raellee

“Dek?” panggil Ali menatap istrinya yang terlihat terus memandang ke depan dengan sorot mata yang kosong. Pukul empat sore ini mereka habiskan di dalam mobil dengan guyuran hujan yang rintiknya memenuhi rungu mereka berdua.

“Deka?” panggil Ali lagi sembari memegang tangan mungil Deka yang sedang memegang sebuah foto hitam putih yang entah apa gambarnya.

“Sayang?” panggil Ali untuk ke tiga kalinya. Tanpa balasan sang puan, Ali pun merengkuh tubuh Deka dan memeluknya erat, mencoba menyalurkan kekuatan yang ada. Deka kemudian menangis. Air matanya tiba tiba menetes begitu saja ketika wajahnya di hadapkan dengan daksa bidang yang selalu menjadi tempat favoritenya untuk mengadu ketika dunianya sedang tidak baik baik saja. Setelah menahan dan mencoba, Deka runtuh juga.

“Ali aku hamil” ucap Deka di sela sela tangisnya. Ali tidak menjawab. Ia hanya terus memeluk sang wanita sembari mengusap punggung Deka berharap sang puan mengerti bahwa semua akan baik baik saja nantinya.

“Kita gimana Li?” lanjut Deka membuka pelukan. Menatap wajah tampan sang suami. Ali meringis melihat muka Deka yang penuh air mata. Hatinya menciut, perasaan menyesal muncul disana. Tidak ada jawaban dari mulut Ali.

Terima kasih dan maaf

Adalah dua kata yang Ali pikiran sedari ia dan istrinya masuk ke dalam ruangan dokter beberapa waktu yang lalu. Ruangan penuh gambar persalinan itu seakan memutus harapan Deka akan gambaran masa depannya dengan Ali. Apalagi ketika dokter mendakwa bahwa Deka telah berbada dua, runtuh seketika dunianya. Seolah merasa bahwa masa depannya akan ia habiskan di rumah memakai daster lusuh dengan suara tangis bayi menggema di telinga. Deka bahkan sekalipun tidak pernah memikirkan hal tersebut. Ia mencintai hidupnya saat ini, bangun pagi pergi dan pulang pada sore hari, Deka jatuh cinta.

Berbeda dengan Ali. Pikirannya dari tadi melanglang buana, haruskah ia berterima kasih pada sang istri karena ia menyimpan bayi mereka sedangkan rencana mereka ke depan mungkin akan berubah total? Atau memohon maaf pada Deka karena ia mengandung anaknya yang jelas jelas hal ini sama sekali bukan salah Ali. Kehamilan Deka di luar kuasa manusia.

“Mau digugurin aja gak?” tanya Ali akhirnya. Deka sontak menghentikan air matanya lalu menatap tajam ke arah sang suami. Menyorot setiap hembusan nafas yang Ali ambil sebagai dosa karena ucapannya barusan kepada sang jabang bayi.

“Lo yang gue gugurin duluan kalo sampe lo berani sentuh anak ini. Gila lo anjing” balas Deka akhirnya. Ali kemudian berbalik menatap ke depan seraya menarik rambutnya frustasi. Diikuti Deka setelahnya.

Hening cukup lama hingga dengan hati hati, Ali kembali membuka kata di antara mereka “Dek, lo mau hamil kan tapi? Kalo bisa di pindah ke gue, pindah ke gue aja.”

“Gue ngga siap, Li” jawab Deka. “Gue punya cita cita karir yang mau gue ambil. Lo tau planning gue dari awal apa. Gue bukannya gamau kalah sama lo, engga, tapi lo enak bisa kerja, jalan sana sini, nah gue? Baru dua minggu Li, tapi kerjaan gue keteteran. Belom lagi nanti kalo anaknya lahir, gue lagi yang ngalah. Ini hamil pake badan gue, nanti lahir harus sama gue lagi. Gue belom siap Li, kalo sekarang.” lanjut Deka. “Gue bukannya gamau punya anak, mau. Tapi engga sekarang, gue masih pengen ini itu” final Deka dengan suaranya yang bergetar. Ali masih diam. Benar. Apa yang Deka ucapkan benar. Anaknya meminjam tubuh Deka, nanti ketika sudah terlahir ke dunia, anaknya juga akan lebih memerlukan Deka. Ali tersesat saat ini. Pikirannya buntu.

“Sama gue Dek” jawab Ali akhirnya. Ia menoleh ke arah sang wanita. “Bagi sakitnya sama gue, lo yang hamil gue yang kerja, lo yang lahirin gue yang rawat, lo yang taruhan nyawa gue yang berdoa. Ada gue Dek. Bagi sakitnya sama gue. Lo ngga sendirian, kita hamil berdua, ya?” minta Ali pada sang istri. Deka masih tidak menjawab. Ia hanya terus memandang mata coklat suaminya, mencoba meyakinkan diri sendiri disana.

“Lo tapi harus janji ngga boleh tinggalin gue gimanapun gue nanti, gimanapun keadaan gue, Li” balas Deka. Ali kemudian mengangguk dengan setuju.

“Gue janji” jawab Ali. Deka kemudian merentangkan tangannya meminta sebuah daksa.

“Maaf ya Dek, jujur gue ngga tau nanti gimana kedepannya, tapi lo punya gue. Kalo mau hancur kita hancur berdua, pegangan tangan terus ya Dek. Aku sayang kamu, banget” final Ali kepada sang wanita. Tidak ada jawaban dari Deka, ia hanya semakin mengeratkan pelukannya kepada Ali. Jika boleh dilihat, baik Ali maupun Deka masih sama sama penuh dengan pertanyaan, keragu raguan, bagaimana nanti ke depan, apa yang harus mereka lakukan, ini adalah tanggung jawab yang besar terlepas mereka berdua sadar bahwa hamil adalah resiko yang mengintai.

Sore itu dua manusia sok tau ini sedang mencoba memantapkan hati, membulatkan niat dan mengompori semangat karena mereka tau, dari pada hari ini, hari esok akan lebih keras lagi. Selamat memulai, Deka dan Ali.

Deka mencoba menjemput lelapnya setelah malam panjang dengan Ali terlewati. Matanya terpejam tetapi tak kunjung terlelap. Lama ia mencoba menenangkan diri karena badanya terasa lemas dan lembab setelah pergelutan antara kulit bergesek dengan kulit, keringat beradu satu sama lain, desahan serta desahan ramai disorakan. Deka hanya ingin beristirahat.

Berbeda dengan lelaki dua puluh empat tahun di sampingnya. Ali nampaknya masih betah berlama lama membuka mata, mensyukuri keberadaan wanita dalam pelukannya malam ini, mengangumi paras cantik jelita yang telah menjadi miliknya. Ali hanya bungkam tanpa suara. Memandang Deka dengan keadaan sedamai ini agaknya menenangkan hati Ali.

“Ali, gue salting ntar” ucap Deka tiba tiba masih memejamkan mata.

“Kok jadi lo gue lagi?” tanya Ali tidak terima. Suaranya halus dan lirih, bahkan Deka berani bersumpah, siapapun yang ada di samping Ali sekarang, mungkin akan memeluknya erat dan tak ingin melepaskannya karena Ali memang terlampau lihai membuat setiap perempuan jatuh hati, bahkan hanya dengan bernafas dan menjawab pertanyaan, suara Ali terlalu menenangkan serta menggetarkan hati.

Deka membuka mata, menatap balik manik mata suaminya.

“Malu” ucapnya dengan suara lirih pula, nyaris tidak terdengar.

“Hah?” “Hahahhahahahha” tawa Ali pecah.

“Tuh kan, males aku tu. Males gue” balas Deka. Ali kemudian menghentikan kegiatan tertawanya dan kembali menaruh atensi ke sang wanita. Tangannya mengusap anak rambut Deka.

“Jangan malu Dek, aku udah liat semuanya, hahahha” ucap Ali lalu mengecup pucuk kepala Deka.

“Jujur sama aku, udah suka dari kapan?” tembak Deka langsung kepada empunya. Ali diam. Mencoba merangkai kata sembari terus menatap mata Deka.

“Dari SMA” balas Ali akhirnya.

“Dari SMA?” ulang Deka.

“Dulu aku kira ya kita temen biasa Dek. Aku kira cewe cowo bisa temenan biasa tanpa ada rasa satu sama lain. Ternyata salah. Pas kamu jadian sama Bangkit aku ngga bisa” jawab Ali. Deka masih setia memasang telingga.

“Awalnya aku biasa aja, kaya yaudah sih biarin aja. Tapi lama lama aku ngga suka liat kamu ketawa gara gara orang lain, liat kamu seneng gara gara orang lain, liat kamu sedih dipeluk orang lain, that was the start harusnya aku, bukan Bangkit.” lanjut Ali sembari terus mengusap rambut Deka.

“Tapi kamu jadian sama Maureen?” tanya Deka lagi.

“Ya karena kamu ngga putus putus, Dek”

“Hah?”

“Ya karena kamu ngga putus putus sama Bangkit. Tiap berantem, aku diem diem berdoa kamu putus, pas udah putus aku bingung loncat garisnya gimana, kaya jelas banget kamu nyaman sama aku karena ya kita temen, we know each other terlalu jauh sampe udah kaya bocah kembar. Frustasi banget. Yaudah aku pacaran aja sekalian sama Maureen”

“Sakit lo!” jawab Deka.

“Ya gimana lagi? Aku bahkan udah nyerah sama kamu pas masuk kuliah. Yaudah si kalo sama Bangkit yaudah, tapi alhamdulillah banget Bangkit hamilin orang. Sorry Kit, tapi gue bersyukur banget. Makasih”

“Kalo kata gue lo sakit sih, lo sakit Ali” ucap Deka sembari memukul mukul dada Ali.

“Lo seneng dong pas gue nangis nangis?” tanya Deka lagi.

“Sakit Dek” “Sakit banget.” “Ngeliat lo nangis gitu sakit banget. Gimana ya bilangnya, gue emang ngga suka liat lo ketawa gara gara orang lain, pengennya ketawa gara gara gue, sama gue aja gitu, but, at least lo ketawa, seneng ternyata gue nggapapa, gue seneng juga kok liat lo seneng ya walaupun itu tadi, harusnya sama gue. Terus pas liat lo nangis gara gara orang lain walaupun secara tidak langsung gue bisa masuk ni di kehidupan lo, ternyata rasanya tetep sakit. Kalo waktu bisa dibalikin, gue pengen balikin lagi biar Bangkit ngga jadi cowo brengsek dan bikin lo nangis kaya dulu, jangan lo. Gue aja. Gue bisa tahan, tapi lo jangan, kalo udah di lo tu apa ya, gue kaya kemah banget” buka Ali.

“Eh kok lo gitu? Ngga enak Ali, jangan gitu, jangan gitu gue gasuka” balas Deka.

“Sama lo itu emang banyak ngga enaknya, tapi kalo ngga sama lo tambah ngga enak lagi”

“Lo sadar ngga lo barusan confess?”

“Sadar. Udah keliatan semua, sekalian aja lah” balas Ali jahil, lalu ia kembali mendekap Deka.

“Kalo lo Dek?” mulai Ali kali ini.

“Apanya?”

“Suka gue dari kapan?”

