dalam liang lahat. Ini adalah waktunya.

Maka dengan segala rasa keputus asaan, hari hari sendirian yang Deka jalani, segala perasaan rindu terlampau memburu, serta keyakinan bahwa Ali akan kembali suatu hari nanti, Deka membiarkan Ali pergi melalui air matanya malam ini, mengikhlaskan semua mimpi serta merajut kembali cerita tantang hidupnya dan Gloria berdua. Dengan cinta, kasih, dan sayang yang masih teramat besar, Deka merelakan suaminya terlelap dengan rasa damai hingga waktu kembali membersamakan mereka berdua.

Langkahnya goyah ketika kakinya berjalan memasuki sebuah rumah mewah yang amat sangat ia kenal siapa pemiliknya, jantungnya berdebar seakan dapat merasakan bahwa hal bedar akan segera datang, hatinya menciut ketika runggunya mendengar suara ramai teriakan dari dalam ruangan menggema di udara. Dengan tekat serta rasa khawatir yang ia bawa dari rumah, Shannon memaksakan diri untuk segera bertegur sapa dengan siapapun orang yang sedang dihukum di dalam sana.

“Nggak tau malu!” “Kurang apa istrimu?!” teriak seorang lelaki paruh baya dengan kemeja dan rambut berantakan, sedang memaki seorang lelaki yang terduduk tanpa tenaga masih dengan setelan kerja yang tadi pagi Shannon siapkan.

“Sampah!” lanjutnya diikuti dengan satu tamparan keras di pipi sebelah kiri. Shannon kemudian berlari. Memeluk suaminya yang sudah tak berdaya babak belur dihajar habis habisan oleh sang papa. Melihat keadaan Jaehyun yang sudah seperti ini, Shannon yakin bahwa pukulan keras yang baru saja ia saksikan adalah pukulan untuk entah kali keberapa, yang jelas, bukan yang pertama.

Wanita dengan rambut dan kardigan panjang itu kemudian merengkuh daksa lelakinya yang hanya bisa tertunduk sembari mengeluarkan air matanya dalam diam. Menyesali setiap perbuatan yang dengan sadar ia lakukan.

“Papa ngga seharusnya ngajarin dia kaya gini. Tapi apa yang udah dia lakuin ke kamu itu lebih buruk dari pada kelakuan binatang. Bangun, Na. You deserve more” ucap sang mertua kepada Shannon yang masih mencoba melindungi daksa sang suami.

“Papa please udah. Udah jangan lagi tolong” balas Shanmon dengan suara bergetar. Siapapun yang sedang berada disana pasti dapat merasakan seberapa getir hidup ibu dua anak ini belakangan karena hanya untuk mengeluarkan suara saja ia nyaris tidak bisa.

“Nona, bangun nak” jawab sang mama sembari mendekat dan mencoba merengkuh tubuh anak menantunya yang jelas pula, langsung dibantah oleh sang empu wanita.

“Ini masalah Nona sama mas, biarin Nona yang selesaiin ma, please” balas Shannon dengan buliran air mata yang mulai menyapa. Agaknya melihat keadaan Jaehyun dengan luka lebam di seluruh wajah membuat hatinya menderita. Terlampau paham jika orang tua memiliki hak dan wewenang atas anaknya, tetapi memukul dan mencaci, berapapun usia anaknya adalah hal yang Shannon yakini salah. Ditambah lagi masalah ini adalah ranah rumah tangganya, maka dengan segala keputus asaan yang ada, Shannon memohon untuk membawa suaminya pergi dan menyelesaikan masalah ini apapun nanti jalan keluarnya.

Deka meraup semua udara sekuat yang ia bisa seolah tak pernah bernafas selama 28 tahun hidup di dunia. Jendela lebar yang berada di ujung ruangan, memberikan akses wanita satu anak ini untuk mengisi setiap rongga paru parunya dengan bebas menggunakan angin bersih karena jatuh bersama air yang sudah mengandung sejak sore tadi. Tetesan tetsan hujan yang terbawa hilir ini, sedikit demi sedikit membasuh wajah Deka yang memang dengan sengaja membiarkan udara segar malam ini menyapu sebagaian wajah canyiknya.

