raellee

'I love you'

Kata kata terakhir yang telinga Ali dengar sesaat sebelum mobilnya menghantam jalanan aspal dan membalikkan diri serta menyerahkan anak dan sang istri hampir ke hadapan Tuhan tiba tiba berputar kembali di kepala Ali.

'I love you'

Entah sejak kapan kalimat indah itu tak lagi terdengar sama seperti saat pertama, sejak Ali mengalami kegagalan dalam urusan melindungi keluarga kecilnya enam bulan yang lalu. Dulu, i love you agaknya menjadi kalimat paling mujarab jika dunianya sedang sulit diajak bekerja sama. Dulu, i love you menjadi kata paling menenagkan ketika dunianya sibuk sendiri sementara Ali harus tetap berjalan walau sedang hilang dan kesakitan. Dulu, i love you menjadi lullaby paling merdu ketika Ali terjaga sepanjang malam padahal ia harus segera bangun di hari kemudian. Dulu, kalimat itu tinggal di masa lalu. Sejak kecelakaan yang membuat ingatannya sempat reda entah kemana, kalimat paling ampuh bagi sepasang pecinta itu tak lagi menggetarkan hati.

Sama seperti kali ini. Ali hanya duduk diam memandang ke bawah dengan degup jantung yang mengayun dengan tajam serta keringat bercucuran tak lupa juga nafas yang tercekat hampir tak dapat ia hirup dengan bebas. Kedua tangannya memegang kendali mobil milik sang adik ipar lengkap dengan sabuk pengaman yang sudah terpasang, tetapi mesin tak kunjung dinyalakan.

Kalo gue ngga ngajak Deka pergi hari itu hari ini pasti ngga ada. Kalo gue ngga ngajak Deka pergi hari itu, sekarang kaya gimana? Kalo gue dengerin kata ibu ayah bunda kayanya anak gue bisa bahagia

Suara suara bising yang dulu sempat Ali hilangkan, kini lagi dan lagi muncul kembali disertai rasa bersalah yang tak terlihat dimana ujung pengampunannya. Bajunya basah, bahkan kini kedua tangan kekarnya sudah berpindah ke atas kepala. Meremas surai hitam kesukaan Deka frustasi dengan sesekali memukul mukul pusat kehidupannya berharap agar perasaan perasaan tak benar itu segera pergi.

“Deka” ucap Ali dengan suara yang bergetar sejalan dengan air mata yang mulai turun melalui kedua pipinya begitu saja. Berada di dalam mobil sendirian agaknya membuat Ali merasa bahwa pasokan oksigen di dalam sana benar henar sangat sedikit adanya. Dadanya sesak. Entah karena udara yang memang tidak masuk atau rasa trauma ini mengakibatkan Ali tidak bisa bernafas dengan benar.

“Deka” “Deka” “Gloria” ucapnya lagi sangat frustasi hingga tak menyadari wajahnya sudah basah karena air yang tak mau mengalah.

“Deka” “Deka” ucapnya beribu ribu kali hingga tiba tiba pintu di samping Ali dibuka secara paksa.

“Deka” ucap Ali sekali lagi sembari memeluk erat tubuh sang istri. Deka berdiri dengan pakaian santai kebesaran membawa sebuah kantong yang entah apa isinya, berwajah kebingungan mendapati Ali yang sudah kacau entah apa penyebabnya.

“Deka, don't leave me” gumam Ali di sela sela pelukan mereka. Tidak ada balasan hangat dari sang wanita karena Deka masih kepalang terkejut dengan keadaan suaminya. Beberapa waktu yang lalu, ketika Ali dengan percaya diri ingin pergi ke tempatnya bekerja membawa mobil sang ipar yang ditukar dengan motornya, Ali nampak baik baik saja. Namun mengapa beberapa menit setelahnya keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat?

“Ali you ok?” kata Deka sesaat kemudian menepuk nepuk punggung sang lelaki. Tidak ada jawaban dari sang pria. Ia hanya terus menangis ketakutan hingga tak sadar tubuhnya dengan hebat telah bergetar.

It's ok, it's ok Ali, it's ok” tenang Deka akhirnya memahami situasi yang sedang terjadi.

It's ok” tenangnya sekali lagi sembari membalas pelukan sang suami.

Wanita dengan rambut panjang sepunggung itu bahkan tidak menangis, ketika jemarinya dengan gemetar menganggeman kemudi mobil yang melaju di bahu jalan. Jantungnya berdegup dengan kencang tat kala sang adik iparnya memberi tahu dimana letak suaminya berada. Yang membuatnya lebih tak kuasa menahan diri adalah, fakta bahwa laki laki yang menyandang status sebagai ayah dari anak anaknya ini tengah hancur dihajar sang papa mertua.

Ini di luar kuasanya. Sudah sejak satu minggu yang lalu coba Shannon tutupi agar tak tercium hidung tajam keluarga, tetapi usahanya gagal juga. Hari ini, mungkin sudah ditakdirkan bahkan jauh sebelum dirinya bernafas dengan bebas di dunia, bahwa hari kehancuran Shannon dan Jaehyun telah tiba setelah beberapa tahun bahtera rumah tangga mereka dibangun.

Gerbang putih tanpa aksen yang Shannon lihat dari jatak dekat itu ternyata sedang terbuka. Tanpa babibu banyak pertanyaan, ibu dua anak ini segera memutar setir mobilnya dan memarkir si kereta besi sembarangan agar segera dapat mencapai pusat dunianya. Di dalam rumah luas berukuran tak terhingga itu pula, Shannon dengar dari luar dengan jelas suara seorang laki laki, setengah berteriak, menggema di telinga.

“Ini yang kamu contoh? Kaya begini?! Papa malu punya anak kaya dia.”

“Liat Jeno! Mbak Nona kurang apa sampe dia cari perempuan lain?! Kamu itu ngga bersyukur!” Lanjutnya.

Plakk

Satu tamparan agaknya menyusul di pipi entah sebelah mana, karena suaranya yang keras tak kalah dari suara berat sang ayah mertua. Mendengar suasana benar benar kacau karenanya, Shannon segera membawa langkah kaki gontainya untuk masuk ke dalam rumah. Jika tidak dapat diselesaikan, maka setidaknya suaminya tidak berakhir berantakan.

“Nona?” ucap mama lirih ketika mendapati sang menantu tengah berlari menyusul sang suami. Jeno dan mama yang berdiri di samping papa hanya dapat diam dengan penuh perasaan was was ketika seorang lainnya ikut bergabung.

Tidak ada hal lain yang dapat wanita paruh baya dan remaja laki laki ini lakukan untuk membantu si sulung karena perbuatannya kali ini memang di luar kendali. Dengan sumpah serapah yang sudah berhenti keluar dari mulut sang ayahanda, Shannon Adeline Jung duduk bersimpuh penuh sesal di hadapan mertua serta adik iparnya. Kedua tangannya mengepal di atas paha seolah menahan segala sesak yang ada. Seolah dengan meremas kedua permukaan tangannya sendiri diam diam, kesakitan yang ia rasa beberapa hari belakangan akan turut menghilang. Kepalanya tertunduk seakan ia siap menerima segala macam omongan busuk yang ditujukan untuk lelaki yang ia sayangi sepenuh hati, yang wajah tampannya sudah tak berbentuk lagi berada tepat di belakangnya. Seakan segala macam kekacauan yang Jaehyun ciptakan hari hari ini, siap untuk Shannon bereskan walaupun bukan ia biang keroknya. Shannon selalu bersedia menjadi garda terdepan untuk siapapun orang yang ia sayang.

“Bangun.” bariton rendah yang keluar dari mulut sang papa agaknya menyapa gendang telinga siapapun yang ada disana dengan sedikit desir khawatir di dalam hati.

“Bangun, Nona bangun!” ulang sang mertua. Masih tidak ada jawaban. Shannon Adeline Jung masih duduk bersimpuh dengan kepala menunduk dengan maksud membela sang pria. Sementara Jaehyun, mencoba bangkit dengan terseok seok penuh luka kemudian merangkak dan duduk sedikit maju dari tempat dimana istrinya berada.

“Pukul kakak aja, Pa” balas Jaehyun dengan posisi yang sama dengan yang Shannon lakukan. Bedanya, satu tangannya ia pasrahkan untuk menjadi samsak tinju ayahnya, sementara satu tangannya lagi ia gunakan untuk mengenggam erat jemari sang istri. Dalam keadaan yang kacau tak berbentuk manusia seperti ini, dapat Shannon lihat Jaehyun dengan sekuat tenaga mencoba memberinya kekuatan dan seakan berbicara melalui diam bahwa ia akan baik baik saja, tak perlu khawatir karena semua ini memang sudah Jaehyun terima dengan seharusnya. Bahkan dengan wajah penuh darah dan genggaman yang bergetar hebat, yang Shannon asumsikan bahwa lelaki kesayangan dua anak kembarnya di rumah ini, sedang menahan sakit yang teramat sangat, Jaehyun mencoba memberinya ketenangan.

“Nggak tau malu” jawab papa kemudian pergi meninggalakan lapangan eksekusi.


“Adep sini, mas. Kalo begitu mana bisa diobatin” ucap Shannon yang dengan sabar meraih rahang lelakinya berulang kali karena tidak bosan juga Jaehyun selalu membuang muka enggan menatap paras cantik wanitanya.

I beg you, please liat aku” minta Shannon putus asa untuk yang kesekian kalinya. Mendengar penuturan tak bertenaga milik sang wanita, Jaehyun akhirya menolehkan wajahnya ke arah dimana Shannon berada. Di lantai dengan kedua kaki yang ditekuk sehingga wajahnya bisa sedikit sejajar dengan wajah Jaehyun yang duduk tanpa rasa minat di ujung ranjang.

Masih cantik. Wajah Shannon selalu cantik bahkan ketika matanya bengkak karena banyak menangis yang sumber utama penyakitnya sudah dapat ditebak, dirinya sendiri. Wajah Shannon masih cantik bahkan ketika hidungnya memerah akibat dari serangan virus virus pilek tak tau diri karena sang empu tak cukup tidur belakangan ini, yang penyebab utamanya juga sudah dapat diketahui. Wajah Shannon masih cantik, selalu cantik.

God, what happened?” ucap Shannon ketika mata coklatnya dengan milik sang pria bertemu. Permukaan tangan bagian dalamnya yang halus, menyapu setiap inchi wajah sang suami. Dari bibirnya yang pecah hingga nida darah mengering terpampang dengan nyata, naik ke hidungnya yang sedikit bengkok akibat hajaran keras dari sang papa, pipinya jang tergires entah benda apa yang berani menyakitinya, jidatnya yang sobek hingga rambut yang mulai panjang dan berantakan.

Shannon jelajahi setiap bentuk wajah sang suami seperti kaki pertama ia berani menjatuhkan hati. Kemana perginya kulit halus yang selalu membuatnya heran karena Jaehyun bahkan tak pernah mengenakan krim krim perawat jaringan? Kemana perginya tatapan mata tegas yang selalu membuatnya tunduk jatuh tak berbentuk bahkan ketika mereka berada di atas ranjang? Hilang. Mata tegas, kulit halus serta serabut serabut lembut di atas wajah tampan Jaehyun itu hilang. Digantikan dengan darah kering serta goresan goresan penuh luka yang entah butuh berapa lama untuk hilang dengan sendirinya. Ada perasaan menyesal yang timbul dari lubuk hati yang paling dalam melihat keadaan sang tuan hancur seperti ini. Kemana dirinya sampai tak bisa melindungi jantung hatinya sendiri? Mengapa ia biarkan nasib buruk datang menghampiri? Jika saja seharusnya, kalau tidak seandainya, pertanyaan pertanyaan penuh perandai andaian yang tidak pernah bisa dijawab itu terus berputar di otak Shannon bersamaan dengan air mata yang jatuh dan jemari lentiknya yang masih setia menyisir setiap bagian wajah sang pria. Sore itu, Jaehyun hilang. Suami serta tempat pulang ternyamanya pergi.

That's true” ucap Jaehyun membuyarkan sesi menyesali diri sendiri yang Shannon lakoni.

That's true itu-” lanjut Jaehyun sembari mengambil perlahan tangan istrinya untuk turun dari wajah rupawannya. Tidak dibiarkan begitu saja. Seolah memanfaatkan kesempatan, Jaehyun genggam dengan erat seakan enggan kehilangan.

Stop it.” balas Shannon—menunduk. “Aku percaya sama semua hal yang keluar dari mulut kamu, mas” lanjutnya. “Aku percaya sama semua hal yang kamu bilang. Even it's a lie. Neither say sorry you better say it's not me” lanjut Shannon. Air matanya semakin menjadi. Suaranya semakin bergetar tetapi dengan jelas dapat dilihat bahwa ia mencoba menahan dengan sekuat tenaga.

“Jangan jelasin apapun ke aku, jangan minta maaf. Bilang aja itu bukan kamu. And ill still love you” akhir Shannon mencoba membawa kedua manik matanya menyapa milik sang pria. Pecah. Jaehyun menyimpan lebih banyak genangan air yang juga siap tumpah. Ia tetap menatap ke arah sang istri seolah tak percaya pada hal yang baru saja Shannon ucapkan. Sebuah tawaran akan kesempatan berulang.

“Itu bukan kamu kan? Iya kan? We are totally fine kan?” yakin Shannon pada suaminya. Melihat ketulusan sang wanita, Jaehyunpun menutup mata. Membiarkan aoa yang sedari tadi ingin menetes karena tak kuasa menahan diri sendiri. Sebodoh ini ternyata Jaehyun selama ini. Banyak caci maki yang ingin ia hujatkan pada diri sendiri karena telah berani mencari kehangatan di peluk perempuan lain sementara sang istri memeluk diri sendiri. Jika ada yang lebih hina dari segala sumpah serapah di dunia, mungkin Jaehyun mau menyandang gelarnya.

