Setelah mendapat pesan teks dari ayah, Ali kemudian mengenggam bundaran panjang di sebelah kanan setir motornya. Ia pelintir benda tersebut sampai di batas maksimal. Melajukan kuda besi miliknya secepat mungkin agar segera menjangkau kediaman Deka. Wajahnya sesekali meringis, matanya bahkan berair ditampar kerasnya angin yang ia lawan di pukul delapan malam.
Seperti biasa, rumah Deka selalu terlihat tenang dan nyaman, sama seperti rumahnya. Tidak ada orang di luar, hanya ada pintu yang dibiarkan terbuka serta suara tv menyapa telinga yang Ali yakin juga tidak ada seorangpun yang benar benar menaruh atensi pada benda balok tersebut. Dari luar pintu dapat Ali lihat lantai satu rumah Deka kosong, kemudian ia menjauh, berjalan mendekati jalanan untuk melihat cendela di lantai dua yang ternyata lampunya menyala. Kamar Deka. Setelah memastikan sahabatnya belum tertidur, Ali kemudian mendekat lagi.
“Assalamualaikum, bundaaaaa” panggil Ali kepada perempuan yang sudah seperti ibunya sendiri. Tak ada jawaban, hilang selang beberapa lama sebuah suara menyaut dengan jarak yang cukup jauh.
“Waalaikumsalam, masuk le” jawab ayah keluar dengan sarung dan kaos oblong putih persis seperti ayahnya ketika di rumah.
“Bunda kemana yah?” tanya Ali sembari menaruh helmnya di atas meja. Tidak ada sungkan diantara keduanya.
“Nyari ceker sama Ale”
“Bangkit itu yang mana si, Li?” tanya ayah seketika Ali berlagak mengerti. Nafasnya tercekat, jantungnya berdebar, bulu kuduknya berdiri. Tidak memakai basa basi ayah melontarkan pertanyaan yang jawabanya Deka dan Ali tutupi selama ini.
“Deka sama Ali boleh pacaran tapi nanti, nanti kalo udah kerja. Sekarang sekolah dulu yang bener ngga ada cinta cintaan.” ucap kedua orang tua mereka. Maka untuk tetap mewarnai hidup, kegiatan pacaran yang mereka lakukan sudah mereka sepakati berdua bahwa harus sama sama dijaga dan di luar pengetahuan orang tua.
“Hehe, Deka mana yah?” tanya Ali ganti, enggan menjawab pertanyaan ayah. Ali takut. Selain dirinya, Deka juga pasti akan kena dampak jika Ali membongkar siapa Bangkit di hati Deka.
“Ya di kamar, dia ngga bangun, ngga makan, ngga apa, tidur terus ditawarin apa apa juga ngga mau” jawab ayah sembari mulai menaiki tangga menuju kamar Deka. Ali membuntut di belakangnya.
Di kejauhan dapat Deka dengar suara ayahnya sedang berbicara dengan seseorang yang ia juga hafal benar siapa. Badannya lemas, matanya bengkak, hatinya hancur, moodnya kacau. Ini pertama kali. Ini pertama kali untuk Deka menghadapi seramnya patah hati hingga sehebat ini.
Bangkit. Bangkit Juang Nagari, adalah laki laki pertama yang berani dan ia biarkan untuk menelisik hidupnya lebih dalam. Bangkit. Bangkit Juang Nagari adalah laki laki pertama yang Deka namai sebagai kekasih hati. Bangkit. Bangkit Juang Nagari adalah patah hati pertama Deka tapi juga sekaligus menjadi penawar lara. Sejak SMP, Deka memang tidak dikenal sebagai gadis yang suka berganti ganti pasangan, bahkan tidak pernah berganti pasangan. Untuknya yang pertama juga harus jadi yang terakhir, maka sehebat apapun Deka menuai pertengkaran dengan Bangkit, maka ia akan kembali lagi padanya. Begitu saja seterusnya sampai hari ini. Hari dimana ia tidak bisa kembali kepada laki laki yang menemaninya kurang lebih enam tahun, laki laki yang bersamanya mengarang cerita tanpa sepengetahuan orang tua. Laki laki yang akan Deka kenalkan kelak kepada ayah dan bunda. Laki laki yang amat ia sayangi, laki laki yang menghinatinya. Namanya, Bangkit. Bangkit Juang Nagari.