Jika dipikirkan kembali, sudah sangat lama Deka tidak merasa setenang ini. Ketika dirinya mengiyakan ajakan Ali untuk tumbuh bersmaa seumur hidup, adalah waktu dimana Deka tau tidak akan ada hari tenang walau hanya sebentar. Ditambah lagi, ketika Gloria Rudine Aulia, si pembawa kabar bahagia lahir, Deka seolah diingatkan kembali, bahwa setiap nafas yang ia hirup, adalah waktu kacau karena akan selalu ada seorang lagi yang menganggu hidupnya selain Ali, dan Deka, tidak akan bisa menolaknya. Maka untuk menginagt kembali mimpi mimpi dan waktu waktu tentram sepulang bekerja pada hari dulu, hujan malam ini Deka gunakan untuk menyegarkan kembali jiwa jiwa teruskinya.

Tenang. Tenang sekali ia menikmati pelukan bising sendirian hingga sebuah suara membuyarkan lamunanya. Ali menarik kenop pintu ke bawah dengan perlahan agar ia memasuki ruangan, menjangkau tempat sang wanita.

“Tidur juga akhirnya” ucap Ali sangat lega.

“Kamu ngapain?” tanyanya kemudian menyadari Deka sedang menutup jendela.

“Enggak” balas Deka kemudian beralih mencari remot TV sementara Ali, berjalan mondar mandir di depan pintu.

“Kunci gak ya?” gumam sang lelaki nampak kebingungan.

“Ngapain?” tanya Deka seolah mengerti isi otak sang suami.

“Nanti dia masuk lagi?” jawab Ali menoleh ke arah wang wanita. Deka sontak tertawa dengan jawaban polos suaminya.

You still on that mood?” tanyanya pada sang tuan.

“Kamu udah engga?” tanya Ali kembali polos sekali.

“Hahahahaha, Ali. Buka aja pintunya, kasian nanti dia kalo kebangun lagi. Aku udah gak mood sejak anak masuk tadi hahaha. Tenang sayang masih ada hari besok” jelas Deka sembari diselingi beberapa kali gelak tawa.

“Huh, untung anak aku” balas Ali kemudian menyusul Deka di atas ranjang.

“Sini. i want hug you” balas Deka merentangkan tangan manja. Kemudian jemari mungilnya sibuk menari di atas remot, memilih tontonan mana yang layak ia nikmati berdua dengan sang suami di malam hujan seperti ini, di dalam pelukan Ali.

Hot chocolate or caffe?” tanya Ali bangkit berdiri, seolah memahami ada yang kirang dari malam mereka kali ini. Deka tersenyum. Ali masih saja Sabima Ali Aulia yang ia kenal sejak dulu, detail dan peka terhadap apapun yang ada di sekitarnya.

Hot chocolate sounds good” jawab Deka. Ali kemudian berlalu pergi meninggalkan sang wanita untuk membuat pesanan aats penawarannya “you got it, ma'am.


Why do benjamin Walker looks so dmn fine in the screen?” rancau Deka ketika setengah film sudah terputar.

What about me?” tanya Ali menaggapi rancauan sang istri.

“Kamu tu kenapa ya jadi cemburuan banget? It's benjamin Walker, Ali. Nicholas Sparks, dan kamu masih nekat bandingin diri kamu sama dia?” tanya Deka menoleh ke atas, ke arah suaminya melipat satu tangan ke belakang kepala dan satunya lagi, digunakan untuk merengkulnya mesra. Ali tidak menjawab,ia hanya melirik ke bawah, ke tempat dimana Deka berada. Dan di detik itu pula, Deka berani bersumpah dan memaki Ali dalam hati bahwa suaminya malam ini berbeda dari biasanya. Lirikan yang Ali berikan berhasil memporak porandakan keinginan Deka untuk tidak berbuat lebih dari sekedar menikmati coklat panas dan film bersmaa, karena ternyata, dari bawah sini, Ali terlihat begitu sempurna.

Kiss me then” ucap Ali seolah mengerti hal apa yang ada dalam pikiran Deka.

Why?” tanya Deka mencoba terdengar setenang mungkin.

What?” balas Ali dengan suara berat dan lirihnya yang seketika itu pula, membuat sang wanita meremas sisi seprei yang sudah ia tata. Diam diam Deka berdoa dalam hati bahwa suara ini adalah suara Ali yang tidak pernah ia beri dengarkan ke oranglain, baik Maureen ataupun keluarganya karena bariton rendah itu terlampau membuai di telinga.

