raellee

Deka hanya terus tersenyum di sepanjang jalan yang ia lalui dengan bergandeng tangan dengan Ali. Hatinya mendadak resah ketika hari yang ia nanti nanti datang. Perasaan senang yang sudah menyelimutinya beberapa heri ke belakang agaknya secara berangsur berganti menjadi perasaan cemas dan tidak mengenakan yang entah dari mana datangnya.

“Dingin” ucap Deka lalu menaikan kaca mobil di tempat duduknya setelah cukup lama ia menghirup debu debu halus ditemani langit jingga karena perjalanan mereka dilakukan di akhir sebuah hari terjadi. Tidak ada kata kata lagi yang mendampingi Deka maupun Ali. Entah apa yang ada dipikiran masing masing, tapi sore ini keduanya hanya memilih diam sebagai teman di perjalanan.

“Ali” panggil sang istri.

“Hmmm?” tanya Ali kepada Deka dengan tangan yang masih saling bergenggam tanpa menoleh ke sang puan.

I love you” ucap Deka secara tiba tiba.

I love you more” balas Ali ringan seperti biasa.

I love you, Ali” ucap Deka sekali lagi. Kali ini suaranya seperti menyimpan kesedihan yang entah, Ali sendiri tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Sang suami menoleh.

I love you, Ali” ulang Deka sekali lagi. Ali masih tidak menjawab. Ia hanya terus memaku tatap pada Deka. Mengapa kalimatnya sangat jangal didengar oleh telinga? Padahal ini bukan kali pertama Deka mengucapkannya.

“Kenapa tiba tiba i love you?” tanya Ali kemudian kepada sang istri. Ini benar benar aneh. Kalimat sang biasanya menyejukan hati ini, kini tak lagi terdengar seperti biasanya. Ada hal lain dari kalimat Deka yang tak Ali mengerti. Maka untuk memastikan bahwa istrinya baik baik saja, Ali terus memaku tatap pandangnya pada Deka. Mencoba mencari lebih panjang penjelasan mengapa tiba tiba istrinya mengucapkan kalimat sakral itu secara terus menerus dengan raut wajah yang tidak bahagia.

“Aku cuma pengen bilang i love you” jawab Deka lagi tetap mamandang mata Ali.

“Iya but why yo-

BRAKKKK

Ali tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Karena di detik terakhir satu kata terucap, adalah detik dimana Ali secara tiba tiba membanting setir ke arah samping hingga mobilnya berbalik arah menghindari tabrakan beruntun yang akan ia sebabkan jika antrean pintu tol di depan ia serobot begitu saja, menyebabkan bunyi decitan ban yang bergesekan dengan aspal jalan terdengar sangat ngilu di telinga. Ditambah lagi ia tak sempat menutupi kepalanya karena selanjutnya kereta besi yang mereka tumpangi, dengan lancarnya berguling guling di atas jalanan dari arah mereka datang yang ternyata sedang tidak ada orang, mencampur adukan isi perut Deka dan Ali, bahkan menggoreskan beberapa luka di tubuh keduanya.

“Aliiiiiii” panggil Deka kepada sang suami yang masih mencoba mengendalikan mobilnya dengan satu tangannya lagi menahan badan Deka.

Bughhhh

Suara bising terakhir yang Ali dengar sebelum digantikan dengan teriakan orang orang dan suara ditutupnya pintu mobil karena manusia manusia di depan mereka, secara bersamaan berteriak dan berlari ke arah dimana Ali dan Deka berada mencoba menyelamatkan.

“Deka?” panggil Ali dengan suara serak serta dengan tenaga yang tersisa. Wanita dua puluh lima tahun yang sedang mengandung anaknya ini nampak memejamkan mata di sebelahnya, tidak berpindah barang sedikitpun dari bangku penumpang yang Deka duduki sedari tadi. Kepalanya bahkan menunduk dengan sedikit darah yang mengucur dari pelipisnya.

“Gloria” panggil Ali sekali lagi dengan sekuat tenaga meraba perut besar milik Deka. Tidak ada apa apa pikirnya. Ali mencoba mencari kehidupan di diri istrinya. Tetapi nihil. Nampaknya hampa.

Please

“Masih ada, masih ada. Ambulance ambulance ambulance” kata salah seorang suara dari balik pintu mobil Ali dan Deka.

“Mbaknya hamil tolong” teriak salah satu lagi.

“Minggir minggir minggir” kata salah seorangnya lagi. Suara suara yang keras ini membuat kepala Ali terasa akan pecah. Pening. Serta entah mengapa, memory memory bersama Deka tiba tiba berputar begitu saja di kepalanya. Kacau. Ini kacau pikir Ali. Bagaimana bisa hari bahagia yang ia dan Deka rencana berakhir dengan dirinya serta sang anak dan wanita terjepit mobil dengan banyak luka serta bau darah dimana mana? Bagaimana bisa kejadian yang mungkin akan memporak porandakan hidupnya ini terjadi hanya dalam hitungan jari? Apa yang tadi sebenarnya Ali lakukan hingga ia hampir meregang nyawa keluarga kecilnya? Kacau. Ini kacau.

“Haha” kekeh Ali secara tiba tiba ketika ia melihat senyum Deka di pantulan kaca di hadapannya. Kekeh Ali secara tiba tiba ketika bayangan masa depannya berlalu di depan matanya begitu saja. Lagi. Cita citanya direbut lagi, kali ini bukan atas kuasanya. Tapi tetap, Ali hanya bisa menyalahkan diri sendiri.

“Cantiknya” ucap Ali sekali lagi sebelum rungunya berdengung dengan keras hingga sorak sorai orang orang di sekitarnya, bahkan tawa Deka yang sempat memenuhi telinga kini tak terdengar lagi. Kepalanya hanya terus berdenyut, matanya mulai memburam, serta hidungnya semakin membau bau anyir dengan jelas.

Ali kembali membaringkan diri. Mempasrahkan segalanya kepada Sang Pencipta sembari berdoa, jika ini akhirnya, maka tolong akhiri mereka bertiga, karena Ali ingin bersama Deka dan anaknya dimanapun mereka berada.

Surabaya pada pukul tiga sore hari, dengan sinar matahari yang masih terang, serta suasana gerah yang Deka dan teman temannya rasakan membuat mood mereka sedikit memburuk. Pelataran Bandar Udara Internasional Juanda-pun tampak ramai bahkan dihari kerja. Ternyata orang orang dengan segudang mimpi, setumpuk harapan, bahkan segunung rasa luka sedang beramai ramai datang dan pergi melalui pintu pintu persegi yang dengan sengaja disediakan landasan ini.

Setelah menunggu cukup lama, mobil van besar yang akan membawa mereka ke tujuan selanjutnya sampai untuk mengangkut anak anak manusia ini melanjutkan perjalanannya. Deka sedikit membuka kaca ketika pintu pertama tol dilewati oleh kendaraan yang ditumpanginya begitu saja. Badannya lelah, agaknya membawa satu nyawa lagi dalam tubuhnya menguras seluruh tenaga.

“Nyampe Batu jam berapa, Li?” tanya Deka kepada sang suami dengan tenaga yang masih terisi, bahkan Ali telah membuka kembali laptopnya dan mengutak atik sesuatu yang Deka tidak tahu apa guna dan tujuannya.

“Magrib mungkin” jawab Ali singkat tanpa mengalihkan atensinya. “Kenapa?” lanjut sang pria, kini dengan pandangan ke arah Deka sepenuhnya.

“Pengen rebahan” jawab sang puan dengan tatapan mata masih ke luar, sembari mulai menyenderkan kelapa ke bahu sang pria.

“Sabar yaaa” balas Ali kemudian menggesekkan kepalanya ke kepala sang istri, lalu memgucapkan kata yang sama dan mengecup perut buncit Deka. Anak mereka disana.

Join dong” ucap Hadrian tanpa aba aba dari belakang. Ali menoleh, begitu pula dengan Deka. “Gue juga pengen disayang” lanjut Hadrian. Tidak ada jawaban kemudian. Hanya Ali yang tersenyum kecil lalu kembali berkutat dengan benda elektronik di pangkuannya, sementara Deka yang bangun dan memandang Hadrian ke belakang dengan tatapan penuh pertanyaan.

“Bukan lo, gue mau rebut Ali. Yakali gue mau sama lo, kaga berani, malaikat izroil aja puter balik ketemu lo Dek” ucap Hadrian yang mengerti arti tatapan mata Deka.

“Yan, lo jangan menganggu ketenangan hidup orang. Gue cantolin di atas juga lo” sahut Jevano dengan maksud memadamkan api pertikaian sebelum sempat dinyalakan.

“Maaf ya Deka, lain kali Hadrian bakalan lebih gue perhatiin omongannya” tambah Jodi menarik Hadrian agar kembali duduk di bangkunya.

“Bacot banget lu punya mulut, tidak mencerminkan remaja islami. Diem” lanjut Jodi. Lalu ia kembali menyengir kuda ke arah Deka.

“Temen temen kamu tu, takut ya sama aku?” tanya Deka heran kepada suaminya. Ali lagi lagi hanya tersenyum karena ia tahu apa yang akan Deka lanjutkan selanjutnya jika jawaban iya meluncur begitu saja dari mulutnya.

“Tidur aja, nanti kalo udah sampe aku bangunin” balas Ali mengambil kepala Deka lalu menyenderkannya di bahu kemudian kembali melanjutkan kegiatan. Begitu pula dengan Hadrian, Jevano serta Jodi yang malah sibuk bermain Uno padahal Ali sedang kembali bekerja sendiri.

Deka sedang berbaring sembari sesekali mengusap perutnya yang sudah berusia tujuh bulan di dalam kamar Ali yang tidak berubah barang sedikitpun sejak Deka mengenal sang suami. Gitar gitar dengan berbagai ukuran masih setia bertengger di tembok tembok pelindung tempatnya berada sedari semula, mainan mainan karakter yang beberapa darinya Ali bawa untuk ikut pindah bersama Deka juga masih ada di sana, bahkan cat serta aroma kamar ini masih sama seperti pertama kali Deka memasuki kamar Ali.

“Bentar ya nak, sabar ya, papa bentar lagi pulang” ucap Deka sendirian kepada perutnya sembari menatap langit langit kamar tanpa rasa minat. Pukul sepuluh malam tanpa aba aba yang memperingatkannya terlebih dahulu, wanita hamil ini tiba tiba merasa lapar yang luar biasa. Perutnya bahkan mengencang karena sang anak yang tak berhenti bergerak di dalam sana ikut merasakan kelaparan yang Deka derita.

“Sabar sayang yaa” ucap Deka sekali lagi sebelum kemudian pintu kamar Ali diketuk. “Deka, nduk, sudah tidur kah?” suara ibu menginterupsi kegiatannya malam ini. Tidak ada jawaban, Deka lalu bangun dan membuka pintu guna mempertanyakan apa maksud kedatangan ibu.

“Kata Ali kamu laper? Ayo turun, mau makan apa? Wong di rumah e sendiri kok ya malu” balas ibu seraya berjalan mendahului sang menantu.

“Hehhe, ibu udah tidur, nanti ganggu Deka berisik di dapur” balas Deka mengekori sang mertua.

“Ibu nonton tv sama ayah kok, nunggu Ian sama Ali pulang. Kamu mau makan apa, nduk? Nasi goreng mau?” tanya Ibu seraya berjalan menuju dapur. Deka belum sempat menjawab karena sudah dahulu dibuat terkejut dengan sosok lelaki yang kini sedang mengintip api kompor dengan menundukan kepalanya. Ayah disana, dengan sarung dan kaos oblong putih andalannya memegang pengorengan dan satu tangannya lagi berkacak di atas pinggang.

“Nasi goreng ya, Dek? Ayah juga lagi ngidam” ucap ayah menyadari kehadiran istri dan sang menantu. Deka menjawab seadanya dan bergegas membantu sang mertua. Tetapi niatnya tinggalah niat karena dengan cekatan dan cepat pula, baik ibu maupun ayah sama sama mengucapkan kata yang serupa “duduk aja nduk perutmu udah besar begitu pasti cepet pegel kalo berdiri lama lama, duduk aja udah biar ayah.” Sepersekian detik selanjutnya, rasa bersalah Deka berganti menjadi rasa syukur yang teramat sangat, karena ayah dan ibu memperlakukannya seperti anak sendiri. Dengan apa kelak Deka membalas kebaikan dua manusia yang dulu menjadi orang tuanya dan kini benar benar menjadi orang tuanya ini? Setelah anak pertama diberikan kepada Deka, kini ia masih diperlakukan sebaik ini? Pantaskah Deka menerima ini semua? Begitulah kira kira isi pikirannya malam ini.

“Yang hamil kamu kok yang ngidam ayah hahahha” tawa ketiganya pecah kemudian. Selanjutnya kegiatan ini diisi dengan percakapan percakapan mengenai cerita lama bagaimana ayah dan ibu berjumpa, berlanjut pada pemilihan bahan popok yang baik untuk bayi, calon nama hingga jadwal anak Ali dan Deka akan menginap kelak ketika ia dewasa.

Waktu akan berjalan lebih cepat ketika dihabiskam dengan orang tepat nampaknya memang benar adanya. Setelah makan malam larut malam yang dilanjutkan dengan cengkrama ayah ibu serta sang menantu, tak terasa jarum jam sudah berada di angka sebelas lewat sepersekian menit. Atensi ayah ibu dan Deka kemudian beralih kepada suara sepasang lelaki dan perempuan yang sedang bercakap cakap berasal dari pintu kedatangan.

“Weh weh wehhh, begini lo satu mau jadi istri orang, satu lagi malah udah punya istri, pulangnya malah jam segini, kok ngga besok pagi aja?” ucap bunda menyapa kedua anaknya.