Dari kelas delapan SMP hingga semester 5 bukan waktu yang sebentar untuk Deka dan Bangkit saling mengenal. Bahkan dengan sengaja Bangkit selalu memaksakan diri untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi yang sama agar selalu bisa bersam Deka. Maka selama enam tahun itu pula, ditemani keberhati hatian agar tidak ketahuan, sudah sangat banyak memori yang terekam antara Deka dan kekasihnya.
Berbeda dengan Ali. Sabima Ali Aulia, dikenal sebagai seorang pemuda berbudi luhur yang baik sopan dan santun tetapi tidak pernah bertahan dan cukup hanya dengan satu wanita. Sama seperti Deka, Ali mulai mengenal cinta ketika ia berada di bangku sekolah menengah pertama, tapi Ali tidak seberani itu sampai harus melabel seorang gadis sebagai pacarnya.
Ali benar benar berani meminta Maureen menjabat sebagai kekasihnya ketika ia berada di bangku SMA. Hubungannya dengan Maureen juga tak jauh berbeda dengan buhungan Bangkit bersama Deka. Putus nyambung putus nyambung tidak jelas. Bedanya, ketika kata putus telah keluar memalui salah satu dari mereka, Ali akan mulai mendekati gadis lain dan jika perasaanya belum jelas, ia akan kembali lagi kepada Maureen. Begitu saja sampai akhirnya Maureen memutuskn untuk tidak akan menerima Ali kembali.
Karena sejatinya pertengkaran Ali dan Maureen sama seperti hal yang selalu didebatkan Bangkit dan Deka, jawabannya adalah sahabat mereka. Bagi Bangkit dan Maureen, hubungan Ali dan Deka bukan hubungan pertemanan biasa yang bisa disingkirkan dan diadu domba kapan saja. Apa yang Ali dan Deka miliki lebih berharga dari pada apa yang Ali dan Deka miliki bersama pasangan mereka. Maka untuk tidak mau merasa menjadi yang nomor dua, Maureen lebih dahulu mengakhiri tali sial antara dirinya dan Ali, sementara Bangkit memilih jalan lain dengan menjebak dirinya sendiri di situasi yang tidak mungkin Deka murkai.
Mereka berempat adalah dua pasang manusia yang sama sama menghunuskan pedang ke jantung masing masing. Terjebak di jurang kesakitan yang juga mencoba mencari jalannya sendiri sendiri ke permukaan.
Sudahlah, jangan pikirkan lagi bagaimana toxic dan rusaknya hubungan mereka, mari kita kembali kepada Deka yang mengurung diri di bawah selimut tebalnya. Tak lama setelah suara ayahnya mereda, pintu kamar dibuka. Masih sama seperti beberapa waktu yang lalu, Deka mencoba memejamkan mata sembari memunggungi pintu arah siapapun bisa menjamah dirinya.
“Dek, Ali ni” panggil ayah dari ambang pintu sembari menatap punggung anak sulungnya. Hening. Tidak ada jawaban dari Deka.
“Dek, ada Ali ini mbak, bangun ngga? Ayah cari juga ini yang namanya Bangkit. Udah dibilangin jangan pacaran dulu tetep aja” lanjut ayah. Masih tidak ada jawaban, yang Ali dan ayah lihat saat ini adalah sebuah pundak yang naik dan turun seperti menahan tangis di bawah selimut.
“Deka!” sentak ayah sudah di limit kesabarannya, hendak membalik Deka secara paksa. Di saat yang bersamaan pula Ali secara sengaja menahan tangan ayah agar tidak menganggu Deka dalam tangisnya.
“Yah, biar Ali aja yang ngomong sama Deka” kata Ali. Ayah lalu menghela nafasnya kasar untuk meredam amarah.