“Ngga suka” balas Deka seasalnya. Ali kemudian sedikit membuka pelukan dan menatap Deka yang sedikit berada di bawah.

“Apa apaan ngga suka? Lo ngintilin gue mulu ya dari kecil” jawab Ali.

“Seriusan, ngga suka” balas Deka lagi.

“Malu?” tanya Ali.

“Eh Ali please banget ini mah, lo kalo ngerti gue lagi kenapa napa jangan lo tanyain terus, gue tu kaya ngga punya privasi, lo tau semuanya. Biarin aja gitu sekali sekali”

“Hahahahhahahahah” tawa Ali. “Please tapi gue penasaran banget” lanjut Ali. Deka kemudian nampak diam dan sedikit berpikir.

“Gue juga ngga tau dari kapan. Gue mau jujur tapi lo gaboleh ceng cengin gue ya?” negosiasi Deka pada awalnya.

“Heem” jawab Ali yakin dan antusias. Ia kini membiarkan Deka berada jauh dari dekapannya dan menyimak setiap kata yang akan keluar dari mulut sang wanita.

“Gue juga ngga ngerti mulai kapan. Tapi pas SMP kelas berapa ya? Delapan apa? Lupa, lo udah mulai sibuk osis, ngeband ngeband, ada satu waktu gue mikir 'anjir Ali ganteng juga ya' kaya i got butterflies aja gitu, tapi Maureen kan selalu nempel sama lo. Gue ngga ngerti lo ada hubungan apa sama dia, waktu itu, tapi dia cantik Li, dia pinter, jadi wakil lo juga di osis, kaya apa ya COTY?” “Gue jadi ngerasa kita emang pantesnya cuman jadi temen aja si, jadi yaudah gue deket aja sama Bangkit” final Deka. Ali diam. Sesuai janjinya, tidak ada wajah jahil, tidak ada tawa sarkas, tidak ada olokan, Ali hanya diam.

“Gue kira juga lo ngga akan suka sama cewe freak kaya gue, kata lo juga gue aneh kan? Jadi yaudah, sejak itu lo masuk ke list teman yang tidak berpotensi jadi pacar” lanjut Deka. Setelahnya adalah giliran Ali yang sedikit bangun dari tidurnya lalu mengecup bibir Deka cukup lama. Tidak ada lumatan, hanya saling menempel yang menenangkan.

“Apa?” tanya Deka ketika pungutan mereka dilepaskan.

“Lo aneh makanya gue suka, kalo ngga aneh juga... gue tetep suka si, asalkan lo Aladyaa Deka” ucap Ali kembali. Deka dibuat tersipu akan perkataan lelakinya.

Sorry ya Dek” balas Ali tiba tiba.

“Ngapain?”

“Gue ngga ngerti kalo lo ngerasa gitu, dulu. Lo cantik, lo baik, lo pinter, dan gue bangga liat lo tumbuh. Dari yang cuman ngerti jajan gulali diem diem biar dimarah bunda, sekarang udah jadi business analyst pentinh di sewa sana sini, gua bangga sama lo Dek, jangan pernah ngerasa kecil ya” minta Ali pada istrinya. Deka kemudian mengangguk dan mengeratkan kembali pelukannya ke daksa sang suami.

“Dek, gue sayang sama lo” ucap Ali mengeratkan dekapannya.

“Gue juga sayang lo, Ali” lanjut Deka membalas pelukan sang pria.

“Dek, Deka!” “Deka, ini punya siapa?” tanya Ali sembari menuruni tangga dan membawa sebuah kota terduga sepatu, kepada Deka yang sedang bergelut dengan dapur guna mengisi perut mereka malam ini.

Merasa namanya dipanggil, Dekapun sesekali menoleh ke sumber panggilan dengan tidak sepenuhnya merubah atensi karena kegiatannya saat ini dapat berakhir dalam ketidak baikan apabila ia meninggalkannya begitu saja.

“Punya siapa?” tanya Ali lagi masih berapi api. Pasalnya sepatu dalam kotak tersebut adalah sepasang hightop shoe bermerk terkenal dengan ukuran yang pas di kaki Ali.

“Mandi dulu” “Mandi dulu terus coba” balas Deka masih sibuk dan tetap sesekali memberi atensi dengan senyum yang menghias bibir manisnya.

“Bentar dulu, punya sapa dulu?” cecar Ali masih penasaran.

“Mandi dulu Aliiiiiii. Mandi dulu, bajunya langsung taro keranjang kotor” balas Deka.

“Lo juga balik kerja ngga langsung mandi, ganti, malah masak. Punya siapaaa?” balas Ali sedikit memelas.

“Yakan sekalian kotornya, nanti juga mandi” bela Deka teguh pada pendiriannya bahwa Ali, harus berbilas diri.

“Janji gue mandi tapi ngomong dulu punya siapa. Janji” janji Ali di seberang sana. Ia lalu menaruh tubuhnya di atas meja agar lebih condong ke Deka yang tetap sibuk di depannya.

“Janji?” tanya Deka tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ali.

“Iyaa” janji Ali lagi. Sang istripun kemudian mematikan kompornya dan berbalik badan menghadap sang suami. Menaruh kedua tangannya di atas meja makan sebagai tumpuan dan menatap mata Ali dalam dalam.

Walaupun belum Deka konfirmasi, namun dapat ia lihat semburat bahagia penuh harap yang Ali berikan kepadanya. Keduanya diam, Ali menunggu jawaban sang puan, sementara Deka sibuk merangkai kata dalam hatinya.

“Kan kata orang surga itu-” “Ah ngga jadi, ngga jadi” rengek Deka tiba tiba belum menyelesaikan kalimatnya.

“Loh loh kenapaa?” tanya Ali bangkit.

“Malu gue nanti lo ceng cengin” balas Deka.

“Engga Dek hahah, engga lanjutin, kata orang surga itu apa?” tanya Ali mulai menaruh atensinya kembali.

“Kata orang surga anak itu di kaki ibu, kalo surga istri di kaki suami. Gue ngga mau surga gue kegores gores jadi ini, pake ini, ga usah GR dulu, belinya juga pake duit lo kok” jelas Deka panjang lebar. Ia lalu mengulum bibirnya ke dalam. Wajahnya memerah tanpa sebab. Perutnya geli seperti digelitiki.

Ali tersenyum. Bukan. Bukan masalah uang siapa yang digunakan, karena milik Ali adalab milik Deka, sementara milik Deka ya hanya milik Deka saja, tetapi perhatian yang Deka berikan kali ini, berhasil mengusik jiwa tenangnya yang ia tahan selama beberapa hari ke belakang. Ia kemudian menatap Deka dengan bangga dan tidak menjawab apa apa. Hanya senyum dengan sempurna yang tidak meninggalkan bibirnya.

“Apa si lo jangan liatin gue kaya gitu” ucap Deka mulai salah tingkah dibuat Ali. Jika dipikirkan memang benar, siapa perempuan yang tidak kelabakan jika ditatap sebegitunya oleh seorang Sabima Ali Aulia?

“Bentar jangan gerak” ucap Ali akhirnya.

“Hah?”

“Jangan gerak, gue lagi mengangumi cantiknya ciptaan Tuhan. Jangan gerak, nanti ngeblurred” balas Ali. Deka semakin menjadi menjadi. Ia meremas tangannya sendiri mencoba mencari kekuatan untuk tetap bertahan. Sebenarnya perkataan Ali 'dangdut' sekali. Tetapi karena sudah lebih dulu dimabuk cinta, perandaian 'tai kucing rasa coklat'pun Deka jalani. Jika sudah begini, di chat sekalipun Deka akan berlari ke Twitter untuk mengadukan tingkah polah sang suami, tetapi kali ini, kemana ia bisa pergi?

“Diem jangan gerak” kata Ali lagi. Lalu ia mulai memperpendek jarak di antaranya dan Deka. Sejurus kemudian Ali berhasil berdiri tinggi menjulan di samping Deka. Ia memegang kedua pundak istrinya, lalu memutarnya menjadi menghadap ke arah Ali sepenuhnya.

“Makasih ya, Dek” kata Ali lembut. Lembut sekali. Setelahnya tidak ada jawaban dari Deka. Ia hanya terus mencoba menetralkan degup jantungnya yang mungkin sekarang sedang berdisko hanya karena Ali menatapnya begitu berarti.

“Harusnya udah ngga red days iyakan?” tanya Ali kemduian. Deka semakin dibuat lemas tidak bertenaga. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Sementara otaknya berlarian kesana kemari, menciba mencari beberapa alternativ jawaban.

“Oke, gue mandi duluan ya Dek?” tanya Ali lagi lalu berjalan menjauh sembari membawa sepatu yang di atas meja. Deka masih berdiam diri memikirkan apa maksud perkataan Ali, barusan.

“Ali?” panggil Deka ketika ia tersadar. Alipun berhenti di tengah tangga, menoleh ke sumber suara.

“Kok lo ngga nanya si?” lanjut sang wanita.

“Nanya apaan?” balas si pria.

“Ya nanya boleh gak gitu? Asal mandi mandi aja lo, kan gue belom ngeiyain”

You are mine, aren't you? Kenapa gue harus minta izin sama apa yang udah jelas jelas jadi hak milik gue?” balas Ali lagi dengan senyum jahil di wajahnya. Degup jantung Deka semakin tidak dapat dikendalikan. Entah apa yang ada dalam pikiran Ali dan Deka, finalnya malam ini akan menjadi malam panjang bagi mereka berdua.

Jiwanya damai. Semilir angin yang menampar wajahnya malam ini tidak meninggalkan rasa sakit barang sedikitpun. Ditambah lagi tubuhnya yang baru saja dibilas oleh air mandi, segar sekali. Kaos putih, celana hitam panjang dan sendal hotel membuat tubuh Ali merasakan kenyamanan setelah kurang lebih dua belas jam ia harus terus berganti pakaian yang 'tidak nyaman' demi berlangsungnya acara pernikahan.

Ali memejamkan matanya. Sedikit berbaring pada bangku besi panjang tempat acara pesta pernikahannya beberapa saat lalu digelar. Merasakan dirinya sendiri, lelah, bahagia, lega bercampur menjadi satu kesatuan.

“Masuk aja Li” ucap ayah menepuk pundak anak laki lakinya, membuyarkan sesi setengah tidur yang Ali lakukan. Si empupun membuka mata, menatap sang lawan bicara.

“Masuk aja Li, cape pasti, Deka juga kayanya udah pules” timpal sang ayah mertua. Ali kemudian menggaruk garuk tengkuknya canggung. Bohong jika ia berkata baik baik saja, karena faktanya, tenaga Ali sudah habis dilahap siang, yang ia inginkan sekarang hanya memejamkan mata dan mengisi kembali tenaga.