Still on that mood, bunda” lanjut Ali di telinga Deka. Hancur. Benteng yang Deka bangun dengan sangat tinggi dan ia harapkan akan sekuat baja ini, hancur dengan satu kalimat dari Ali yang terdengar sangat menngiurkan. Deka sontak memejamkan mata, ketika tangan kekar sang lelaki dengan bebas meraba bagian lehermya. Nafasnya sedikit terburu karena Ali dengan lihai menembakan peluru di titik titik sensual milik Deka.

“BUNDAAAAAAAA” teriak sebuah suara diiringi dengan pintu kamar yang terbanting terbuka, menampakkan seorang gadis kecil berbaju tidur sama dengan beberapa waktu lalu, tengah menangis dengan lagi lagi mengusap matanya.

“Undaaaaaaaaaa” ulang Gloria naik ke ranjang menyusul sang induk berada.

“Hah? Hai hallo, anak aku” balas Deka kelabakan karena tidak mengira bahwa Gloria Rudine Aulia akan kembali datang menganggu kegiatannya untuk yang kedua kalinya.

“Anak bunda sini sini” lanjut Deka merangkul anaknya dengan posisi yang sudah berubah, ia telah duduk dengan canggung sementara Ali, lelaki dengan perawakan cukup tinggi ini sedang bersujud di lantai kamar sembari memukul mukul ubin yang ada karena terlampau kesal aktifitasnya tidak terjadi untuk waktu yang berulang. Bagaimana cara menjelaskan perasaan Ali? kesal, tetapi ai tidak bisa marah karena Glorialah pelaku utamanya.

“Bobo disini” ucap Gloria memeluk Deka.

“Iyaaaa, boleh bobo disini” balas Deka sembari mengusapusap halus punggung sang anak. Mendengar jawaban sang wanita, Ali sontak berdiri dan menatap ke arah dunianya. Bagaimana bisa Deka menjadi segampang ini dengan anak mereka? Lalu bagaimana dengan dirinya? Bagaimana nasib permainan yang telah dimulai tetapi tidak bisa diselesaikan? Ah tidak, bahkan belum dimainkan.

“Apaaa?” tanya Ali tanpa suara ke arah Deka. Ibu dari satu anak itu menatap suaminya dengan kekehan kecil karena menurutnya ini lucu. Gloria Rudine Aulia nampaknya tau maksud jahat sang papa hingga ia datang menyelamatkan sang ibunda, dua kali.

“Papa?” tanya Gloria setengah menutup mata, merasa nyaman dalam dekapan Deka.

“Iya sayang, bobo sini ya” balas Ali ikut ikutan mengiyakan permintaan Gloria. Masih berdiri di samping ranjang, Ali kemudian menatap teduh kedua wanita di hadapannya. Deka yang dulu selalu kekanak kanakan, kini dengan dewasa menenangkan buah hati mereka yang tertidur dengan resah dalam dekapnya. Deka yang dulu menolak setengah mati kehadiran Gloria, kini menjadi gerda terdepan yang akan selalu mengiyakan permintaan sang buah cinta. Percaya atau tidak, tapi Ali benat benar sudah tumbuh dan banyak berubah bersama Deka.

“Ali? Kecilin TVnya” ucap Deka. Sadar sang wanita meminta sesuatu padanya, Ali kemudian menuruti permintaan Deka.

“Aduh, anak aku anak aku” ucap Ali bergabung bersama anak dan istrinya di atas ranjang, sesaat setelah tontonan di hentikan.

“Ganggu banget, ahh” lanjutnya sedikit kesal sebelum ia melemparkan tatapan penuh harap ke arah sang wanita. Deka kemudian membalasnya dengan kekehan kecil, membayangkan betapa bercandanya malam ini kepada ia dan sang suami. Seolah terkoneksi ke dalam orak sang istri, Ali juga turut mengudarakan tawa m=menginagt kembali bagaimana aktivitas malam mereka harus berehnti karena gangguan yang tak akan bisa tolak bagaimanapun bentuknya.