“Dari pagi dia ngga makan apa apa lo, begini jadinya kalo ngga nurut sama orang tua. Dibilangin jangan pacaran dulu. Tolong ya li” kata ayah lalu meninggalkan kamar anak perempuannya. Ali mengangguk mengerti, ia lalu mendekat ke arah Deka segera setelah memastikan sang ayah meninggalkan ruangan.
“Dek, bangun” ucap Ali berdiri di hadapan Deka.
“Bangun anjir gue tau lo ngga tidur”
“Lo takut sama ayah?” tanya Ali lagi. Masih tidak ada jawaban.
“Nanti gue bantuin ngomong sama ayah sekarang bangun dulu, makan” lanjut Ali. Selang beberapa lama tetap tidak ada balasan dari Deka. Ali mulai geram.
“Lo bangun atau Bangkit ancur?”
“Itungan ke tiga ngga bangun lo selesaiin semuanya sendiri, satu!” ancam Ali. Deka lalu membuka selimut memperlihatkan wajahnya. Ali menghela nafas begitu mendapati wajah cantik itu bengkak, hidungnya merah, matanya sembab.
“Bangun makan” lanjut Ali kemudian menarik kursi belajar Deka dan mulai membuka kantong kresek putih yang ia bawa sedari tadi.
“Gue ngga laper” ucap Deka dengan air mata masih menetes di pipinya sembari menyiblak selimut dan duduk menghadap Ali dengan dua kaki yang dilipat ke dalam.
“Gue ngga nanya lo laper apa engga, gue nyuruh lo makan.” kata Ali tegas sembari membuka kotak kotak makanan yang ia bawa. Setelah semua terbuka Ali menyodorkan sekotak ceker pedes kepada Deka. Tidak ada gerakan dan percakapan diantara keduanya.
“Ambil” kata Ali karena Deka hanya menatapnya tajam dengan air mata yang ia tahan tanpa berkata kata.
“Lo beli di deket PLN kampus?” tanya Deka lagi dengan suara yang sangat bergetar. Ali tidak menjawab, ia hanya menutup mata merutuki kebodohannya.
Ali lo anjing ucap Ali pada dirinya sendiri.
“Itu i i itu tempat biasa Bangkit, Bangkit beliin gue ceker, Li” kata Deka terbata bata. Ia kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangnnya, mulai kembali menumpahkan air mata.
“Dek sorry gue ngga maksud” balas Ali. Tidak ada jawaban lagi, hanya ada suara isakan tertahan yang datang dari sang puan.
“Dek please lo kenapa jadi menye menye gini si” ucap kali kehabisan kesabaran. Deka masih menangis tidak menjawab, menikmati setiap memori bersama Bangkit yang berputar di kepalanya. Ali agaknya semakin dibuat geram.
“Dek liat gue” kata Ali berpindah duduk di ranjang bersama Deka.
“Deka liat gue” katanya lagi sembari merebut kedua tangan temannya di depan muka, Deka sontak mengelak.
“Deka liat gue!” bentak Ali akhirnya. Deka membuka muka, menampilkan air mata yang tidak berhenti menetes barang sebentar saja. Ali bungkam, ia diam menatap bentuk sahabatnya sehancur ini. Ada kekesalan, ada rasa sayang, ada rasa menyesal dan kerinduan yang teramat sangat di mata Deka, bukan untuknya, ini untuk Bangkit.
“Apa? Lo mau apa?” tanya Deka ketika mata mereka bertemu dengan tangannya yang berada dalam genggaman tangan Ali. Pasalnya Ali masih tidak bisa berkata kata melihat keadaan Deka. Sehebat ini patah hati menghantam Deka.
“Kata lo gue boleh jatuh Li, gue boleh jatuh kan? Gue jatuh Li sekarang” ucap Deka berderai air mata. Hati Ali seketika remuk mendengar suara Deka yang terasa ngilu di telinganya.
“Gue bilang sehari Dek, bukan seminggu” ucap Ali pelan.
“Sakit Li, sakit banget” balas Deka sembari menundukkan kepala. Air matanya jatuh disana.
