raellee

Jeffrey merengkul lengan tembam milik istrinya, begitu pula Alisya. Dengan nyaman memeluk Jeffrey sembari melambaikan tangan kepada teman temannya yang satu persatu mulai beranjak meninggalkan kediamannya karena syukuran yang ia buat secara dadakan.

“Ati ati cammmmmmm” teriak Alisya sembari melambaikan tangan. Satu persatu sahabatnya telah meninggalkan kekacauan yang mereka buat di tempat Jeffrey. Faraya yang pertama pergi dijemput kekasihnya, Camel kedua dengan supir pribadi sang papaa, tinggalah Aleeah, sedang memainkan kaki sedikit berjarak dari sepasang suami istri sembari menunggu lelakinya datang membawanya pergi.

“Anjing” ucap Jeffery terkagum sekaligus terkejut ketika melihat sebuah SUV berwarn abu abu seharga dua miliar lebih memasuki komplek perumahannya. Baik Aleeah maupun Alisya sama sama dibuat bingung akan tingkah lelaki 27 tahun itu. Tak lama mobil asing tersebut berhenti tepat di depan rumah Jeffrey. Kacanya turun, menampakkan Johnny di dalam sana tengah memegang kendali. Jeffrey tersenyum sembari berlalu mengagumi besi abu abu yang menjadi tumpangan sahabatnya malam ini. Tampan sekali pikirnya.

“Anjing, jadi beneran? Anjing turun Jo, gantian” ucap Jeffery. Johnny hanya tertawa dari dalam lalu menatap wanitanya. Aleeah masih diam kebingungan dan merapat ke arah Alisya. Mobil siapa ini? Mengapa kedua lelaki di hadapan mereka seolah tau siapa pemilik kendaraan mahal nan baru ini? Johnny kah? Jeffrey kah? Mengapa tidak ada koordinasi sebelumnya? Johnny kemudian membuka pintu dan memijakkan kaki sesuai perkataan Jeffrey.

“Yang, yang liat yang ganteng banget yang, satu ya yang yaa, ya yang yaa” “Bumilllllll” panggil Jeffrey kepada istrinya sembari terus menelisik setiap inci kendaraan besi.

“Apa siii? Engga.” balas Alisya lalu menyusul suaminya masuk ke dalam mobil, meneliti setiap detail canggih Range Rover Velar 3.0 yang terparkir di luar gerbang rumah mereka.

“Punya bapak?” tanya Aleeah polos ketika Johnny sudah lebih dulu mengambil tempat di sebelahnya. Yang ditanyapun menggelengkan kepala karena mobil itu memang bukan miliknya.

“Punya Yudhis” balas Johnny singkat sembari membenarkan anak rambut Aleeah. Sang wanita tidak menjawab. Ia hanya menatap mata lelakinya seolah meminta penjelasan lebih panjang.

“Beneran punya Yudhis le” ucap Johnny kembali, mengerti kode mata dari sang istri.

“Kenapa bapak yang pake? Kayanya masih baru?” tanya Aleeah merasa kurang dengan penjelasan sang suami.

“Dititipin ke saya, kalo ngga percaya ini stnknya ni nama Yudhis ni” balas Johnny seraya memberikan surat mobil ke pada Aleeah. “Ngga boleh beli mobil sama bundanya, suruh nikah dulu baru, tapi udah pengen banget, jadi ya gini, dititipin hahhaa” balas Johnny meyakinkan sang wanita. Binar matanya menangkap wajah Aleeah yang mendongak merasa tetap belum puas dengan penjelasan yang ia berikan, takut takut jika Johnny berbohong.

“Jo, gue bawa yaa?” izin Jeffrey dari seberang sana membuyarkan sesi interogasi yang akan Aleeah lakoni.

“Gak gak gak, turun turun” balas Johnny sembari mendekat.

“Bentar doang elahhh”

“Gak. Turun. Kalo punya gue bawa aja, masalahnya gue juga dititipin. Turun” titah Johnnh kembali. Seketika dapat Aleeah lihat bahu Jeffrey menurun. Kecewa akan jawaban sang suami.

“Beli sendiri anjir Jeff, jangan kaya orang miskin” lanjutnya. Jeffrey kemudian hanya menatap istrinya dengan binar mata memohon. Sedangkan Alisya masih tetap dingin seperti biasanya, melarang keras sang suami membeli mobil lagi.