Sudah sekitar 15 menit sanak saudaranya berkumpul di tempat acara Ali dan Deka. Tidak ada yang istimewa. Mereka hanya bercengkrama saling mengenal satu sama lain. Di kejauhan Ali dengar suara ibu dan bunda yang sahut menyahut menceritakan bagaimana bisa Ali dan Drka menjadi sedekat ini. Di bagian lain suara ayahnya dan sang mertu serta beberapa lelaki, yang sibuk membahas bagaimana bisa pijat urat lebih efektif dari pada akupuntur. Di belahan lain lagi, Ali dengar sepupu sepupunya mulai menceritakan bagaimana mereka bisa menikah hingga pernikahan impian mereka terinspirasi dari Ali dan Deka. Ramai sekali. Setelah selesai tidak ada yang kembali ke kamar hotel, hanya beberapa, yang lain memilih tetap disana atau kembali untuk mandi lalu bergabung kembali.

“Masuk aja, tidur di dalem” lanjut ayah Ali lagi. Ali lalu mengangguk sedikit canggung dan melenyap dari keramaian secara diam diam. Berjalan menuju lift untuk sampai ke tempat dimana Deka berada.


Klekk

Suara pintu dibuka. Deka yang tadinya hanya berbaring mencoba menjemput mimpi, dengan selimut yang menutup separuh tubuhnya, kini mulai sedikit bangun. Memastikan bahwa Ali benar benar disana membuka pintu.

“Ngantuk banget?” tanya Ali kepada istrinya yang tidak berubah dari posisi semula. Memunggungi tempat Ali dan memeluk guling. Kemudian Deka kembali merebahkan diri di atas ranjang. Sementara Ali melepas jaketnya lalu mulai naik menyusul Deka.

“Hmmm” balas Deka malas.

“Dek?” tanya Ali setengah berbaring menghadap sang istri.

“Hmmm” balas Deka lagi.

“Lo kalo tidur ngga perlu dipeluk peluk gitu kan?” tanya Ali memastikan. Tidak ada jawaban. Deka membuka mata.

“Yaudah gue tidur. Good night” lanjut Ali lalu menarik selimut dan menenggelamkan dirinya. Ikut ikutan memunggungi Deka.

'Yang ada dipikiran gue nanti kalo malem pertama gue mau cuddle ampe pagi si, Li. Tapi karena lakinya lo gue agak malu, tapi yaudah si anjir orang udah sah' batin Deka sembari menoleh ke belakang. Menatap punggung Ali. Tak lama, Ali juga berganti menoleh ke balakang, ke tempat dimana Deka berada. Pasalnya wanita ini membuat gerakan yang Ali sendiri bingung apa maksudnya. Deka menyibak selimut tebalnya lalu bangkit dan memakai sandal. Berjalan memutar ranjang dan sekarang berdiri di hadapan Ali. Ali mendongak keheranan.

“Enak banget lo tidur disini, geser, di gue dinging kena AC langsung, tu” ucap Deka menunjuk pendingin ruangan yang memang berada tepat di atasnya. Ali kemudian sedikit memundurkan tubuhnya. Tak lama Deka mulai membaringkan badan dan memeluk Ali erat.

“Pegangan biar ngga gelundung” ucap Deka menyamankan posisi di dekapan Ali. Sang suami hanya tersenyum mengiyakan polah tingkah wanitanya.

“Dek?” panggil Ali.

“Hmmm” balas Deka lagi.

“Minta cuddle aja gengsi banget lo” lanjutnya.

“Engga ya, gue dingin di bawah AC mana ini gue di pinggir banget nanti kalo jatoh tanggung jawab lo” bela Deka mendongak menatap suaminya. Ali kemudian tertawa keras sekali.

“Lah kan lo dari tadi di kamar? Harusnya milih yang disini ngapain tidur sebelah sana?” tanya Ali kemudian.

“Ikhlas ngga si?” tanya Deka ganti. Ali kemudian tertawa lagi dan membalas pelukan Deka.

“Iya iyaaaa” balasnya, lalu mencuri ciuman di pucuk kepala sang wanita. Nyaman sekali. Deka merasa nyaman berada di pelukanmu mengajarkanku apa artinya. Bukan bukan itu. Deka merasa nyaman berada dalam dekapan sang suami.

“Ali” panggil Deka. Bukannya mengantuk matanya kali ini malah segar kembali.

“Hmmm” balas Ali sembari mengusap surai hitam milik istrinya.

“Kok lo ngga deg degan?” tanya Deka.

“Lo deg degan?”

“Dikit” balas Deka. Ali kemudian sedikit membuka pelukan. Mencari manik mata sang perempuan.

“Masa?” tanyanya tidak percaya.

“Heem, kaya apa ya, aneh tapi gue suka” balas Deka.

“Kita dulu bukannya udah sering juga ya Dek pelukan gitu?” tanya Ali menerawang jauh ke masa lalu.

“Beda. Dulu kan lo peluk gue kalo gue lagi nangis atau lagi cape atau lagi apa gitu, ngga yang kaya begini” balas Deka.

“Bedanya apa ya Li? Kita juga udah saling tau kebiasaan masing masing, udah saling ngerti gitu. Lo jangan bosen sama gue ya, Li?” minta Deka tiba tiba. Ali mengeratkan pelukannya.

“Kalo bosen udah dari kemaren kemaren gue tinggal Dek. Tapi kayanya ngga mungkin ngga si kalo ngga ada bosennya?” tanya Ali.

“Gatau. Gamau pokoknya lo gaboleh bosen, nanti gue atraksi deh tiap hari biar lo ngga bosen” jawab Deka.

“Mau ngapain emang?”

“Jadi mermaid mungkin apa ngapain kek” balas Deka asal. Nampaknya ia mulai mengantuk karena pertanyaannya mulai menjurus kemana mana.

“Iya nanti gue jadi mermannya” balas Ali menanggapi.

“Kalo gue jadi tokek lo jadi apanya?” tanya Deka lagi. Matanya mulai menyipit.

“Jadi dindingnya biar lo bisa merayap”

“Kalo gue” hening cukup lama. “Kalo gue jadi bantal? Lo jadi apa?” tanya Deka lagi.

“Jadi sarungnya” jawab Ali tetap dengan mengusap surai lembut Deka.

“Kok ngga jadi guling? Biar sepasang?”

“Bantal butuh pelindung. Pelindungnya ya sarung bantal, percumah jadi guling kalo gabisa lindungin lo” balas Ali menatap Deka dalam pelukannya. Deka lalu mengulum bibirnya ke dalam. Pipinya memerah. Ingin rasanya ia berlari sekencang mungkin dari Sabima Ali dan berteriak kepada dunia bahwa Deka amat mencintainya.

“Kalo gue jadi tai? Lo jadi apa?” final Deka.

“Jadi airnya” balas Ali.

“Biar bisa siram gue terus kita mengapung bersama ya?” balas Deka penuh harap.

“Iya, kasian orang orang kalo gak disiram. Lo bau bauin” lanjut Ali. Seketika raut wajah Deka berubah. Yang tadinya merah padam malu malu berubah menjadi kesal dan pucat masam. Ia lalu menarik diri dan kembali ke tempatnya semula. Meloncati Ali.

“Dek, loh? Dek?” panggil Ali kebingungan. “Katanya kau cuddle?” lanjutnya.

“Siapa? Gue tadi cuman kedinginan ya!” balas Deka sewot. Ia lalu menarik selimut dan berbaring memunggungi Ali yang masih kebingungan. Ali sedikit terkekeh kemudian mendekat ke arah Deka. Mengalungkan tangannya pada pinggang sang wanita.

“Gitu aja nesu” rayu Ali di telinga Deka.

“Apa si peluk peluk? Jauhan sana gue bau” balas Deka. Ali kemudian tertawa terbahak bahak dibuatnya.

“Wangi Dek, bini gue wangi” balas Ali masih memeluk Deka. Deka akhirnya merubah posisi tidurnya menjadi menghadap Ali.

“Wangi, coba gue cium dulu” curi Ali. Deka sontak memukul mulut Ali dengan telapak tangannya.

“Modus aja lo tali jemuran” balas Deka.

“Ck” jawab Ali memasang wajah seramnya, dibuat buat, lalu mencium Deka. Tidak ada penolakan. Deka membiarkan suaminya mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya.

“Wangi” balas Ali kemudian menatap Deka dengan sebuah senyuman. Tangannya satu ia buat untuk menumpu tubuh dan satu lagi ia gunakan untuk merapikan rambut Deka.

“Males gue, lo bau tai” goda Deka pada suaminya. Ali membelalakan mata. Terheran karena Deka masih berada mode 'ngambek ngambekan'nya.

“Wangi kok” yakin Ali kepada istrinya.

“Males ah” balas Deka lalu kembali memunggungi Ali. Seketika Ali menarik pundak Deka sehingga wajahnya menghadap ke arah Ali. Sejurus kemudian seluruh ruangan terisi oleh suara tawa Deka dan decakan ciuman yang Ali berikan kepada Deka.

Malam mereka panjang. Malam mereka baru dimulai. Ini hanya permulaan. Akan ada malam malam panas yang lebih dari kali ini, atau mungkin malam malam penuh kesunyian karena berdua sama sama sedang dirundung keegoisan? Tidak ada yang tahu. Yang pasti malam ini, hingga pagi, Deka adalah milik Ali, sebaliknya dan begitu seterusnya.

Ali menghentikan langkahnya ketika ia mendapati seorang perempuan sedang duduk di tepi kolam renang dekat tempat acara pernikahannya besok berlangsung, memeluk kedua kaki dan menyandarkan kepalanya ke atas lutut. Saat itu Ali tau, Deka sedang berada di titik paling pasrah yang ada di dunia. Deka, bisa saja memaki Ali atau berkata kotor mengabsen berbagai macam binatang atau bahkan menyumpah serapahinya, namun malam itu Deka memilih untuk diam. Deka memilih untuk pasrah dengan keadaan, walaupun jauh dalam lubuk hatinya, ia tau Ali tidak pernah ingkar, lelaki itu pasti akan datang, tetapi Deka memilih diam karena sudah terlampau kesal. Taukah kamu puncak termarah seseorang bukan lagi mencaci maki, tetapi tidak peduli?

Dengan langkah yang berat, badan yang masih lemas serta kepala pening, Ali berjalan menghampiri pengantinnya dengan perlahan. Setelah berada tepat di belakang Deka, Ali kemudian menghentikan langkahnya. Tidak ada gerakan di antara keduanya, nampaknya Deka tidak menyadari kehadiran Ali. Ia hanya tetap fokus melamun menatap ke kilatan air yang terkena cahaya di dalam kolam.

“Dingin Dek, masuk” sapa Ali sembari memeluk wanitanya dari belakang. Bohong jika Deka tidak terkejut dengan gangguan super cepat yang Ali berikan, namun sebisa mungkin ia tahan. Deka telah bertekad ia tidak akan melepaskan Ali dengan mudah malam ini, maka untuk mempertahankan niatnya, Deka memilih untuk tidak menjawab, ia hanya terus memandang ke depan dan mencoba menormalkan degup jantungnya.

Berbeda dengan Deka yang masih ingin memenangkan pertandingan, Ali malah terlihat melepas rindu dengan perempuannya. Ia betah bertengger di bahu Deka dan menghirup aroma bunga yang selalu keluar dari tubuh wanitanya.