Sorry Shan, that was me” balasnya dengan mata tertutup dan kepala tertunduk. Tidak ada lagi percakapan yang dapat didengar telinga selain suara isak tangis yang menggema.

“Aku gak denger apa apa, mas. Kita baik baik aja, kan?” tanya Shanon mencoba menguatkan diri.

“Shan, itu aku. Laki laki di berita yang lari habis tidur sama perempuan lain, itu aku” jelas Jaehyun mencoba menghentikan tangisnya.

“Aku gak denger apa apa, kita baik baik aja” final Shannon mencoba bangkit dari duduknya.

“Aku pergi ke dia lima bulan lalu pas kamu minta anak kedua” jelas Jaehyun dengan berani. Sudah dekat dengan pintu keluar, mau tak mau akhirnya Shannon menghentikan langkah kaki.

“Kamu sibuk” “Kamu ngurus anak, ngurus kantor, ngurus rumah. Aku yang awalnya cuma ngga mau nambah beban kamu akhirnya jadi beban kamu yang paling berat” lanjut Jaehyun mencoba menjelaskan duduk masalah mereka.

“Aku cuma nyari pelarian, tanpa sadar aku keterusan, Shan” lanjutnya. Mendengar penjelasan singkat yang Jaehyun berikan, Shannonpun mendekat.

“Aku selalu disana, J. Aku selalu nanya gimana hari kamu, aku selalu nawarin peluk buat kamu tapi apa? Aku sibuk? Kamu gak mau repotin aku?” balas Shannon dengan sisa air mata yang ada.

“Aku, masih tetep bakalan percaya kalo dua menit yang lalu kamu bilang itu bukan kamu. Aku percaya sama kamu sekalipun semua orang kirim bukti kebejatan kamu sana sini!” ledak Shannon. Dengan perasaan yang paling terluka, ia menunjuk suaminya sembari memecahkan air mata yang ada.

I'm trying my best, J. Buat jadi istri, jadi ibu, jadi anak, jadu manusia. Waktu kita sama, cuma 24 jam. Kamu tau? Pelukan, ciuman, yang kamu dapet dari simpenan kamu itu, waktu yang bisa dikasih cuma cuma, tapi waktu yang aku kasih ke kamu, itu waktuku satu satunya, J. Cuma itu yang aku punya. I'm done” balas Shannon kemudian meninggalkan suaminya yang mencoba berdiri dengan kedua kakinya sendiri setelah semua kebodohan yang ia lalui.

Pada akhirnya, tidak ada kata yang dapat mewakili rasa sesal Jaehyun dan kekeceeaan sang istri. Segala bentuk maaf dan penyesalan telah ia langitkan hingga hanya satu hal menemaninya di ujung jalan. Resiko yang harus ia tanggung. Kehancuran keluarga kecilnya, kehilangan anak dan istrinya, bahkan terancam dicabut dari posisi pekerjaan yang ia gunakan sebagai pelarian. Dalam keadaan paling hina seperti ini, ayah dari dua anak ini diam diam memohon untuk kesemoatan kedua sekali lagi, setelah segala pertanggung jawaban perbuatan ia lakukan. Dalam keadaan paling hina seperti ini, ayah dari dua anak ini diam duam memohon untuk kemurahan hati sang istru sebelum status mereka berganti menjadi mantan pasutri.

Deka membuka matanya dengan nafas yang tercekal cekal ketika Ali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Jantungnya berdegup kencang tatkala jemari sang suami menari di atas dahi lalu perlahan turun ke ke atas perut membalik kaos kebesarannya.

Udara pukul empat pagi agaknya kalah dengan atmosfer panas yang Deka dan suami ciptakan sejak jarak dua bulan lalu yang mereka lalui. Ali menatap manik mata istrinya lekat, seolah ingin menyelami kehitaman iris mata yang Deka punya. Sementara sang istri, mendongak juga, menatap mata sang suami yang sudah lama tak menyambanginya.

Masih tidak ada percakapan yang mereka ciptakan. Tidak ada kata kata manis yang mengudara karena sejak kembalinya Ali beberapa menit sebelumnya, ia dan Deka hanya sama sama saling menyalurkan rindu dan berbincang melalui kecupan. Decakan decakan ringan yang mulanya dibangun berubah menjadi ciuman menuntut yang membawa keduanya berpindah dari kamar Gloria ke kamar mereka sendiri. Seolah tidak mengizinkan sang anak melihat bagaimana dulu dirinya dicipta.

Setelah tenggelam cukup dalam di mata sang wanita, Ali kemudian kembali menjamah bibir Deka. Melumatnya perlahan. Lembut sekali seperti pertama menjalani. Bedanya, tidak ada rasa gugup seperti kali pertama karena saat ini mungkin sudah ke 12137694,8 kalinya untuk mereka berdua.

Berbeda dengan Deka. Wanita dengan wajah kacau kelelahan yang masih cantik dimasukan dalam ingatan ini merasa gugup setengah mati karena suaminya yang selalu sama. Entah yang ke dua ke tiga atau ke seratus kalipun, Ali selalu sama. Berada di bawah dada sang lelaki, dalam kungkungan Ali seperti ini selalu membuat Deka merasakan debaran jiwa yang selalu gagal ia netralkan.

God” ucap Ali ketika melihat bekas luka jahit di perut Deka ulah anak mereka berdua.

Beautiful isn't?” tanya Deka dengan suara yang susah payah ia keluarkan dari tenggorokannya. Agaknya sang wanita hanya ingin menikmati setiap sentuhan yang lelaki berikan.

Always. Sorry” balas Ali merasa bersalah melihat saksi nyata kelahiran anaknya yang bahkan dirinya tak bisa ada disana. Ia menundukkan mata. Bekas luka jahit di perut Deka menampar Ali untuk kesekian kalinya semenjak ingatannya kembali. Membuatnya lagi dan lagi merasa tak berguna sebagai seorang ayah dan suami. Melihat Ali yang hanya mengusap lembut perut ratanya, Deka tau mungkin kegiatan pagi dini hari ini tak akan berlanjut.

Karena sudah kepalang dimulai, Dekapun mencoba meyakinkan lelakinya “Ali, it's ok. Remember i said that i can't? I did. I passed that hard time by thinking of you every single second. You were there. Kalo aku ngga mikirin kamu aku ngga bakalan disini sekarang. It's ok kamu disana, Ali” ucap Deka sembari mengusap rahang suaminya.

You are stronger than you seem Dek. Proud of you” balas Ali mengambil tangan sang istri lalu mengecupnya.

You married a powered woman, remember?” tanya Deka. Ali kemudian terkekeh. Ia menaikan pandangnya dan kembali menangkap netra Deka. Tersenyum penuh harap seraya menangkap sinyal hijau yang sang wanita berikan.

Fly me to the moon, Ali” minta Deka ketika ia sadar bahwa suaminya tidak ingin melanjutkan kegiatan lebih dalam.

Fill me, touch me, kiss me, do whatever kaya pertama kali” lanjut Deka.

I wont hurt you” balas Ali memainkan anak rambut sang istri.

No. I want you, you want me too, aren't you? Just do Li, don't make me beg” balas Deka merasa putus asa.

Stop me whenever you feel uncomfy. Stop me whenever you want to stop. You take the control, Dek” balas Ali. Deka mengangguk yakin sebagai jawabannya. Selanjutnya tidak ada lagi kata kata yng dapat menggambarkan keadaan mereka berdua. Deka dibuat gila ketika Ali secara sadar dan perlahan mengecup setiap inci garis yang membentang di perutnya. Menyusuri jalan keluar yang sang anak buat hasil dari ulahnya juga.

Kaitan pada mata Deka semakin dalam berbarengan dengan cengkramannya yang tadi ada pada seprai berpindah ke pundak sang lelaki ketika dunianya dibuat berantakan karena permainan yang Ali mulai. Hentakan demi hentakan tercipta seiring dengan erangan erangan lega yang keluar dari mulut Deka.

Surga mana yang kali ini mereka datangi? Bagi Ali ini adalah kenikmatan dunia yang sudah hampir ia lupa bagaimana bentuknya. Sementara untuk Deka, tempat indah kali ini masih saja seperti pertama bersua. Selalu sama dan tidak pernah berubah, sesekali tempat ini malah menjadi lebih indah.

Setelah decakan demi decakan terjadi, kalimat kalimat pujian sorak sorai dilontarkan, keringat demi keringat diusap, Ali kemudian menjatuhkan diri di samping sang istri. Merangkul Deka erat yang menutup mata menikmati setiap proses pelepasan yang baru saja terjadi. Nafas keduanya masih saling beradu walau tubuh mereka tak lagi menyatu. Deka lelah. Baik Gloria dan Ali agaknya memang tak membiarkan ia bernafas lega seharian ini.

“Tidur” ucap Ali sembari mengecup mesra dahi sang wanita ketika Deka memaksakan membuka mata.

“Aku takut” balas sang wanita.

Why?” tanya Ali lagi. Dengan sedikit mundur agar bisa menatap wajah Deka lama lama.

The last time i closed my eyes, i lost you. Kamu ada tapi lupa. Terakhir kali aku tidur, pas bangun kamu ngga inget apa apa. If this is a dream, so don't wake me up. Soalnya mimpinya cantik banget, Li. Aku mau disini aja” balas Deka bersusah payah membuka matanya. Bahkan tubuhnya sudah tak lagi bertenaga.

Sorry” balas Ali. Matanya kini berpindah. Tak lagi menaruh atensi kepada sang istri.

It's not your fault. Itu bukan salah kamu Ali. Kita cuman lagi apes aja, kena musibah. You told me. Ngga papa. Jangan salahin diri sendiri. Bukan salah kamu” balas Deka dengan mata yang lebih segar. Ia mengusap rahang suaminya yang mulai mengeras menahan air mata.

“Aku harusnya denger kata ibu, kata bunda, kata Ale buat ngga ngajak kamu pergi. Kalo kita ngga pergi sore itu, aku liat Gloria lahir, aku temenin kamu berjuang, aku bantuin kamu urus dia dua bulan belakangan. Dek, aku kaya malu banget sama kamu. Apa ya, kenapa kamu ngga pergi aja? Gimana bisa kamu tetep disini padahal aku beneran hampir bunuh kamu” balas Ali masih enggan menatap mata sang istri. Lagi. Perasaan bersalah itu, datang lagi.

“Yang penting aku sama anak ngga mati, Li” balas Deka. Ali kemudian melemparkan pandang kepadanya. Bagaimana bisa Deka menjawab kalimatnya dengan kata kata sekasar itu?

“Kamu tau apa doaku pas aku sadar aku udah di rumah sakit tapi ngga ada satu orangpun yang nyebut nama kamu? Aku kira kamu udah ngga ada, Li. Terus aku berdoa, 'Tuhan, kalo diambil satu, ambil semua. Kalo hidup satu hidup semua' makanya aku ngga pernah sekalipun ngeluh depan kamu pas kamu lupa kemaren itu” lanjut Deka.

“Aku tau omongan aku ini tambah bikin kamu ngerasa bersalah lagi kan? Good for you then. Bagus. Kamu ngerasa bersalah terus aja sampe kamu bingung gimana caranya tanggung jawab sama perasaan kamu sendiri sampe kamu sadar satu satunya hal yang kamu bisa lakuin cuman hidup. Dunia itu sejahat itu Li. Mau kamu ngerasa bersalah sampe rasanya malu ketemu aku lagi, dia ngga bakalan ngerti. Dunia ngga mau nunggu. Aku ngga pernah sekalipun mikir ini salah kamu. Kamu ngga seharusnya disini. Kamu harusnya mati aja, engga. Ngga pernah sekalipun. Kalo kamu masih ngga ngerti lagi apa alasan aku ngomong kaya gini? Aku bakalan ngomong lebih kasar lagi, lebih jlep lagi biar kamu sadar” jelas Deka panjang lebar. Matanya yang tadi setengah menutup, kini terbuka lebar bahkan menampung beberapa air di pelupuknya. Suaranya yang tadi lemah. Kini berganti tegas dengan beberapa rasa putus asa untuk meyakinkan.

Ali tidak menjawab. Ia menarik Deka lebih dekat. Memeluknya erat sembari terus memberikan usapan pada punggung sang puan. Seolah memberikan jawaban bahwa ia mengerti. Ia mamahami maksud Deka. Bukan untuknya maupun untuk Gloria. Deka hanya meminta Ali memaafkan dirinya sendiri lalu menjalani sisa hidup yang Tuhan berikan melalui doa Deka beberapa bulan sebelumnya.

“Aku ngga mau denger kamu minta maaf lagi. Aku ngga mau liat kamu ngerasa bersalah lagi, Ali. Aku sayang sama kamu lebih dari apapun *and i hope you do that too” lanjut Deka dalam dekapan suaminya.

I do. I do love you Dek. *Always” balas Ali. Lalu ia memeluk sang istri lebih erat. Menyalurkan semua rasa yang ada. Ali benar benar menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pagi ini.

Suarakan dengan ramai rasa terima kasih sebesar besarnya kepada Gloria Rudine Aulia yang tidak menangis ketika kedua orang tuanya merajut kembali cinta mereka. Usianya baru dua bulan. Kebetulan atau bukan, tapi Gloria layak untuk segala macam bentuk kebahagiaan. Pagi ini, melalui tatapan mata, decakan cium, dekapan hangat, usapan keringat, Ali kembali kemana seharusnya dirinya berada. Sementara Deka, melalui penantian panjangnya, melihat kembali lambaian tangan Ali yang sempat menghilang dari netranya. Mereka tidak mengulang. Hanya sama sama kembali dan menerima, karena baik Ali maupun Deka, sama sama mencintai sebegitu lebihnya.