“Gua balik udah, jangan kaya orang kaga punya duit Jeff elah, beli sendiri” “Ayo lee” minta Johnny undur diri. Jeffrey hanya mengangguk sedih.

“Makasih yaaaa” ucap Aleeah yang kemudian dibalas ucapan hati hati oleh Alisya. Sejurus kemudian baik Johnny dan sang istri sama sama melesatkan diri menjauhi Jeffrey, dapat Johnny lihat melalui kaca spion bahwa Jeffery sedang merengek ke istrinya, yang Johnny imani ia juga ingin membeli mobil yang serupa.

“Jeff jeff” kekeh Johnny.

“Ini beneran punya Pak Yudhis?” tanya Aleeah lagi yang sedari tadi memperhatikan sang suami. Kini atensi Johnny berpindah pada wanita di sebelahnya.

“Ya Allah beneran le, saya ngga bohong serius punya Yudhis” balas Johnny meyakinkan.

“Tapi emang beneran ngga papa kalo dibawa begini pak? Masih baru loh”

“Nggapapa orang yang bayar parkirnya saya, ngga akan marah si Yudhis paling ngamuk kecil” jawab sang lelaki santai.

“Tapi lucu juga, udah tua harus izin ke bundanya haha”

“Ya dia ngga punya istri. Tanaka juga gitu apa apa masih mamanya, makanya Yudhis sama Tanaka selalu disuruh cepet cepet nikah biar mamanya bisa bebas hahaha” balas Johnny.

“Hahahhaha” balasan Aleeah seperti tidak menaruh minat pada obrolan Johnny. Ia hanya terus menerus melihat ke luar jendela. Duduknya gelisah. Pikiranya hanya berputar di'bagaimana caranya biar ngga langsung balik, gue masih mau sama Pak Johnny tapi gensgi masa gue duluan.'

“Le, mau night drive?” tanya Johnny setelah hening beberapa lama. Aleeah menoleh ke arah sang suami, diiringi dengan senyum mengembang yang cantik rupawan.

“Hahaha mau?” tanya Johnny kembali.

“Mau!” jawab Aleeah antusias.

“Mau kemana?” tanya Johnny kembali.

“Kemana aja asalkan jangan pulang, saya mau sama bapak malam ini” balas Aleeah tetap menaruh atensi pada sang lelaki. Johnny menatap manik mata perempuannya lekat sembari kedua tangan tetap menggenggam kendali.

Should we?

Johnny membuka pintu apartmentnya dengan kasar. Pundaknya turun, matanya sayu, rambutnya lepek serta kakinya seolah sudah tidak dapat ia ajak melangkah. Menghajar malam selama dua hari berturut turut, ternyata menghabiskan tenaga serta suara, karena pasalnya ia harus selalu siap siaga ketika rekan perusahaan dari luar negerinya memberi aultimatum, karena ternyata, lagi, si rekan adalah teman lama sang papa.

Lelah dilibas pekerjaan membuat Johnny hanya ingin berbaring dan memejamkan mata hingga fajar tiba. Pukul 2.54 pagi Johnny terlihat memasuki kediamannya. Melepas sepatu kemudian membiarkannya tergeletak di lantai, menanggalkan jas kemudian melemparkannya ke segala arah, membuka kaus kaki kemudian melemparnya ke tempat dimana sepatu berada, membuka dasi kemudian memasukannya ke saku baju. Tubuhnya lelah. Lelah sekali, selama perjalanannya mencapai rumah pikirannya hanya satu, berharap Aleeah ada dan memeluknya hingga petang menjelma terang.

Beberapa kali Johnny memukul mukul kepalanya sendiri agar tetap berada di batas kesadaran. Berlalu ke dapur lalu meneguk beberapa gelas air untuk sekedar menetralisir keadaan. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, suasa sepi, jalanan di luar cendelanya nampak lenggang, sementara tetangga tetangganya juga nampak tenang. Tidak ada yang aneh bagi Johnny, hingga otaknya menangkap suatu hal yang sangat janggal. Sudah menjadi kebiasaan bagi Johnny bahwasanya ketika ia meninggalkan rumah, maka lampu, air, ac, pasti akan dalam keadaan mati, namun berbeda saat ini kembali malam ini.