“Berangkat lagi aja lah Ian” balas sang anak kedua kepada ibundanya.

“Dari mana? Kok bisa barengan?” tanya sang ayah.

“Ali ke studio, Ian nyusul udah dari jam 9 tadi” balas Ali mendekat ke arah sang istri. Mengusap lengan Deka lalu kepala istrinya, selanjutnya mencuri satu kecupan lembut di dahi sebelum mulai meninvansi dapur milik sang orang tua.

“Nasi goreng siapa? Ayah?” tanya Ali memastikan makan malam yang baru saja wanitanya santap.

“Iya” jawab Deka singkat. Sontak baik Ali maupun Ian membentak sang ayah dengan berbarengan.

“Abang aja ngga pernah dimasakin?” protes yang lebih tua.

“Aku tiap hari minta malah punya ibu terus yang dikasiin, ngga adil” lanjut Ian kepada ayahnya.

“Hahhaahhah, Deka kan belum pernah” belas sang ayah. Lalu dibalas dengan rengekan Ali dan Ian yang merasa tidak adil karena Deka yang dimasakan, dengan tidak ada sisa yang sengaja ditinggalkan.

“Ali kalo di rumah pulang jam segini juga ya, Dek?” tanya ibu kepada menantunya.

“I i iyaa bu” jawab Deka sedikit gugup dengan sesekali mencuri pandang ke arah sang suami, takut takut jika jawabannya tidak sesuai karena mau bagaimanapun Deka adalah Ali, sebaliknya. Mereka adalah satu, yang tidak bisa didua.

“Gimana bisa ninggalin istri secantik ini di rumah sendiri? Digondol orang tau rasa kamu. Jam sebelas di rumah bang, kalo sampe telat begini awas aja” ucap Ibu menghardik anak pertamanya.

“Ali kan cari uang? Buat Deka juga, bu. Lagian Dekanya juga ngga pernah protes Ali tinggal lama lama” belas sang anak kepada sang ibunda.

“Ngga dikasi liat bukan berarti ngga ada, bang” jawab sang ayah. “Deka mungkin diem, pengen kamu di rumah juga lama lama, tapi ngga bisa ngomongnya. Ngga usah dikasi tau harusnya udah ngerti” satu tuntutan lagi keluar dari mulut orang tua lelaki.

“Jadi cowo itu yang peka, lo mah bang” timpuk Ian sembari berjalan menjauhi kerumunan.

“Eh eh kemana? Kok melipir? Kamu belom ya? Jatah kamu abis ini” panggil sang ayah kepada anak keduanya.

“Besok aja boleh ngga yah? Diqhododeh” balas Ian sekenanga lalu lenyap dilahap kamar.

“Jangan ditinggal tinggal sendiri istrinya, anaknya juga, kualat kamu kapok” tambah sang ibunda kepada Ali. Yang diberi tahupun hanya meng-iya iyakan saja perkataan orang tua agar lekas selesai dan ia lekas bisa memeluk istrinya mesra.

“Udah belom?” tanya Ali kemudian setelah cukup lama.

“Mau ngapain emang?” tanya Ibu.

“Pacaran sama istri aku. Ibu sama ayah tidur aja, Deka nanti malu kalo diliatin” balas Ali mendekat ke arah sang wanita.

“Apaan si?” elak Deka kepada suaminya.

“Loh, kamu ngga ada aku aja malu, apa lagi kalo ada begini. Ayah ibu kalo udah ngga berurusan lagi diharapkan segera meninggalkan tempat” lanjut Ali. Deka kemudian hanga tertawa dan ikut mempersilahkan mertuanya untuk pergi. Merasa menganggu sepasang muda mudi, ibu akhirnya menarik tangan ayah agar pergi dari tempatnya dan memberi ruang bagi anak dan menantu mereka.

“Di kamar aja lo bang, disini ayah ngga mau bersih bersih” ucap ayah penuh canda.

“Nanti abang yang bersihin” balas Ali yang kemudian dibalas satu pukulan keras di lengannya berasal dari Deka.

“Kenyang?” tanya Ali ketika orang tuanya sudah hilang dari pandang. Deka menatap mata suaminya cukup dalam sebelum memberikan gelengan sebagai jawaban.

“Udah aku kira, kamu mana cukup sepiring. Nih” balas Ali lalu mengeluarkan dua bungkus burger McD kesukaan Deka, dan menaruhnya ke atas meja.

“Ini buat aku aja apa dibagi berdua?” tanya Deka dengan mata yang berpendar penuh harap, tak lupa juga senyum manis menghias wajahnya.

“Kamu aja, aku udah makan tadi sama anak anak” balas Ali memperhatikan raut bahagia di wajah Deka. Bagaimana bisa wanita dua puluh lima tahun ini sesenang ini hanya karena burger keju yang ia bawa sepulang bekerja? Gemas pikir Ali.

You know me so well, bestie” balas Deka kemudian mengecup pipi Ali. Sejurus kemudian ia mulai membuka satu bungkus makan tengah malamnya dengan senyum bahagia ditemani sang lelaki. Inilah Sabima Ali, seorang yang Deka kenal tidak pernah menunjukan perhatian secara terang terangan tetapi selalu ada ketika ia membutuhkannya. Dengan hati yang berbunga bunga, Deka mulai mendengarkan cerita hsri sang suami ketika berada jauh darinya. Lalu sesekali bertanya dan ikut menceritakan bagaimana harinya berlalu tanpa Ali. Untuk Deka malam ini, sesedsrhana ini bahagia. Tidak perlu mencari cari, cukup mensyukuri apa yang ia punya.

Deka hanya diam. Bernafas dengan tenang menatap seorang wanita hamil yang duduk dengan gusar dan seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahunan yang melemparkan pandangan aneh ke arahnya dan sang ibunda.

“Mau ngomong maaf?” potong Deka ketika Ayunda membuka mulut hendak mengucapkan sepatah kata guna menghancurkan kesunyian yang ada.

“Hahahha” kekeh Deka karena suasana yang tercipta. Canggung sekali karena pasalnya Ayunda memilih menutup kembali mulutnya dari pada mengutarakan apa yang sekarang sedang dirasa.

“Gracia, udah makan belum?” tanya Deka kepada sang anak.

“Belum, mama malah duduk disini pas aku ajak pulang. Ayo ma, kata papa ngga boleh keluar lama lama” celoteh sang balita kepada ibunya.

“Iya, sebentar ya, nanti kita pulang, sebentar ya” balas Ayunda kepada anaknya.

“Hahahha, kamu kesana coba, itu om dua temen tante, doyan nasi padang? Tante tadi beli nasi padang, lebih” balas Deka mengalihkan perhatian Gracia.

“Doyan! Aku suka yang pedes, pake sambel ijo” jawab Gracia bersemangat. Ia lalu turun dari kursinya dan mulai menghampiri Dena dan Yanis yang sedari tadi memperhatikan interaksi aneh yang Deka lakukan.

“Icaaa, ati ati nak” ucap sang ibunda kepada anaknya.

“Gracia pasti ngikut kamu? Kalo ngikut Bangkit ngga akan doyan pedes, ya?” tanya Deka kepada Ayunda dengan terus memperhatikan tingkah Gracia. Entah mengapa, namun perasaan senang melihat anak berlari larian nampaknya mulai tumbuh dalam diri Deka.

“Berat ngga si?” tanya Deka lagi karena Ayunda belum juga membalas perkataanya. Atensinya kini berpindah.

“Aku aja nikah sama orang yang udah aku kenal bertahun tahun, berat, ternyata aku masih ngga tau sisi dia yang ini yang itu, ini kamu ngga kenal sama sekali tiba tiba nikah. Berat ngga si? Eh kalian kenalmya kapan deh?” tanya Deka kepada Ayunda.

“Maaf, Dek” balas Ayunda tidak berani menatap mata Deka. Ibu dua anak ini terus menundukkan kepala ketika Deka mulai mengutarakan kalimatnya.

“Oh berarti berat ya? Bangkit yang aku inget itu keras kepala banget, kalo maunya ini ya ini, kalo ada masalah ngga diselesaiin, tapi lari. Aku dulu penasaran banget, sehebat apa 'kamu' sampe bisa bikin Bangkit tanggung jawab” ucap Deka.

“Aku beneran ngga ada maksud buat ambil Bangkit dari kamu. Gracia itu kesalahan kita, Dek, aku udah siap kalo kamu mau caci maki aku” jelas Ayunda sedikit panjang dari kata katanya sebelumnya.

Lonte” balas Deka. Ayunda kemudian menaruh atensinya kepada sang lawan bicara. Sedikit terkejut dengan jawaban yang Deka berikan. Lima tahun pernikahannya dengan Bangkit ia siapkan untuk diledakan Deka jika akhirnya mereka diberi kesempatan untuk bertatap muka. Maka ketika Deka dengan berhasil mendapatinya siang ini, detak jantung Ayunda seperti terhenti dengan sendirinya karena kepalang takut dan merasa bersalah kepada perempuan yang dengan tidak sengaja ia renggut begitu saja bahagianya.

“Kamu berharap aku katain kaya gitu? Dulu aku maki maki kamu, tiap hari. Cewe murahan mana yang mau tidur cuma cuma sama pacar orang? Semurah apa dia sampe rela diambil aset berharganya? Dia apa ngga ngerti ya cowo yang lagi tidur sama dia itu punya hati yang harus dijaga?” lanjut Deka. Ayunda masih setiap memasang telinga.

“Aku hancur. Ayunda Naura kalo kamu mau tau. Aku nangis gara gara Bangkit, tiap hari karena aku ngga pernah tau ada nama kamu sebelummya, tapi kenapa bisa? Bohong kalo ngga benci sama kalian. Aku benci. Benci banget” terus Deka dengan penuh penekanan di setiap katanya.

“Itu dulu. Kalo sekarang kamu nyuruh aku maki maki lagi juga udah ngga ada tenaganya. Aku udah ikhlasin semuanya.”

“Maaf Deka” ucap Ayunda.

“Bangkit itu apa ya, kalo sekarang belom berubah si hehe, dia selalu lari dari masalahnya. Selalu lari, ada masalah dikit ya putus, ada apa dikit ya pisah. Tapi hari dimana dia minta maaf ke aku dan dia ngomong dia mau tanggung jawab sama kamu itu hari dimana aku tau, kamu orangnya. Kalian emang buat berdua, cuman caranya aja begitu” cerita Deka.

“Aku ngga tau sejak kapan kalian kenalnya, gimana bisa kamu hamil anak dia juga, apakah Bangkit selingkuh? Tidak ada yang tahu haha. Aku cuman ngerasa 'oh bukan aku, ini waktunya, selesai'”

“Bangkit ngga selingkuh, Dek. Gracia itu kesalahan aku sama Bangkit. Kita ngga sengaja one night stand dan ternyata jadi, aku beneran nyari banget kontak Bangkit pas aku tau aku hamil. Kita bener bener asing, Bangkit ngga selingkuh. Yang lain boleh kamu ungkit tapi yang ini jangan” bela Ayunda perihal masa lalunya.

“Sakit hati anak kamu kalo kamu bilang dia kesalahan. Dia ada di dunia juga dia ngga minta, Ayunda Naura. Kamu sama Bangkit yang bikin dia ada. Aku emang baru aja mau jadi ibu, tapi udah pernah jadi anak, kalo aku ada di posisi Gracia yang kamu sebut 'kesalahan' aku kayanya bakalan menyesal banget, kenapa aku harus hidup. Bukan dia, kamu yang salah. Orang tuanya” kontra Deka mengkoreksi kalimat Ayunda.

I messed everything up aku kacauin semuanya, Dek. Harusnya ngga begini kalo aku sama Bangkit bisa sama sama sadar diri” balas Ayunda mati kutu di hadapan Deka. Suaranya bergetar hebat karena tak kuasa menahan rasa bersalah yang ada. Jika boleh waktu dikembalikan, ia akan memilih mengakhiri hidupnya dari pada menerima uluran tangan Bangkit dan membawanya terjebak untuk waktu yang tidak ditentukan berdua.

“Jangan kepedan, aku hancur soalnya nangisin diriku sendiri yang kasian banget nasibnya. Udah jelas ditinggal sama yang jelek, ngapain masih aku tangisin. Lagian kalo kamu ngga one night stand sama Bangkit aku juga ngga akan sebahagia sekarang” balas Deka. Ayunda semakin menciut dibuatnya. Ucapan Deka tidak ada yang menggunakan nada tinggi, tetapi setiap katanya benar benar membuat perih sampai ke ulu hati.

“Sekarang aku udah tau gimana orangnya. Hidup kamu pasti susah banget ya di awal? But i guess both of you are happy right now, and im thanks about that” lanjut Deka. Ayunda kembali menaikan pandangannya. Menatap manik mata Deka.

“Dek?” panggilnya.

“Sebenci apapun aku sama kamu, sama Bangkit, aku juga tetep mau kalian bahagia. Pas Bangkit nikah sama kamu, aku masih sayang sama dia, Ayunda, not gonna lie tapi kita dulu pernah ada, maaf, mau aku sebenci apapun sama Bangkit, bahagia dia masih yang utama, at the moment dan berlanjut sampe sekarang karena aku sadar sejak dulu juga ternyata di aku bukan Bangkit orangnya. Semua itu juga ada hikmahnya, kalo kamu ngga ketemu Bangkit aku juga mungkin ngga akan nikah sama sahabatku sendiri. Your current pregnancy, i assume that you guys are happy, aren't you?” tanya Deka pada Ayunda. Sementara satu perempuan hamil lagi dihadapannya, sedang sibuk mengusap air mata.