Dengan selimut yang menutup seluruh badan bahkan hampir pula menutup sebagian mukanya, Deka menghembuskan nafas berat ketika runggunya menangkap suara bising dari sebrang kamar. Perasaanya kesal karena Deka ingat benar ia baru terlelap pukul enam pagi setelah pembicaraan panjangnya dengan Ali. Lalu, siapa yang berani mengacaukan sesi bertemunya dengan mimpi pagi ini? Jawabannya satu. Gloria Rudine Aulia. Bayi munggil berusia dua bulan lebih ini kini sedang menangis dengan kencang tatkala ibunya mencoba menghilangkan kesadaran setelah malam panjang penuh tangisan.

Deka menarik satu bantal secara sembarangan kemudian menggunakannya untuk menutup telinga hingga sepersekian detik selanjutnya bantal bersarung warna putih itu tergeletak di lantai karena Deka bangun dengan amat sangat tergesa dan segera berlari ke kamar Gloria ketika suara tangisnya tak lagi terdengar di telinga.

BRAKK

“Good morning“ “Liat, anak aku ni, dia diem, aku liat youtube tutorial gendong bayi, ternyata begini dia suka, langsung diem dia, Dek*” sapa Ali tidak terkejut sama sekali ketika Deka membanting pintu dengan kasar dan menampakkan diri dengan penampilan yang sangat berantakan. Hoodie kebesaran tanpa celana panjang, rambut acak acakan dan wajah yang tak karu karuan. Wajahnya kebingungan tat kala melihat raut bahagia Ali sedang mengendong Gloria menggunakan satu tangan, sementara satu tangannya lagi ia gunakan untuk menepuk nepuk dan mengusap halus punggung sang anak sehingga posisi Gloria saat ini seperti sedang telungkap memeluk tangan Ali. Tidak ada kata yang Deka jawab karena ia kelapang tidak percaya bahwa hari ini akhirnya datang juga. Hari dimana kebahagiaan mulai menampakkan diri dan menjemputnya untuk mengarungi sisa waktu yang Deka miliki. Hari hari pertama yang akan dimulai dengan Gloria bisa dengan bebas menikmati peluk hangat sang papa. Hari hari pertama yang akan dimulai kembali setelah badai besar Ali yang melupakan segala kenangan. Hari ini tiba, Hari yang Deka tunggu setelah penantian sabar yang ia lakukan.

I'm not really surprised kalo dia punya wajah aku, soalnya dia emang anak aku, tapi ternyata mirip aku banget ya Dek?” lanjut Ali membanggakan anaknya di depan sang istri. Ah benar. Ini pertama kalinya. Deka sempat bertanya mengapa raut wajah sang pria sebegitu bahagia? Ternyata ini memang kali pertama. Kali pertama Ali benar benar menggendong Gloria setelah kelahirannya dua bulan yang lalu. Kali pertama Ali meneliti wajah sang anak dengan sungguh sungguh setelah hari hari menolong Deka menjaga Gloria. Kali pertama Ali melakukan sesuatu untuk anaknya. Ini Kali pertama Ali, juga untuk Gloria. Kali pertamanya benar benar secara nyata merasakan dekatnya degup jantung sang papa. Ini kali pertamanya. Kali pertama untuk mereka berdua.

“Ali?” panggil Deka ragu ragu sembari berjalan mendekat ke arah sang suami. Merasa terpanggil, sang lelaki pun akhirnya menolehkan pandangnya dari Gloria, ke sang ibunda. Mendapati raut takut dalam wajah Deka, Alipun meyakinkan dengan kembali membuka kata “It's me, Dek. Ini aku, Ali” ucapnya sembari membuka satu lenganya lagi, mempersilahkan Deka untuk memasuki ruang dekap yang Ali buat. Deka tidak menjawab. Ia hanya mempercepat langkahnya lalu menambrakan diri ke tubuh Ali. memeluknya erat sekan enggan meninggalkan hari ini.

“Aduh” ucap Ali ketika Deka mengeratkan pelukannya. Seolah tak mau kalah dengan sang anak, Deka juga ingin dipeluk lalu ditenangkan. Ali mengusap surai sang istri lembut dengan sesekali mencuri cumbu di pelipis serta dahi. Menyalurkan rasa nyaman yang semalam kurang, serta menyerahkan hidup dan matinya kepada kedua dunianya yang sempat tertunda.

It's ok, it's me aku disini” ucap Ali. Lalu ia semakin menarik Deka mendekat seraya mendekatkan pula Gloria ke dekapannya. Tidak ada kata lain yang dapat Ali ucapkan untuk menggambarkan keadaanya saat ini selain sempurna. Dunia Ali sempurna. Lengan kiri memeluk Gloria serta tangan kanannya mendekap Deka adalah sempurna. Hatinya yang was was karena takut bayi berusia dua bulan ini akan jatuh jika Ali tidak berhati dan perasaan bangga karena berhasil menggendong anaknya sendiri adalah sempurna. Tidak bisa memeluk sang istri dengan benar karena sekarang ia terbagi juga adalah sempurna. Ini sempurna pikir Ali. Ia, Deka dan Gloria adalah sempurna. Ali tidak meminta hal lain selain keluarga kecilnya bersama, utuh, dan saling menyayangi seperti sekarang ini. Hangat sekali.

“Ibu ngga kesini?” tanya Deka membuka pelukan, mendongak menatap netra sang lelaki.

“Keluar tadi sebentar beli bakso, katanya pengen. Kamu sarapan dulu, makan dulu, udah jam setengah sebelas. Makan dulu terus mandi, Dek. Liat kamu sekarang mirip gelandangan” balas Ali sembari mengusap rambut wanitanya yang lepek. Sempat ia tanyakan dalam hati, sesibuk apa Deka hingga tak sempat mencuci rambutnya sendiri? Tetapi niatnya ia urungkan karena nyatanya, Deka bahkan rela tidak tidur semalaman demi menjaganya dan sang buah hati.

“Jangan pegang pegang, rambut aku bau” elak Deka menangkis tangan sang suami.

“Emang” balas Ali singkat. Deka kemudian mengernyitkan dahi. Sedikit kesal dengan jawaban Ali tetapi hatinya lega karena jika jawabannya sudah begini, maka Sabima Ali Aulia memang sudah benar benar kembali.

“Dia udah makan belom? Makan apa tadi? ” tanya sang puan berpindah ke bayi dalam dekapan.

“Udah, sama sayur sawi” jawab Ali sembari menepuk nepuk punggung anaknya.

“Lo ngaco ya lo gue gebuk juga lo” balas Deka kesal karena jawaban ngawur dari sang suami.

“Ya dia emangnya bisa makan apa selain susu? Yang ngaco itu kamu” balas Ali tidak terima.

“Yaudah taro. Udah tidur juga, taro aja, temenin aku makan” ucap Deka.

“Aku mau gendong dulu”

“Nanti dia kebiasaan, taro aja orang udah tidur juga”

“Biarin kenapa si, kebiasaan juga biarin, aku mau kok gendong” balas Ali membela sang buah cinta.

“Taro Ali, aku ngga bisa jalan, mau digendong juga” rengek Deka kepada suaminya.

“Apa apaan? Kamu aja kesininya lari?” balas Ali.

“Ck” decak Deka tidak terima.

“Apa si bun, kok cemburu sama anak sendiri? Kamu udah aku gendong aku temenin 15 tahun, ini aku baru gendong dia 10 menit aja?” jelas Ali melihat raut wajah kesal yang Deka miliki.

“15 tahun kita kalah sama dia yang cuman 10 menit? Cihhhhh” balas Deka dengan ekspresi wajah yang dibuat buat. Ali terkekeh. Ia merindukan hal ini. Hal konyol yang selalu Deka lakukan kapanpun dan dimanapun. Hal konyol yang selalu sukses membuat Ali kesal.

“Gloria, sayang, maaf kamu ngga bisa jadi satu satunya perempuan yang papa cinta ya nak? Soalnya masih ada bunda” ucap Ali kepada anaknya?

“APA APAAN? KAMU DOAIN AKU MATI APA GIMANA?!” teriak Deka yang kemudian mendapat telapak tangan Ali di mulutnya, niat hati menghentikan perdramaan pagi ini.

“Iyaaa, iyaaa, aku temenin, sana ke dapur duluan aku taro dulu anaknya” balas Ali kesal. Deka lalu menyengirkan gigi kudanya.

“Kasian, kamu kalah sama bunda, maaf ya hahaha” ucap Gloria lalu mengambil satu kecupan di pipi gembil sang buah cinta. Sejurus kemudian Deka berjalan dengan tertatih meninggalkan Ali dan Gloria, menuruti kata sang suami.

Ini sempurna. Hari Ali pagi ini dimulai dengan kesempurnaan. Berbekal rasa syukur kepada Tuhan, serta sisa rasa bersalah yang ada, Ali mencoba menerima dirinya kembali karena benar kata Deka, 'lebih' yang dulu suka ia ucapkan itu, adalah lebih dari segala hal yang ada di dunia. Jika bersama Deka jalan akan sulit ke depannya, maka Ali tetap akan memilih jalan itu karena jika ia menapaki jalan lain yang tidak ada Dekanya, maka sulitnya tidak akan bisa ia hadapi. Pagi ini hari Ali, sempurna.

Deka hanya terus mengusap air matanya yang dengan sekuat tenaga, ia sembunyikan ketika notifikasi pesan dari Ali menghilang, digantikan dengan pemberitahuan yang bunda berikan. Perasaan takut yang Deka kira kira sebelumnya, hari ini datang juga. Bukan takut karena ingatan Ali yang tak kunjung kembali. Bukan. Sebaliknya. Deka ketakutan dengan kembalinya ingatan sang suami yang pasti akan membuat Ali ingin menghilang dari bumi, karena perasaan bersalah yang teramat sangat, hingga dadanya sesak bahkan hanya untuk sekedar mengingat kembali wajah Deka dan sang anak. Perasaan takut yang Deka kira kira sebelumnya bahwa mungkin saja, Ali memilih untuk pergi karena sekali lagi, rasa bersalah yang menghantui.

“Mbak Deka, everything is going to be ok abang ngga kenapa napa kok” tenang Ian di sebelahnya, sedang melajukan kereta besi sekuat tenaga guna menghentikan tangis duka sang ipar di sisi kirinya.

Thanks yan” balas Deka dengan senyuman yang dipaksa. Berusaha menguatkan diri sendiri serta menyiapkan mental karena ketika dirinya sampai di rumah nanti, Deka harus menghadapi laki laki yang amat sangat ia cintai, Sabima Ali.


“Bunda nginep sini aja, ya?” tanya sang ibu berdiri di belakang Deka. Mengusap surai lembut sang anak pertama yang masih menangis sembari menggenggam jemari lemas milik sang pria yang tidur dengan tenang di atas ranjang.

“Pulang aja, bun. Ibu juga, Ian juga. Deka ngga papa kok” balas Deka meyakinkan ketiga manusia lain yang mencoba memberi secercah kekuatan melalui uluran tangan.

“Deka, nduk kalo mau nangis, nangis aja, jangan ditahan. Ibu, bunda, Ian ngerti, ngga usah malu. Ngga papa, kamu udah kuat banget sampe sekarang, biarin ya nak, dibantuin ya Deka, kamu sama Ali ngga ngrepotin sama sekali” rayu sang ibu mertua kepada menantunya. Deka kemudian membalikkan badan, mengusap setiap air mata yang ada lalu kembali berkata “Deka beneran ngga papa, bu, tadi nangis soalnya kangen Gloria. Ali nanti bangun kok pasti, biasanya juga begini kalo lagi sakit. Pulang aja ngga papa bun, ibu, Deka beneran ngga papa” balas Deka dengan wajah tersenyum yang sudah pasti dengan tangis yang ia coba sembunyikan. Ibu kemudian mengikis jarak. Memperpendek ruang, sebelum kemudian mendekap gadis kecil yang dulu juga ia rawat seperti buah hatinya sendiri, karena Deka merupakan sahabat Ali. Mengusap lembut punggung sang anak seolah berkata bahwa meminta bantuan sah sah saja hukumnya, lagi pula Deka dan Ali adalah keluarga, merepotkan atau tidak, saling memberi bahu adalah hal wajib yang harus dilakukan. Menjadi rapuh itu boleh, nduk, Deka. Ibu tau kamu anak pertama, tapi jangan terlalu kuat, ya?

“Kalo ada apa apa langsung telvon ya mbak?” minta sang bunda lebih ringan karena sudah lebih dulu tau watak dan ciri Deka seperti apa. Alih alih berdebat dengan anak perempuan pertama yang merupakan jilid kedua dari sang suami, bunda memilih mengiyakan permintaan Deka dengan janji, jika sesuatu terjadi, maka bunda menjadi orang nomor satu yang harus dihubungi.

“Pasti. Mau minta tolong ke siapa lagi kalo ngga ngrepotin ibu sama bunda? Hehe terima kasih, yaa” balas Deka ceria. Sejurus kemudian semua orang dalam ruangan ini berlari ke luar, karena mendengar Gloria yang berteriak dengan kencang, tanda haus atau mungkin hanya ingin sekedar ditemani.

“Ali, jangan ingat cepat cepat ya, aku butuh kamu sembuh, tapi jangan buru buru, ini bukan salah kamu, ali, aku janji.”