Baru ia sadari, ternyata ketika ia memasuki apartment, seluruh lampu di dalam ruangan dalam keadaan menyala. Terang benderang adalah hal pertama yang menyapa matanya. Sadar akan keanehan yang terjadi, otak Johnny kemudian mencerna beberapa kemungkinan yang akan ia hadapi. Kegiatannya terhenti. Ia taruh gelas berisi air dengan sedikit sisa ke atas meja makan. Siapa yang menerobos masuk apartmentnya? Matanya mulai mengedar ke segala arah. Kepalanya berkali kali menengok kanan kiri depan belakang berjaga jaga jika jika ada seseorang disana. Apartmentnya sepi, rumahnya kosong. Johnny semakin geram hati.

Setelah memastikan bahwa lantai pertama terpantau aman, Johnny memutuskan untuk naik ke atas, masih dengan langkah yang mengendap endap seakan takut seseorang akan memergokinya walaupun ia berada dalam rumahnya sendiri. Otaknya benar benar tidak bisa diajak bekerja sama, tidak ada pikiran pikiran baik yang memenuhinya. Bahkan, tangannya sudah siap, mengepal meninju siapapun maling yang diam diam menerobos masuk ke kediamannya.

Sampai di lantai atas, mendadak Johnny menghembuskan nafas lega. Matanya menangkap kamar tidur yang tak ia jamah dua hari lalu, ternyata sedikit terbuka dengan lampu yang juga terang menyala menandakan seseorang ada di dalam tempat kesukaannya. Bibir Johnny naik ke atas, hatinya menghangat, pikirannya kembali ke tadi pagi mengenai janji Aleeah akan pergi menemuinya. Dibawanya kaki jenjang yang tadi seolah sudah tak dapat dibuat berjalan untuk segera masuk ke ruangan.

Benar saja, seorang perempuan dengan selimut tinggi mencapai leher sedang tidur membelakangi pintu dimana Johnny berdiri. Lagi lagi si lelaki bernafas lega, senyumnya mengembang dengan sempurna. Tanpa berlama lama Johnny memutar jalan hingga berada di sebelah ranjang Aleeah. Naik ke atas dengan hati hati seolah enggan membangunkan sang wanita. Senyumnya masih merekah indah. Begitu kepalanya menyentuh seprei satin berwarna biru tua, matanya juga menangkap seorang wanita sedang terlelap dengan damai di sebelahnya. Diam saja Johnny pandangi wajah cantik Aleeah. Senyumnya belum rela meninggalkan bibir hitam akibat nikotin yang setiap hari menyapanya.

Lama kelamaan tangan Johnny naik ke kepala sang puan. Mengusapnya lembut sambil sesekali membenarkan anak rambut yang mulai tumbuh, berharap Aleeah akan segera sadar dan memberinya izin untuk menjamah lebih jauh. Benar saja, 10 menit sejak tibanya Johnny di atas ranjang, Aleeah mulai membuka mata, terganggu oleh seseorang yang ia juga yakin, suaminya. Sayup sayup Aleeah membuka mata, ia lihat seorang lelaki dengan wajah lelah tetapi tetap sumringah sedang menatap ke arahnya.

Sadar Johnny telah pulang, Aleeahpun ikut tersenyum kemudian memutar badan, melihat pukul berapa ia berada sekarang. 3.13 pagi, ia kemudian kembali menghadap sang suami. Sebentar mengumpulkan nyawa dan beradu tatap dengan suaminya.

Cuppp

Satu kecupan Aleeah layangkan pada pipi sang lelaki. Wajah Johnny jangan ditanya lagi, susah payah ia tahan senyum serta merah merona di wajahnya hanya agar tidak terlihat salah tingkat di pagi buta.

“Buka pak saya mau recharge” ucap Aleeah sembari mulai mengikis jarak diantaranya, meminta Johnny memberikan dekapan nyaman.

“Le, yang cape saya kenapa yang recharge kamu?” tanya Johnny dengan tenang. Aleeah tak menjawab. Ia hanya terus menerus mendusal ke depan hingga kepalanya mencapai dada Johnny. Dengan tawa gemas yang mengisi segala ruangan, Johnnypun membuka pelukan, mempersilahkan wanitanya untuk mengisi kekosongan yang ada. Aleeah kemudian melingkarkan tangannya di tubuh Johnny dan mulai menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Matanya masih sama, engga untuk terbuka. Pikiran keduanya saat ini berada pada satu titik yang tidak berbeda. Nyaman. Nyaman sekali.

“Saya juga cape” balas Aleeah singkat masih dengan mata yang tertutup.