“Kamu tau banget ya Bangkit gimana hahahha, of course you, dia sering panggil aku pake 'Ala' aku awalnya bingung dan ngga terlalu ngeh kalo itu kamu, sampe aku tau nama panjang kamu Aladyaa Deka” balas Ayunda.

You happy?” tanya Deka kembali.

Can i say yes?

Of course

I am sorry Dek, i am happy” balas Ayunda dengan menitikan air mata. Diri Ayunda dirundung rasa syukur sebegitunya karena Deka telah mengikhlaskan dia dan suaminya sejak lama. Karena pasalnya, selama ini Ayunda hidup di bawah bayang bayang Deka dengan rasa bersalah yang masih sangat membekas. Maka untuk itu, Ayunda merasa rasa bahagia adalah hal mewah untuknya. Tetapi setelah mendengar ucapan Deka siang ini, ia mendadak menjadi amat sangat bersyukur serta meminta maaf dalam hati akan masa depannya bersama sang suami dan hati Deka yang pernah ia lukai.

That's enough. I am happy too with mine. Ali and our baby. Makasih ya Ayunda, kamu bantu aku liat dimana bahagiaku sebenernya. One more jangan minta maaf lagi, kamu berhak bahagia. Aku udah settled dari lama, living your life, have a kids, whatever karena aku juga bakal begitu” balas Deka dengan air mata yang juga mengenang di pelupuk matanya.

Can i hug you?” tanya Ayunda. Deka kemudian mengangguk dan membuka tangannya. Memeluk wanita yang pernah ia benci karena merampas bahagia sementara yang pernah ia punya. Deka kemudian mengangguk dan membuka tangannya. Merangkul jiwa yang pernah sakit dan hidup dalam rasa bersalah karena ia hanga ingin berbahagia dengan apa yang Deka pernah miliki. Siang itu Deka kembali memaafkan Bangkit dan masa lalunya, tak lupa juga melangitkan syukur karena telah dibantu secara tidak langsung melihat eksistensi Ali di muka bumi.

“Papaaaaa!” teriak Gracia ketika pintu ruangan terbuka dengan bunyi lonceng yang khas, menampilkan ayahnya yang tampan, tinggi menjulang sedang menoleh ke arah di mana dirinya berada.

“Hey, kamu makan apa? Kamu makan sama siapa, Ca? Mama mana? Kok sendirian?” tanya Bangkit menghampiri sang anak perempuan dan mencecarnya dengan beragam pertanyaan. Gadis berusia lima tahun itu lalu menunjuk arah dimana sang Ibu dan wanita yang hatinya pernah Bangkit jaga berada. Yang lebih tuapun mengikuti arah tangan sang anak perempuan. Menatap sang istti dan mantan pacarnya dengan keadaan perut yang sama sama membesar.

“Sini” panggil Ayunda kepada suaminya. Bamgkit sedikit ragu ragu karena ia menukan kembali mata coklat kesukaannya dari semasa ia remaja, sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang asing. Perlahan ia mendekat dengan atensi yang tak lepas dari Deka. Terkejut bukan main.

Long time no see, Kit” sapa Deka kepada masa lalunya. Bangkit tidak menjawab. Ia menatap sang istri benarkan hal ini terjadi? Seolah mengerti maksud sang lelaki, Ayunda kemudian menganggukan kepala dengan air mata yang lagi lagi jatuh ke pipinya.

How you've been, Dek?” balas Bangkit.

Good, as you are“ “Can i hug you?” tanya Deka. Bangkit lagi lagi tidak menjawab. Ia kembali menatap Ayunda. Relakah ia melihat suaminya memeluk wanita lain dihadapannya? Ayunda kemudian menganggukan kepala. Bukan sebagai mantan pacar yang dulu pernah ada. Ayunda tau, Deka merindukan Bangkit sebagai seorang sahabat lama, maka dengan kelapamgan dada dan tanpa rasa cemburu sedikitpun, Ayunda mengizinkan suaminya menyapa kembali hal yang perlu ia benahi.

Proud of you, Kit, you did well” ucap Deka di sela sela pelukan mereka. Ada air mata yang ingin Bangkit tumpahkan karena keikhlasan yang Deka berikan tetapi ia tahan karena sudah tidak sepatutnya ia meneteskan air mata untuk mantan pacarnya.

You did well too Deka, kamu berhasil sadar, selamat ya” ucap Bangkit memebuka pelukan. Ia masih memaku tatap pada wanita mengagumkan nomor dua setelah istrinya yang dulu pernah menjadi kekasih hatinya. Kegiatan mereka tak lama dibuyarkan dengan Gracia yang berlari menyusul orang tuanya, sedangkan Deka yang dipanggil secara paksa oleh Yanis dan Dena karena ia memang harus segera kembali ke pekerjaan yang menunggunya.

Semua lara pasti ada masanya, jika ingin menangis, maka menangislah, jika ingin hancur maka hancurlah, hari ini saja jangan lama lama, karena nyatanya lukapun butuh waktu untuk sembuh, tawapun butuh air mata agar sempurna. Menangislah hari ini saja, secukupnya, besok ayo kita hidup lagi – el.

Deka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel tipis yang ia kenakan utuk menjemput sang suami hari ini. Berdiri sekitar lima belas menit membuat kakinya sedikit banyak merasakan pegal karena tidak duduk dengan cukup baik guna melihat siapa siapa saja yang baru saja keluar dari pintu yang otomatis terbuka setiap kali radarnya memindai manusia yang hendak melewatinya, di bagian kedatangan. Hatinya berdebar bahkan jemari kaki yang terbungkus flat shoes juga ikut mendingin seiring dengan detak jantung Deka yang mencepat karena dirinya sudah kepalang tak sabar untuk memeluk ayah dari bayi yang sedang berada di kandungnya.

Lima menit berlalu, tak jua kunjung nampak hilal Ali telah berada di sekitarnya, maka ia mulai membuka sling bag yang menggantung dengan bebas melewati pundaknya untuk mencari ponsel dan mulai menghubungi Ali. Beberapa teks terkirim tetapi Ali belum juga memberikan balasan sehingga rasa khawatir mulai menjadi perasaan yang Deka rasakan selanjutnya. Papan pengumuman dengan jelas memberitahukan bahwa mobil besi yang membawa Ali telah berhasil mendarat dengan selamat, tetapi mengapa manusia dua puluh empat tahun satu ini belum juga menampakkan diri? Deka mulai gelisah. Ia meletakkan kembali ponselnya dalam tas kemudian mulai melipat tangan di depan dada, harap harap cemas agar suaminya segera tiba di hadapannya.

Malaikat mungkin mendengar doa yang Deka langitkan beberapa menit yang lalu, kemudian mengirimkannya kepada Tuhan agar segera dikabulkan, karena benar saja, sejurus kemudian, seorang lelaki dengan setelan casual atasan kemeja garis garis berwarna biru putih dan bawahan celana putih panjang mulai muncul dari balik pintu kaca sedang menenteng satu tas yang Deka yakini sebagai buah tangan dan satunya lagi menyeret box cukup besar yang biasa orang orang sebut dengan koper, tengah berjalan ke arahnya dengan senyum yang terukir sempurna. Pandangan mereka bertemu. Segera Deka membuka tangannya lebar lebar untuk menyambut kedatangan Ali dengan pelukan. Seolah mengerti maksud sang istri, sang suamipun sesekali berlari kecil ke arah Deka yang berada di luar. Ketika ia telah berhasil melewati pintu kaca, Ali membiarkan kopernya melaju sendiri sementara dirinya segera menghampur ke pelukan sang wanita.

Hangat. Hangat sekali. Tubuh Deka selalau hangat. Ali memeluk raga istrinya erat. Erat sekali seakan enggan melepaskan Deka barang sebentar. Sementara Deka juga melakukan hal yang sama. Mendekap Ali tak kalah kencangnya. Berdua hanya menikmati momen bertemunya kembali sembari sibuk mengisi paru paru dengan wangi tubuh pasangan masing masing.

I miss you” bisik Ali di sela sela pelukan mereka. Persetan dengan orang orang yang memperhatikan, Ali dan Deka hanya sama sama melepaskan rindu akibat dua minggu tidak bertemu. Hedehhh.

“Aku juga” balas Deka masih memeluk suaminya. Ali kemudian membuka dekapan, menatap wajah cantik sang puan yang dua minggu terakhir hilang dari pandangnya, kemudian sedikit mengikis jarak dan memberikan kecupan kecil di bibir sang wanita. Singkat, hangat, dan lembab. Deka tersenyum, ia balas menatap wajah lelah Ali yang masih tampan walau dalam keadaan kacau lelah dihajar pekerjaan.

“Ah aku kangennnn” balas Ali lalu mulai menghujani Deka dengan kecupan kecupaan kecil di seluruh wajahnya. Deka tertawa kecil, geli ia rasakan karena tingkah Ali.

“Ali Ali stop geli” jawab Deka sembari menghindar dari serangan sang suami. Ali lantas berhenti. Pandangannya turun ke perut dimana buah hatinya saat ini tinggal. Ia menyentuh perut Deka dan mulai berjongkok untuk mencapai runggu sang buah cinta.

“Anak papa pulangggggg” ucapnya lalu mengecup perut Deka dari luar bajunya.

“Mas Yuan Mas Yuan, Li” ucap Deka membuyarkan sesi melepas rindu antara ayah dan anaknya. Ali kemudian berdiri, menoleh ke arah dimana Yuanda berada, baru saja keluar dari pintu yang tadi juga Ali lewati. Tangannya masih menanggal di pinggang Deka.

“Tau tempat lo berdua” ucap Yuan sedikit berteriak dengan langkah kaki yang super cepat.

“Hahahah, ati ati mas, lancar lancar ya, nanti gue kesana” balas Ali.

“Mas Yuan ati ati' teriak Deka setelahnya yang kemudian dijawab acungan jempol oleh Yuan yang sudah mulai menjauh karena harus segera mencapai dimana Nita berada.

“Panik banget ya, Mas Yuan?” tanya Deka kepada suaminya.

“Banget, aku ngga tidur dari jam setengah tiga tadi Mba Nita ngabarin, ngga tega sama Mas Yuan” balas Ali mulai berjalan dan mengambil lagi kopernya lalu merangkul pinggang Deka.

“Mba Nita ngga naik naik juga katanya, pembukaannya” balas Deka memastikan di tengah tengah perjalanan mereka.

“Iyaa, tadi pagi pas ngabarin pembukaan empat, Mas Yuan take off tadi pembukaan enam, ini baru juga tadi pas ngambil bagasi pembukaan delapan, makanya lama soalnya nunggu Mas Yuan callan. Kayanya bayinya emang mau nunggu bapaknya dulu, Dek” jelas Ali. Deka kemudian hanya mengangguk anggukan kepala sebagai tanda mengerti.

“Catik banget, si” ucap Ali tiba tiba menoleh kepada istrinya. Deka sedikit bingung dengan tingkah manja Ali, ia hanya terkekeh sebagai jawaban karena selanjutnya adalah adegan dimana Ali yang mulai mengujaninya kembali dengan kecupan sepanjang jalan mereka menuju ke parkiran, tentunya dengan henti Deka yang malu karena banyak orang melihat kegiatan mereka berdua.

“Jangan lari Dek, aku kangen” teriak Ali ketika istrinya berjalan mendahuluinya.

“Kita ngga kenal” balas Deka tetap berjalan dan malah semakin cepat.

“Dekaaaaaaaa?” “Sayang?” “Istri akuuuu?” teriak Ali membuntuti sang istri.

“Kita ngga kenal” balas Deka lantang.


“Mau makan dulu ngga?” tanya Deka kepada suaminya yang kini memegang kendali.

“Kamu ngga masak?” tanya Ali.

“Masak” jawab deka jujur.

“Masak apa?” tanya Ali kembali dengan atensi yang tidak berubah.

“Pare sama bandeng” jawab Deka santai sembari menimakmati pai susu yang Ali bawa tadi. Sedikit terkejut tetapi Ali mencoba mengendalikan perasaanya. Pandangannya seketika berubah menuju Deka.

“Sengaja, ya?” tanyanya dengan senyum jahil yang enggan meninggalkan muka. Deka membalas tatapan Ali.

“Masih aja lo godain gue pake begituan? Ya sengaja kenapa? Suami gue balik hari ini kenapa? Ngga suka? Yaudah makan di laur aja si lo kalo kata gue, masakannya ntar gue kasi Ale juga pasti mau” balas Deka kesal. Ali kemudian memecahkan tawanya. Gemas.

“Yaelah tinggal ngomong iya doang, 'kesukaan kamu kan Li, iya aku sengaja masakin' gengsi banget lu bumil” balas Ali.

“Ngeselin lo curut” jawab Deka mulai menaruh kembali atensinya ke jalanan di depan. Hening cukup lama hingga Ali akhirnya membuka kata.

“Yang baret mana?”

Deg

Deka tahu, hari ini akan tiba, tetapi ia lupa jika 'hari itu' adalah hari ini, hari dimana mau tak mau Ali pasti akan mengusut kembali masalah yang terjadi. Maka seiring dengan situasi yang mulai menegang, Deka membalas pertanyaan Ali.

“Siku sini. Nanti aja di rumah, aku kasi liat” jawab Deka menatap Ali sepenuhnya. Tidak ada jawaban kembali karena Ali masih sibuk memperhatikan jalannya kendaraan mereka dari pada berbalik membalas tatapan Deka. Ada perasaan was was teramat sangat yang Deka rasakan karena seperti yang dijelaskan di awal, Deka akan menerima segala bentuk ceramah dari suaminya, tetapi mengapa Ali malah diam sekarang ini? Deka menjadi tidak bisa menebak apa yang sedang ada di kelapa sang lelaki.