Waktu kiranya tak mau menunggu walaupun dunia sedang digempur, porak poranda sekalipun. Dan fakta kejam lainnya, bahwa hari ini, milik Deka juga ikut hancur, karena beban yang selama ini ia tahan meledak dengan amat sangat menyakitkan. Hampir tiga bulan ia memendam segala rasa yang dengan lantang ingin wanita ini teriakan Sakit, lelah, pasrah, bahkan setiap hari Deka merindukan wangi tubuh kebahagiaan yang tidak pernah menjamahnya walau barang sebentar, hingga hari ini datang. Hari penuh dengan mimpi buruk akan masa masa indahnya dengan sang suami yang ia nanti nanti, karena secara tiba tiba berganti dengan kerusakan karena rasa bersalah yang Ali miliki.

Dalam setiap doa yang Tuhan dengar, Deka selalu meminta agar ingatan Ali segera dikembalikan, tetapi ia lupa bahwa seharusnya Deka juga memohon tentang rasa sesal yang ikut dilenyapakan. Sudah kepalang paham lebih dulu, permintaan Deka yang satu ini tidak sempat dilangitkan karena terlampau sibuk menghadapi kenyataan. Dengan hati selembut Ali, tragedi beberapa waktu yang lalu akan amat sangat memukulnya dan sudah pasti ia akan menyalahkan diri sendiri. Ali, kamu harus tau, aku sayang kamu, lebih dari apapun, aku janji, itu bukan salah kamu Ali. Maka setelah pesan pesan dari sang suami siang tadi menampar Deka serta mendorongnya lagi dan lagi ke jurang kenyataan yang menyeramkan, harapan harapan yang tak sempat diamini ini, Deka minta dengan keras di dalam hati, agar Ali tidak menyalahkan dirinya sendiri.

Pukul sembilan malam Deka lalui dengan keheningan. Karena sejak tadi siang, Ali nampak sangat nyaman dalam tidur panjangnya seharian dan tak kunjung membuka mata walau untuk sekedar mengisi kembali tenaga. Badannya panas, tubuhnya berkeringat, bahkan sesekali Ali mengigau dalam mimpi panjangnya. Entah apa yang ia lakukan sebelumnya, tetapi kini, demam menyerang tiba tiba. Deka hanya terus khawatir tentang ingatan Ali yang kembali dan usaha yang harus ia lakukan guna meyakinkan sang suami. Sementara di ruangan lainnya, dengan bantuan ibu, Ian dan bunda, Gloria juga telah memejamkan mata sebelum waktu bangun tengah malamnya tiba.

Meneliti paras cantik milik Ali yang melekat sempurna pada wajah sang anak pertama, menimbulkan perasaan bersalah dalam diri Deka. Bayi munggil ini, yang hadirnya pernah tidak Deka bela, yang lahirnya tidak Deka sambut, yang sekarangpun tidak pernah terjamah sentuh cinta sang papa, adalah anaknya. Bayi munggil ini, yang dengan sepakat seluruh keluarga memanggilnya dengan nama Gloria adalah bayi paling sendiri di dunia karena ketika tangisnya terdengar di telinga, kedua orang tuanya tengah sibuk perperang di garis pertahanan antara rumah dan liang lahat. Sebagai seorang ibu, perasaan aneh yang dulu Deka tidak pernah tau, kini menghajarnya habis habisan seolah meminta ganti rugi karena bahkan dengan usia yang belum matangpun, Gloria Rudine Aulia dengan berani melahirkan dirinya sendiri.

“Anak bunda, maaf ya sayang, bunda sayang Gloria banget” ucap Deka dengan lagi lagi air mata yang menggenang di pelupuk mata.

“Bunda beneran banyak salah sama Gloria, tapi Gloria harus tau, bunda sayang bangetttttt sama kamu, nanti jangan benci bunda sama paa ya nak? Bunda janji bunda berusaha kok” lanjutnya memeluk bayi kecil dalam dekapan. Tidak ada suara lagi setelahnya, selain suara denting jam dan isakan seorang wanita yang air matanya tak juga habis walaupun telah dikeluarkan seharian yang terus menggema mengisi setiap sudut rumah berada.

Begitulah malam gelap dan dingin Deka lewati, lagi dan lagi sendiri, dengan terbangun beberapa kali karena harus memastikan anak dan suami baik baik saja walaupun sakit kiranya sebentar lagi akan berbalik menyerang Deka, hingga pukul dua malam tiba. Waktu waktu berharga milik Gloria, serta jam jam penuh doa yang Deka ungkapkan kepada Sang pencipta sembari berdiri menimang dan menyusui seorang bayi. Sembilan puluh hari, pada pukul ini Deka selalu bangun untuk memberi makan sang buah hati yang juga setelahnya tak kunjung kembali menjempt alam mimpi, sehingga bergadang, menjadi rutinitas yang tak dapat Deka lewatkan. Tentu saja tidak ada Ali, karena di kamar Gloria yang dulu dibuat bersama, Deka selalu seorang diri tanpa suara lain atau bahkan daksa sang suami untuk sekedar menemani. Bukannya Ali ngga bisa, aku yang yang ngga tega.

Menit demi menit berlalu, jam demi jam terbuang hingga pukul empat pagi datang. Gloria sudah kembali ke tidur lelapnya setelah dengan susah payah Deka gendong kesana kemari dengan sesekali ia bawa untuk menenggok sang papa. Akhirnya, pikir Deka. Bayi tiga bulan ini membiarkannya istirahat setelah malam panjang yang Deka cari dimana ujungnya berada. Wanita dua puluh lima tahun dengan balutan celana pendek dan kaos kebesaran, tak langsung merebahkan badan di atas ranjang, tetapi malah duduk memeluk kedua lutut beralas karpet, bersandar kotak tempat sang anak. Deka termenung. Ia hanya diam mendengarkan suara alam yang begitu menengkan. Melamun tidak jelas dan kembali memikirkan kalimat kalimat yang pernah Ali ucapakan bahwa Tuhan tidak pernah berjudi, selalu ada hitungan dalam setiap hal yang manusia lakukan, tetapi kali ini, Deka juga ikut bertanya, mungkinkah dadu yang mengatur seluruh kehidupannya, dilemparkan secara cuma cuma? Karena kemenangan nampaknya sulit untuk ia dapatkan.

Deka masih duduk di bawah menatap kedua jempol kakinya hingga suara pintu kamar dimana ia berada, dibuka secara tiba tiba dan secara spontan pula, membuyarkan atensi Deka. Sang puan kemudian menoleh dan bangkit, dengan ragu ragu karena Ali, ternaya telah berdiri di ambang pintu. “Udah bangun? Butuh apa, Li? Kenapa? Ke kamar mandi? Apa laper? Apa? Kamu butuh apa?” cecar Deka melihat suaminya yang pucat dengan keringat masih bertengger dengan jelas di pepilis serta kepala. Hening cukup lama hingga satu jawaban yang lolos dari mulut Ali, berhasil menyingkirkan perasaan kesal Deka kepada Sang Pencipta.

“Butuh kamu” “Aku butuh kamu, Dek” “Aku butuh kamu sama anak” “Aku butuh kalian berdua” jawab Ali yang sejurus kemudian sudah berdiri menjulang di depan Deka. Merapatkan badan, meraih tengkuk sang puan, kemudian mempertemukan rasa rindu yang sebelumnya ia lupa. Melumat bibir Deka dengan halus seperti saat pertama, hingga tangan sang wanita, yang tadinya dibiarkan bergantung menjuntai, kini telah meremas kaos Ali karena kembali merasakan degup senang seperti awal melakukan.

Deka menutup mata ketika lumatan Ali terasa sangat nyaman, seperti yang seharusnya. Deka menutup mata ketika rasa rindu yang yang ia tahan, pagi ini terbayar dengan Ali yang memulangkan bibir ke tempat dimana semestinya rumah berada. Deka menutup mata ketika dirinya ragu siapa yang sekarang dengan mesra mencumbu dua buah benda kenyal yang menjadi kesukaan Ali. Entah, Deka juga tidak tahu apa kebenaranya, kembalikah Sabima Ali? Atau Ali lainnya, yang beberapa bulan ini ia bagi ranjang bersama? Deka tidak tahu pasti, ia hanya memejamkan mata karena rasanya, Sabima Ali Aulia, telah disini.

“Maaf” ucap Ali setelah lumatan ia buka, jarak ia buat, sehingga Deka dapat dengan bebas menatap wajah tampan sang pria. Tidak ada jawaban dari wanita yang statusnya telah berganti menjadi ibu satu anak ini. Apa maksud kata maaf yang ali ucapkan setelah ia menciumnya habis habisan? Kesalahankah tadi karena saat ini adalah Ali yang lupa iangatan? Atau, siapakah gerangan?

“Aku harusnya denger kata bunda, ibu, hari itu buat ngga bawa kamu pergi. Maaf kamu sendirian, Dek. Maaf aku hampir beneran bikin kamu ke surga, maaf aku lupa kita punya Gloria, maaf aku bikin kacau semuanya, maaf ak-” kalimat Ali terpotong karena kali ini, Deka yang menyambar bibirnya. Dengan keyakinan yang ada, Deka tahu bahwa suaminya telah kembali.

It's not your fault, Ali. Bukan salah kamu” ucap Deka menatap kembali netra sang lelaki yang sempat hilang beberapa waktu yang lalu. Mengangkat wajahnya agar pandang mereka bertemu, karena benar dugaan Deka, Ali diselimuti rasa bersalah, hingga tidak berani menatap wajah cantiknya. Ia mengusap rahang sang lelaki yang sempat hilang “Makasih udah balik, Ali” lanjut Deka. Tidak ada jawaban setelahnya krena Ali menarik tangan sang puan hingga masuk ke dalam dekapan, memeluknya erta seolah menyalurkan rasa sayang dan permohonan maaf yang sempat tertuda. Sementara Deka, lagi dan lagi, entah utuk yang keberapa hari ini, kembali menitikan air mata, kali ini diiringgi dengan rasa syukur karena hari kemenangannya tiba. Eksistensi Tuhan yang sempat ia tanyakan benar atau tidak adanya, kini hilang dengan seketika. Dengan rindu yang membuncah, bahagia yang sudah tak lagi bisa ditanya, syukur tiada tara, serta maaf yang tidak dilupa, Ali kembali ke pelukan sang wanita.

Tuhan tidak bejudi untuk setiap hal yang manusia lakukan, selalu ada perhitungan matang yang datang bersama usaha yang sedang diusahakan. Mengapa kita selalu risau padahal memohon atas segala keinginan hanya berada di kedua telapak tangan? Berdoalah. – Albert Einstein & el.

Suara khas yang keluar dari sebuah keyboard yang terus menerus ditekan agaknya telah menjadi sahabat bagi telinga Shannon. Bau kopi yang menyeruak tiga jam setelah ibu dari dua anak ini mendaratkan diri dengan selamat juga telah menyapa hidungnya ratusan kali. Jemari kakinya yang tadi dibungkus oleh pump shoes berwarna coklat muda juga telah diganti oleh sepasang sandal rumah yang nyaman.

Walau meninggalkan bekas merah pada punggung kaki serta kaki bagian belakang, Shannon tidak pernah mengganti sepatu pemberian Jaehyun karena sudah teramat nyaman ia kenakan. Kemanapun, kapanpun, sepatu ini bahkan menjadi saksi bisu dari awal dibangun hingga runtuhnya rumah tangga mereka berdua.

Selain tempat tempat yang indah, sepatu dengan ukuran 39 centi ini juga Shannon gunakan untuk menginjakan kaki di pengadilan tat kala gugatan cerai ia layangkan pada sang mantan suami satu tahun silam. Jika ada sahabat dekat yang akrab dengan Shannon selain Lia, maka pump shoes coklat muda ini jawabannya.

Kepalanya pening seiring dengan matanya yang mulai mengering karena terlampau lama berpaku pada layar monitor di depannya. Dulu, jika sudah begini, ponsel Shannon akan dihujani ribuan pesan dari mantan suami untuk segera mengakhiri pekerjaannya karena anak anak mereka menunggunya di rumah, atau bahkan ancaman jika Jaehyun akan meruntuhkan gedung 27 lantai itu jika Shannon tidak segera pulang dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Namun malam ini berbeda. Sejak satu tahun yang lalu, mau berapa lamapun Shannon berada di kantor, atau bahkan ia tidak pulang sekalipun, tidak ada yang merecokinnya karena hubungannya dengan Jaehyun, si tokoh utama telah selesai.

Rumah yang dulu ia paku menjadi hal paling pertama yang ingin Shannon datangi ketika dunia memberinya setumpuk pekerjaan, kini berubah menjadi hal paling menakutkan yang pernah ada dalam hidupnya. Rumah yang dulu ingin ia tinggali sepanjang hari walau dirinya diseret secara paksa oleh panggilan panggilan dari Lia maupun rekan kerjanya yang lain sehingga mau tau mau si empu harus meninggalkannya, kini menjadi tempat yang tidak pernah ingin ia datangi. Jika rumah adalah tempat ternyaman untuk bersandar, maka wanita tiga puluh dua tahun ini akan menamai kantornya menjadi rumah. Selain mengalihkan atensi, bayangan sosok Jaehyun yang akan memeluknya erat ketika dunianya runtuh juga menjadi cambuk menakutkan bagi wanita ini.

Lamat lamat ia dengar suara seorang laki laki sedang bercakap cakap dengan lelaki lain dari balik pintu kaca ruangannya. Entah benar atau bukan, tapi tawa Jaehyun sangat nyaring di telinga sang puan, hingga detik selanjutnya Shannon mengangkat kepala. Memaku tatap pada jalur utama guna melihat siapa saja yang nanti akan membukanya, memastikan bahwa otaknya sekarang benar, bukan halusinasi karena Jaehyun yang sekarang sedang ia rindukan di dalam hati.