“Oke bangkit abis sama gue” balas Ali sembari bergerak berdiri yang kemudian langsung ditahan oleh Deka. Dalam pikiran Ali tidak ada yang lebih pantas untuk seorang laki laki yang menghamili gadis lain dan berakhir membiarkan pacarnya sendiri di jurang kesiksaan selain habis ditelan bumi. Ali bertekad akan memasukan Bangkit ke dalam tanah malam ini.
“Jangan gila” ucap Deka.
“Dia udah buat lo kaya gini, walaupun ngga mati seengaknya dia juga hancur Dek” balas Ali menatap Deka.
“Jangan, besok dia akad. Jangan Li” ucap Deka mengusap air matanya. Mencoba tegar dan berdiri kembali.
“Ngomong jangan sekali lagi gue berangkat beneran” kata Ali di tengah tengah tekadnya.
“Jangan Ali” ucap Deka pelan hampir tak bersuara. Ali tidak menjawab, ia beranjak meninggalkan kamar.
Bughhh
Ali berbalik. Deka sedang menatapnya dengan tajam.
“Gue bilang jangan!” bentak Deka. Ali kemudian memunggut hp yang Deka gunakan untuk menghentikannya barusan dan mendekat ke arah Deka dengan geram.
“Ini itu ngga adil, Dek!” bentak Ali masih berdiri.
“Gue tau!” balas Deka dengan nada yang lebih tinggi.
“Gue tau ini ngga adil. Yang bajingan Bangkit kenapa yang hancur gue? Ini ngga adil gue tau, yang jahat Bangkit kenapa yang kesakitan gue?! ledak Deka akhirnya.
“Gue tau ini ngga adil Ali. Gue nangis nangis disini karena si brengsek Bangkit malah jalan jalan sama cewenya, gue nangis nangis disini karena si brengsek Bangkit haha hihi sama cewenya gue tau ini ngga adil. Gue ngga nangisin Bangkit, gue nangisin diri gue sendiri kenapa gue masih aja sayang sama dia bahkan pas udah kaya begini. Kenapa gue bego banget Ali. Gue nangis karena Bangkit baik baik aja, tapi, tapi kenapa gue yang hancur? Kenapa Ali?” lanjut Deka kemudian menutup kembali wajahnya dengan kedua tangan. Sakit. Sakit sekali hati Ali mendengar kata kata yang keluar dari mulut Deka. Tidak ada jawaban lagi setelahnya, yang Ali lakukan adalah memeluk Deka seerat mungkin. Merengkuh jiwa sakit akibat ditinggalkan, mendekap daksa mungil yang kesakitan.
“Dek jangan kaya gini lagi, gue sakit liat lo begini” ucap Ali di telinga Deka.
“Bangkit jahat, Li” jawab Deka sembari memukul mukul kecil dada Ali. Tetap dengan air mata yang enggan untuk berhenti.
“Besok gue janji ngga nangis lagi, biarin hari ini aja gue begini” mohon Deka pada sabahatnya. Ali tidak menjawab. Ia hanya semakin mengeratkan pelukannya ke daksa Deka. Seakan mendapatkan keamanannya kembali, Deka membalas pelukan Ali.
“Ngga sehari nggapapa Dek, tapi jangan lama lama” akhir Ali. Setelahnya hanya ada usapan lembut di punggung Deka yang sesekali naik ke rambut hitamya, dibarengi dengan suara isakan tertahan di dada sang laki laki.
Malam itu Deka membiarkan sebagian dari dirinya pergi. Malam itu Deka biarkan Bangkit mengambil jalan hidupnya sendiri. Malam itu Deka biarkan patah hati terhebat menginterupsi hidupnya, untuk pertama kali. Malam itu, untuk Ali, ia diam diam berjanji akan menjaga Deka hingga perempuan dalam pelukannya, tidak perlu menghadapi kembali air mata hancur separah ini. Malam itu diam diam ayah mengetahui semua rasa sakit sang putri, untuk pertama kalinya, di balik dinding kamar Deka.