“Marahin aja kalo mau dimarahin. Aku udah siap siap kok” lanjut Deka. Ali kemudian menolehkan pandangnya kepada sang wanita, mencoba menebak apa isi kepalanya.

“Marahin aja, Li. Jangan ditahan” ucap Deka setelahnya. Ali seakan paham, ia kemudian menepikan mobil di bahu jalan, melepaskan seatbelt dan mulai menaruh perhatian kepada wanitanya. Deka terpaku. Ia bahkan tak ikut melepas sabuk pengaman karena sudah kepalang takut kepada sang suami. Suasana mobil mereka siang ini sunyi. Ali kemudian menghembuskan nafasnya kasar hingga runggu Deka menangkap suaranya. Ia menoleh ke arah Ali. Masih tidak ada kata. Deka menunggu suaminya membuka sehingga Deka tau, bagian mana yang harus ia bela.

Cup

Bukannya kata kata, Ali malah melayangkan kecupan di punggung tangan sang puan ketika ia sudah berhasil menganggamnya. Kemudian Ali membuka jaket tipis yang Deka kenakan sehingga ia bisa melihat goseran ringan di siku sang wanita akibat kecerobohannya beberapa waktu yang lalu.

Cup

Ali mengceup kembali, kali ini di siku dimana goresan luka Deka yang telah mengering berada.

“Sakit ya? Kamu gimana kalo mandi?” tanya Ali. Deka masih dengan degup jantung tidak bisa dikendalikan, mencoba menjawab pertanyaan sang suami setenang mungkin.

“Ya biasa aja, mandi pake air” balas Deka polos.

“Pake uang mau?” tanya Ali melihat kepolosan sang istri. Sedikt gemas tetapi ia sekuat mungkin menahan diri agar wibawanya sebagai kepala keluarga muncul kembali karena pasalnya, Ali membawa raut wajah taku milik Deka.

“Duit siapa? Kamu mau ngerampok dulu ke bank?” tanya Deka lagi.

“Mau, bilang berapa, mau berapa, biar aku yang digebukin, ngga papa” balas Ali serius tetapi dengan ulat wajah yang tidak menegangkan. Sadar bahwa sang suami sedang mencoba mencairkan suasana, Deka tiba tiba menengadahkan kepala, menahan air mata.

“Ali, peluk aku dong” minta Deka.

“Sini” balas Ali menarik daksa istrinya untuk masuk ke dekapannya. memeluk Deka erat dengan sesekali membubuhkan ciuman di pelipis sang wanita. Nyaman. Pelukan Ali selalu nyaman. Dengan perasaan bersalah yang mulai kembali menghantui, Deka memejamkan dan mendengarkan degup jantung suaminya yang stabil, berharap bahwa episode ini segera berakhir.

“Kamu resign ya?” pinta Ali di sela sela pelukan mereka. Deka membuat jarak kemudian menatap dalam iris mata suaminya. Belum ada jawaban, hingga waktu cukup lama terbuang.

“Iya” balas Deka masih memaku tatap ke mata sang lelaki.

“Beneran mau? Ngga sayang kerjaannya?” tanya Ali kembali.

I love my job, but i love you, two, both of you kalo aku berhasil kerja sampe dapet posisi tinggi tapi gagal jadi ibu sama istri ya aku berarti gagal, Li. Failed. Lagian kan aku juga udah bilang, aku mau nurut apa kata kamu” balas Deka. Ali mendengar nada keikhlaskan yang Deka ucapkan melalui jawabannya barusan.

“Kamu beneran setakut itu kehilangan anak?” tanya Ali lagi.

“Takut banget, aku takut gimana kalo dia ngga lahir dengan selamat, aku kaya sayang aja sama dia unconditionally hahaha aneh, aku aja belum tau wajah anak kaya gimana, but i love them, i just do, i do love them, and you too aku sayang kamu aku juga takut kalo kamu pergi” balas Deka dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“Kamu takut aku pergi terus kamu jadi nurut sama aku gitu maksudnya?” jelas Ali. Deka kemudian mengangguk sebagai tanda bahwa dirinya, lagi lagi menyetujui perkataan Ali.

“Dek, kamu ngga harus berubah buat aku” balas Ali. “Jadi dirimu sendiri, kalo ngga mau bilang ngga mau, ngga bisa bilang ngga bisa. Aku ngga akan kemana mana” lanjut sang pria.

“Aku kayanya udah bilang kalo aku insecure sama kamu dari awal? Apa ya Li kamu itu every body's husband material di luar sana itu banyak yang lebih dari aku, banyak yang mau juga sama kamu. I am not gonna doubt you aku ngga ngeraguin kamu, aku yang ragu sama diriku sendiri. Kamu emang ngga minta, tapi aku yang mau, aku mau berubah” balas Deka dengan seskali mengusap air matanya.

“Dek, kamu kejauhan sayang” jawab Ali. Ia kemudian menarik pipi Deka agar sang wanita menghadap ke arahnya.

Listen, aku ngga butuh yang lebih. Aku ngga butuh yang lebih cantik, lebih ngga ngrepotin, lebih ini lebih itu, aku ngga butuh. Aku cuma butuh yang pas, yang cukup buat aku. Kamu ngga perlu jadi lebih soalnya aku udah cukup sama kamu Dek. You enough. Mau dikasi lebihan kaya apapun di aku juga ngga bakalan bisa nampung, soalnya udah full udah cukup, sama kamu. Kamu dulu itu aku halu haluin, tau. Kadang kadang aku masih ngga nyangka bisa mau punya bayi sama kamu. Ngga perlu berubah biar aku ngga pergi, aku udah cukup sama kamu, udah kamu aja” jelas Ali panjang lebar.

“Peluk gue lagi dong, cengeng banget gue hamil dikit dikit mewek” balas Deka, Ali tersenyum lalu memeluk kembali wanitanya sebari sesekali memberikan usapan lembut pada punggung Deka.

“Kamu jangan ngerasa terbebani karena kau segininya sama kamu, jangan, aku emang beneran sayang sama kamu dari awal, dari dulu Dek. Kamu mau aku nikahin aja aku udah bersyukur banget, sekarang mau aku titipin nyawa juga, makasih banyak ya Dekaaaaaaaa” ucap Ali lalu mengecup kembali pelipis istrinya.

“Aku juga makasih kamu sabar banget, maaf ya kalo aku selalu ngrepotin kamu, tapi kata kata aku buat nurut sama kamu itu seriusan, aku beneran mau nurut sama kamu” balas Deka membuka pelukannya.

“*Resign berarti, ya?” jelas Ali.

“Tapi Li kal-”

“Katanya nurut?” potong Ali.

“Bentar astaga. Bentar” balas Deka yang kemudian di jawab senyum jahil dari suaminya.

“Kalo aku resign keuangan kita ngga akan selancar sekarang. Gaji aku itu empat juta lebihnya buat cicilan mobil, sisanya sejuta lebih buat makan kita sehari hari. Uang bulanan yang dari kamu itu masuk tabungan anak, dana pensiun, bulanan ibu sama dana darurat, hasil ESOP masuk ke tabungan bunda soalnya aku sungkan kalo tiba tiba ngga ngasih, sama tabungan anak juga. Ini kalo aku resign kita masih bisa juga si, soalnya rumah kurang dua kali aja kan? Tapi kaya pas gitu lo Li, soalnya kita bener bener cuman bergantung sama kamu aja” jelas Deka. Ali hanya mengangguk anggukan kepala.

“Terus rencana kamu gimana? Kamu udah ada planning belum?” tanya Ali kepada istrinya.

“Aku bakalan tetep kerja si tapi ngga kaya yang di kantor sekarang tiap hari gitu, aku rencananya mau freelance aja, boleh ngga? Ya walaupun ngga pasti dan ngga seberapa, tapi bisa lah Li buat bantu kamu belin baju anak, susu dia nanti, mainan mainanannya, kan duit sekolah udah kamu tu, terus terus, pas aku resign nanti kan sahamnya masih bisa dipake, maksud aku, aku jual aja sebagian terus mau buka usaha gitu apa kek caffe kecil kecilan kek apa kek nanti kerja sama sama siapa yang udah pro, kita ispain dananya gitu” jelas Deka kepada suaminya.

“Kenapa caffe kenapa ngga yang lain?” tanya Ali.

“Kalo anak udah lahir kayanya aku beneran mau berenti kerja aja, mau liat dia besar, aku menemin setiap prosesnya dia, kalo aku tetep kerja di kantor, otomatis anak harus diurus sama orang lain. Kalo kita buka usaha sendiri kan bisa mantau seenaknya, maksud aku kapan mau mantau, ya tinggal mantau, waktunya fleksible and of course i know resiko sama persiapannya banyak dan gede banget, but if you never try you never know lagian uangnya kan uang kita juga, bukan hasil minjem bukan hasil ngutang” jelas Deka lagi. Ali hanya mengangguk anggukan kepala, tanda mengerti.

“Kalo kamu gimana?” tanya Deka.

“Aku sebenernya ngga keberatan si kalo kamu cuman mau di rumah ngurusin anak, ngurusin aku, aku ngga papa, lagian kata kamu kita masih bisa kan tadi kalo cuman bergantung di aku aja? Aku izinin kamu kerja itu karena aku tau proses kamu sampe disini kaya gimana, dari yang pengangguran doang tiap hari ikut aku manggung sampe jadi one of top business analyst itu ngga gampang. Lagian juga aku kerja buat kamu, buat anak, buat kalian berdua jadi kalo emang harus dipushed dikit ya ngga papa. Tapi kalo rencana kamu ke depannya begitu, aku boleh boleh aja Dek terserah” balas Ali menyampaikan pendapatnya.

“Beneran boleh?” tanya Deka lagi.

“Beneran, sayang juga kuliah mahal mahal ilmunya ngga kepake, kalo mau dikembangin ya kembangin aja, aku tim hore kamu”

“Peluk aku lagi dong” minta Deka pada suaminya. Ali membelalakkan mata, bisa bisanya Deka meminta pelukan di sela sela sesi serius mereka?

“Mau ngga si?” tanya Deka. Tanpa menunggu jawaban dari sang suami, Deka menarik daksa Ali hingga memenuhi badan bagian depannya.

“Ini kita mau pelukan disini aja ya? Ngga mau pulang?” tanya Ali pada istrinya. Deka kemudian membuka dekapan dan membubuhkan kecupan kecil di pipi sang lelaki.

“Dah, yuk jalan” ucapnya memasang kembali sabuk pengamannya. Ali tersenyum kecil dan menggeleng gelengkan kepala. Mulai menyalakan kembali mesin mobil dan melajukan kendaraan besi mereka.

“Kamu dulu gimana ngatur keuangannya?” tanya Deka pada sang suami yang mulai fokus kembali.

“Aku kasih ibu. Duitnya aku kasih ibu, aku aja dulu ngga tau kalo udah ada cicilan rumah pake nama aku, akhirnya pas kuliah yaudah, ngeband terus soalnya udah ada tanggungan” jelas Ali. Kemudian sisa perjalanan mereka diisi dengan obrolan obrolan seputar keuangan dan bagaimana mereka akan mendidik anak ke depan.

Siang itu selepas kembalinya Ali dari bekerja, Deka tau dan amat sangat bersyukur karena suaminya adalah Sabima Ali. Sabima Ali Aulia yang amat sangat mencintainya tanpa syarat dan tuntutan apapun untuk Deka kerjakan. Maka dengan kebebasan yang Ali berikan, Deka ingin berubah lebih baik atas diri sendiri sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Tuhan atas diizinkannya seorang lelaki bernama Sabima Ali untuk menemani sisa umur yang Deka miliki. Seorang lelaki yang ingin dipanggil papa oleh anak anaknya kelak. Seorang lelaki yang membawa separuh jiwanya. Siang itu selepas kembalinya Ali dari bekerja, Deka memahami fakta bahwa jika seseorang telah kepalang cinta, maka tanpa diminta pun ia akan beruah dengan sendirinya.

Ali merebahkan kepalanya pada sandaran sofa di dalam kamarnya yang beberapa hari belakangan ini ia tiduri berdua bersama Yuan, tentunya dengan ranjang yang terpisah. Raganya lelah begitupun dengan jiwanya. Pikiran Ali bekerja berkali kali lipat hari ini karena Deka membuat satu tragedi yang hampir membahayakan buah hati mereka. Walaupun sempat menolak, tetapi perasaan takut kehilangan agaknya mulai muncul dalam diri calon bapak berusia dua puluh empat tahun ini.

Ketika satu bubble chat dari istrinya muncul dalam notifikasi ponsel Ali, dengan kabar buruk yang datang bersamanya, dunia Ali seketika runtuh. Dunianya runtuh. Pikiran pikiran akan keadaan terburuk dimana ia akan kehilangan jabang bayi mereka menghantam kepala Ali secara tiba tiba.

Perut aku sakit, Li

Sial, nasib buruk apa lagi yang datang menghampirinya kali ini? Bukankah ia juga manusia? Mengapa tidak ada hari tenang sebentar saja dalam hidup Ali setelah pernikahannya dengan Deka? Mengapa Deka selalu menempatkannya dalam keadaan sangat tersiksa? Benar, Deka. Selain buah hati mereka, eksistensi Deka yang notabennya sebagai ibu dari si jabang bayi juga amat menganggu pikiran Ali hari ini. Bagaimana jika wanitanya terluka? Bagaimana jika Deka membutuhkannya? Seharusnya Ali menjadi lebih tegas. Seharusnya Deka memang tidak berangkat karena ia melarangnya dengan keras. Ali menyesal. Sore ini, selepas bekerja, Ali menyesal karena mengizinkan Deka pergi untuk pekerjaannya. Ali marah. Sore ini, selepas bekerja Ali ingin marah, tetapi entah kepada siapa, karena ia yakin benar ia tidak bisa menyalahkan Deka pun dengan orang yang menyerempetnya karena Ali sendiri belum mengetahui bagaimana kejadian itu berkronologi. Maka ia marah dirinya sendiri, seharusnya Ali lebih memilih beradu argumen dengan istrinya dari pada berakhir kehilangan dua pusat dunianya. Sore itu, selepas bekerja Ali marah dan menyesali keputusannya.