Deka meraup semua udara sekuat yang ia bisa seolah tak pernah bernafas selama 28 tahun hidup di dunia. Jendela lebar yang berada di ujung ruangan, memberikan akses wanita satu anak ini untuk mengisi setiap rongga paru parunya dengan bebas, menggunakan angin bersih karena jatuh bersama air yang sudah mengandung sejak sore tadi. Tetesan tetesan hujan yang terbawa hilir ini, sedikit demi sedikit membasuh wajah Deka yang memang dengan sengaja membiarkan udara segar menyapu sebagaian wajah cantiknya.

Jika dipikirkan kembali, sudah sangat lama Deka tidak merasa setenang ini. Ketika dirinya mengiyakan ajakan Ali untuk hidup bersama selama sisa umur mereka, adalah waktu dimana juga Deka tau tidak akan ada hari tenang walau hanya sebentar. Ditambah lagi, ketika Gloria Rudine Aulia, si pembawa kabar bahagia lahir, Deka seolah diingatkan kembali, bahwa setiap nafas yang ia hirup, adalah hari kacau karena akan selalu ada seorang lagi yang menganggu hidupnya selain Ali, dan Deka, tidak akan bisa menolaknya. Maka untuk mengingat kembali mimpi mimpi dan waktu waktu tentram sepulang bekerja pada hari dulu, hujan malam ini Deka gunakan untuk menyegarkan kembali jiwa jiwa teruskinya.

Tenang. Tenang sekali ia menikmati pelukan bising sendirian hingga sebuah suara membuyarkan lamunanya. Ali menarik kenop pintu ke bawah dengan perlahan agar ia bisa memasuki ruangan, menjangkau tempat sang wanita berada.

“Tidur juga akhirnya” ucap Ali sangat lega.

“Kamu ngapain?” tanyanya kemudian menyadari Deka sedang menutup jendela.

“Enggak” balas Deka kemudian beralih mencari remot TV sementara Ali, berjalan mondar mandir di depan pintu.

“Kunci gak ya?” gumam sang lelaki nampak kebingungan.

“Ngapain?” tanya Deka seolah mengerti isi otak sang suami.

“Nanti dia masuk lagi?” jawab Ali menoleh ke arah wang wanita. Deka sontak tertawa dengan jawaban polos suaminya.

You still on that mood?” tanyanya pada sang tuan.

“Kamu udah engga?” tanya Ali kembali polos sekali.

“Hahahahaha, Ali. Buka aja pintunya, kasian nanti dia kalo kebangun lagi. Aku udah gak mood sejak anak masuk tadi hahaha. Tenang sayang masih ada hari besok” jelas Deka sembari diselingi beberapa kali gelak tawa.

“Huh, untung anak aku” balas Ali kemudian menyusul Deka di atas ranjang.

“Sini. i want hug you” balas Deka merentangkan tangan manja. Kemudian jemari mungilnya sibuk menari di atas benda balok penuh tombol, memilih tontonan mana yang layak ia nikmati berdua dengan sang suami di malam hujan seperti ini, di dalam pelukan Ali.

Hot chocolate or caffe?” tanya Ali bangkit berdiri, seolah memahami ada yang kurang dari malam mereka kali ini. Deka tersenyum. Ali masih saja Sabima Ali Aulia yang ia kenal sejak dulu, detail dan peka terhadap apapun yang ada di sekitarnya.

Hot chocolate sounds good” jawab Deka. Ali kemudian berlalu pergi meninggalkan sang wanita untuk membuat pesanan atas penawarannya “you got it, ma'am.


Why do Benjamin Walker looks so dmn fine in the screen?” rancau Deka ketika setengah film sudah terputar.

What about me?” tanya Ali menaggapi rancauan sang istri.

“Kamu tu kenapa ya jadi cemburuan banget? It's Benjamin Walker, Ali. Nicholas Sparks, dan kamu masih nekat bandingin diri kamu sama dia?” tanya Deka menoleh ke atas, ke arah suaminya melipat satu tangan ke belakang kepala dan satunya lagi, digunakan untuk merengkulnya mesra. Ali tidak menjawab,ia hanya melirik ke bawah, ke tempat dimana Deka berada. Dan di detik itu pula, Deka berani bersumpah dan memaki Ali dalam hati bahwa suaminya malam ini berbeda dari biasanya. Lirikan yang Ali berikan berhasil memporak porandakan keinginan Deka untuk tidak berbuat lebih dari sekedar menikmati coklat panas dan film bersama, karena ternyata, dari bawah sini, Ali terlihat begitu sempurna.