“Terus mau lanjut di mana, pak? Udah ada pandangan?” tanya seorang lelaki yang Shannon hafal benar siapa gerangan.

“Maunya ambil broadcasting pak, tapi saya masih bingung nanti prospek kerja kedepannya gimana” balas salah seorangnya lagi yang diyakini lebih tua dari yang sebelumnya.

“Suruh masuk dulu aja, pak, yang penting dia jalaninnya seneng, masalah kerja nanti belakangan, rejeki orang beda beda” balas yang lebih muda.

“Hehe iya pak, rejeki juga ngga ada yang tahu. Makasih Pak Jaehyun kopinya, tau banget saya jaga malem” final seorang yang lebih tua lalu dibalas tawa dan beberapa kata oleh Jaehyun hingga suara salah seorangnya lenyap di dengar telinga. Shannon masih tidak mengalihkan pandangnya dari pintu. Menunggu sang pria masuk dan mengutarakan apa maksud kedatangannya.

Benar saja, sejurus kemudian kaca tebal yang membatasi daerah teritorial Shannon terbuka, menampilkan Jaehyun dengan kedua tangan penuh kantong, membuka pintu kerja sang mantan istri tanpa mengetuknya terlebih dahulu, menginterupsi malam dan pekerjaan Shannon tanpa izin tetapi juga tida ada intervensi yang sang puan berikan.

Begitu melihat sosok sang mantan suami benar benar berdiri di hadapannya, Shannon kemudian kembali mengalihkan atensinya ke kertas dan komputer yang sudah menemaninya sedari tadi. Malas sekali pikir wanita ini. Sementara Jaehyun di seberang sana, dengan pakaian santai berupa bawahan training, hoodie serta jam tangan, dompet dan kuci mobil yang tampak keluar dari kantong celananya, tetap berdiri di seberang meja setelah meletakkan perbekalan dan mulai mengeluarkan ponselnya. Tidak ada percakapan bagi keduanya. Shannon yang entah masih fokus atau sedang mencoba memfokuskan diri ke mesin dan kertas kertas penuh isi, dan Jaehyun yang mulai mengubungi seseorang di malam dinginnya bersama sang mantan istri.

“Halloo, kok belom tidur?” tanya Jaehyun sembari menjauhkan ponselnya dari muka. Shannon sontak menoleh ke arah suara.

“Papa pulang jam berapa?” tanya seorang anak perempuan dari seberang sana.

“Nanti dong. Kan papa bilang nanti. Kakak mana?” tanya Jaehyun lagi kini berjalan mendekat ke arah sang wanita.

“Bilangin mama kalo udah ketemu, kakak marah” ucap Jodi tiba tiba terdengar di telinga kedua orang tuanya. Jaehyun sedikit melirik ibu dari anak anaknya sebelum kembali menjawab pertanyaan sang anak pertama. “Kan mama kerja, udah papa bilangin kan? Mama ngga sengaja sayang, ini papa lagi sama mama, mau ngomong ngga?” balas Jaehyun lalu memberikan ponselnya kepada Shannon.

Hallo there? Guysss what's time now? Kok belum tidur?” sapa Shannon kepada anak anaknya. Ia menyandarkan punggung pada sandaran kursi sementara Jaehyun masih berdiri di belakangnya. Aroma kopi yang tadi begitu kuat dalam indera penciumannya kini berganti menjadi wangi tubuh Jaehyun yang selalu menjadi candu. Wangi ini. Wangi ini yang ia cari ketika pening dan rasa lelah menghajarnya habis habisan karena pekerjaan yang terus menerus berdatangan. Wangi ini. Wangi ini yang ia cari kita pukul dua malam ketika Shannon kehilangan daksa hangat yang selalu memeluknya. Wangi ini. Wangi ini yang ia cari bahkan ketika hakim dengan tegasnya menyebutkan status mereka berdua yang tak lagi menjadi sepasang suami istri. Wangi ini. Wangi ini masih menjadi juara pertamanya.

“Mamaaaaaaaa, i miss you” balas Samara dengan mata yang berkaca kaca.

“Mama miss you too, maaf ya kemaren mama harus pergi, tapi ini udah pulang lagi kok” balas sang mama. Jaehyun kemudian menepuk punggung sang wanita, memberikannya isyarat agar ia berpindah ke sofa dan mengistirahatkan tubuhnya dengan berbicara kepada anak mereka barang sebentar saja.

“Pulang kemana? Ke sini kan? Ke rumah sini kan?” tanya Jodi tiba tiba. Shannon sedikit tersenyum kecut mendengar pertanyaan si sulung.

“Mama pulang kesini aja, enak, nanti kita tidur lagi berempat, ya ya ya?” rengek Samara kepada ibundanya. Shannon dibuat bungkam dengan permintaan anak anaknya. Pasalnya, ini bukan kali pertama Jodi dan Samara meminta sang ibunda untuk datang ke rumah papa. Rumah dimana mimpi mimpi milik Shannon dan mantan suami dibangun lalu juga diruntuhkan begitu saja, ketika satu kata cerai keluar dari mulut si pria. Rumah tempat Jodi dan Samara tumbuh. Rumah yang dulu Shannon tau benar apa artinya.

Ada luka lama yang terkuak kembali ketika wanita dua anak ini membayangkan nyamannya rumah yang sekarang mantan suami dan anaknya tinggali. Benar. Nyaman. Rasa nyaman yang ia punya kini tak lagi ada. Maka untuk tetap melanjutkan hidupnya, Shannon yang memilih pergi karena rumah yang dulu ia imani baik, nyatanya malah menjadi hal yang terlampau menyakiti.

“Nanti sayang ya? Eh engga deng, besok mama jemput kita main, ya?” janji Shannon pada Jodi dan Samara yang dibalas dengan rengekan serta ucapan ucapan tidak terima karena, besok, agaknya terlalu lama untuk mereka berdua. Maka untuk menutup kekacauan yang ada, Shannon menyuruh kedua belahan jiwanya untuk segera menjemput mimpi mereka, dengan dalih bahwa besok pula mereka harus melanjutkan studinya.

“Ini apaan?” tanya Shannon meletakkan handphone Jaehyun di sisi meja sedikit lama setelah kedua anaknya menutup panggilan televon. Memperhatikan wallpaper handphone yang Jaehyun pasang sebagai latar utamanya. Lalu menaruhnya di ujung meja dan kemudian mulai membuka kresek kresek besar yang tadi datang bersama dengan sang pria.

“Makan aja” balas Jaehyun acuh. Semenjak ponselnya diambil alih oleh sang mantan istri, ternyata Jaehyun juga mengambil alih pekerjaan Shannon. Ia memasang kaca matanya yang entah dari mana ia dapatkah lalu mulai berkutik dengan kertas dan berbagai macam laporan.

“Kamu udah makan?” tanya Shannon sembari membuka beberapa kotak makanan yang Jaehyun bawa.

“Mas, kamu udah makan?” tanya sang wanita kembali karena tak mendapatkan jawaban. Suara ketikan yang semula mengudara kini lenyap seiring dengan tatapan Jaehyun yang berpindah menjadi memaku pandang ke arah sang wanita.

“Udah” balas Jaehyun singkat lalu kembali menarikan jamarinya di atas mesin ketik.

“Mbak masak apa?” tanya Shannon kembali.

“Dikirimin bunda” balas Jaehyun kembali. Shannon lalu menghentikan aktivitasnya. Terkekeh kecil karena mendengar jawaban sang suami yang terlampau menggelikan.

You are still her favorite” balas Shannon menatap kosong ke arah kotak makanan.

I am, and yours also” balas Jaehyun lagi lagi tanpa menoleh ke arah Shannon. Sementara yang wanita terkekeh. Tidak menerima ataupun menolak, karena benar, hingga sekarang, masih Jaehyunlah yang berdiri di urutan pertama.

“Makan aja, nanti aku beresin. Atau kamu kalo cape pulang aja. Aku juga mau pulang, ditunggu anak anak” final sang lelaki sebelum tidak ada lagi jawaban yang mengudara dari bibir sang mantan istri. Damai. Jaehyun melihat Shannon memejamkan matanya dengan damai walau make up masih betengger dengan rapi dan makanan masih terbuka lebar di pangkuan. Beginikah wajah Shannon ketika terlelap? Ah enam tahun bersama, ingatan ingatan terakhir yang otaknya rekam adalah penampakan murka karena adu mulut yang selalu mereka lakoni di malam hari. Beginikah wajah Shannon ketika terlelap di hari hari mereka tidak bersama? Cantik. Walaupin memorynya buruk, tetapi Jaehyun ingat benar, bahwa wanita yang menjabat sebagai posisi ibu dari anak anaknya ini selalu cantik.

Terdengar suara helaan nafas panjang yang Jaehyun berikan ketika mantan istri sekaligus wanita yang masih ia cintai ini terlihat begutu berantakan terlelap di hadapannya. Kantong matanya tidak menghitam, bahunya masih kokoh, kakinya masih tegak, tapi rambut Shannon tidak pernah lebat, kulitnya pucat, bahkan hidungnya merah karena lebih sering terserang flu dari pada membau wewanggian yang dulu suka ia kumpulkan. Kemana perginya nyawa sang puan? Sebelum tubuhnya ia pindahkan merapat ke daksa sang wanita, Jaehyun sedikit berbenah dan tak lupa mematikan komputer tempatnya tadi bekerja.

Tak butuh waktu lama bagi Jaehyun untuk ikut merebahkan kepala dan merekam paras cantik yang dulu selalu penjadi pemandangan terakhir sebelum ia memejamkan mata, sekaligus hal pertama yang ia temukan ketika matanya terbuka. Shannon masih sama. Wajahnya masih cantik walaupun banyak luka dan air mata yang pasti melalui setiap lekuk indah di atas wajahnya. Seerti keyakinan yang ia pegang teguh sebelumnya. Persis. Cantik. Masih sama. Shannon masih sama. Hidung tinggi serta bulu mata lentik itu masih saja Jaehyun kagumi walaupun sudah setahun kebelakang tak menyapanya dengan cium mesra di dahi.

“Kita kenapa ya Shan, bisa sampe begini?” “Salahnya dimana ya? Aku kurang apa? Kamu kenapa susah bangeg dibilangin? Maaf ya, kamu jadi harus tanggung semuanya sendirian”

Ucapan ucapan penyesalan yang tak pernah keluar dari mulut sang tuan. Ia hanya terus memandang Shannon yanh terlihat begitu damai dan nyaman dengan keadaanya sekarang. Entah seberapa lelah ia tahan sendirian hingga untuk makan malampun rasanya sudah tak bertenaga. Tidak ada gerakan yang Jaehyun ciptakan. Ruangan ini hanya diisi dengan dentingan jarum jam yang terus berputar memperpendek waktu kebersamaan memulangkan rindu bagi kedua mantan.

Alih alih mengecup. Jaehyun hanya ingin mendekap. Memeluk Shannon erat dan berkata bahwa semua akan baik baik saja, memulangkan maaf yang sedalam dalamnya karena kata terlarang dalam pernikahan ia ucapkan dengan emosi yang teramat sangat kepada sang puan, merengkuh kembali sang mantan istri dan membisikan kalimat kalimat manis menenangkan bahwa tak apa jika Shanmon ingin bergantung kepadanya. Namun lagi dan lagi. Ini hanya keinginan Jaehyun. Karena semua hal yang ingin ia ucapkan, tertanam dalam hatinya dalam dalam.

“It's you, it's always been you”

Lalu, mau bagaimana kalian ke depannya?

“Mbak, Gloria gue anterin ya? Apa biar dijemput suster aja?” tanya Ian kepada kakak iparnya yang masih setia menatap wajah sang anak dalam box bayi. Sudah tiga hari ini, Deka menikmati waktunya sebagai ibu walau masih repot berteriak kesana kemari meminta bantuan kepada bunda atau mertuanya untuk membantu merawat Gloria. Sudah tiga hari pula, ketika malam tiba, Gloria akan dipindahkan ke ruang tidurnya bersama bayi bayi lain karena Deka masih belum terlalu kuat untuk mengurusnya lama lama. Jadi, repot atau tidaknya Deka sekarang ini, adalah dirinya sendiri tanpa tahu bagaimana dan dimana Ali berada.

“Anterin deh Yan, kasian anak gue. Bawa deh sekalian” balas Deka kemudian mengusap halus rambut sang anak. Mengecupnya perlahan lalu memberikannya pada Ian.

“Bentar ya mbak, gue sekalian ada urusan” jawab Ian memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah menuliskan beberapa pesan singkat dengan raut wajah serius, yang entah, Deka sendiri juga tidak terlalu tau siapa gerangan penerima pesan singkat Ian.

“Da da anak bunda, main lagi besok ya, doain bunda cepet sehat, papa cepet sehat juga, nanti kita pulang bertiga” finalnya. Ian kemudian mendorong kotak itu untuk dibawa ke tempat dimana seharusnya Gloria berada. Ada rasa tidak terima ketika anak sulungnya dibawa pergi begitu saja walau memang hal ini sudah sepatutnya terjadi. Rasa ingin berlama lama dengan Gloria tumbuh dengan baik di diri Deka walau pertemuan mereka berdua baru sebesar biji jagung. Naluri ibu dan anak, kata bunda. Maka untuk melepas berakakhirnya hari bersama, Deka menatap punggung sang ipar yang berjalan sedikit tergesa gesa melalui pintu, keluar ruangan kemudian meninggalkannya sendirian.