“Cape banget kayanya?” buka Yuan sembari menyodorkan segelas kopi kepada Ali.

“Mas, punya lo kopi susu kan?” tanya Ali sembari bangkit menegakan diri.

“Iyaa, banyak susu sama gulanya” balas Yuan yang masih berdiri.

“Tuker mas, gue butuh yang manis manis” balas Ali lalu merampas kopi milik Yuan yang juga dibiarkan saja oleh empunya. Tidak ada percakapan lain yang terjadi setelahnya. Hanya Yuan sesekali menyesap kopi paitnya sembari sibuk menatap cakrawala yang mulai menjingga seraya melihat ponselnya dan ikut duduk bergabung dengan Ali di sofa kamar mereka, sedangkan Ali kembali tenggelam dalam pikiran kalutnya sendiri.

“Kenapa? Banyak pikiran?” buka Yuan akhirnya.

“Engga” jawab Ali menoleh sebentar lalu kembali menghadap ke depan.

“Deka lagi?” tanya Yuan tepat sasara. Ali masih enggan menjawab, ia hanya melontarkan kekehan atas pertanyaan Yuan.

“Namanya juga rumah tangga, Li, pasti ada aja cobaannya” lanjut Yuan yang sebenarnya sudah terlanjur tahu.

“Cobaan si boleh, tapi kok kebangetan banget haha” balas Ali akhirnya.

“Emangnya—kenapa?” pancing Yuan.

“Apa ya, tiap kali gue tinggal jauhan dikit Deka itu selalu ada aja, mas” kena. Ali masuk ke perangkap. “Kaya gue itu kaya ngga dibiarin bebas, sebentar aja, selalu ada aja yang ini yang itu, kenapa ya haha, capeknya double kalo gini” lanjut Ali. Yuan kemudian mengangguk anggukan kepalanya mengerti.

“Nyesel?” tanya Yuan kembali. Ali tidak menjawab, ia hanya membelalakan mata sembari menatap tajam ke arah yang lebih tua, kepalang terkejut dengan pertanyaan yang Yuan berikan.

“Nyesel nikahin Deka?” lanjut Yuan.

“Kok gitu si mas lo nanyanya?” balas Ali.

“Coba telvon dulu anaknya tanyain gimana keadaanya, siapa yang salah, kok bisa keserempet, anak lo gimana, ajakin ngobrol dulu coba, jangan didiemin” jawab Yuan.

“Kok lo tau?” tanya Ali bensr benar terkejut.

“Apa si yang gue ngga tau?” jawab Yuan santai.

“Lo mah enak mas, bini lo udah sama sama dewasanya, even lo seumuran juga tapi Mba Nita bisa lebih mikir dari Deka haha” balas Ali dengan tawa sarkas di akhirnya. Yuan hanya terkekeh. Ia memahami yang sekarang Ali rasakan. Mengapa harus ia lagi ia lagi yang mengalah kepada Deka? Bukankah Deka yang berbuat salah kepadanya? Mengapa harus Ali lagi yang menghubunginya?

“Lo ngga ngerti, Li. Nikah sama cewe kaya Nita yang udah dewasa bisa ini itu sendiri juga ada tekanannya. Kadang kadang gue liat lo direcokin Deka juga pengen, Nita itu apa ya, udah mature banget, apapun dikerjain sendiri, gue sampe kadang kadang itu nanya 'aku kamu anggep suami ngga si' saking ngga maunya ngrepotin gue. Lama lama jatuhnya insecure Li” balas Yuan menyuarakan isi hatinya.

“Ngomongin duit juga, dia punya duit, gak jauh beda sama gue, sebelas dua belas, even masih banyakan gue dikit, ngomongin manja ya jangan ditanya, ngga ada manja manjanya si Nita, dia itu bisa apa apa sendiri, kayanya kalo gue ngga ada pun juga dia tetep bisa” lanjut yang lebih tua.

“Mas? Lo ngga lagi mikir mau main belakang kan?” tanya Ali memastikan yang kemudian hanya dijawab kekehan oleh Yuan. Tidak ada jawaban berarti adalah kebenaran, yang selanjutnya dilakukan Ali adalah memegang pundak seniornya dan menangkap mata Yuan dalam dalam.

“Jangan gila lo mas” ucap Ali.

“Minggu depan Nita HPL, lo tau pas gue izin dia bilang apa? 'Berangkat aja yang, aku bisa kok sendiri' mikir lah anjing anak gue mau lahir gue disuruh berangkat katanya bisa sendiri? Gue yang ngga bisa” balas Yuan dengan mata yang berkaca kaca.

“Bayangin anak lo lahir tapi bapaknya ngga ada sama dia, kasihan ngga si Li, anak gue?” lanjut Yuan dengan menengadahkan kepalanya dan mengusap beberapa air yang mulai berjatuhan.

“Mas, sorry gue sok tau banget” balas Ali menatap lawan bicaranya.

“Kita itu hidup saling ngeliat, Li, kalo kata mak gue, orang Jawa, sawang sinawang saling ngeliat, dan yang diliat itu cuman permukaannya aja. Makanya gue percaya don't judge a book from the cover itu beneran adanya” balas yang lebih dewasa.

“Tapi lo emang beneran ada pikiran mau main belakang?” pasti Ali sekali lagi. Yuan tidak menjawab, ia hanya menolehkan kepalanya kepada Ali lalu tersenyum ambigu entah apa maksudnya.

“Lo kalo beneran selingkuh gue gebukin ya mas, bodo mau Mba Nita yang salah juga lo tetep gue gebukin” lanjut Ali. Yuan kemudian memecahkan tawanya. Terheran heran dengan jawaban yang lebih muda.

“Ngga ada lah gila, satu aja bikin pusing apa lagi dua. Gue cuman ngebayangin aja kalo Nita jadi lebih clingy ke gue enak kali ya, ini bentar lagi punya anak juga gue mau ngomong empat mata sama dia heart to heart gitu gue maunya begini kalo dia gimana? Mau seinsecure apapun gue sama Nita masih gedean sayangnya Li” balas Yuan dengan mata yang menerawang jauh ke masa depan. Di sampingnya, Ali hanya menundukan kepala sembari mengangguk angguk sebagai tanda bahwa ia mengerti. Belum pernah sekalipun Ali bayangkan bahwa Yuan, pernah merasa serendah itu dihadapan istrinya, karena milik Yuan dan milik Nita lah yang sebenarnya ingin Ali miliki. Tetapi setelah mendengar pengakuan sang empu sore ini, Ali bersyukur bahwa Deka adalah miliknya. Apa yang ia dan Deka punya adakah milik berdua dan pasti, tak ayal, pasti berbeda dengan orang lain satu sama lainnya.

“Telvon si Deka coba sekarang. Tanyain apa yang sakit. Lo sadar ngga si mau secape apapun, lo bertahan juga gara gara Deka? Cape ke Deka kesel ke Deka apa apa ke Deka juga?” ucap Yuan. Ali kemudian mengangguk sembari tersenyum menyadari bahwa sebagian dirinya ada pada Deka.

“Mas, sorry ya hahah, semoga anak lo lahirnya nunggu lo balik deh hehe” balas Ali sembari bangkit berdiri.

“Hedeh, bocah bocah” jawab Yuan tersenyum bangga. Melihat Ali mulai berjalan menuju balkon dan menarikan jemarinya di atas layar ponsel dengan senyum yang tak kunjung meninggalkan wajahnya. Sementara Yuan juga ikut berdiri dan pergi meninggalkan kamar guna memberikan ruang kepada Ali.

Sore itu, selepas bekerja, Ali tau ada banyak rahasia di muka bumi yang tak ia ketahui. Sore itu, selepas bekerja, Ali tau bahwa tidak ada habisnya jika terus berkiblat pada milik orang lain sedangkan miliknya sendiri sedang dalam proses pengubahan. Sore itu, selepas bekerja, Ali tau bahwa menilai kehidupan orang lain tanpa benar benar mengerti jalan hidup mereka adalah hal yang salah. Sore itu, selepas bekerja, Ali menghubungi istrinya untuk tau bagaimana keadaan ia dan buah hatinya. Sore itu, selepas bekerja, Ali melangitkan doa dan rasa syukur secara bersamaan karena Deka dan anaknya dalam keadaan yang baik baik saja.

If you know people from the surface, you better keep your mouth close – el.

“Udah Li, jangan dimarahin terus anaknya” ucap Deka sembari mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Sementara Ali, sudah bersiap pergi ke alam mimpi lengkap dengan setelah tidurnya tetapi masih duduk bersandar pada kepala ranjang dan memainkan ponselnya, fokus sekali.

“Engga, aku cuman lagi ngomong, dikit” balas Ali dengan atensi yang tidak berpindah. Deka hanya menggeleng gelengkan kepala lalu mulai menyalakan hair dryer dan melanjutkan aktivitasnya. Merasa terganggu dengan suara yang mesin yang menyala, Ali kemudian menaruh ponselnya di nakas dekat meja kemudian turun dan membantu Deka.

“Kamu ngomong apa sama Ian?” tanya Deka sembari menatap wajahnya sendiri di kaca dan membubuhkan beberapa minyak ke atas mukanya.

“Ngelanjutin yang tadi. Kurang sebaris kamu ngajakin pulang terus” balas Ali.

“Kamu tu strict banget tau sama adekmu, jangan digituin Li, anaknya ngga nyaman lama lama” jawab Deka.

“Ya emang harus, kalo gak gitu nanti dia jadi anak yang ngga bener”

“Ya tapi kamu keterlaluan, Ali. Dari dulu banget lo” “Nanti kalo anak kamu cewe kamu gituin juga?” tanya Deka. Ali lalu menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Deka melalui kaca. Pendangan mereka bertemu.

“Dek, kita udah jadi suami istri gini, berarti udah jadi satu, aku pengen kita juga selalu jadi 'satu' kepala, 'satu'pikiran, 'satu' tujuan kaya apapun bentuknya.” “Jangan sampe nanti pas didik anak cara kita beda” ucap Ali terlihat serius.

“Iyaaaa, tapi aku ngga setuju sama cara kamu yang strict gini, ke Ian, ke anak kita apa lagi” balas Deka memutar badannya ke belakang menghadap sang suami. Ali kemudian berjongkok agar mulutnya mencapai runggu Deka.

“Aku ngga bakalan strict kalo anaknya bisa dipercaya, Dek. Coba kamu inget dari dulu aku mana pernah suruh suruh ian pulang kalo pas jalan, ngasi dia batesan harus pulang jam segini segitu? Engga pernah, dia pacaran pun aku rangkul, ajak pacarnya ke rumah sini abang pengen tau, pengen ngeband juga aku jabanin, yaudah ayok sama abang” “Kamu mungkin kaget aku tadi ngamuk sebegitunya, karena baru aku tinggal berapa hari ibaratnya, dia malah melenceng jauh kemana mana. Ayah, ibu itu ngga mungiin ngingetin Ian, kamu tau sendiri dia kalo ngeyel kaya gimana, jadi kalo bukan aku ya siapa lagi, Deka” jelas Ali panjang lebar. Deka hanya diam mendengarkan suaminya.

“Yang kamu maksud strict itu bukan semata mata aku kaya begitu, engga, aku ngejagain dia. Kalo sampe ada apa apa nanti aku juga yang salah” lanjut Ali.

“Tapi anak itu semakin dibebasin malah semakin punya rem buat diri sendiri, Li. Dia tau mana yang salah mana yang bener” bela Deka.

“Iya itu kalo kamu sama aku, apa ya as a first born kita jadi tau harus begini harus begitu tanpa bener bener perlu dibilangin sama orang tua, kamu pernah ngerasa tiba tiba punya tanggung jawab sebagai kakak ngga? Ngga pernah kamu aja ngomong kasar terus” ledek Ali.

“Apa apaan?” bela Deka.

“Sejak aku sadar Ian selalu ngikutin aku, aku jadi lebih punya kendali buat diri sendiri, makanya aku bilang dari dulu ke kamu, jangan ngasi contoh yang jelek, tapi kamu ngga mau denger” balas Ali. Deka kemudian menundukkan kepalanya, sedikit bersalah kepada Ale karena sedikit banyak, Deka berkontribusi pada hal kecil seringkas Ale yang tanpa sadar suka berkata kotor.

“Ngga usah nyesel gitu, diingetin aja Alenya baik baik. Itu kita Dek, itu kita. Ian, Ale, anak kita nanti itu bukan kita. Mereka ngga bisa jadi kita, pasti nanti anak pertama anak kedua punya pressurenya sendiri sendiri, tugas kita didik biar tau, biar ngerti, ngga bisa kalo disuruh sama kaya kita.” “Sekarang kamu liat Ale, Ian juga kaya kata kamu kemarin, kena semprot bunda kan? Ian juga gitu, jadi masih yakin mau bebasin mereka sebebas bebasnya kaya kita?” akhir Ali dengan pertanyaan.


Beberapa jam sebelumnya

Safirli Anna Aulia hanya sanggup menundukkan kepala ketika kakaknya dengan tegas menolak pinangan seorang laki laki akan dirinya di hadapan ayah, ibu serta keluarga sang pemuda.