“Istirahat aja, Li. Cape kan?” ucap Deka akhirnya setelah cukup lama. Ali kehilangan kata kata, ia akan lebih bersyukur jika detik sekarang Deka mengamuk kepadanya semacam singa, atau menghunuskan pedang tajam memulai peperangan dengan bermacam kata kata yang telah Ali buang sejauh mungkin dari hidupnya, anjing babi dan semacamnya, namun malam ini berbeda. Deka tidak menyerang, serangan yang Deka berikan adalah pertahanan. Pertahanan untuk dirinya sendiri sehingga alasan yang Deka berikan terlampau memilukan untuk Ali dengar. Wanita ini marah, wanitanya marah. Deka dirundung amarah.

“Sorry Dek” balas Ali masih enggan membuka dekapan. Dengan nafas yang memburu serta kekuatan untuk menahan isakan Deka memberanikan diri menoleh ke kiri, mencoba mencari manik mata Ali.

“Pukul gue sekarang” lanjut Ali akhirnya melepaskan Deka dan memutar tubuh perempuannya hingga menghadap ke arahnya. Tatapan mata mereka bertemu. Sepasang mata hitam legam dengan iris yang bercahaya serta air yang terbendung di pelupuk mata sedang membunuh Ali dalam diam. Lawannya adalah dua bola berwarna coklat gelap yang sedang sibuk berkata bahwa ia menyesal, ia memohon, meminta maaf dan dengan tidak tahu malunya meminta izin akan kesempatan kedua. Mata coklat itu milik Ali.

“Pukul gue, Dek” minta Ali lagi dengan keberanian yang ia punya menatap manik mata Deka.

“Gue salah, gue salah, maafin gue, maafin gue” lanjut Ali kini memegang kedua tangan Deka. Tidak ada perlawanan dari sang wanita. Ia hanya diam dan terus menatap lelaki berraut pucat yang sedang memohon di depannya.

“Deka please, sorry gue salah gue tau maaf” minta Ali putus asa. Deka masih tidak menjawab. Ia melepaskan genggaman tangannya dan mengusap air mata yang ternyata sudah lebih dulu jatuh, lagi dan lagi.

“Lo brengsek tau ngga si, Li?” buka Deka akhirnya. Ali menunduk menatap genggaman tangannya yang kini kosong.

“Lo brengsek tau ngga? Besok kita nikah dan lo malah bikin gue pikiran yang engga engga” lanjut Deka dengan suara mulai meninggi.

“Dek gue bikin lagu buat diputer besok, buat kita” bela Ali masih merasa tidak bersalah atas tindakannya.

“Gue ngga butuh! Gue ngga butuh lagu lo anjing gue ngga butuh Ali, gue cuman butuh lo ada sehat lengkap disini, gue ngga butuh yang lain!!” teriak Deka berderai air mata. Ali tidak menjawab, ia hanya menarik daksa wanitanya semakin dekat, memeluknya hangat dengan tenaga yang kuat, pasalnya Deka meronta. Menolak pelukan hangat yang Ali tawarkan.

“Deka maaf, maaf Dek sorry” tenang Ali ketika Deka sudah mulai melemah dalam dekapanya.

“Gue, gu gue ngga butuh apa apa gue cuman mau lo disini, sehat, utuh, udah itu aja. Lo kenapa kenapa kenapa cari gara gara si, Li?” ucap Deka sedikit tidak jelas dan membalas pelukan Ali tak kalah eratnya. Ia menangis di dada bidang sang calon suami.

“Iya maaf, maaf Dek, maaf yaaaa” tenang Ali kembali sembari mengusap lembut surai hitam milik sang wanita.

You ok? Lo pucet banget” tanya Deka membuka pelukan, menatap wajah tampan Ali dan mengusap rahangnya barang sebentar. Pucat. Pucat sekali. Ini yang membuat Deka ketakutan sedari tadi. Sejak berumur 17 tahun belum pernah sekalipun Ali seperti ini. Donor darah yang rutin Ali lakukan dan mereka namai sebagai menabung ini selalu berakhir dengan Ali yang biasa saja dan terlihat sehat kembali. Namun entah mengapa, mengapa kali ini ia menjadi selemah ini.

“Gue ngantuk tapi lo masih marah” balas Ali. Deka akhirnya bangkit dan menarik sang lelaki. Mengandeng jemarinya kemudian membawanya masuk ke dalam hotel tanpa bersuara.

“Bagus ya Dek, besok lo pasti cantik” ucap Ali basa basi di tengah perjalanan mereka. Hatinya mulai menghangat karena Deka telah kembali.

“Bunganya fresh gini besok layu ngga si?” tanya Ali lagi mencairkan suasana.

“Dek?” panggil Ali lagi, berhasil. Kali ini Deka berhenti dan berbalik menghadap ke sang calon suami.

“Maafin gue ya?” lanjutnya. Dek kemudian sedikit berjinjit dan menggapai pipi kanan Ali. Mengecupnya sebentar lalu tersenyum ke arah sang lelaki.

“Cepet tidur biar besok sehat. Gue ngga mau gagal nikah cuman gara gara donor darah sialan” balas Deka. Ali tersenyum ia kemudian mengangguk dan berjalan di belakang Deka sembari tangan mereka yang masih setia bertautan.

Bukan seberapa parahnya Ali kali ini, bukan sebanyak apa darah yang disumbangkan, bukan tentang malunya Deka menghadapi sanak keluarga. Tapi tentang rindu yang tidak tahu harus bagaimana memulangkannya, meledak, tumpah, pecah tidak ada yang memunggut karena sendirinya memang belum berada di rumah. Malam itu mereka tau, sehebat apapun mereka bertengkar, seserius apapun takdir hampir memisahkan, mereka hanya harus bersama saling bergenggam tangan.

“Assalamualaikum” ucap Ali di depan pintu rumah Deka. Sontak seluruh penghuni rumahpun menoleh kepada pemuda yang membuyarkan fokus mereka.

“Ali ya? Masuk dulu mas Dekanya lagi disuruh bundanya bentar” kata seorang perempuan yang belum pernah Ali lihat sebelumnya. Rumah Deka mendadak sempit dan penggap, banyak kotak kotak dengan tutup yang berlapis mika di setiap sudut rumah, serta sorak sorakan anak anak kecil yang riuh didengar oleh telinga.

Satu minggu menuju pernikahan mereka, saudara suadara Deka mulai satu persatu berdatangan untuk turut serta memeriahkan acara. Maka, guna menghemat waktu dan biaya, rumah Deka dijadikan sasaran pertama sebelum semuanya melangsungkan pesta di Yogya.

“Bantuin” kata Deka di depan rumah dengan balutan celana kulot berwarna abu abu gelap serta atasan lengan panjang berwarna lebih terang, sedang menyeret kresek merah besar yang terlihat berat, yang Ali sendiri tidak tahu apa isinya.

“Apa si ni?” tanya Ali berlalu keluar membantu wanitanya, mengambil alih beban Deka dan dengan segera ia mengangkat kresek tersebut membawanya masuk ke rumah dengan ringan.

“Bunnn, udah ya? Deka mau jalan” teriaknya ke arah luar dengan maksud agar ibunya mendengar dengan raut wajah yang sedikit kesal. Ali hanya menggeleng gelengkan kepalanya melihat tingkah kekanakan Deka.

“Owalahh wong seminggu lagi juga berdua terus, dimintain tolong gini aja ngamok” balas bunda menyusul masuk ke dalam rumah. Ali kemudian mencium tangan calon mertuanya sementara Deka naik ke kamarnya mengambil tas dan perbekalan.

“Bunda, Deka Ali ajak jalan sebentar ya, nanti jam 10 udah pulang” pamit Ali kepada ibu perempuannya. Bunda tersenyum melihat kesopanan Ali. Selalu. Selalu seperti ini, Ali selalu meminta izin kepada bunda atau ayah ketika ia akan membawa Deka keluar rumah, kecuali di pagi hari. Di pagi ketika ia terburu buru dan Deka dengan santai tanpa dosa meminta Ali untuk menjemput serta mengantarkannya, jika sudah begitu bahkan untuk sekedar berjabat tangan saja Ali tidak sempat. Maka kata 'gue ngga mau nunggu' selalu Ali sematkan disetiap pertukaran pesan mereka, karena jika tidak, Ali akan berakhir membicarakan banyak hal dengan ayah Deka.

“Ih apa si kok jam 10 udah pulang?” rengek Deka kepada Ali dan Bundanya.

“Ya terus mau pulang jam berapa?” tanya bunda sabar.

“Ngga pulang” balas Deka enteng. Ali sontak terkejut dan membelalakkan mata mendengar jawaban Deka. Apa yang sebenarnya Deka pikirkan hingga ia menjawab pertanyaan ibunya dengan enteng seperti ini?

“Hahhahha modus kamu” jawab bunda. Deka kemudian hanya cengengesan seperti tidak melakukan dosa besar, sementara Ali masih terkejut kebingungan.

“Engga bunda, nanti jam 10 Ali pastiin Deka udah nyampe rumah” ulang Ali. Bunda lagi lagi hanya tersenyum teduh menatap calon menantunya.

“Pulang besok pagi juga nggapapa Li, bunda percaya kamu kok” ucap bunda. Ali tertegun, ia bingung harus menanggapi perkataan wanita paruh baya di depannya seperti apa.

“Udah sana berangkat, tu Deka udah kegatelan. Ati ati yaaa” lanjut bunda, lalu Ali mencium kembali tangan bunda disusul Deka di belakangnya, selanjutnya mereka berpamitan pada sanak saudara yang ada dan berakhir melenyapkan diri menggunakan mobil Ali.


“Mau kemana?” tanya Ali menoleh ke Deka yang nampak sibuk dengan ponsel pintarnya.

“Oke, pertama makan, gue laper, kedua beli boba, ketiga jalan jalan ga jelas, keempat beli makan lagi, ke lima carpool ke enam makan lagi, ke tujuh gatau pokoknya sama Ali, ke delapan juga yang penting sama Ali, ke sembilan sama Ali lagi” balas Deka seolah membaca sesuatu dari sana. Ali tersenyum sesekali melihat ke arah gadisnya. Selanjutnya adalah gerakan dimana hp Deka direbut secara paksa oleh Ali, memastikan benarkah Deka memang sunggu sungguh menulis hal tersebut atau hal menggembirakan barusan adalah akal akalan Deka dengan otak ngaconya.

“Apaan si?” kata Deka segera setelah ponselnya berada pada genggaman Ali. Ali lagi lagi tersenyum, tidak percaya, Deka benar benar menulis apa yang harus mereka berdua lakukan malam ini.

“Oke first and second itu di dashboard buka coba. Berarti sekarang kita langsung ke tiga ya?” tanya Ali meminta persetujuan sembari mengembalikan ponsel wanitanya. Deka tertegun, ia menyimpan hpnya di dalam tas dan segera membuka dashboard depan tempat duduknya. Benar saja, bau ayam menyeruak segera setelah Deka tersenyum kegirangan melihat dua kantong ayam goreng dengan dua kantong boba berperisa taro dengan sebuah nota kecil bertuliskan 'Buat Deka.'

“Ini buat gue aja apa lo juga li?' tanya Deka polos sembari mengeluarkan harta karunnya. Ali lagi lagi hanya tersenyum sembari tetap menatap ke arah jalan di depan.

“Buat lo, gue nanti gampang” balas Ali.