Deka kemudian merebahkan badan. Nyeri jahit yang belum kering di perutnya mulai terasa semakin menjadi ketika malam tiba. Wanita satu anak ini hanya berbaring menikmati nyamannya ranjang rumah sakit yang sudah mendekapnya selama hampir satu minggu lamanya. Suara denting jam mengisi runggu Deka ketika air di pelupuk matanya mulai menggenang. Ingat ingatan akan Ali juga berputar begitu saja di otak Deka. Rasa rindu yang teramat sangat, ia tahan dengan baik di depan keluarga agar tidak menitikan air mata. Namun ketika sendiri tiba, sebelum siapapun malam ini yang ditugaskan menjaganya datang, Deka sesekali menangis dan tersedu untuk Ali. Berharap hal yang keluarganya sembunyikan bukanlah pikiran buruk yang selama ini Deka duga duga.

“Tisunya mana, aduh” ucap Deka sembari bersusah payah menjangkau tisu di sisi nakas dekat timpat tidurnya.

“Ck” decak Deka. Bukannya membantu, tisu ini malah seakan memperberat pekerjaan Deka yang hanya ingin menyeka air mata. Karena terjatuh, Deka akhirnya mau tak mau, turun dari ranjang nyamannya lalu mengambil tisu karena perutnya tidak bisa digunakan untuk membungkuk. Sejurus kemudian celah pintu yang belum tertutup sempurna, menampilkan sebuah bayangan hitam tanda seseorang tangah melewati kamar Deka karena tersorot cahaya dari luar.

“Ali?” ucap Deka asal tatkala matanya menangkap bayangan seorang lelaki pemilik bayangan hitam dari celah pintu tadi. Ucapnya tidak yakin, maka untuk benar benar mengetahui siapa pria yang melewatinya, Deka kembali memanggil nama sang suami “Ali?” kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya. Tidak ada balasan. Ibu satu anak ini akhirnya mengendikkan bahu. Terheran sendiri mengapa ia memanggil nama Ali ketika ia tidak tahu pasti siapa yang baru saja pergi.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk. Ini bukan ibu, Ian, Ale, ayah, ataupun bunda. Manusia manusia liar yang Deka kenal akan membuka pintu kamarnya dengan sembarang tanpa perlu repot repot meminta persetujuan. Karena penasaran, Deka akhirnya melayangkan izinnya pada seseorang entah siapa di seberang sana.

“Iyaa, maaf bisa masuk aja langsung” ucap Deka masih berdiri di samping ranjang.

“Maaf mbak, manggil saya?” tanya seorang lelaki berbaju sama dengan milik Deka. Suara ini. Suara yang Deka yakini ia kenal benar dengan siapa yang memilikinya. Suara yang Deka rindukan beberpa hari kebelakang. Suara yang setiap malam biasanya menyanyikan lagu pengantar tidur untuk sang anak di dalam perut tetapi berakhir dengan Deka yang tersesat mengarungi alam mimpi. Suara ini suara Ali, dan Deka merindukan handir sang suami. Seragam rumah sakit yang dipakai oleh para pasien dengan aksen abstrak berdominan warna biru muda, membalut tubuh pria tampan dengan rambut yang berantakan, bahkan terkesan dipotong dengan sembarangan.

Karena sudah lebih dulu membuka kata, maka ketika sang pria membuka pintu, matanya dan mata Deka bertemu. “Mbak manggil saya?” tanya sang lelaki sekali lagi. Deka bungkam di tempatnya. Kakinya semakin melemas, jantungnya berdegup kencang, wajahnya memucat ketika laki laki di hadapannya ini bertanya dengan amat sopannya kepada Deka bahkan memanggilnya dengan sebutan 'mbak' yang seumur hidup ia mengenal sang suami, Ali tidak pernah sekalipun bercanda dengan mengganti ganti nama panggilannya untuk Deka.

“Oh maaf, saya baru kecelakaan, ingatan saya hilang, saya dengar mbak manggil saya tadi? Ali kan? Apa saya salah denger? Saya kenal mbak ya dulu?” pasti sang lelaki kikuk di ambang pintu masuk. Takdir jenis apa yang kini sedang berjudi dengannya? Setelah kehilangan kesempatan untuk merayakan hari kelahiran Gloria, kini Deka harus menghadapi seorang lelaki dengan raga Ali tetapi jiwanya telah berganti? Runtuh. Dunia Deka runtuh. Bagaimana ia harus menjalani semua ini?

Masih dengan keheningan yang setia menemani, sejurus kemudian suara derap kaki yang lantang didengar telinga mengudara. Semakin dekat semakin besar yang artinya kaki ini sedang menuju ke kamar Deka.

“Atau mbak cari Ali yang lain? Maaf kayanya saya salah dengar” lanjutnya karena melihat Deka yang masih mematung di tempatnya.

“Abang” panggil sebuah suara ketika langkah kaki yang tadinya menggema lenyap seakan hilang entah kemana. Ian di sana. Di belakang Ali yang berada di tengah pintu, sedang menatap Deka yang berpegang erat pada seprei ranjang karena tak kuasa menahan keadaan yang baru saja menghantamnya.

“Ian, abang kenal mbak ini, ya? Kayanya ngga asing, tapi abang lupa dia siapa” tanya Ali kepada adiknya. Ian juga bungkam. Terkejut karena takdir merubah segala rencana yang ia dan keluarganya susun untuk memberitahu Deka, karena pasalnya, sekarang hal yang ia sembunyikan mati matian malah menyerahkan diri ke kandang lawan.

You know who you are?” buka Deka akhirnya setelah cukup lama.

“Saya Sabima Ali Aulia” ucap Ali jelas memperhatikan Deka.

What are you looking for?” tanya kembali sang wanita.

“Istri. Istri dan anak saya. Kata keluarga saya hampir menghilangkan nyawa anak dan istri saya. Saya ingin melihat keadaan mereka. Kata keluarga juga, anak saya juga baru saja lahir, saya ingin melihatnya” jawab Ali apa adanya. Seakan jatuh tertimpa tangga. Deka membiarkan kakinya hilang kendali atas dirinya dan membuatnya duduk bersimpuh lemah tak berdaya. Mengantam lantai yang dingin tanpa ada keinginan untuk kembali berdiri. Semuanya selesai, pikir Deka saat itu juga.

Mengapa dadanya sesak padahal Ali jelas jelas berdiri dengan tegak? Mengapa air matanya seakan ingin meluruh ketika Ali mencarinya dengan sungguh sungguh? Ini bukan perihal Ali yang baik baik saja setelah darah mengucur deras dari kapalanya. Tetapi tentang ingatan Ali yang menghilang serta rasa sakit akibat ucapan sang pria bahwa 'katanya Ali telah memiliki keluarga' mengapa harus ada kata 'katanya' Ali? Bagi Deka ini adalah neraka, karena ia benar benar dihilangkan dari hidup sang pria.

“Mbak Deka!” teriak Ian lelu menerobos masuk ke dalam. Menangkap sang ipar yang sudah kepalang lalu memeluknya erat. Sesekali Ian memberikan kalimat menangkan yang bahwa telinga Deka saja tidak bisa mendengarnya karena suara tentang Ali yang memanggilnya 'mbak' masih setia menggema disana.

“Kamu Deka?” tanya Ali lagi sembari mendekat dan membantu Ian menaikan Deka ke ranjangnya. Deka menutup mata, seolah menghalangi setiap ucapan Ali yang mencoba mencapai runggunya.

“Ah kamu punya nama belakang saya ya? Kamu Deka. Benar kamu orangnya. Kamu istri saya” lanjut Ali setelah ia membaca papan nama di bagian dapan ranjang sang puan. Deka akhirnya membuka mata. Menatap iris coklat gelap milik sang suami yang terlihat asing di matanya kali ini. Ini bukan Ali. Asing. Asing sekali. Bayangan bayangan ketika nanti Deka dan Ali bertemu kembali, adalah bayangan bayangan dimana peluk hangat akan mendekap daksa Deka, decakan decakan mesra karena tautan di bibir keduanya terjadi dalam waktu yang lama, gemuruh gemuruh kata cinta dan ucapan maaf karena hampir melayangkan dunia memenuhi runggu Ali dan Deka yang nyatanya, bayangan bayangan indah itu, tinggalah bayangan, karena saat ini Ali sedang menatapnya datar tanpa rasa cinta, karena Ali sendiri masih bertanya tanya, siapa Deka sebenarnya dan mencoba menemukan dirinya sendiri agar segera kembali.

Suara langkah kaki yang dibawa dengan amat tergesa gesa, menggema di sepanjang lorong rumah sakit yang menghubungkan ruangan paling ujung ke ujung lainnya. Dentuman dentuman pijakan yang kaki, menyebabkan bunyi keras seakan si empu sedang dikejar waktu untuk segera mempercepat temu. Diiringi dengan tolehan tolehan penuh pertanyaan dari orang orang yang dilewatinya, Hanna Hamira terus memeperkencang pelariannya guna memastikan bahwa Deka benar benar mengiriminya pesan suara.

“Deka? Mbak?” panggil bunda membuka pintu kamar Deka dengan tergesa. Nafasnya benar benar kacau serta keringat agaknya mulai muncul di dahi dan pelipis Hanna, mencoba menjangkau dimana Deka berada.

“Bun?” panggil Deka yang berdiri di depan pintu kamar mandi. Memandang sang ibu yang menoleh kesana kemari yang sudah pasti sedang mencari dimana dirinya berada.

“Ya Allah, Dekaaa” ucap bunda tatkala matanya menangkap lagi sosok anak perempuan yang sedang berdiri menjulang dengan tangan yang berpegang pada tembok di belakangnya. Tak butuh waktu lama bagi Hanna untuk memasukkan Deka ke dalam pelukannya. Mendekap sang anak erat seakan tidak mengizinkan siapapun, bahkan Tuhan, untuk mengambilnya detik itu juga.

“Bun, anak aku ngga papa kan?” tanya Deka di sela sela pelukan mereka.

“Nggak. Nggak papa. Dia sehat. Nggak papa” jawab bunda terputus putus karena sedang menahan air mata yang mencoba meluruh. Perasaannya lega melihat anak sulungnya berdiri di hadapannya kembali. Perasaannya lega mendengar Deka memangilnya bunda. Hanna hanya merasa amat bersyukur karena Deka mau bangun.

“Jangan nangis, Deka ngga papa. Ali dimana, bun?” tanya Deka kembali sembari terus memberikan usapan lembut di punggung yang lebih tua, mencoba meyakinkan bahwa dirinya nyata.

“Kamu belom dicek dokter. Duduk dulu bunda panggilin dokternya. Makasih ya mbak? Makasih udah bangun, makasih ya nduk” akhir sang bunda kemudian menuntun Deka agar kembali ke ranjangnya yang kemudian menghilang dengan dalih memanggil dokter untuk sang buah cinta.


“Mau liat anak kamu ngga?” tanya Ibu kepada menantunya. Deka kini berbaring di ranjang dengan sedikit bangun dan bersandar. Tangannya dan kakinya masih lemas, serta perutnya terasa sakit jika digunakan untuk beraktivitas sedikit berat. Akibat luka jahit yang belum sehat.

“Anak ayah mana?” tanya sang ayah mertua sembari memasuki ruangan dimana Deka berada. Giffario tidak di tempat ketika kabar mengenai bangunnya Deka telah menyeruak kemana mana. Maka setelah dirinya mengetahui jantung sang anak lelaki hidup kembali, ayah dari dua anak ini segera pergi untuk menemui.

“Alhamdulillah, makasih ya nduk baret baret dikit ngga papa ya? Udah ketemu anakmu?” ucap sang ayah mendekat. Kemudian mengusap halus rambut Deka. Lagi lagi semua orang dalam ruangan ini terus menerus memanjatkan syukur karena Deka yang sudah sepantasnya bangun. Dengan keadaan mobil yang porak poranda, keadaan Deka sekarang ini bisa disebut keajaiban bagi siapapun yang menyaksikannya.

Tidak ada yang tersisa dari SUV yang bahkan belum lunas cicilan ini, sekalipun kenangannya bersama Ali. Tetapi melihat Deka yang sudah bisa berjalan payah sendiri, serta Gloria yang lahir dengan keselamatan yang ada, membuat bunda, ibu, ayah, Ale dan Ian semakin yakin bahwa eksistensi Tuhan nyata adanya di dunia.

“Masih diambilin Ian, yah. Ali dimana?” tanya Deka mengenai suaminya, lagi. Ayah kemudian diam. Ale diam. Ibu diam. Bahkan bunda yang tadinya melemparkan tatapan teduh kini juga membuang pandang. Seolah menghindari pertanyaan Deka yang satu ini.

“Nah itu itu, Gloria Rudine Aulia udah datang” jawab ayah mengalihkan pembicaraan. Berterima kasih kepada Ian yang kembali di waktu waktu genting hingga sanak keluarga yang ada, tak perlu repot repot memutar otak untuk menjawab pertanyaan Deka.

“Astaga” ucap Deka tata kala ia melihat wajah anaknya untuk yang pertama kalinya. Air matanya mengenang, masih terlampau tidak percaya bahwa bayi dihadapannya adalah anak nakal yang suka membuatnya mual. Masih terlampau tidak percaya bahwa bayi di hadapannya adalah buah cintanya dengan Ali. Masih terlampau tidak percaya bahwa Gliroa Rudine Aulia benar benar seorang bayi yang selalu ia bawa bawa. Ini nyata, Deka teramat bahagia, ini nyata, Deka. Terina kasih banyak ya anak, sudsh lahir ke dunia, dengan selamat. Maafin bunda.