“Saya ngga tau gimana saudara bisa seyakin ini dengan adik saya, tapi dua minggu menurut saya kurang kalau mau dilanjut sampai ke pernikahan. Jawaban saya, selaku kakak kandung dari Ian, sekaligus mewakili ayah ibu dan keluarga saya sudah jelas. Saya mohon maaf tapi pinangan saudara kami tolak” ucap Ali dengan tegas.

“Yan? Kamu yang nyuruh aku ke rumah, Yan?” balas sang pemuda menatap Ian yang bersembunyi di belakang Ali.

“Saya sekali lagi memohon maaf apabila adik saya pernah berkata demikian, tetapi jawaban saya masih sama. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada saudara, silahkan saudara kembali ke rumah saudara” balas Ali dengan nada suara yang dingin. Setelah kalimat tersebut, Ali kemudian berdiri dengan maksud agar tamu di rumahnya malam ini segera pergi. Seakan mengerti maksud Ali, kedua orang tua sang pemuda dengan hati yang lapang mulai pamit undur diri. Setelah bersalam salaman dan pergi meminggalkan pekarangan rumah Ali, lelaki berusia dua puluh empat tahun itu membanting pintu sedikit keras dan langsung menghujamkan tatapan tajam kepada adiknya yang masih setia menundukan kepala tidak tidak membuka mulutnya.

“Abang ngga ngerti sama jalan pikiran kamu, gimana maksudnya bisa nyuruh orang baru ketemu dua minggu ke rumah buat lamaran, ha?” ledak Ali seketika pintu tertutup. Deka yang berada di samping Ian-pun kini ikut ikutan menundukan kepala seolah mengerti akan kekecewaan yang Ali alami. Bahkan Ibu juga tidak berani menatap mata anak pertamanya. Hanya ayah yang mengangkat kepala tetapi juga tidak menemukan pandangnya dengan Ali. Dua puluh menit berlalu dengan suasana rumah yang mencekam karena Ali datang dengan amarah yang ia simpan. Setelah tamu pulang, bukan kembali mencair tetapi malah semakin menakutkan. Begitulah kira kira atmosfer rumah yang dapat mereka rasakan.

“Yang kamu punya sama Ditto itu sebanding sama dua minggu kamu dibaikin sama dia?” lanjut Ali. Rumah besar yang dulu ia tinggali kini hanya berisi aura dingin yang entah mengapa terbangun semenjak mobil Ali terparkir di depan rumah ini. Empat belas tahun berjalan mengenal Sabima Ali Aulia, membuat Deka dengan percaya dirinya merasa bahwa ia mengetahui segala seluk beluk lelakinya, tetapi malam ini ia merasa kecil di depan Ali. Pertama kalinya Deka melihat sisi Ali yang meledak seperti ini. Tidak ada kata kata hujatan seperi anj*g, bai dan teman temannya, tetapi setiap fakta yang Ali keluarkan menampar kepala orang yang sedang berhadapan. Tepat dan menusuk hati.

“Kok bisa kamu bilang dia lebih baik dari Ditto cuman gara gara dua minggu kenal terus dilamar? Bisa mikir ngga?”

“Dia ngomong mau serius, bang” bela Ian di tempat duduknya dengan berani menatap mata Ali.

“Ngomong doang abang juga bisa, Yan, tukang bakso yang ngga kamu kenalpun juga bisa kalo cuman ngomong doang mau serius. Abang ngga habis pikir sama kamu, bisa bisanya selingkuh? Ayah ibu abang ngga pernah ngajarin kamu buat kaya gitu!” balas Ali lebih tajam dengan suara yang lebih meninggi.

“Ia ngga selingkuh!” bela Ian.

“Ditto tau? Ditto tau dia kesini? Tau Ditto kamu dilamar orang lain? Sebelum dia kesini pasti udah ada kontak kan berdua, Ditto tau? Kamu bilang ada chat sama cowo lain?” tanya Ali pada adiknya. Kalah telak. Ian menundukkan kembali pandangannya.

“Kamu itu salah dek. Kalo mau sama dia bilang baik baik ke Ditto. Gak main belakang begini, mikirin gak nanti gimana perasaan Ditto? Dari SMA lo, nabung berdua apa apa berdua. Kalo semisal bukan Ditto orangnya ya ngga papa, tapi ngomong baik baik, jangan begini. Abang gak pernah ngajarin. Bukan masalah dilamarnya, masalah main belakangnya yang abang ngga setuju sama sekali.” lanjut Ali. Ian mulai diam merenungkan kesalahannya. Sepersekian detik dalam ingatannya ia mulai membayangkan wajah kekasih hatinya yang mungkin akan sangat kecewa.

“Kalo emang dia jodoh kamu ya abang itu ngga papa, lagian selama ini Ditto juga belum ada kepastian buat kesini minta kamu baik baik, tapi ngga gini dek, caranya. Nikah itu sakral, abang emang baru beberapa bulan nikah, tapi abang tau nikah itu sakral, ibadah seumur hidup, kalo mau mulai jangan dimulai sama hal buruk kaya gini” ucap Ali dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

“Maaf” ucap Ian mulai bercucur air mata. Deka kemudian memeluk adik iparnya dengan maksud memberikan kenyamanan dan bersimpati atas kesalahan yang ia sadari.

“Minta maaf ke Ditto nduk, minta maaf ke Juan juga, kamu yang salah” ucap Ibu menenagkan anak bungsunya. Ian tidak menjawab, ia kemudian beralih memeluk sang ibunda.

“Maafin ibu ya, maaf ibu harusnya tau kamu cuma pengen nikah, maaf ya” balas Ibu sembari mengusap punggung Ian.

“Ian yang salah. Maaf” balas Ian masih menangis. Sementara Deka di sampingnya hanya menatap ibu mertua dan adik iparnya sembari sesekali mengusap air mata. Ikut merasakan derita yang Ibu dan Ian terima. Hatinya tersentuh melihat Ian dan Ibu saling baku memeluk menenangkan satu sama lain. Atensinya kini berpindah ke Ali. Laki laki yanh masih berdiri di depan pintu itu menatap teduh ke adik dan ibunya sembari mulai melipat tangan ke depan dada. Ada perasaan bersyukur yang Deka rasakan karena ia menikahi Ali. Sabima Ali Aulia yang telah membangun segudang rencana untuknya dan keluarga kecilnya di masa depan. Sabima Ali Aulia yang selalu punya caranya sendiri untuk melindungi orang orang yang ia sayangi. Dalam diamnya menatap sang lelaki, Tuhan mendengar beribu ribu ucapan syukur karena Ali adalah miliknya.

“Udah bang, wis wis udah” tenang sang ayah sembari merangkul dan menepuk nepuk pundak sang anak lelaki.

“Ngomong sama Ditto baik baik, kalo emang mau sama yang dua minggu suruh ke ayah terus ke abang dulu” ucap Ali dengan maksud mengakhiri pertikaian malam ini.

“Mau sama Ditto aja” balas ian tetap dalam dekapan ibunya.

“Udah tau resikonya?” tanya Ali.

“Putus” jawab Ian dengan air mata yang hampir tumpah kembali.

“Bagus kalo tau” final Ali malam ini.


“Tapi kalo anaknya cowo terus berantem gimana, Li? tanya Deka sembari menyamankan kepala di lengan sang pria.

“Ya ngga papa, namanya juga cowo, biarin aja, yang penting ngga tiap hari, ngga sering sering” jawab Ali sembari mulai mengusap surai hitam istrinya dengan lengan yang juga sama sama dibuat bantal oleh Deka. Sementara satu tangannya lagi sibuk dengan sesuatu dalam ponsel pintarnya.

“Kok gitu? Kalo dia sakit nanti gimana? Berantem kan pasti ada yang luka luka”

Exactly ada yang luka luka jadi kalo mau berantem ya ngga boleh kalah. Kalo kalah mending ngga usah berantem aja, kalo sampe ada yaudah tinggal diobatin” balas Ali enteng.

“Tapi kan berantem itu hal jelek, Li. Ngga baik” elak Deka.

“Dia berantem juga pasti bukan buat seneng seneng, Dek. Pasti ada alasannya. I promise you anak kita ngga akan ikut tawuran, mabok mabokan, ngeroko narkoba dan kawanannya itu” janji Ali tiba tiba.

“Caranya?” tanya Deka.

“Sama aku.”

“Hah?”

“Sama aku, kalo mau nyoba minum sama aku, kalo mau nyoba ngeroko sama aku, apapun boleh pokonya harus sama aku. Anak anak baru remaja itu emang selalu curious banget sama sesuatu, kalo belom nyoba sendiri belom percaya, dari pada kita larang larang mending aku ikut aja sekalian biar bisa handle langsung anaknya gimana” jawab Ali. Kini ia mulai menaruh ponselnya dan berbicara sembari menatap Deka.

“Dosa” balas Deka.

“*We all are sinners, aren't we?” tanya Ali dengan wajah jahil seraya mengendikkan bahunya.

“Ih” Plakkkk sebuah tangan menampar lengan Ali.

“Hahahha, resikonya gede, Dek. Mau anak cowo apa cewe gede. Yang minum yang ngeroko bukan cowo doang, cewe juga. Mereka bakalan gitu apa engga, itu tergantung sama kita gimana ngajarinnya” balas Ali tetap mengusap surai sang istri.

“Tapi gedean resikonya anak cewe ngga si?” tanya Deka mendongakan kepalanya agar mendapat netra sang suami.

“Ngga juga, cewe dihamilin tapi cowo ngehamilin, yang tanggung jawab juga tetep cowonya kan, mau cowo mau cewe semua beresiko, Deka. Dari pada takut overthinking sama masa depan mending kita belajar aja banyak banyak how to be a good parent mulai dari sekarang” balas Ali. Deka kemudian tersenyum. Masih saja ia kagum kepada isi kepala Sabima Ali Aulia, suaminya yang kini memeluknya di atas tempat tidur.

“Coba ngomong sama dia, suruh jadi baik” ucap Deka mengelus perutnya yang rata. Ali tersenyum dan bangkit agar bisa mencapai perut istrinya. Sejurus kemudian ia mengusap perut Deka dan mengetuk ngetuknya pelan.

“Kamu denger ngga tadi? Papa sama bunda ngomong banyak, tapi kamu ngga usah takut ya, nanti papa sama bunda pasti nyebelin banget, tapi semua ada alasannya kok. Jangan takut ya, papa sama bunda begitu karena sayang sama kamu. Ok?” monolog Ali seorang diri.

“Katanya minta cium” balas Deka dengan senyum mereka di wajahnya.

Cupppp

“Udah kan? Kamu minta apa lagi sekarang? Papa turutin, sekarang tapi ya? Lima menit lagi papa mau tidur soalnya” ucap Ali lagi.

“Katanya suruh cium bunda juga” balas Deka. Ali kemudian memasang wajah ceriga.

“Ini dia yang minta atau kamu yang modus?”

“Kata anak kok” belas Deka. Ali kemudian merengkuh tengkuk kepala istrinya dan menyatukan pungutan mereka. Ali dan Deka sama sama tersenyum di tengah tengah kegiatan.

“Ali” “Ali” ucap Deka setelah cukup lama dan mulai kehabisan nafas. Ali dengan segera menghentikan ciumannya dan menatap Deka dengan lekat. Didapatinya seorang perempuan sedang terengah engah meraup udara sebisa mungkin karena tidak cukup mampu mengimbangi permainan Ali.

“Hahaha sorry” balas Ali lalu ia sekali lagi menyibak baju sang istri dan memberikan kecupan hangat untuk sang buah hati.

Good night baby, i love you to the moon and the saturn” ucapnya. Lalu sekali lagi mengecup bibir dan pucuk kepala istrinya, menarik Deka masuk kembali ke pelukannya dan mulai menjemput mimpi.

Malam itu untuk pertama kalinya Deka lihat sisi lain Ali, yang ternyata selama ini selain dirinya sendiri, Ali sudah lebih dulu memikirkan bagaimana nanti kedepan ia akan membawa keluarganya. Malam ini sekali lagi Deka bersyukur karena Ali memilih ia sebagai wanitanya.

Deka telah terlelap ketika Ali dengan perlahan menurunkan kenop pintu kamar tidur mereka. Seperti biasa, Deka akan membelakangi pintu yang mana artinya ia juga membelakangi tempat tidur Ali. Menyadari nafas Deka yang berulang secara teratur, Alipun memutar kaki untuk bisa melihat paras cantik istrinya di seberang sana.

Ia kemudian berjongkok. Menyamakan tinggi badannya dengan wajah sang wanita. Matanya bengkak. Deka pasti banyak menangis barusan tadi. Muncul perasaan bersalah di hati Ali, sejalan dengan ingatan yang tiba tiba membawanya di hari dimana Deka hancur karena Bangkit meninggalkannya. Seperti luka lama yang dikorek kembali, Ali kemudian memejamkan matanya. Selama empat belas tahun mengenal Deka, baru kali ini Ali merasa sebegini bersalahnya. Ternyata Deka yang ia kenal dulu adalah Deka si wanita aneh yang menjadi sabahatnya, bukan Deka yang manja dan selalu ingin berdua karena sekarang Deka adalah istrinya.

Lama ia pandang wajah yang akan menemaninya hingga akhir hayat itu namun nampaknya Deka tak kunjung memberikan tanda tanda kebangunan. Maka Ali memilih untuk mengecup lama pucuk kepala sang istri, sembari melantunkan permintaan maaf teramat sangat di dalam hati, berharap tanpa diucapkan pun, Deka akan mengerti.