Cup

Satu kecupan mendarat di pipi Ali dari Deka. Sontak si pria mengeratkan pegangan kemudinya, hatinya berdegup kencang dan perutnya terasa geli menyerang. Ia menoleh ke arah sang wanita. Deka tersenyum tanpa beban, wajahnya mengisyaratkan bahwa ia benar benar sedang dalam keadaan senang.

“Makasih” ucap Deka kemudian dan mulai membuka makan malamnya.

Malam ini mereka habiskan hanya untuk berdua. Berjalan keliling kota tanpa arah yang jelas, menyetel musik kesukaan mereka dan meneriakkan setiap bait lirik sekencang kencangnya. Hanya berdua, berdua saja hingga waktu menjadi satu satunya hal yang tidak dapat diajak untuk berkompromi bersama.

Terdengar sangat klise tapi memang benar adanya. Waktu terasa berjalan sangat cepat jika dihabiskan dengan orang tercinta, sama seperti Ali dan Deka malam ini. Pukul sebelas lebih ketika Ali memarkirkan mobilnya di halaman rumah Deka yang berdiri tanpa pagar, memulangkan wanita yang masih menjadi tanggung jawab ayah bundanya. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya ada Deka yang memainkan jemari sembari terus menunduk dan Ali yang menatapnya tanpa henti.

“Dek udah sampe” buka Ali akhirnya. Deka mendongak, melihat wajah lelakinya.

Midnight drive sekalian aja, kata bunda pulang pagi kan nggapapa” balas Deka polos. Wanita ini, wanita yang Ali lihat sebagai perempuan sejak dirinya duduk di bangku SMA, belum pernah menjadi semenggemaskan ini sebelumnya.

“Pulang Dek, minggu depan gue ajakin midnight drive sampe pagi deh” balas Ali. Deka masih menatapnya engga untuk turun dari mobil.

“Kok lo biasa aja si Li?” tanya Deka.

“Hah?”

“Kok lo biasa aja si? Kita mau ngga ketemu lo, seminggu. Lo kok biasa aja si?”

“Yakan cuman seminggu Dek, ab-”

“Yakan?” potong Deka. “Cuman seminggu?” lanjutnya.

“Gue belom selesai ngomongnya, jangan di potong” balas Ali.

“Yakan cuman seminggu, abis itu juga tiap hari bareng bareng” lanjut Ali. Deka enggan bersuara, ia hanya terus menatap manik mata Ali. Merekam wajah tampan yang akan menjadi miliknya selama lamanya untuk bekal seminggu ke depan.

“Seminggu doang Dek, abis itu udah engga, yaaaa?” tenang Ali pada akhirnya. Ia kemudian menarik daksa Deka dan memeluknya erat. Seperti tidak ingin kehilangan kesempatan, Deka balas memeluk tubuh tegap Ali. Tidak ada suara hanya ada usapan lembut di surai dan punggung Deka.

“Nanti kalo gue kangen gimana?” tanya Deka di sela sela pelukan mereka. Ali kemudian membuka daksa. Mengambil sebuah paper bag kecil di bangku belakangnya lalu menyerahkannya kepada Deka.

“Kalo kangen” ucap Ali. Deka tidak menjawab, ia hanya tersenyum menatap Ali setelah tau apa isi kantong kertas pemberian lelakinya. Lagi, Ali selalu punya cara untuk memikatnya.

Sebuah hoodie hitam yang baru Ali cuci dan ia kenakam beberapa kali sehingga wangi tubuh Ali melekat pada kain hangat tersebut.

“Kalo kangen, sebut nama gue tiga kali Dek” lanjut Ali.

“Nanti lo dateng?” tanya Deka polos.

“Engga, yaudah sebut aja si” balas Ali. Deka lalu melemparkan pukulan pukulan kecil ke dada sang lelaki. Ali hanya terbahak dibuatnya.

“Seminggu doang Dek, sabar yaaaa” ucap Ali lalu menarik kembali daksa Deka ke dekapannya. Deka lagi lagi tidak menjawab dan hanya membalas pelukan si pria.

“Bukan lo aja, gue juga takut kangen, tapi gue tahan” lanjut Ali. Kemudian ia membuka pelukan dan mendaratkan kecupan dengan durasi cukup lama di dahi Deka yang sudah lebih dahulu memejamkan mata.

“Sekarang pulang ya?” minta Ali selanjutnya. Deka lagi dan lagi merekam wajah tampan Ali dalam ingatannya, karena mau tak mau Ali akan tetap memulangkannya malam ini. Jadi, alih alih berdebat dan memberontak menyia nyiakan waktu, Deka mengangguk sebagai tanda bahwa ia setuju.

Dengan hati yang berat, Ali lebih dahulu turun dan membuka pintu, memulangkan Deka ke pelukan ayahnya sebelum satu minggu yang akan datang Ali lah yang sepenuhnya memegang kendali. Dengan hati yang berat, Deka ikut turun melangkahkan kaki dan pulang ke rumah dimana seharusnya ia saat ini.

Ayolah, kalian tidak akan berpisah untuk waktu yang lama, hanya sementara, lagi pula, bukankah jarak ada supaya rindu punya teman bicara?

Pesta pernikahan Yuan dan istrinya masih terus berlanjut, porak poranda keributan akan ucapan selamat terus disuarakan yang juga tak luput keluar dari lubang mulut Deka dan tunangannya, Ali.

Setelah beberapa kali bertukar pesan, Deka mengantar Nita dan suaminya kembali ke acara mereka yang artinya, mau tak mau ia harus kembali ke genggaman Ali. Benar saja, ketika dua mempelai disambut kembali oleh tamu yang ada, wajah Deka mulai terlihat tak bersahabat mendapati Ali sedang menunggunya.

“Dek?” panggil sang pria mendekat.

“Nanti aja, gue ngga lagi dalam mode merusak mood sendiri di acara bahagia orang” balas Deka dingin tidak menoleh sedikitpun ke arah Ali. Hatinya kesal bukan main karena perkataan Ali beberapa waktu lalu melalui buble text mereka, yang Ali sendiripun tak tahu dimana letak kesalahannya.

“Jadi, saya punya temen ni, yang selain jadi junior dan rekan kerja dia juga nyambi ngehobi, hobinya ngeband dan suaranya emang tidak diragukan lagi. Saya udah bilang kemaren kalo dia harus nyumbang satu lagi di pernikahan saya, kebetulan Nita juga kenal hehe, Ali? Sabima Ali” ucap Yuanda tiba tiba memanggil Ali. Sontak seluruh tamu undangan celingukan kesana kemari mencari siapa gerangan bernama Sabima Ali.

“Lah anjir Mas Yuan” ucap Ali terkejut sembari sedikit terkekeh. Ia kemudian menatap ke arah Deka seolah meminta izin, yang dengan sengaja menjaga jarak darinya. Deka nampaknya masih kesal, ia membalas tatapan Ali tapi tidak memberikan tanda tanda perdamaian, merasa berada di posisi yang serba salah, maju salah mundur juga salah, Ali kemudian mengambil langkah, membawa kaki jenjangnya naik ke podium dan mulai menyetel gitar milik pemusik yang memang disewa oleh Yuan sebelumnya.

Check check” kata Ali di atas podium. Dapat Deka dengar ada beberapa suara yang bahkan tidak malu meneriakan nama Ali dari bawah sini. Ternyata ada beberapa tamu Yuan dan Nita yang tau dan mengenal siapa Ali sejatinya. Mendengar nama laki lakinya diteriakan beberapa kali, suasana hati Deka mendadak geram lagi. Entah mengapa ia juga tak mengetahui apa penyebabnya, pasalnya sorak sorai baku teriak nama Ali seperti ini bukan yang pertama Deka alami, sebelum sebelumnya, bahkan sudah sering Deka menemani Ali ketika lelaki itu harus berdiri di atas panggung dan mulai memerdukan suaranya, tetapi belum pernah ia sekesal ini sebelumnya.

“Wahhhhh first of all gue mau ucapin selamat menempuh hidup baru buat Mas Yuan beserta istri hahah, istri ngga tu mbak sekarang, Mbak Nita, semoga pernikahannya bahagia selalu berantem juga ngga papa sekali kali, banyak anak banyak rezeki, wish all the best thing is coming to both of you” ucap Ali mulai membuka sesi panggungnya.

“Eeee apa ya haha, ini ngga ada latihannya serius, jadi gue mau kasih lagu judulnya Vow punyanya Coldiac so please take a seat everyone” lanjut Ali lalu menatap Deka dan mulai memetik senar gitar.

Day by day You belong to me You've been lovely all the time You got me right here thru my heart

Satu bait pertama Ali nyanyikan sembari menatap intens Deka di seberang sana, tak lupa suara sorakan akan betapa kagumnya tamu undangan pada suara emas Ali mulai disuarakan.

Baby stay the same Don't you feel the same? You've been curing all of my pain Soon, will get your parent's blessing

Bait kedua Ali nyanyikan dengan menatap Deka, Yuan dan Nita serta sesekali melihat ke hadirin yang berbahagia.

Are you gonna love me for the rest of you life? You said that I'm the one let me take you be mine Are you gonna love me for the rest of your life? You said that I'm the one let me take you be my bride

Ucap Ali di atas podium yang matanya tak lepas dari seorang perempuan yang ia namai sebagai sahabat selama hampir lebih dari 14 tahun.


Plak plak plakkkkkk plak plak

Suara tepuk tangan mulai disuarakan ketika Ali mengakhiri sesi panggungnya. Seluruh atensi belum berpindah dari daksa tegap, tinggi, nan tampan seorang Sabima Ali. Apalagi untuk perempuan perempuan yang masih memegang status sigle kesempatan ini adalah hal ajaib yang dapat mereka gunakan untuk mendapatkan Ali.

Dengan seluruh atensi yang masih menempel kepada dirinya, Ali turun dari podium dan mulai melangkah kembali ke rumah. Deka. Berdiri di tempat paling ujung dengan beberapa orang yang Ali juga yakin tidak Deka kenal.

Langkah Ali nampak yakin dan tidak gontai barang sedikitpun, dan entah mengapa, seperti sihir, jantung Deka berdegup sangat kencang ketika Ali mengambil jemarinya dan menggenggamnya erat di hadapan semua orang. Deka diam tidak berkutik. Tempat di sebelahnya yang kosong kini sudah diisi kembali oleh Ali, jarinya yang tadi hanya bermain gelas kini dicengkram erat oleh seorang lelaki. Dengan atensi yang masih menyorot keduanya, Ali sedikit berbisik pada Deka.

Breathe baby” ucap Ali perlahan. Deka tidak menjawab, ia malah melemparkan hujaman tajam kepada Ali.

“Kenapa gandeng gandeng?” bisik Deka balik.

“Biar semua orang tau kita udah tunangan”

Deg

Siapapun tolong bawa Deka pergi dari sini. Suara husky serta genggaman erat Ali membuat Deka lemas seketika. Jutaan kupu kupu menghajar perutnya sementaran jantungnya digocak oleh sesuatu hingga berdegup kencang tak mengerti hitungan.

“Dek, jangan marah lagi, kalo gue ada salah bilang, ngga sayang ini tunangannya kalo diambil orang? Liat yang mau banyak” ucap Ali mencoba menjinakan Deka.