Kiss me then” ucap Ali seolah mengerti hal apa yang ada dalam pikiran Deka.

Why?” tanya Deka mencoba terdengar setenang mungkin.

What?” balas Ali dengan suara berat dan lirihnya yang seketika itu pula, membuat sang wanita meremas sisi seprei yang sudah ia tata. Diam diam Deka berdoa dalam hati bahwa suara ini adalah suara Ali yang tidak pernah ia beri dengarkan ke oranglain, baik Maureen ataupun keluarganya karena bariton rendah itu terlampau membuai di telinga. Hidup sebagai anak pertama membuatnya banyak melalui hal yang mengharuskannya mengalah walaupun Deka saat itu ingin sekali menang, maka oleh itu, malam ini ia ingin menjadi tamak dengan tidak mengizinkan siapapun mendengar suara rendah dari mulut Ali.

Still on that mood, bunda” lanjut Ali di telinga Deka. Hancur. Benteng yang Deka bangun dengan sangat tinggi dan ia harapkan akan sekuat baja ini, hancur dengan satu kalimat dari Ali yang terdengar sangat menngiurkan. Deka sontak memejamkan mata, ketika tangan kekar sang lelaki dengan bebas meraba bagian lehernya. Nafasnya sedikit terburu karena Ali dengan lihai menembakan peluru di titik titik sensual milik Deka. Jika dapat digambarkan, Ali sudah hafal dengan benar dimana tempat tempat kesukaan Deka untuk diraba. dan Ali, menjadi satu satunya menusia yang buta peta tetapi sudah paham bagaimana cara menyentuh Deka.

“BUNDAAAAAAAA” teriak sebuah suara diiringi dengan pintu kamar yang terbanting terbuka, menampakkan seorang gadis kecil berbaju tidur sama dengan beberapa waktu lalu, tengah menangis dengan lagi lagi mengusap matanya.

“Undaaaaaaaaaa” ulang Gloria naik ke ranjang menyusul sang induk berada.

“Hah? Hai hallo, anak aku” balas Deka kelabakan karena tidak mengira bahwa Gloria Rudine Aulia akan kembali datang menganggu kegiatan untuk yang kedua kalinya.

“Anak bunda sini sini” lanjut Deka merangkul anaknya dengan posisi yang sudah berubah, ia telah duduk dengan canggung sementara Ali, lelaki dengan perawakan cukup tinggi ini sedang bersujud di lantai kamar sembari memukul mukul ubin yang ada karena terlampau kesal aktifitasnya tidak terjadi untuk waktu yang berulang. Bagaimana cara menjelaskan perasaan Ali? Kesal, tetapi ai tidak bisa marah karena Glorialah pelaku utamanya.

“Bobo disini” ucap Gloria memeluk Deka.

“Iyaaaa, boleh bobo disini” balas Deka sembari mengusap usap halus punggung sang anak. Mendengar jawaban sang wanita, Ali sontak berdiri dan menatap ke arah dunianya. Bagaimana bisa Deka menjadi segampang ini dengan anak mereka? Lalu bagaimana dengan dirinya? Bagaimana nasib permainan yang telah dimulai tetapi tidak bisa diselesaikan? Ah tidak, bahkan belum dimainkan.

“Gimana sih?” tanya Ali tanpa suara ke arah Deka. Sementara yang ditanya hanya tersenyum canggung dengan sesekali mengangkat bahu, tanda bahwa ia juga tak tahu menahu mengenai kedatangan Gloria ke kamar mereka.

“Papa?” tanya Gloria setengah menutup mata, merasa nyaman dalam dekapan Deka walaupun baru sebentar saja.

“Iya sayang, bobo sini ya” balas Ali ikut ikutan mengiyakan permintaan Gloria. Masih berdiri di samping ranjang. Sebenarnya baik Ali maupun Deka akan sama sama lemah jika sudah dihadapkan dengan seorang yang bernama Gloria rudine Aulia. Karena orang tua ini berfikir bahwa tidak menyambut dengan bahagia kedatangan anak mereka, adalah utang besar yang tidak tahu kapan akan lunas mereka bayar, jadi mengiyakan semua permintaan Gloria, menjadi hal wajar yang Ali dan Deka lakukan. Dengan sesekali berkata “tidak' guna mengajarkan bahwa tidak meuda hal dapat Ali dan Deka berikan utnuk sang buah cinta.