Pukul dua dini hari, satu setengah jam sejak Ali pulang, Deka terbangun di tengah malam. Seperti biasa, ia akan memulai makan malamnya dengan lahap tanpa ada rasa mual karena tidak ada Ali menemaninya. Rasanya aneh, rasanya seperti jabang bayi mengerti apa yang sedang Deka batin dalam hati. Ia tidak membenci Ali, tidak sama sekali. Deka hanya kepalang kesal karena Ali yang tidak memahaminya. Maka untuk tetap bertahan hidup dan menunbuhkan kembali nafsu makannya, pukul dua malam adalah jam jam yang mujarab bagi wanita ini.

Deka membuka mata dan menemukan Ali yang meringkuk tanpa selimut di sebelahnya. Tidak ada kata kata yang Deka buka, ia hanya merasa geram, mengapa Ali tidak menyelimuti dirinya sendiri? Mengapa ia memilih kedinginan dialam hari? Bukankah seharusnya Ali mengerti apa yang ia butuhkan? Kekanakan sekali pikir Deka. Ia kemudian melemparkan selimut kasar ke arah sang lelaki, lalu sedikit membenarkannya dan kemudian turun untuk memulai aksinya.

Setelah malam malam penuh kedinginan yang Deka dan Ali alami, Deka sadar bahwa kehidupan pernikahan bukanlah laut tenang dengan banyak ikan dan terumbu karang, yang dinikmati indah sejauh mata memandang, tetapi pernikahan adalah laut dalam berwarna biru pekat yang cantik tetapi juga menakutkan. Seberapa hebatpun ia bertengkar, Ali akan tetap tertidur di sampingnya dari petang menjelma terang. Seberapa hebatpun bertengkar, wajah Ali adalah penampakan pertama yang Deka lihat ketika dirinya membuka mata. Seberapa hebatpun bertengkar ia akan tetap berbagi ranjang dengan Ali walaupun sunyi tak ada peluk dan kecup ringan. Setelah malam ini Deka paham, ia dan Ali harus sama sama diperbaiki.

“Seblak jeletot mau ngga?” “Anak?” “Tidur ya? Bangun dulu makan, kita gladi bersih sahur” “Kamu ngga akan kepedesan kan?” “Ngga papa kepedesan juga, latihan, tapi jangan mencret dalem perut aku ya?” rancau Deka sembari mulai menyalakan kompor dan memasak makanannya. Sunyi. Sunyi sekali. Hanya ada denting piring yang beradu dengan sendok yang mengisi telinga. Bahkan saking sunyinya, Deka sekaan bisa mendengar suara nafasnya sendiri. Jika dipikir pikir lagi memang benar, siapa pula manusia yang akan terjaga di tengah malam seperti ini jika bukan dirinya sendiri? Deka agaknya mulai menikmati kesunyian yang ia ciptakan beberapa hari ke belakang.

Perempuan dua puluh empat tahun dengan ranbut panjang lurus tergerai itu kemudian duduk di kursi meja makan dan membuka ponselnya. Seperti manusia normal pada umumnya, Deka membuka social media dan mulai melihat akun teman teman wanitanya di kantor. Wendi Syafiardi. Nama yang menganggu Deka beberapa waktu ini karena eksistensinya adalah bentuk nyata dari mimpi yang Deka dulu pernah punya. Cantik, bertalenta, berintegritas, kaya, sukses di usia muda, belum menikah. Belum menikah lah poin utamanya. Entah mengapa Deka mulai menyesali keputusannya menerima pinangan Ali, bahkan tak segan segan Deka dengan sadar membandingkan dirinya dengan perempuan lain yang belum berada di posisinya seperti sekarang, yang hasilnya sudah pasti kalian tau sendiri insecurity.

“Cantik banget haha” ucap Deka lirih. Tanpa sadar air matanya mengenang. Jauh ia ingin membuang pikiran pikiran ini tetapi selalu datang kembali. Mengapa dirinya? Mengapa Tuhan memberikannya? Kenapa harus sekarang? Tidak bisakah ia mendapatkannya nanti? Bagaimana pekerjaannya ke depan? Benarkan ia akan berakhir seperti bunda menjadi wanita rumahan? Pikiran pikiran ini selalu datang menghampiri Deka pukul dua malam. Nampaknya malam memang menjadi waktu terbaik untuk memikirkan hal yang belum tentu terjadi, terbukti dengan Deka yang mulai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali menangis sendirian.

“Anak makannya bentar ya? Aku mau nangis dulu, bentar aja” katanya sembari bangkit dan mematikan kompor. Deka lalu berjalan ke arah tangga dimana di tengah tengahnya, ada bagian lebih lebar dan jendela besar terpampang nyata tanpa kelambu, hanya kaca yang menutupnya. Deka berdiri menatap ke bawah, ke kegelapan dimana hanya ada lampu lampu rumah tetangga yang berpendar menyinari sebagian rumahnya.

It's ok, it's ok Dek, everything is going to be ok” ucap Deka pada dirinya sendiri sembari menepuk nepuk dadanya yang terasa sesak. Sejurus kemudian dua tangan kekar melingkar di pundak dan leher Deka. Sedikit tersentak namun ia sebisa mungkin menahannya. Air matanya masih mengucur deras jatuh tanpa aturan.

“Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf” ucap Ali lirih di telinga sang wanita. Dari belakang, Ali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Deka. Ia terus mengucapkan maaf sembari runggunya menangkap suara isakan dari sang puan. Deka tidak berkutik. Ia hanya sesekali mengusap air mata yang malah semakin menjadi karena pekukan Ali.

“Maad dek, maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maafin aku” ucap Ali terus menerus.

“Lo itu brengsek tau ngga si Li?” “Hampir tiga bulan gue lewatin semuanya sendirian” balas Deka dengan suara yang teramat bergetar. Ali masih mengucapkan kata maaf tiada henti. Hatinya sakit mendegar Deka berucap dengan amat sangat tersakiti seperti ini.

“Lo bilang hamil berdua itu mana?” “Gue benci sama lo, Li” lanjut Deka masih bercucur air mata.

“Maaf maaf maaf maaf maafin aku Dek, maaf maaf maaf maaf”

“Enak? Ngga ada gue enak? Enak kan lo pergi pagi pulang malem capek ngga ada yang nenangin, enak?” “Gue ngga akan begitu kalo lo sadar dari awal, Li” lanjut Deka masih dengan air mata.

“Gue itu kasian juga liat lo capek kerja, di rumah masih harus adu mulut sama gue, gue kasian tapi lo ngga ngerti dikasianin, lo itu egois” ucap Deka semakin menumpahkan air mata.

“Maaf dek” akhir Ali.

“Jangan nangis, lo ngga berhak nangis disini gue yang sakit. Jangan nangis” balas Deka sedikit bertenaga. Ia kemudian menolehkan kepalanya ke ara Ali yang sudah diam tetapi masih enggan menampakkan muka. Dapat Deka rasakan bahwa bahu dan ceruk lehernya basah saat ini.

“Ali liat gue” lanjut Deka membuka pelukan. Menarik Ali dan mencari mata lelakinya.

“Ali liat gue” kata Deka sembari mengangkat wajah tampan Ali yang tertunduk. Pecah. Wajah Ali basah, air mata dimana mana. Ia seakan tidak berani menatap manik mata Deka karena terlampau takut dan merasa bersalah. Pun dengan Deka. Melihat bentuk suaminya yang juga sama sama hancur hatinya remuk. Ingin rasanya Deka berteriak kepada seluruh dunia agar meninggalakn Ali dan jangan ada yang berani menyentuhnya, bak gelas kaca tipis yang akan pecah hanya karena jatuh tersapu angin. Ali rapuh. Di mata Deka malam ini, Ali rapuh.

“Jangan nangis” kata Deka mengusap air mata suaminya. Hatinya sakit. Sakit sekali melihat Ali seperti ini.

“Maafin aku, Dek” ucap Ali lagi sembari kembali menundukkan kepala. Persetan dengan ego dan statusnya sebagai kepala keluarga. Di depan Deka malam ini, Ali hanyalah laki laki biasa yang bersalah karena telah mentelantarkan istrinya.

“Maafin aku, please aku sayang kamu, maafin aku Dek” lanjut Ali.

“Iyaa” balas Deka dengan suara yang masih bergetar sedikit parau.

“Iyaa, udah udah” lanjut Deka meyakinkan Ali. Dengan keberanian yang tersisa, Ali kemudian mengangkat kepalanya. Menatap Deka yang sudah berantakan di depannya.

“Maafin aku Dek, aku butuh kamu, aku ngga bisa kalo kamu ngga ada, maafin aku” balas Ali. Deka mengangguk sembari air matanya yang masih menetes. Ia kemudian memeluk Ali, meyakinkan sang suami dan memulangkan rindu ke tempatnya berada. Tak jauh berbeda dengan Ali. Ia memeluk istrinya erat seakan tak membiarkan siapapun mengambil Deka dari dekapannya. Ali masih menangis bahkan tangisnya semakin menjadi. Setelah dimaafkan rasa bersalahnya tidak hilang dan malah semakin bertambah. Dengan mata kepalanya sendiri Ali melihat Deka semurah ini kepadanya. Dengan mata kepalanya sediri Ali melihat Deka segampang ini kepadanya, lantas mengapa ia mempersulit dirinya sendiri? Kemana saja Ali karena baru menyadarinya sekarang? Bodoh. Ali mengutuk dirinya sendiri. Benar kata Mas Yuan, Deka hanya membutuhkan Ali, sebaliknya. Ali tidak bisa jika tidak dengan Deka.

“Maafin aku ya Dek, maaf” ucap Ali sekali lagi membuka pelukan. Wajah mereka basah. Wajah mereka berdua. Deka menatap netra coklat suaminya lama. Lagi. Mata coklat beberapa bulan lalu datang lagi. Mata penuh keyakinan dan tidak ada kedustaan yang ke rumah pukul setengah tujuh malam untuk meminangnya itu datang lagi. Ali benar benar menyesal, Ali benar benar memohon pengampunan. Maka dengan hati yang lapang pula, Deka mengangguk mengiyakan. Kemudian Ali mengikis jarak dan mengecup dahi istrinya lama. Deka memejamkan mata, merasakan kasih sayang yang beberapa minggu ke belakang tak mejamahnya. Pun dengan Ali, ia seakan memberikan segenap jiwa dan raganya kepada Deka.

“Boleh ngga?” tanya Ali kepada istrinya sembari mengusap perut Deka yang masih rata

“Boleh” balas Deka lembut, nyaris tanpa suara. Sejurus kemudian wajah Ali sudah berada tepat di depan perut Deka. Ia bersimpuh agar mulutnya menapai runggu sang anak.

“Hai, kamu bisa denger aku gak?” ucap Ali mengusap perut Deka dari dalam kausnya. “Dia bisa denger aku gak si Dek?” tanya Ali mendongakkan kepala. Deka tersenyum.

“Bisa”

“Hai, anak, maaf ya, maafin aku kemarin jahatin kamu, maaf ya, aku janji ngga jahat lagi. Maaf ya sayang. Kamu tumbuh yang baik di dalam sana, kita ketemu tujuh bulan lagi. Tujuh enam bulan lagi, yaaa? Aku sayang kamu, banget anak” ucap Ali pada perut Deka. Sang empu seakan mendapatkan dunianya kembali, tangan Deka ia gunakan untuk mengusap rambut Ali, sedangkan satunya lagi ia gunakan untuk menutup mulut dan mengusap air mata yanh kembali mencelos tanpa aba aba. Hatinya menghangat. Melihat Ali berbicara kepada anak mereka untuk pertama kalinya, hati Deka menghangat.

“Jangan nangis, nanti anak ikut nangis di dalem sana ngga ada yang peluk dia, kasian nanti dia cemburu sama kita” ucap Ali bangun dan mengusap air mata sang istri.

“Kamu peluk aku sama aja kaya peluk dia” ucap Deka. Tangis bahagia.

“Sini” balas Ali menarik istrinya lebih dekat. “Maaf ya Dek, anak maaf ya, aku sayang kalian berdua, banget” lanjutnya. Tidak ada jawaban lagi dari Deka. Ia hanya semakin mengeratkan pelukannya.

Dengan air mata yang masih menetes sesekali, Ali memohon ampun kepada wanitanya dan berjanji kepada diri sendiri bahwa ia tidak akan pernah mengulangi hal serupa, menyia nyiakan Deka. Sementara sang wanita, dengan hati yang lapang menerima Ali kembali dengan janji bahwa seberapa sabar Deka kepada Ali, pasti ada batasnya.

Yuan yakin dengan benar, siapapun yang sekarang berada di loteng kantor bersamanya dengan Ali pasti akan bergidik ngeri karena terpaaan angin yang menyapa kulit mereka amat sangat menyakitkan. Kencang arus angin teramat sangat yang sudah bukan dingin lagi, tetapi seakan akan dapat menyayat epidermis siapapun yang berani berdiri menantangnya malam ini.

Lelaki itu adalah Ali. Sabima Ali Aulia dengan balutan kaos panjang berwarna hitam, celana pendek berwarna merah santai, sandal jepit serta kaca mata seadanya, sedang berdiri melipat kedua tangan di depan dada dan matanya menyapu cahaya malam yang keluar dari bagungan bangunan kota di bawah sana.

“Kopi susu tapi susunya dikit” ucap Yuan merapat kepada juniornya yang terpaut usia tiga tahun lebih muda darinya.

Thanks mas” balas Ali menerima.

“Kok belum balik, mas?” tanya Ali menyadari Yuan yang masih berselimutkan pakaian kerjanya sedari pagi yang sudah tidak terlalu rapi, hanya saja jas serta dasi sudah tidak berada pada tempatnya.