“Biarin aja, mereka cuma pengen, yang menang kan gue” balas Deka percaya diri sembari mengangkat pungutan tangan mereka. Ali kemudian tersenyum bangga melihat gadisnya.

Setelah mendapat pesan teks dari ayah, Ali kemudian mengenggam bundaran panjang di sebelah kanan setir motornya. Ia pelintir benda tersebut sampai di batas maksimal. Melajukan kuda besi miliknya secepat mungkin agar segera menjangkau kediaman Deka. Wajahnya sesekali meringis, matanya bahkan berair ditampar kerasnya angin yang ia lawan di pukul delapan malam.

Seperti biasa, rumah Deka selalu terlihat tenang dan nyaman, sama seperti rumahnya. Tidak ada orang di luar, hanya ada pintu yang dibiarkan terbuka serta suara tv menyapa telinga yang Ali yakin juga tidak ada seorangpun yang benar benar menaruh atensi pada benda balok tersebut. Dari luar pintu dapat Ali lihat lantai satu rumah Deka kosong, kemudian ia menjauh, berjalan mendekati jalanan untuk melihat cendela di lantai dua yang ternyata lampunya menyala. Kamar Deka. Setelah memastikan sahabatnya belum tertidur, Ali kemudian mendekat lagi.

“Assalamualaikum, bundaaaaa” panggil Ali kepada perempuan yang sudah seperti ibunya sendiri. Tak ada jawaban, hilang selang beberapa lama sebuah suara menyaut dengan jarak yang cukup jauh.

“Waalaikumsalam, masuk le” jawab ayah keluar dengan sarung dan kaos oblong putih persis seperti ayahnya ketika di rumah.

“Bunda kemana yah?” tanya Ali sembari menaruh helmnya di atas meja. Tidak ada sungkan diantara keduanya.

“Nyari ceker sama Ale” “Bangkit itu yang mana si, Li?” tanya ayah seketika Ali berlagak mengerti. Nafasnya tercekat, jantungnya berdebar, bulu kuduknya berdiri. Tidak memakai basa basi ayah melontarkan pertanyaan yang jawabanya Deka dan Ali tutupi selama ini.

“Deka sama Ali boleh pacaran tapi nanti, nanti kalo udah kerja. Sekarang sekolah dulu yang bener ngga ada cinta cintaan.” ucap kedua orang tua mereka. Maka untuk tetap mewarnai hidup, kegiatan pacaran yang mereka lakukan sudah mereka sepakati berdua bahwa harus sama sama dijaga dan di luar pengetahuan orang tua.

“Hehe, Deka mana yah?” tanya Ali ganti, enggan menjawab pertanyaan ayah. Ali takut. Selain dirinya, Deka juga pasti akan kena dampak jika Ali membongkar siapa Bangkit di hati Deka.

“Ya di kamar, dia ngga bangun, ngga makan, ngga apa, tidur terus ditawarin apa apa juga ngga mau” jawab ayah sembari mulai menaiki tangga menuju kamar Deka. Ali membuntut di belakangnya.

Di kejauhan dapat Deka dengar suara ayahnya sedang berbicara dengan seseorang yang ia juga hafal benar siapa. Badannya lemas, matanya bengkak, hatinya hancur, moodnya kacau. Ini pertama kali. Ini pertama kali untuk Deka menghadapi seramnya patah hati hingga sehebat ini.

Bangkit. Bangkit Juang Nagari, adalah laki laki pertama yang berani dan ia biarkan untuk menelisik hidupnya lebih dalam. Bangkit. Bangkit Juang Nagari adalah laki laki pertama yang Deka namai sebagai kekasih hati. Bangkit. Bangkit Juang Nagari adalah patah hati pertama Deka tapi juga sekaligus menjadi penawar lara. Sejak SMP, Deka memang tidak dikenal sebagai gadis yang suka berganti ganti pasangan, bahkan tidak pernah berganti pasangan. Untuknya yang pertama juga harus jadi yang terakhir, maka sehebat apapun Deka menuai pertengkaran dengan Bangkit, maka ia akan kembali lagi padanya. Begitu saja seterusnya sampai hari ini. Hari dimana ia tidak bisa kembali kepada laki laki yang menemaninya kurang lebih enam tahun, laki laki yang bersamanya mengarang cerita tanpa sepengetahuan orang tua. Laki laki yang akan Deka kenalkan kelak kepada ayah dan bunda. Laki laki yang amat ia sayangi, laki laki yang menghinatinya. Namanya, Bangkit. Bangkit Juang Nagari.

Dari kelas delapan SMP hingga semester 5 bukan waktu yang sebentar untuk Deka dan Bangkit saling mengenal. Bahkan dengan sengaja Bangkit selalu memaksakan diri untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi yang sama agar selalu bisa bersam Deka. Maka selama enam tahun itu pula, ditemani keberhati hatian agar tidak ketahuan, sudah sangat banyak memori yang terekam antara Deka dan kekasihnya.

Berbeda dengan Ali. Sabima Ali Aulia, dikenal sebagai seorang pemuda berbudi luhur yang baik sopan dan santun tetapi tidak pernah bertahan dan cukup hanya dengan satu wanita. Sama seperti Deka, Ali mulai mengenal cinta ketika ia berada di bangku sekolah menengah pertama, tapi Ali tidak seberani itu sampai harus melabel seorang gadis sebagai pacarnya.

Ali benar benar berani meminta Maureen menjabat sebagai kekasihnya ketika ia berada di bangku SMA. Hubungannya dengan Maureen juga tak jauh berbeda dengan buhungan Bangkit bersama Deka. Putus nyambung putus nyambung tidak jelas. Bedanya, ketika kata putus telah keluar memalui salah satu dari mereka, Ali akan mulai mendekati gadis lain dan jika perasaanya belum jelas, ia akan kembali lagi kepada Maureen. Begitu saja sampai akhirnya Maureen memutuskn untuk tidak akan menerima Ali kembali.

Karena sejatinya pertengkaran Ali dan Maureen sama seperti hal yang selalu didebatkan Bangkit dan Deka, jawabannya adalah sahabat mereka. Bagi Bangkit dan Maureen, hubungan Ali dan Deka bukan hubungan pertemanan biasa yang bisa disingkirkan dan diadu domba kapan saja. Apa yang Ali dan Deka miliki lebih berharga dari pada apa yang Ali dan Deka miliki bersama pasangan mereka. Maka untuk tidak mau merasa menjadi yang nomor dua, Maureen lebih dahulu mengakhiri tali sial antara dirinya dan Ali, sementara Bangkit memilih jalan lain dengan menjebak dirinya sendiri di situasi yang tidak mungkin Deka murkai.

Mereka berempat adalah dua pasang manusia yang sama sama menghunuskan pedang ke jantung masing masing. Terjebak di jurang kesakitan yang juga mencoba mencari jalannya sendiri sendiri ke permukaan.

Sudahlah, jangan pikirkan lagi bagaimana toxic dan rusaknya hubungan mereka, mari kita kembali kepada Deka yang mengurung diri di bawah selimut tebalnya. Tak lama setelah suara ayahnya mereda, pintu kamar dibuka. Masih sama seperti beberapa waktu yang lalu, Deka mencoba memejamkan mata sembari memunggungi pintu arah siapapun bisa menjamah dirinya.

“Dek, Ali ni” panggil ayah dari ambang pintu sembari menatap punggung anak sulungnya. Hening. Tidak ada jawaban dari Deka.

“Dek, ada Ali ini mbak, bangun ngga? Ayah cari juga ini yang namanya Bangkit. Udah dibilangin jangan pacaran dulu tetep aja” lanjut ayah. Masih tidak ada jawaban, yang Ali dan ayah lihat saat ini adalah sebuah pundak yang naik dan turun seperti menahan tangis di bawah selimut.

“Deka!” sentak ayah sudah di limit kesabarannya, hendak membalik Deka secara paksa. Di saat yang bersamaan pula Ali secara sengaja menahan tangan ayah agar tidak menganggu Deka dalam tangisnya.

“Yah, biar Ali aja yang ngomong sama Deka” kata Ali. Ayah lalu menghela nafasnya kasar untuk meredam amarah.

“Dari pagi dia ngga makan apa apa lo, begini jadinya kalo ngga nurut sama orang tua. Dibilangin jangan pacaran dulu. Tolong ya li” kata ayah lalu meninggalkan kamar anak perempuannya. Ali mengangguk mengerti, ia lalu mendekat ke arah Deka segera setelah memastikan sang ayah meninggalkan ruangan.

“Dek, bangun” ucap Ali berdiri di hadapan Deka. “Bangun anjir gue tau lo ngga tidur” “Lo takut sama ayah?” tanya Ali lagi. Masih tidak ada jawaban. “Nanti gue bantuin ngomong sama ayah sekarang bangun dulu, makan” lanjut Ali. Selang beberapa lama tetap tidak ada balasan dari Deka. Ali mulai geram.

“Lo bangun atau Bangkit ancur?” “Itungan ke tiga ngga bangun lo selesaiin semuanya sendiri, satu!” ancam Ali. Deka lalu membuka selimut memperlihatkan wajahnya. Ali menghela nafas begitu mendapati wajah cantik itu bengkak, hidungnya merah, matanya sembab.

“Bangun makan” lanjut Ali kemudian menarik kursi belajar Deka dan mulai membuka kantong kresek putih yang ia bawa sedari tadi.

“Gue ngga laper” ucap Deka dengan air mata masih menetes di pipinya sembari menyiblak selimut dan duduk menghadap Ali dengan dua kaki yang dilipat ke dalam.

“Gue ngga nanya lo laper apa engga, gue nyuruh lo makan.” kata Ali tegas sembari membuka kotak kotak makanan yang ia bawa. Setelah semua terbuka Ali menyodorkan sekotak ceker pedes kepada Deka. Tidak ada gerakan dan percakapan diantara keduanya.

“Ambil” kata Ali karena Deka hanya menatapnya tajam dengan air mata yang ia tahan tanpa berkata kata.

“Lo beli di deket PLN kampus?” tanya Deka lagi dengan suara yang sangat bergetar. Ali tidak menjawab, ia hanya menutup mata merutuki kebodohannya.

Ali lo anjing ucap Ali pada dirinya sendiri.

“Itu i i itu tempat biasa Bangkit, Bangkit beliin gue ceker, Li” kata Deka terbata bata. Ia kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangnnya, mulai kembali menumpahkan air mata.

“Dek sorry gue ngga maksud” balas Ali. Tidak ada jawaban lagi, hanya ada suara isakan tertahan yang datang dari sang puan.

“Dek please lo kenapa jadi menye menye gini si” ucap kali kehabisan kesabaran. Deka masih menangis tidak menjawab, menikmati setiap memori bersama Bangkit yang berputar di kepalanya. Ali agaknya semakin dibuat geram.

“Dek liat gue” kata Ali berpindah duduk di ranjang bersama Deka. “Deka liat gue” katanya lagi sembari merebut kedua tangan temannya di depan muka, Deka sontak mengelak. “Deka liat gue!” bentak Ali akhirnya. Deka membuka muka, menampilkan air mata yang tidak berhenti menetes barang sebentar saja. Ali bungkam, ia diam menatap bentuk sahabatnya sehancur ini. Ada kekesalan, ada rasa sayang, ada rasa menyesal dan kerinduan yang teramat sangat di mata Deka, bukan untuknya, ini untuk Bangkit.