“Harusnya dulu bunda ngga kesel keselan sama papa ya? Biar kamu wajahnya ngga dia semua” lanjutnya sembari mengusap kepala sang bayi. Tangannya masih lemas, bahkan sedikit bergetar hingga mungkin Deka tidak kuasa menahan berat badan Gloria yang hanya seberapa. Deka menolak untuk mengendong anaknya karena khawatir hal hal yang tidak diinginkan akan terjadi.

“Bun, Deka ngga bangun berapa lama? Ini anak aku udah umur berapa hari? Udah ketemu papanya?” tanya Deka lagi dengan sesekali mengusap air mata yang ada. Lega, senang, bahagia, sedih, haru, tercampur menjadi satu. Selain gelar istri, kini gelar ibu Deka juga miliki. Masih sama. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Deka. Bungkam.

“Mau nyoba nyusuin ngga mba?” alih bunda ke anak perempuannya. Deka sedikit mengerutkan dahu ketika satu pertanyaan lagi keluar dari mulut sang ibunda. Bahkan sedari tadi, tidak ada yang menjawab bagian tanya darinya mengenai dimana Ali berada. Bahkan sedari tadi, tidak ada yang membahas sang lelaki di depan Deka. Merasa ada yang sedang ditutupi, Dekapun membuka omongan kembali “Ali kemana sih?” tanyanya mulai sebal.

“Lagi tidur” jawab Ale asal. Sontak seluruh tatap mata menuju ke arahnya.

“Lagi tidur, nanti kalo bangun gue ajak bocahnya kesini. Gak boleh diliat sekarang, jangan ngeyel. Lo gue kasih tau ngeyel jadinya begini kan? Udah sekarang disini dulu sama Gloria, nanti kalo Bang Ali bangun, lo gue anter kesana” lanjut Ale berdiri dengan tegas. Kepalang kesal karena seluruh keluarga tidak ada yang berpihak pada Deka dan memilih menyembunyikan fakta.

“Tapi Ali ngga papa kan, Le? Mau liat bentar, anterin dek” rengek Deka kepada sang adik. Ale meremas celana bagian pahanya secara perlahan. Mencoba mencari kekuatan. Bagaimana ia bisa menjelaskan keadaan Ali ketika Deka baru saja berhasil menghindari kematian? Ini sulit. Ini akan menjadi lebih sulit esok hari. Ale yakin hal ini akan terjadi.

“Ngga. Nanti gue anterin. Sekarang disini aja. Gloria belum pernah ketenu bundanya.” Akhir Ale lalu berlalu meninggalkan ruangan. Kembali menangis dalam diam membayangkan reaksi Deka jika ia tau fakta mengenai suaminya. Berhari hari Ale memutar hati untuk menyampaikan kabar ini kepada sang kakak, tetapi buntu. Tidak ada jalan lagi, bahkan pintas sekalipun. Otaknya mendadak mati. Bagaimana cara yang tepat untuk mengungkapkannya?

“Ian, abangmu ngga papa kan?” tanya Deka kembali ke sang adik ipar. Ian mencoba tersenyum dan memberikan anggukan sebagai jawaban. Mbak Deka, maaf ya balasnya dalam hati.

I'll take this chance, so call me blind“ “I've been waiting, for my life“ “Please don't scare, this young heart“ “Just take my hand” bisik Ali dengan nada yang lebut di telinga sang istri.

I was made for loving you” lanjut Deka setelahnya. Membuka pelukan lalu menatap mata Ali dalam dalam. Sedikit tersenyum walau wajahnya terlihat sangat jelas sedang meredam rasa sakit yang mencoba mencuat.

Even though we maybe hopeless heart just passing through” “I don't know what we should do“ “All i know is darling” lanjut Ali dengan terus mengusap punggung sang istri.

I was made for loving you” lanjut Deka setelahnya. Masih dengan tatapan yang sama dengan sebelumnya, bedanya kali ini keringat mulai nampak pada wajah cantik Deka, bahkan rambut wanita ini mulai basah seiring dengan denyutan cinta yang anak mereka berikan di bawah sana.

Ali menaikan satu tangannya untuk mengusap peluh yang menetes di dahi sang istri kemudian mengecup pucuk kepala sang wanita penuh cinta. “Duduk mau?” tanya Ali kepada Deka. Tidak ada jawaban, Deka hanya menggeleng kemudian kembali memeluk Ali dan membuka langkah ke kiri serta ke kanan sembari sesekali meringis kesakitan ketika nyeri yang ia rasakan tidak bisa ditanggung lagi.

“Ali, nyanyi lagi” minta Deka dengan suaranya yang terdengar lemah.

“Gue setelin Cardi B deh ni pake speaker manja banget jadi cewe, kaga pantes lo mah mbak” celetuk Ale yang sedari tadi duduk di bangku tamu di dalam ruangan menemani Deka dan abang iparnya menyambut persalinan. Agaknya kesal karena tingkah pasutri ini yang menormalisasi bermesra mesraan dan seakan tidak menganggap eksistensi Ale sebagai manusia yang berada di satu ruangan dengan mereka.

“Siapa si ni? Suruh pergi tambah mules perut aku liat dia” tanya Deka pada suaminya.

“Sok romantis lo anjing” balas Ale lagi. Deka kemudian menoleh ke sumber suara. Agaknya sakit di perut yang ia rasakan ditambah ucapan Ale yang seakan mengobarkan sinyal peperangan membuat Deka benar benar ingin melahap siapapun yang ada di sekitarnya saat itu juga. Kecuali Ali. Laki laki ini tidak bisa Deka apa apakan karena ia tidak akan bisa jika tidak bersamanya. Siaga yang Ali miliki, membuatnya siap sedia membawa Deka menuju rumah sakit pukul empat pagi dini hari karena istrinya, sejak malam tiba, merasakan gelombang gelombang cinta yang tak biasa dari dalam perut tempat anak mereka berada.

“Ali, sayang, kayanya sekarang deh” ucap Deka kepada suaminya yang sedang melipat kedua tangan di depan dada, bersandar pada sofa dengan dalih menemani Deka berjalan jalan mengitari ruang tamu mereka, serta sesekali melakukan gerakan yang Ali tidak tahu apa maksudnya. Sekedar informasi, bahwa ternyata Deka dan Ali, tidak tidur dari malam ketika denyutan sinyal melahirkan menyerang.

“Hmmm? Oke, aku nelvon bunda ibu bentar” balas Ali lalu bangkit dan mengusap matanya beberapa kali guna menghilangkan kantuk yang mungkin kembali mendera.

“Ali, makasih ya?” ucap Deka di dalam mobil ketika suaminya mengenggam erat satu tangannya. Berjalan tanpa halangan menuju rumah sakit tujuan.

“Yang harusnya makasih itu aku ke kamu. Sekali lagi ya Dek? Kamu bisa aku yakin kamu bisa ya? Ada aku” ucap Ali dengan terus memperhatikan jalanan di depan dengan sesekali menciumi tangan sang istri.

Tidak ada kata lain yang dapat Deka ucapkan selain terima kasih karena Sabima Ali Aulia memilihnya dari sekian banyak wanita yang mungkin lebih baik dari Deka. Tidak ada kata lain yang dapat Deka langitkan selain rasa syukur karena memiliki Ali di sebelahnya. Jika ia harus mengganti keberadaan Ali di dunia, mungkin Deka mungkin akan berhutang selama sisa umur hidupnya karena eksistensi Ali tidak dapat digantikan oleh apapun. Ali itu.......berharga.

Kembali ke kegiatan mereka pagi ini, setelah satu umpatan Ale berikan kepada kakaknya, Deka kemudian membalasnya tetapi dengan tidak kasar seperti biasanya. “Tahan tahan, tahan Dek, jangan kesel jangan kesel nanti anaknya mirip Ale, tahan tahan tahan” ucapnya sembari terus mengelus sang anak di dalam perut.

“Anjir?” balas Ale tidak terima.

“Hahahha, Le lo mending ke parkiran, liat bunda ibu udah dateng belom, bantuin bawa sarapan” minta Ali kepada adik iparnya. Tanpa basa basi, Alepun segera mengiyakan diri menuruti perintah Ali. Bangkit dan berlalu pergi, memberikan ruang kepada dua manusia calon orang tua baru ini.

“Mau duduk” kata Deka kepada suaminya. Maka dengan sabar pula, Ali menuntun Deka ke sofa panjang tempat Ale duduk sebelumnya. Deka kemudian sedikit merebahkan badan pada sandaran, memejamkan mata mencoba menikmati setiap rasa sakit yang ada dan menselonjorkan kakinya. Nafasnya semakin memburu, raut raut wajah kesakitan terlihat dengan jelas tanpa bisa disembunyikan. Keringat semakin berjatuhan seiring dengan rasa mulas yang semakin sering datang.

Melihat paras cantik Deka dengan banyak kerutan sebagai bentuk dari penahanan, membuat Ali merasa bersalah. Jika dibolehkan, Ali ingin mengandung anaknya sendiri sehingga Deka tidak perlu bertemu dengan rasa sakit seperti ini. Ali kemudian duduk di sebelah bangku dan mengambil ke dua tangan sang puan. Mengenggamnya erat dan sesekali kembali menciuminya. Sadar bahwa tindakan Ali di luar kendali sang lelaki, Deka kemudian membuka mata. Memaku tatap pada sang pria kemudian memberikan beberapa kata penenang, karena nyatanya, dibandingkan dengan Deka, Ali bisa menjadi dua kali melebihinya jika mereka dihadapkan pada adu pola pikir. Terlihat tenang di luar tetapi sangat rumit dan memikirkan banyak hal di dalam. “Li, aku bisa kok it's ok kata dokter dia juga lagi berjuang nyari jalan keluarnya. Aku bisa kok, kan ada kamu? Jangan khawatir, ngga papa, aku bisa sayang” tenang Deka sembari memegang satu bagian rahang Ali, mengusapnya perlahan di pipi.

Tidak ada jawaban dari Ali. Seolah tau maksud perkataan Deka, Alipun kembali memeluknya lalu beralih mengecup anak mereka “anak, anak papa, cantik, pinter, jangan lama lama nyari jalannya ya? Papa, bunda, uti, om Ale, tante Ian, kakung, semuanya nungguin kamu. Jangan lama lama sayang ya, jangan bikin bunda sakit lama lama, kamu denger papa kan? Yuk keluar yuk sini yuk” ucap Ali sembari mengusap perut buncit sang istri.

Deka kemudian sedikit tersenyum. Hatinya menghangat melihat perlakuan Ali kepadanya dan sang anak. Sejurus kemudian Deka menjabat tangan sang suami. Menciumnya lama sembari memanjatkan doa. Ali terpaku. Apa yang wanita ini lakukan? Lima belas tahun Ali mengenal Deka, sejauh ingatannya merekam setiap moment yang mereka lalui bersama, baru kali ini Deka mencium telapak tangan Ali. Pertama ketika hari pernikahan mereka, kedua pagi ini, yang entah apa maksudnya Ali sendiri tidak memahami.

“Doain aku ya Li, aku tau kamu disini, tapi doain aku ya, surga aku ada di kamu” ucap Deka setelahnya, masih setia dengan wajahnya yang meringis menahan gelombang cinta. Ali menitikan air mata ketika istrinya meminta doa yang padahal, tanpa dimintapun, Ali akan senantiasa mendoakannya, melangitkan seribu satu macam ucapan yang hanya ia dan Tuhan yang tahu, tentang rasa aman tentang rasa senang, tentang bahagia bahkan tentang berbagai macam rasa luka yang Ali minta agar dihindarkan dari ia, Deka dan sanak keluarga. Setiap hari bersama, tetapi pagi ini berbeda. Apa ya? Penuh cinta. Pikir Ali.

“Iyaa, aku selalu doain kamu Dek, kamu bisa, aku ngga khawatir soalnya kamu bisa. Semangat Deka, semangat bunda kamu bisa” balas Ali kembali memeluk dan menciumi sang istri.

Tak lama, keduanya mendengar deru langkah beberapa orang menuju ke dalam ruangan. Setelah pintu terbuka, terlihatlah bunda, ibu, Ian, serta para ayah, juga Ale membawa beberapa perbekalan. Tidak butuh waktu lama bagi Deka untuk meneteskan air mata ketika Bundanya berjalan mendekat dan memberikan pelukan hangat. Seakan tak ingin menyia nyiakan kesempatan, Deka meminta maaf serta memohon doa agar perjuangannya hari ini tak sia sia. Bunda dengan air mata yang juga berlinang, mengiyakan semua permintaan Deka agar anaknya memenangkan pertarungan dan berhasil memberikan hidup sang cucu di dunia. Agaknya Deka sekarang mengerti, bagaimana perjuangan yang dulu bunda lalui ketika melahirkannya dengan tidak ada jaminan bahwa bunda akan terus hidup dan membesarkannya. Tetapi inilah bunda, tetap berperang walaupun nyawa sekalipun taruhannya.

Setelah kepada bunda, Deka berpindah kepada ibu. Dengan permintaan dan ucapan yang sama, bedanya kali ini Deka menambah satu kalimat terima kasih karena telah melahirkan Ali dan mendidiknya dengan baik sehingga saat ini Ali menjabat sebagai kepala keluarga memimpin Deka. Setelah dengan ibu selesai, Deka berpindah ke ayah, sang mertua, Ian dan terakhir adik bungsunya yang diam diam juga meneteskan air mata. Dari semua orang yang berada di ruangan ini, selain doa Ali, milik Ale juga terdengar sangat nyaring di telinga, karena ia benar benar tidak ingin kehilangan kakak serta keponakannya. Ale menghapus air matanya secara cepat ketika Deka merintih meminta daksa sang adik untuk didekap. Selamat berjuang mbak! Ucap Ale dalam diam.