“Nanggung Li, kurang dikit kerjaan gue” balas Yuan jujur. “Kenapa? Berantem?” tanya Yuan pada Ali. Tidak ada jawaban. Ali hanya menunduk dan sesekali menyesap kopi seperempat hitamnya. Tidak ada jawaban Yuan asumsikan sebagai kebenaran. Jika sudah sampai salah satu harus pergi, maka masalah bukanlah hal kecil lagi.

“Kenapa, Li?” tanya Yuan kembali.

“Biasa, mas” jawab Ali masih enggan menatap Yuan. Hening cukup lama tercipta karena Ali dan Yuan hanya sama sama saling sesekali memandang dan menyesap kopi.

“Gue kalo jadi Deka.......... nyesel si Li nikah sama cowo kaya lo” buka Yuan setelahnya. Ali sontak menatap ke arah sang kakak, apa maksud perkataan Yuan barusan? Bukankah itu sudah kelewat keterlaluan?

“Bikinnya bareng bareng, susahnya gue doang” lanjutnya. Ali tidak terima.

“Terus gue harus gimana mas?” jawab Ali terpalang emosi.

“Ya hamil juga, berdua” balas Yuan kembali. Ali diam. Ia kini merubah atensi menjadi kembali ke cahaya cahaya malam.

“Deka itu ngga butuh siapa siapa, Li. Dia cuman butuh lo. Lo doang udah cukup” buka Yuan. “Hamil itu berat tau. Kalo cuman nyari duit aja Deka juga bisa, apalagi emang mimpi dia gak punya anak dulu, masih mau achieve ini itu, gue paham kok. Umur umur lo sama Deka ini emang lagi ambis ambisnya” lanjut Yuan. Ali mulai mendengarkan.

“Masalah ini itu selesai kalo lo minta maaf, dari awal. Kuncinya cuman lo sadar lo salah, minta maaf, beres. Cuman masalahnya lo ngga sadar sadar, jadi begini, panjang”

“Gue gak salah mas. Bukan salah gue doang. Deka juga gak pernah ada kemarin kemarin ini pas gue butuh dia” bela Ali untuk dirinya sendiri.

“Deka ngga adanya kemarin kemarin ini kan? Lah emang lo ada buat dia dari awal?” tanya Yuan. Ali kalah telak.

“Jangan jauh jauh dari awal hamil deh. Lo ngerasa bentak dia ngga kemaren? Lo cerita sama gue, itu lo ngerasa bentak dia ngga?” tanya Yuan kembali. Ali masih terdiam.

“Bukan ada dukungan engganya. Minta maaf dulu soalnya lo bentak dia Li. Karena urusan itu ngga selesai jadi merembet kemana mana, lo kaya ngga paham cewek aja ah elah kesel gue” lanjut Yuan.

“Coba lo sadar terus minta maaf dari awal. Gak akan begini. Lo butuh Deka dia ada, dia butuh lo, lo juga bisa”

“Hari hari ini itu berat buat Deka, Li. Dia yang paling ngerasain perubahannya. Dari yang kerja delapan jam jadi cuman empat, lima, itupun udah perjuangan banget. Belom lagi kalo tepar banget harus ambil cuti, gak bisa ambil project gede. Belum lagi gak bisa makan, pusing, apalah apalah itu bawaan bayi. Deka yang paling ngerti, dia ngga minta, anak lo yang bawa” jelas Yuan mencoba mengertikan Ali.

“Terus gue harus gimana mas? Deka aja gue deketin ngga mau” tanya Ali nampaknya mulai mengerti.

“Coba lo lebih tulus lagi. Coba lo lebih ngerti lo sekarang bukan Sabima Ali Aulia bujangan, lo sekarang calon bapak. Gue tau lo kerja keras side hustle-an siang malem buat Deka sama anak lo juga, tapi kalo mereka gak bahagia terus buat apa?”

“Coba jadi lebih tulus lagi, ajakin ngobrol anaknya lo sayang sayang. Jangan lo pikir bayi dalam perut Deka itu bakalan diem aja ya? Lo ngerti namanya ikatan batin gak? Ia nempel terus sama Deka, dia tau gimana perasaan maknya, kalo Deka aja gedek sama lo gimana dia engga” lanjut Yuan panjang lebar.

“Bayi itu, apa ya Li. Bikin kualat. Kaya ngga masuk akal tapi emang beneran bikin kualat. Coba sendiri kalo gak percaya” jelas Yuan. Ali hanya menundukkan kepala merenungi kesalahannya.

“Deka mungkin juga keterlaluan ke lo, tapi kalo lo ngga mulai Deka juga ngga akan begini kan?” tambahnya. Ali kemudian mendongakan kepala menatap Yuan di sebalahnya.

“Pulang, minta maaf, peluk istrinya, dia butuh lo, lo juga butuh dia” final Yuan malam ini. Selanjutkan adalah ucapan terima kasih dari Ali dan kata kata pamit keduanya untuk segera meninggalkan loteng kantor karena Ali sudah kepalang rindu ingin memeluk sang istri begitu pula Yuan. Malam ini Ali sadar, ia dan Deka sama sama membutuhkan.

Wajahnya masih nampak kesal walau satu tangannya sudah ia gunakan untuk mengenggam erat bundaran setir tempat seluruh kemudi kendaraan besi ini beroperasi, sementara jemari yang lain ia biarkan terkulai tanpa tenaga di atas pahanya. Matanya menerobos jauh ke depan, apa yang kurang dari dirinya? Mengapa masih ada celah padahal usahanya sudah di batas maksimal? Apa yang seorang Elnando punya tapi Ali tidak bisa berikan? Bukankah hasil tidak pernah menghianati usaha? Pikiran Ali melayang jauh ke bayang bayang apa yang harus ia perbaiki, karena lelaki ini agaknya menuntut kesempurnaan.

Sementara itu, seorang wanita dengan setelan tidur santai dan kardigan berwarna hitam, sedang sibuk dengan dunianya sendiri menatap ke luar jendela mobil. Tidak ada yang istimewa, ia hanya menikmati waktu sorenya berdua bersama sang suami. Walau Deka tau tidak ada percakapan yang berarti, namun kepala Ali menyimpan banyak suara gaduh yang entah mengapa kali ini tidak Ali bagi.

Jalanan nampak lenggang setelah adzan isya berkumandang. Sesuai rencana yang telah disepakati, Deka akan turut andil dalam kepergian Ali memulangkan sang ibu ke rumah Ali dahulu. Lampu kota nampak sudah banyak yang menyala, handuk dan baju kering satu dua biji masih ada yang terterbangan ditiup angin di bagian luar jendela apartment tinggi yang selalu ingin Deka tempati. Keren saja menurutnya, pergi pagi pulang petang lalu masuk ke dalam ruangan gelap akibat lampu yang belum dinyalakan pertanda tak ada seorangpun disana, lalu menikmati kesendirian sembari mendengarkan suara air mengalir memenuhi volume bathup. Keren sekali menurut Deka. Kehidupan itu adalah kehidupan yang ia impikan sebelum Ali dengan amat tergesa gesa menerobos masuk ke hidupnya dan mulai dari sekarang mau tak mau ia harus membuang jauh jauh mimpinya.

“Ali, mau sate dong” ucap Deka membuka kata.

“Oke” balas Ali singkat lalu mulai kembali fokus pada otaknya sendiri. Cukup lama ia melajukan mobil namun tak kunjung berhenti di tempat yang Deka minati. Tukang sate.

“Loh kok ngga berenti?” tanya Deka mengingatkan Ali karena sang lelaki melewatkan lagi dan lagi, tidak seperti persetujuannya di awal tadi.

“Loh? Udah kelewat ya? Maaf maaf nanti aja nyari yang di depan” kata Ali sambil melirik kaca spion mobilnya. Deka tidak menjawab, ia hanya terus menatap sang suami. Katakan saja feeling perempuan kuat namun memang benar adanya, Deka menangkap hal janggal pada suaminya malam ini. Diam bukanlah Ali.

You can share it if you want” ucap Deka tiba tiba.

Sorry?” jawab Ali.

“Bagi sama aku kalo punya beban, kalo ga bisa bantu seengakknya kamu ngga terlalu pikiran, Li” balas Deka kemudian.

“Engga kok, ngga papa, kerjaan aja Dek ngga papa” “Sate ya? Itu depan itu mau?” ucap Ali pada Deka yang terdengar seperti berbicara pada diri sendiri. Deka tau, Ali sedang mencoba mengalihkan perhatiannya. Tanpa menunggu persetujuan sang istri, Ali kemudian menepikan mobilnya dan langsung turun untuk memesan sate untuknya dan sang wanita.

Dari dalam mobil dapat Deka lihat Ali sedang menyembunyikan sesuatu. Matanya berandai andai, tangannya dilipat di depan dada dan kakinya digerakkan dalam gusar. Biasanya, seberat apapun hari mereka berdua, Ali dan Deka akan sama sama membaginya, dengan dekapan hangat di atas ranjang, atau dengan kopi hitam selepas jam sembilan malam, atau dengan berputar putar mengelilingi kota menaiki sepeda motor mereka, apapun itu Ali akan bercerita, namun berbeda dengan malam ini. Malam ini Ali memilih menyimpannya sendiri. Sadar bahwa hal yang Ali coba sembunyikan bukan perkara yang kecil, maka Deka memilih untuk tidak memaksa dan menunggu suaminya sendiri yang membuka kata.

“Ngga pedes banget, bawangnya banyak” ucap Ali membuka pintu mobil dengan sedikit kesulitan dan memberikan sepiring sate lengkap dengan lontongnya kepada Deka. Setelah diterima, ia kemudian duduk dan menyamankan diri sembari menikmati makan malamnya sendiri.

Seperti biasa dan seperti hari hari sebelumnya, baru dua tusuk sate masuk ke dalam mulut, Deka kemudian dengan geraka super cepat membuka pintu mobil dan memuntahkan isi perutnya di gang kecil dekat tempat sate berada. Cukup jauh hingga tidak ada seorangpun yang memperhatikan Deka sedang bernegosiasi dengan anaknya di bawah cahaya remang.

“Dek, gue cuman mau makan aja, please” batin Ali mulai sedikit kesal. Lalu ia membuntuti sang istri dan membantu Deka menyelesaikan urusannya, cukup lama berada di luar, mereka kemudian kembali ke mobil dengan Ali yang berwajah masam dan Deka yang pucat pasi karena semua makanannya terkuras habis habisan.

“Ali, lo aja yang makan, gue pusing” ucap Deka sembari menyenderkan tubuhnya dan memberikan piringnya yang masih penuh kepada sang lelaki.

“Abisin.” balas Ali tajam. Deka menoleh ke samping, sedikit terkejut dengan nada yang Ali gunakan.

“Abisin Dek, lo pikir buang buang makanan itu boleh? Kurang bersyukur lo, banyak yang ngga bisa makan, ini lo tinggal ngunyah aja rewel. Abisin.” tembak Ali tepat sasaran. Deka masih diam menatap Ali dalam dalam. Bukan sedikit lagi, ia amat sangat terkejut karena sepertinya Alu meluapkan amarahnya pada Deka.

“Abisin” lanjut Ali dingin lalu mulai menyantap kembali makanannya. Deka masih diam terus menatap Ali. Dadanya mulai sesak, nafasnya mulai tercekat, air matanya mulai mengepul siap untuk turun. Empat belas berjalan mereka saling mengenal, belum pernah sekalipun Ali berbicara sedingin ini kepada Deka. Jika sedang dirundung amarah atau kekesalan, baik Deka dan Ali sama sama memilih untuk di-anjing anjingkan dari pada didiamkan seperti yang saat ini terjadi.

“Li, gue kalo ngga hamil juga mau makan sate sewarung juga gue abisin. Bukannya ngga mau, gue ngga bisa, anak lo yang bikin.” balas Deka dengan suara bergetar. Hatinya mendadak kesal diperlakukan sebegitunya oleh sang suami. Bukan mau Deka. Bahkan Deka tidak pernah meminta akan kehilangan nafsu makan seperti ini. Bukan mau Deka, Deka tidak pernah meminta. Namun nampaknya Ali belum menyadari perubahan yang Deka alami. Jika boleh jujur, kehamilan ini menyusahkan bagi Deka begitupun Ali.

Deka lalu menyerahkan piringnya secara paksa kemudian membuka pintu mobil. Dengan air mata yang mulai menetes, Deka berjalan menepi ke tengah aspal dengan niat memberhentikan apapun kendaraan umum yang berlalu. Melihat aksi wanitanya, Ali kemudian segera menyusul dan mengejar Deka.

“Deka” “Dekk!” “Deka, jangan kaya bocah” panggil Ali sembari menarik tangan sang wanita, berniat Deka menghentikan kegiatannya.

“Makanya nikah sana sama orang gede!” balas Deka. Ia mendongak menatap Ali. Matanya merah menahan amarah. Dengan tenaga yang cukup kuat Deka kemudian menghempaskan genggaman tangan sang lelaki. Bak diberikan hujan kejutan, sebuah taxi menepi ketika Deka melampaikan tangannya tanda berhenti. Ali lalu tak tinggal diam. Ia masih setia membuntuti Deka dan menahan pintu taxi.

“Dek please balik sama gue” mohon Ali.

“Jalan pak” ucap Deka pada sang kemudi yang lalu ia mendorong Ali secara paksa hingga taxi dapat berlalu tanpa Ali cekali.

Setelah Deka melesat pergi, Ali hanya diam menatap mobil yang membawa istrinya entah kemana. Pasrah dan menyerah. Menyesal. Entah mengapa dirinya merasa menyesal. Mengapa juga Ali harus membentak Deka, namun Ali tetaplah Ali, ia tidak merasa bahwa dirinya bersalah dan harus meminta maaf.