“Apa? Lo mau apa?” tanya Deka ketika mata mereka bertemu dengan tangannya yang berada dalam genggaman tangan Ali. Pasalnya Ali masih tidak bisa berkata kata melihat keadaan Deka. Sehebat ini patah hati menghantam Deka.

“Kata lo gue boleh jatuh Li, gue boleh jatuh kan? Gue jatuh Li sekarang” ucap Deka berderai air mata. Hati Ali seketika remuk mendengar suara Deka yang terasa ngilu di telinganya.

“Gue bilang sehari Dek, bukan seminggu” ucap Ali pelan.

“Sakit Li, sakit banget” balas Deka sembari menundukkan kepala. Air matanya jatuh disana.

“Oke bangkit abis sama gue” balas Ali sembari bergerak berdiri yang kemudian langsung ditahan oleh Deka. Dalam pikiran Ali tidak ada yang lebih pantas untuk seorang laki laki yang menghamili gadis lain dan berakhir membiarkan pacarnya sendiri di jurang kesiksaan selain habis ditelan bumi. Ali bertekad akan memasukan Bangkit ke dalam tanah malam ini.

“Jangan gila” ucap Deka.

“Dia udah buat lo kaya gini, walaupun ngga mati seengaknya dia juga hancur Dek” balas Ali menatap Deka.

“Jangan, besok dia akad. Jangan Li” ucap Deka mengusap air matanya. Mencoba tegar dan berdiri kembali.

“Ngomong jangan sekali lagi gue berangkat beneran” kata Ali di tengah tengah tekadnya.

“Jangan Ali” ucap Deka pelan hampir tak bersuara. Ali tidak menjawab, ia beranjak meninggalkan kamar.

Bughhh

Ali berbalik. Deka sedang menatapnya dengan tajam.

“Gue bilang jangan!” bentak Deka. Ali kemudian memunggut hp yang Deka gunakan untuk menghentikannya barusan dan mendekat ke arah Deka dengan geram.

“Ini itu ngga adil, Dek!” bentak Ali masih berdiri.

“Gue tau!” balas Deka dengan nada yang lebih tinggi. “Gue tau ini ngga adil. Yang bajingan Bangkit kenapa yang hancur gue? Ini ngga adil gue tau, yang jahat Bangkit kenapa yang kesakitan gue?! ledak Deka akhirnya. “Gue tau ini ngga adil Ali. Gue nangis nangis disini karena si brengsek Bangkit malah jalan jalan sama cewenya, gue nangis nangis disini karena si brengsek Bangkit haha hihi sama cewenya gue tau ini ngga adil. Gue ngga nangisin Bangkit, gue nangisin diri gue sendiri kenapa gue masih aja sayang sama dia bahkan pas udah kaya begini. Kenapa gue bego banget Ali. Gue nangis karena Bangkit baik baik aja, tapi, tapi kenapa gue yang hancur? Kenapa Ali?” lanjut Deka kemudian menutup kembali wajahnya dengan kedua tangan. Sakit. Sakit sekali hati Ali mendengar kata kata yang keluar dari mulut Deka. Tidak ada jawaban lagi setelahnya, yang Ali lakukan adalah memeluk Deka seerat mungkin. Merengkuh jiwa sakit akibat ditinggalkan, mendekap daksa mungil yang kesakitan.

“Dek jangan kaya gini lagi, gue sakit liat lo begini” ucap Ali di telinga Deka.

“Bangkit jahat, Li” jawab Deka sembari memukul mukul kecil dada Ali. Tetap dengan air mata yang enggan untuk berhenti. “Besok gue janji ngga nangis lagi, biarin hari ini aja gue begini” mohon Deka pada sabahatnya. Ali tidak menjawab. Ia hanya semakin mengeratkan pelukannya ke daksa Deka. Seakan mendapatkan keamanannya kembali, Deka membalas pelukan Ali.

“Ngga sehari nggapapa Dek, tapi jangan lama lama” akhir Ali. Setelahnya hanya ada usapan lembut di punggung Deka yang sesekali naik ke rambut hitamya, dibarengi dengan suara isakan tertahan di dada sang laki laki.

Malam itu Deka membiarkan sebagian dari dirinya pergi. Malam itu Deka biarkan Bangkit mengambil jalan hidupnya sendiri. Malam itu Deka biarkan patah hati terhebat menginterupsi hidupnya, untuk pertama kali. Malam itu, untuk Ali, ia diam diam berjanji akan menjaga Deka hingga perempuan dalam pelukannya, tidak perlu menghadapi kembali air mata hancur separah ini. Malam itu diam diam ayah mengetahui semua rasa sakit sang putri, untuk pertama kalinya, di balik dinding kamar Deka.

Aleeah membuka pintu apartmentnya, lalu seorang laki laki menerobos masuk ke tempatnya dan memeluknya erat. Erat sekali. Aleeah rasakan tubuhnya sesak karena pelukan sang lelaki.

“Saya ngga mau.” titah Johnny pertama kali.

“Saya ngga mau le” kata Johnny lagi. Aleeah masih diam. Niat meronta tapi tidak sampai hati, alih alih menolak Aleeahpun akhirnya membalas pelukan sang suami. Mengusap punggungnya pelan, menenangkan.

“Pakkk?” panggil Aleeah lembut.

“Saya ngga mauuu” jawab Johnny tak kalah lembut, dari panggilan sang wanita membuat Aleeah semakin tak dapat menyampaikan kata katanya.

“Pak Johnyyyyyy” panggil Aleeah lagi.

“Saya ngga mauuuu, le” balas Johnny lagi. Suaranya pelan dan lembut sekali. Terdengar pasrah dan tidak ada tenaga untuk meronta.

“Sayanggg” panggil Aleeah akhirnya. Johnny mengendurkan pelukan, menatap netra wanitanya. Aleeah tampak tenang. Johhny nampak gusar, matanya berkaca kaca seolah menyuarakan protes tidak terima terhadap apapun kata kata yang nantinya akan keluar dari mulut Aleeah.

“Aaaa salah besar harusnya selesain aja di chat jangan ketemu” “ Saya ngga tega kalo Pak Johnny begini” lanjut Aleeah sembari kembali memeluk sang suami.

“Saya ngga mau” jawab Johnny kembali dengan nada suara yang lebih pelan, suaranya terdengar bergetar.

“Saya janji setahun aja pak, ngga akan lama” kata Aleeah sembari masih terus berpelukan. Keduanya tidak ada yang berani beradu mata. Johnny tidak sampai hati melihat sang wanita jika harus memohon untuk mimpinya dan sang ibunda. Sementara Aleeah juga tidak tega meninggalkan lelakinya jika keadaan suaminya saja seperti ini. Johnny tidak menjawab. Ia hanya diam sembari terus mengeratkan pelukannya ke daksa sang wanita. Lama kelamaan Aleeah rasakan bahunya basah. Air mata Johnny menetes di atasnya.

“Bapakkkkkk” panggil Aleeah kembali.

“Ale saya ngga bisa. Saya beneran ngga bisa. Ok kalo cuman kamu tinggal S2 nanti saya nyusul tiap akhir bulan. Ini udah cerai, no text no call terus saya harus begimana?” kata Johnny putus asa. Ia membuka pelukan dan menatap manik mata sang wanita. Dengan suara yang ia tahan agar terdengar tidak terlalu bergetar. Ganti Aleeah yang memejamkan mata. Hatinya sakit melihat suaminya seperti ini.

“Bapakkkk, satu tahun itu cepat saya janji, saya bakalan cepet pak, bapak masih bisa liat saya di twitter saya janji saya update setiap hari. Satu tahun ya pak?” yakin Aleeah sama sama manahan tumpahnya air mata.

“Bapak temenin mama, saya wujudin mimpi saya, nanti kalo bapak masih sayang sama saya sampe saya balik, bapak jemput saya di bandara. Pas nanti bapak jemput saya tau, you had me from the start yaaaa? Please” minta Aleeah. Johnny tidak menjawab ia hanya terus menerus menatap mata Aleeah mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik baik saja.

Singkatnya begini, Aleeah baru tau secinta ini Johnny kepadanya. Sama. Ia juga tidak ingin meninggalkan lelakinya, namun, jauh sebelum mereka bersama, ada mimpi mama yang lebih dulu Aleeah bangun berdua. Ada cita cita mama yang masih tertinggal dan tidak dibawa masuk ke dalam tanah, yang artinya, mau tidak mau harus Aleeah wujudkan. Sementara Johnny, ia takut tak dapat membendung rindu yang akan terjadi. Johnny, tak kuasa jika harus berpisah dengan Aleeah serta membiarkan wanitanya berkelana sendirian di negeri orang. Semenjak ayahnya meninggal, dunia Johnny suram. Suram yang hanya dirinya sendiri yang paham. Sepertemuannya dengan Aleeah, ada secercah harapan yang ia pertaruhkan. Maka, untuk melepaskan sang wanita, dengan jaminan perasaan yang ia genggam, adalah hal yang paling sulit dilakukan.

“Satu tahun ya?” tanya Johnny pada akhirnya setelah hening cukup lama.

“Iyaaaa” balas Aleeah.

“Janji cepet yaa?” tanya Johnny kembali.

“Iyaaaa” balas Aleeah lagi.

“Saya ngga kemana mana pak, saya disini terus” ucap Aleeah meyakinkan. “Kalo kangen apa? Bilangg” candanya.

“Kili kingin ipi? Bilingg” tiru Johnny.

“Julid bangett?”

“Jilid bingit” tiru Johnny kembali.

“Le saya pelukkkk” minta Johnny. Aleeah tersenyum lalu merentangkan tangannya meminta suaminya agar segera mengisi kekosongan yang ada. Lama Aleeah berdiri dan menepuk nepuk punggung Johnny hingga ia rasakan sesuatu yang basah mulai mengecup leher jenjangnya. Hembusan nafas hangat yang pertama kali ia rasakan ini lama kelamaan membuatnya memejamkan mata. Johnny terus menerus mengusapkan hidungnya ke leher sang wanita, menciumi setiap inchi kulit lembutnya seolah tak akan melewatkan satupun pori pori untuk dicumbu hingga pagi.

Dari leher naik ke telingga, berpindah ke bibir lalu ke seluruh muka. Ada sensasi menegangkan yang asing, yang aneh, yang belum pernah Aleeah rasakan sebelumnya. Lumatan Johnny pada mulanya hanya biasa hingga lama kelamaan menuntut. Meminta lebih dari mereka seharusnya. Aleeah mulai paham kemana malam ini akan pergi menjemput pagi, maka ketika nafas keduanyan mulai memburu, Johnny buru buru melepaskan pungutannya, menatap Aleeah dalam dalam dan meminta...

“Bolehh?” tanyanya. Aleeah mengangguk sebagai tanda bahawa dirinya juga menginginkan Johnny malam ini.


Pukul 2 pagi Johnny habiskan hanya untuk menatap wajah cantik wanitanya. Rambut Aleeah yang tidak rapi, mulut Aleeah yang bengkak, leher Aleeah yang merah merah. Untuk pertama kalinya mereka sama sama mencapai yang katanya surga dunia.