“Ibu Deka, permisi, dicek lagi udah bukaan berapa ya” ucap seorang perawat yang menemani Deka sedari awal ia dan Ali sampai di rumah tempat orang orang disembuhkan, bahkan ada yang berpulang.

“Silahkan silahkan silahkan” balas Ibu lalu mengusir beberapa orang pergi ke luar hingga hanya tersisa bunda, ibu, Ali serta Deka.

“Udah delapan ya bu? Mau pindah sekarang?” tawar sang perawat kepada Deka. Merasa bahwa sakit yang ia rasa semakin menjadi, Deka kemudian mengangguk mengiyakan tawaran sebelumnya. Lalu tidak ada kata kata lagi yang Ali dan Deka ucapkan selain doa dalam diri sendiri sendiri, dibantu dengan suka cita yang keluarga mereka panjatkan, semoga persalinan ini berjalan dengan lancar.


Erangan erangan mengejan yang memenuhi runggu Ali tidak sebanding dengan semua keegoisan yang ia lakukan pada Deka di hari lalu. Satu seribu macam keringat sudah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, ternyata belum ada apa apanya jika dibandingkan dengan tetesan eluh yang mengenai kulit Ali di dalan ruangan penuh dengan orang berbaju hijau sama dengan ia dan istrinya kenakan. Jika ada orang lain yang berani menyakiti ibu mereka, maka tak heran jika neraka jaminannya. Pikir Ali ketika cengkraman tangan Deka di tangannya semakin menguat, tanpa rasa sakit yang istrinya derita semakin tak dapat diobat.

Segala macam bentuk permintaan maaf ingin Ali ungkapkan kepada Deka yang sedang berjuang di garis pembatas antara mati dan hidupnya untuk anak mereka. Jika tau akan seperti ini kejadiannya, maka Ali akan benar benar duduk di lantai dan memohon ampun karena mengabaikan istri dan anaknya di awal awal kehamilan. Sakit. Sakit sekali melihat Deka seperti ini. Dengan tekad yang menguat, Ali diam diam berjanji kepada dirinya sendiri bahwa mulai detik ini, ia akan menuliakan Deka bagaimanpun caranya. Dengan tekad yang menguat, Ali diam diam berjanji kepada dirinya sendiru bahwa mulai detik ini, tidak ada yang boleh menyakiti Deka bahkan jika itu anak mereka.

“Sekali lagi, sekali lagi, Bu Deka sekali lagi ini kepalanya udah keliatan ini” ucap seorang wanita yang membantu Deka memberikan hidup kepada anak mereka. Setelah kalimat tersebut dilontarkan, maka dengan satu tarikan nafas lagi, Deka mengejan dengan tenaga yang masih ia simpan, hingga detik selanjutnya tersengar suara tangis bayi memenuhi setiap sudut ruangan. Kencang sekali seolah bayi ini sedang berteriak kepada dunia bahwa pada pukul sembilan lebih dua puluh tujuh pagi, Tuhan menginzinkannya menetap sebagai anak Ali untuk entah berapa lama nantinya.

Ali mengecup pucuk kepala sang istri. Dengan air mata yang menetes lagi dan lagi serta rasa syukur yang entah sudah kali keberapa untuk Deka dan anaknya kepada Tuhan di atas sana, “makasih kamu hebat, kamu bisa, aku bangga sama kamu makasih Deka yaaa, makasih bunda” ucap Ali kemudian berlalu untuk melihat bagimana wajah Gloria Rudine Aulia yang ia tunggu setelah sembilan bulan lamanya. Ada perasaan lega ketika suara bayi perempuan yang Deka nanti nanti menyapa telinga untuk pertama kalinya. Ah begini ya rasanya?

“Jangan tidur ya, jangan tidur, jangan merem ya Bu Deka yaa” ucap sang komandan persalinan mengingatkan Deka agar tidak menutup matanya.

“Deka, makasih sayang ya, cewe beneran si anak, makasih Deka ya” ucap Ali setelah melihat anak mereka untuk pertama kali. Ia kembali menghujani wajah Deka dengan ciuman ciuman kecilnya.

“Mau liat” ucap Deka setelah nafasnya cukup teratur dengan tali pusar serta plasenta yang telah diselesaikan. Mendengar ucapan sang ibu, satu orang berbaju hijau datang membawa bungkusan cinta milik Ali dan istrinya. Perawat ini tidak kemudian memberikannya kepada Deka, ia sedikit memiringkan gendongannya sehingga Deka dapat melihat wajah anak yang ia lahirkan beberapa waktu yang lalu dengan jelas.

“Hah? Ini anak siapa? Ini mah anak Ali” ucap sang ibu dengan sedikit memundurkan kepalanya karena terkejut, ternyata wajah Gloria adalah wajah Ali versi mini.

“Ini mah anak Ali? Ali anak lo ni ambil. Suster, mau anak aku bukan anak Ali” lanjut Deka dengan suara yang bergetar.

“Iya ini anak kamu juga kan bikinnya bareng” balas Ali menenangkan sang istri. Sontak seluruh ruangan tempat Deka melahirkan diisi dengan gelak tawa mendengar percakapan aneh ayah dan ibu muda.

“Akunya dimana? Ini punya kamu semua” balas Deka mulai menangis karena merasa tidak terima. Ia membuka tangan dengan maksud ingin meminta anaknya. Dengan perlahan lahan, suster memberikan buah hati mereka dan Deka mendekapnya erat dengan air mata yang masih menetes.

“Bener bener beneran mirip ka kamu, Ali kesel gue pergi lo jauh jauh” ucap Deka ketika kulit dadanya bersentuhan dengan seorang bayi yang rambutnya masih basah dengan bau darah.

“Maaf ya hahah, nanti cetak lagi yang mirip kamu satu” balas Ali yang lagi lagi membuat tawa seisi ruangan berada.

“Hallo, anak aku, bandel ya? Udah dibilangin mirip bunda aja, kenapa dengerinnya si papa?” sapa Deka kepada anaknya. Lalu ia menciumi bayi kecil dalam dekapannya, tak lupa dengan Ali yang juga ikut merangkul keluarga kecil buatannya.

Tidak ada kata lagi yang bisa diucapkan selain terima kasih, terima kasih dan terima kasih kepada Tuhan, Deka, Gloria, dan para dokter yang membantu mereka pagi ini. Ali hanya terus bersyukur dan bertanya kepada diri sendiri, dengan apa ia akan membalas semua kebaikan semsesta kepadanya nanti?

Selamat menyambut tanggung jawab baru Deka dan Ali, bagaimana rasanya dipanggi papa dan bunda untuk pertama kalinya?

Terang cahaya yang mataku tangkap ketika aku membuka mata adalah terang cahaya rumah sakit yang menyilaukan. Lampu lampu ini sama sekali tidak membantuku mencari tau apa sebenarnya yang terjadi setelah aku memejamkan mata beberapa waktu tadi. Benda tumpul macam apa yang menghantam kepalaku dengan begitu bebasnya? Ahh ini mungkin bukan lagi hantaman biasa, dengan rasa sakit seperti ini, mungkin bisa saja aku sudah tak memiliki kepala. Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa manusia hidup tanpa sebuah mahkota di tubuhnya? Aneh. Bahkan pikiranku masih saja aneh ketika mungkin nyawaku sedang diperjuangkan oleh beberapa orang dengan title title panjang berjas putih di belakang nama mereka.

Aku meraba anakku yang tidak bergerak di dalam perut. Jam jam seperti ini, biasanya dia sedang bermain bola atau berlatih silat karena gerakannya yang terlampau hebat hingga perutku tak lagi berbentuk bulat. Namun malam ini berbeda. Aku merasa denyut nadinya tak lagi ada di bawah sana. Delapan bulan lebih aku membawanya kemana mana, walau belum pernah bersua, tapi aku bisa menyerahkan hidup dan matiku untuk Gloria.

Gloria Rudine Aulia. Berarti kemanangan milik Ali yang ia bangun atas dasar kasih sayang. Diberikan papa kepada anaknya pukul dua malam ketika aku lagi lagi membuat sebungkus mie instan dan memakannya dengan tenang. Aku sempat tidak terima karena hanya nama Ali yang disematkan padahal aku yang mengandungnya berbulan bulan. Namun Ali lagi lagi memenangi juara pertama karena ia dengan pintarnya berkata bahwa sebagian dari dirinya adalah aku, maka nama Aulia yang kini juga menjadi nama belakangku, adalah aku dan dirinya di nama anak kami berdua. Dan dengan bodohnya pula, aku mengiyakan ucapan suamiku yang sudah jelas jelas hanya pembodohan semata.

Berbicara tentang Ali, dimana batang hidung laki laki yang sangat ku cintai ini berada? Kali terakhir mataku merekamnya adalah ketika mobil kami porak poranda karena gas yang ia injak dengan lumayan dalam beradu dengan rem setelahnya secara tiba tiba. Aku tidak begitu tau bagaimana persisnya, tapi aku ingat bahwa sepersekian detik setelahnya, kepala Ali berdarah hingga seluruh bajunya basah.

Aku bahkan tidak sempat berdoa kepada Tuhan selain kalimat dalam hati yang berkata dengan amat memohon “tolong selamatkan kami.” Kami dalam doa yang ku langitkan tak lagi tentang aku dan Ali, tetapi ada nama Gloria yang selama delapan bulan sebelumnya membawa banyak pelajaran di hidup kedua orang tuanya.

Jika aku boleh memutar waktu, aku ingin menuruti apa kata bundaku. Duduk diam di dalam rumah, atau hanya sekedar berpindah tempat tidur ke hotel dengan pemandangan lampu kota yang menjanjikan, dari pada membawa badan yang sudah sangat besar ini berkemudi menuju lain kota dengan alasan yang sama, sehingga kejadian traumatis sore ini tak akan terjadi. Tetapi bukan itu kunci utamanya, kata utama dari perjalananku dan Ali sore ini adalah berkendara. Maka untuk berkendara, kami butuh dua tempat sebagai tempat pergi dan tempat datang.

Sebenarnya, sudah aku pikirkan apa yang akan kami lakukan ketika kedua kaki kami menyentuh tanah dimana Bandung di bangun dengan begitu megahnya. Tetapi rancana manusia tinggalah rencana, karena mau semulus apa hidup yang kami buat, Tuhanlah yang memiliki kuasa.

Dengan perasaan yang amat sangat menyesal, aku masih terus mencari cari dimana Ali. Mengapa dari banyaknya suara yang telingaku dengar, tidak ada satupun suara Ali yang aku kenali?

“Dekaaaaaaaaaa, dokter tolong anak cucu saya” itu bunda. Raungan suara bunda yang begitu menyakitkan aku rasakan sedari tadi terus memohon kepada pria berjas putih agar mempertahankan nyawaku di dunia. Aku dan gloria. Lagi lagi aku mencari dimana Ali berada? Mengapa tidak ada yang memohonkan Ali doa? Bukankah suamiku lebih membutuhkannya?

“Dekaaaa, astaga Dekaa” yang ini suara ibu. Ia memegangi tanganku yang aku sendiri tudak kuasa menggerakannya. Menyebut Tuhan, sama dengan yang ku lakukan, agar mempertahankan hidupku dan Gloria, bedanya, aku berdoa untuk Ali yang tidak ku dengar sama sekali bagaimana kabarnya. Kamu masih disini kan, Li?

“Bayinya kami tindak untuk yang pertama” ucap salah seorang dari mereka yang aku tidak tahu siapa namanya.

“Apapun, tolong kami dokter” suara Ale yang terdengar bergetar. Itu Ale, adikku yang tidak pernah secara terang terangan menunjukan cinta kasihnya kepada ku. Tapi secara ajaib pula aku tau bahwa Ale amat menyayangiku. Tidak ada suara lagi yang aku tangkap ketika suara roda brankar tempatku berbaring sekarang sedang di dorong lagi namun dengan kecepetan lebih besar. Terakhir kali aku mendengar suara wanita yang menangis dengan keras yang sudah pasti ibu dan Bunda adalah pelaku utamanya. Lagi lagi kali ini, dinding dinding rumah sakit lebih tau bagaimana doa tulus seseorang dilangitkan.

Mataku menyipit ketika kepalaku semakin berdenyut karena cahaya yang aku lihat semakin terang dari sebelumnya. Aku takut. Ruangan ini dingin. Bau obat obatan yang tak ramah dihidungku masuk begitu saja ke dalam paru paru. Aku takut. Anakku pasti baik baik saja kan? Karena sejurus kemudian, aku baru sadar jika kakiku terasa sangat lembab dan basah. Ini bukan air. Aku yakin ini bukan air, karena alirnya yang terasa begitu kental. Anakku akan baik baik saja bukan? Aku kembali ketakutan karena belum juga aku dengar suara Ali di telinga.

Kemana perginya? Bukankah aku sudah pernah berucap bahwa jika Ali tidak ada di sampingku ketika aku memberikan hidup kepada anak kami, aku tidak akan bisa? Kemana perginya Ali? Aku takut. Aku hanya ingin mendengar suaranya sekali saja jika ini memang akhir dari cerita kami berdua. Tapi kemana perginya laki laki ini? Ali, kamu masih disini, kan? Ingatanku selanjutnya adalah kegelapan yang disengaja karena ketika sebuah benda dipasangkan begitu saja di atas hidungku, aku mulai mengantuk, sesudah entah untuk kali keberapa aku memanjatkan doa agar kami tetap dibiarkan, di dunia.