Ali kemudian menatap teduh kedua wanita di hadapannya. Deka yang dulu selalu kekanak kanakan, kini dengan dewasa menenangkan buah hati mereka yang tertidur dengan resah dalam dekapnya. Deka yang dulu menolak setengah mati kehadiran Gloria, kini menjadi garda terdepan yang akan selalu membe;a Gloria bagaimanapun dan apapun keadaanya. Deka yang dulu selalu manja, kini sudah memanjakan manusia lain selain dirinya. Ali hanya berdiri di samping ranjang dengan bangga, menatap dua semestanya.

“Ali?” panggil Deka. “Ali, kecilin TVnya” ulang Deka. Sadar sang wanita meminta sesuatu padanya, Ali kemudian menuruti permintaan Deka.

“Aduh, anak aku anak aku” ucap Ali bergabung bersama anak dan istrinya di atas ranjang, sesaat setelah tontonan di hentikan.

“Untung kamu anak aku” lanjut Ali mencari wajah sang anak dalam dekapan sang istri. Mencium pipinya gemas sebelum setelahnya melemparkan tatapan ke arah Deka. Tidak ada percakapan untuk keduanya. Baik Ali dan Deka hanya saling terkekeh, mentertawakan betapa bercandanya dunia kepada mereka malam ini yang hanya ingin saling memiliki. kekehan itu kemudian terhenti ketika baik Deka dan Ali sama sama berbicara melalui keheningan, bahwa 'hari ini tak apa, masih ada hari esok, aku bangga' satu sama lain dengan tatapan mata, yang kemudian didului oleh Ali yang mengikis jarak dan mengecup singkat bibir sang wanita. Deka kemudian tersenyum dan kembali mengecup ranum merah milik sang lelaki.

Cukup lama kegiatan ini mereka lakukan dalam diam sebelum lagi dan lagi Gloria Rudine Aulia merengek dalam tidur lelapnya dan kembali membuyarkan sesi bercinta kedua orang tuanya. Ali melepas tautan dan menangkap mata Deka dalam dalam, keduanya kemudian kembali tertawa dan menempelkan dahi masing masing sembari memejamkan mata, ah Gloria Rudine Aulia ini, benar benar ya.

Malam ini kemudian mereka habiskan untuk saling memeluk di atas ranjang. Berbagi selimut dan udara yang sama, bertiga dari petang menjelma terang. Menyadari bahwa hidup yang baik adalah hidup yang selalu berubah ke depan, tidak ada banyak waktu lagi untuk selalu berdua, tidak ada tenaga lagi untuk berdebat bersama. Ali dan Deka hanya terus saling mensyukuri keberadaan keduanya dalam hidup mereka, berbagi ranjang yang sama, berbagi air yang sama, berbagi udara yang tidak berbeda. Ali dan Deka hanya terus saling mneyukuri karena pasangan mereka adalah Deka dan Ali, karena jika bukan, mungkin hidup akan lebih berat dari apa yang seharusnya mereka berdua jalani.

Dan satu lagi, mengenai kelahiran Gloria ke dunia, adalah anugerah yang sebenarnya belum Ali dan deka minta. Gloria adalah anugerah yang tidak dapat diganti oleh apapun benda dan semahal apa nominalnya, karena dengan kehadirannya saja, baik Ali dan Deka banyak menuai pelajaran yang tak pernah mereka bayangkan akan sangat mereka berdua butuhkan. Lalu pelajaran apa yang dapat diambil dari sini? Bahwa harapan, hampir selalu lebih indah dari kenyataan, tetapi di tengah jalan, akan selalu ada kejutan yang menyenangkan. – Ayu Kartika Dewi.

Gemercik air pukul sebelas malam agaknya masih setia memenuhi runggu Deka yang berdiri di depan jendela luas terbuka, tengah mengisi sebagian paru parunya dengan udara bersih karena jika hujan tiba, maka debu debu halus diudara akan hilang ditelan bumi dengan sendirinya. Matanya damai terpejam, tangannya berdua ada di depan dada, rambutnya sedikit berterbangan mengikuti kemana angin pergi, sendirian. Di dalam kamar yang biasa ia tiduri dengan Ali, Deka sendirian.

Tak lama ia segera menutup akses terbuka tatkala sang lelaki dengan sengaja memutar kenop pintu pertanda bahwa