Pikiran Johnny berlarian kesana kemari seraya Aleeah memejamkan mata.

Kamu ngga lagi mikir saya brengsek because we did that thing kan le? Kamu ngga benci sama saya setelah malam ini kan le? Kita ngelakuin itu karena sama sama cinta kan? Demi apapun saya sayang kamu le jangan benci saya ya habis ini

Lama sekali hanya ia habiskan untuk menatap wajah sang wanita, hingga Aleeahpun sedikit membuka mata, menyadari lelakinya tidak ada dalam jangkauan tangan peluknya.

Whyyy?” tanya Aleeah akhirnya dengan suara amat pelan.

I love you” jawab Johnny dengan suara tak kalah pelannya. Orang lain mungkin menamai kegiatan ini sebagai berbisikan.

I know” jawab Aleeah sembari tersenyum. Tenaganya sudah ia habiskan beberapa jam yang lalu hingga saat ini, untuk sekedar memajukan diri meminta dekapan saja Aleeah lemas sekali.

Share with me” ucap Aleeah. “Bapak punya pikiran apa? Bagi sama saya” lanjutnya.

“Ngga ada” jawab Johnny lalu tangannya mulai menyentuh rambut rambut Aleeah. Sesekali membenarkan selimut di tubuh sang istri agar naik menutupi seluruh kulit yang terlihat.

“Bohong” balas Aleeah dengan mata sayu yang hampir terpejam.

“Kita diem aja ya le, ngga usah bilang papa ngga usah bilang mama diem aja. Saya ngga mau kacau lagi” kata Johnny akhirnya. Aleeah mengangguk menyetujui. Johnny masih betah menatap wanitanya dengan posisi seperti ini.

“Pak, pelukk, dingin” kata Aleeah dengan mata yang mulai terpejam. Johnny memajukan badan dan mempertemukan kulit mereka kembali. Mendekap erat memberi kehangatan.

Malam itu mereka sama sama mengakui bahwa akan bagaimanapun nanti ke depannya, Aleeah akan selalu milik Johnny, sebaliknya. Malam itu mereka saling menandai bahwa akan bagaimanapun kedepannya mereka adalah satu yang akan selalu sama sama saling menunggu.

“Ahh longgar banget” ucap Aleeah sembari merebahkan badannya.

“Saya buka ya le” tanya Johnny.

“Pak jangan, dingin” balas si perempuan sebari menghadang tangan suaminya.

“Kalo ngga dibuka ngga keliatan, sayangg”

“Tapi nanti dingin saya cuman bawa outer satu doang”

“Kamu punya saya kalo kamu lupa, saya peluk sampe pagi deh” balas Johnny lalu mulai mengoperasikan sesuatu hingga sunroof Range Rover yang mereka naiki saat ini perlahan lahan terbuka, menampilkan hamparan bintang yang mengotori langit malam.

“Yeeeee modus lo Johnny Seo” ejek Aleeah yang hanya dibalas suara tawa kencang dari laki laki di sebelahnya.

“Wihhh anginnya” celetuk Johnny pada dirinya sendiri. Pandangannya tetap tertuju pada terbukanya sunroof mobil baru Yudhis, mendongak ke atas mengamati setiap gerak benda baru ini, diam diam Johnny juga menyimpan keinginan untuk memiliki mobil serupa.

“Dingin ya ternyata hahahha” balas Johnny kembali seraya melemparkan tatap ke arah Aleeah. Si wanita, ternyata telah membuka tangan lebar lebar dan menatap Johnny dengan puppy eyes paling menggemaskan yang seketika itu pula membuat Johnny tertawa keras sekali.

“Dingin” balas Aleeah singkat meminta daksa si lelaki. Johnny kemudian bangkit dan memeluk Aleeah erat. Menghirup aroma bunga dari rambut sang wanita.

“Pulang aja lah pak” kata Aleeah di tengah pelukan mereka.

“Katanya ngga mau pulang” balas Johnny sembari terus mengusap surai lembut sang istri.

“Ya pulang ke apart bapak atau ke apart saya tapi berdua aja, yaaaaa?” jawab Aleeah sembari sedikit membuka pelukan menatap mata Johnny. Seketika Johnny tersenyum jahil penuh tanya.

Dirty mind, dirty mind, dirty mind” jawabnya. Aleeah kemudian memasang wajah panik dan melepaskan pelukan.

“Disini aja sampe pagi.” balasnya kemudian membaringkan diri di jok mobil yang sudah disetting agar dapat digunakan untuk tiduran.

“Katanya mau stargazing?” tanya Johnny menatap tingkah Aleeah.

“Ya ngga di pantai yang kosong melompong ngga ada orang begini dong pak, takut” balas Aleeah kemudian bangkit berhadapan dengan Johnny.

“Kosong melompong gimana, mereka kamu anggep apa?” balas Johnny sembari menunjuk di kejauhan terlihat beberapa orang sedang berapi unggun sembari memainkan gitar.

“Ya maksudnya, ck, maksudnya ini kita berdua aja pak disini. Kenapa harus disini banget si? Ini masih sepi banget pantainya”

Exactly sepi hehe” balas Johnny sembari mulai mengikis jarak mendekati Aleeah. Sang puan pun mulai merasakan degup jantungnya yang tak beraturan, berdetak kencang sejalan dengan batang hidung Johnny yang mulai buram di matanya, tanda bahwa jarak di antara mereka perlahan lahan telah memendek. Hening cukup lama hingga Aleeah rasakan hembusan nafas lelakinya mulai terasa di wajah cantiknya. Aleeahpun menutup mata, pasrah akan keadaan apa yang akan menimpa mereka berdua malam ini. Johnny tersenyum puas di depan wajah sang istri. Alih alih menyambar bibir, Johnny malah mengecup kecil hidung sang puan dengan bibir yang tak meninggalkan senyum barang sebentar.

Aleeah membuka mata, betapa terkejutnya dirinya ketika melihat wajah jahil Johnny di depan sana sedang mencoba menahan tawa yang Aleeah yakini, laki laki itu pasti sedang mentertawakan dirinya.

“Ngga lucu lo, Johnny anjir” kata Aleeah lalu kembali merebahkan badan dengan posisi memunggungi sang lelaki. Malu bukan main. Apa yang sebenarnya Aleeah pikirkan? Mengapa ia berharap bahwa Johnny akan berbuat lebih jauh dari yang sebenarnya terjadi? Aleeah malam ini kamu bodoh sekali.

“Hahahhaha aleeeee” panggil Johnny lembut. Tidak ada jawaban. “Aleeahhhhh” “Aleeeeeee” “Sayangggg” akhirnya sembari mengintip Aleeah di depan sana.

“Hey, beneran mau gini? Ngga usah malu biasanhyajuga kamu yang nyosor duluan kannn?” tanya Johnny tetap mengintip Aleeah dari atas berharap mendapatkan wajah istrinya yang terbenam dalam kedua tangan cantik sang puan.

“Diueheksn bsnsmkshsjsj'” balas Aleeah tidak jelas, suaranya tertahan oleh tangannya sendiri.

“Ngga denger saya ngga denger kamu ngomong apa” balas Johnny.

“Diem lo Jo-” adalah kata yang keluar dari mulut Aleeah segera setelah ia bangun dari tidur malunya, yang juga langsung terpotong karena Johnny dengan cepat memegang kedua rahangnya dan mempertemukan bibir mereka. Aleeah terkejut karena perlakuan mendadak suaminya, namun lama kelamaan ia membalas lumatan bibir sang lelaki.

Bertemu dengan perlahan lalu lama kelamaan saling melumat, cukup lama hingga hanya suara decakan yang dapat ditangkap telingga. Aleeah meremas baju bagian pundak suaminya. Menyalurkan debaran jantung yang tak dapat dijelaskan lagi seberapa kencang degupnya. Menyalurkan rasa geli dalam perut karena serangan yang tak ia kira kirakan. Setelah merasa puas dengan rasa manis masing masing baik Johnny dan Aleeah sama sama melepaskan punggutan, saling menatap dan meraup nafas dalam dalam. Johnny tersenyum, ia mengusap pipi mulus Aleeah dan berkata...

I said that i want you more” kata Johnny lalu mengecup pucuk kepala Aleeah dan memeluknya hangat.


“Ini beneran kita bisa liat sunrise disini pak?” tanya Aleeah yang berbaring di bangku sebelah sembari satu tangannya masuk ke selimut dan satunya lagi memegang tangan Johnny.

“Bener” balas Johnny santai sembari terus menatap indahnya langit malam dan berpegang tangan dengan sang puan. Sementara satu tangannya lagi ia jadikan bantal di belakang kepalanya. Ternyata, setelah memutuskan untuk tidak pulang, Johnny membawa Aleeah ke sebuah pantai tanpa penghuni, benar benar sepi hingga hanya ada beberapa orang pekerja yang Johnny sewa untuk menjalankan bisnisnya disana.

“Bener kan? Bapak ngga modus aja kan? Saya ngga mau buang buang waktu, kalo ngga bisa pulang aja” pasti Aleeah kembali.

“Saya itu pengusaha le, saya bangun resort disini udah survey dulu, kalo ngga ada apa apa saya mau jual apa? Beneran bisa, sabar dulu nanti jam empat an, sekarang ya gelap ngga ada apa apa emang” balas Johnny. Aleeah kemudian menolehkan kepalanya ke sang suami.

“Dasar ngga peka” katanya.

“Hah?”

“Saya ngantuk, maksudnya saya itu ngantuk, pak”

“Astagfirullah, yaudah tidur atuh cantik, kalo ngantuk ya tidur, ni begini, merem” balas Johnny memejamkan matanya dengan maksud memberi contoh Aleeah.

“Takut, gelap begini, ck” jawab Aleeah. Selanjutnya terdengar suara hembusan nafas kasar dari suaminya.

“Kan udah saya pegangin dari tadi, kurang?” jawab Johnny sembari mengangkat tangan mereka, memperlihatkan genggaman nyaman yang sama sekali tidak ada niat dilepaskan. “Tidur udah, tidur” kata Johnny lalu bangkit dan mengecup pucuk kepala sang istri. “Tidur le, saya disini, nanti kalo udah muncul saya bangunin, good night” tenang Johnny sembari menaikan selimut agar menutup seluruh tubuh sang istri. Setelah merasa aman, Aleeahpun perlahan menutup mata, mempercayakan dirinya pada Johnny malam ini, bahwa apapun nanti yang menganggu mereka, Johnny memegang tanggung jawab disana.

Sementara Aleeah menutup mata, Johnny masih terus menerus menatap indahnya bintang malam dengan selimut yang hanga sampai pada perutnya. Sesekali menoleh menastikan sang istri sudah benar benar pergi ke alam mimpi. Pikirannya melayang juh ke depan, ke keadaan bagaimana ia akan bertahan setelah hakim mengetuk palu bahwa pernikahannya sudah selesai. Bagaimana ia akan bertahan, bagaimana Aleeah akan menjalani hari hari tanpanya. Bisakah ia menhana rindu terhadap perempuan di hadapannya ini?

We all are sinner, we pay for what we did. – el