“Cape ngapain? Kamu emang ngapain aja? Cerita sama saya” balas Johnny dengan mengusap punggung sang wanita mencoba menyalurkan kenyamanan lebih dalam.

“Cape kangen sama bapak, cape banget tiap hari kangen” gombal Aleeah mengeratkan pelukan. Johnny tertawa renyah di tengah malam.

“Kan saya udah bilang, kalo kangen bilang hahaha”

“Gengsi dulu aja bos, kangen nomor dua” balas Aleeah tetap menutup mata. Johnny lagi lagi tertawa melihat tingak gemas wanitanya.

“Eh bapak, tadi katanya mau cium istrinya ya? Sama Alalh boleh soalnya udah suami istri” lanjut Aleeah sedikit membuka dekapan. Ia mendongak ke arah sang suami dengan bibir sedikit dimanyunkan, tetap dengan mata yang enggan membuka. Johnny lagi lagi tertawa. Beribu kupu kupu telah menyerang organ organ dalamnya, masih sedikit kaget dengan tingkah clingy sang istri.

Cuppp

Ditempelkannya bibirnya dengan bibir sang wanita. Kedua tangan Johnny telah berada di rahang sang Aleeah, mengusapnya perlahan. Aleeah kemudian membuka mata, menangkap netra lelakinya. Keduanya tersenyum seolah mulai bicara serindu apa masing masing tanpa kehadiran pasangan mereka. Setengah empat pagi mereka hanya berisi suara kekehan kecil dan kecupan yang senantiasa mengudara mengisi ruang ruang kosong di dahi Aleeah. Ditangkap telinga bersama suara degup jantung keduanya yang terdengar sekali mencoba dikendalikan serta dekapan hangat saling menghangatkan.

“Pak Johnny mandi dulu” minta Aleeah kepada sang suami.

“Sebentar, saya cape bangettt” balas Johnny.

“Mandi dulu nanti pelukan lagi sampe pagi”

“Jangan tidur ya tapi” minta Johnny. Aleeah kemudian mengangguk sebagai tanda ia setuju dengan permintaan sang suami. Johnnypun berlari kalang kabut ke kamar mandi. Tak yakin Aleeah akan mengabulkan permintaannya, mengingat membuka mata sudah menjadi usaha paling besar yang Aleeah lakukan di ujung malam ini.

Sepuluh menit berlalu Johnnypun mulai menampakkan diri. Rambutnya basah serta auranya terlihat lebih segar dibanding sebelumnya, membuat Aleeah tersenyum manis penuh arti. Dengan handuk yang masih melingkar di leher, Johnny berjalan sedikit cepat ke arah wanita yang sedang merentangkan tangannya lebar lebar sebagai tanda bahwa pelukan itu miliknya, milik Johnny, milik suaminya.

Come in my baby, come in” kata Aleeah dengan mata yang tidak sepenuhnya terbuka. Benar pikir Johnny, membuka mata saja sudah menjadi hal besar untuk Aleeah. Maka setelah menyimpan handuk basahnya di hangar, Johnny buru buru menghambur ke arah sang istri, memulangkan rindu ke tempat yang seharusnya. Aleeah tersenyum. Dapat ia rasakan hembusan nafas Johnny sampai ke tengkuk lehernya.

You did great Pak Johnny, terima kasih yaaaaaa hari ini udah bekerja, hebattt suami aku hebat” apresiasi Aleeah untuk suaminya malam ini.

“Kamu juga le, saya mau cerita banyak tapi ngantuk” balas Johnny tenggelam dalam ceruk leher istrinya. Sepersekian detik ada perasaan asing yang Johnny rasakan, ketika Aleeah membahasakan dirinya sebagai suami dan memanggil diri sendiri dengan aku. Asing, namun ia menyukainya. Aleeah kemudian mengusap lembut rambut separuh basah milik si pria dan mendaratkan kecupan singkat sembari berkata

“Yaudah tidur, saya juga ngantuk, ceritanya besok lagi ya pak masih ada hari besok tenang” ucap Aleeah mulai merancau. Johnny dengan segala kesadaran yang masih tersisa kemudian membuka pelukan. Mensejajarkan wajah dengan wajah istrinya kemudian menarik daksa mungil Aleeah untuk masuk ke dalam dekapannya.

“Good morningggg” sapa Johnny lalu mengecup kembali dahi sang istri. Aleeah tersenyum sembari mengeratkan pelukannya. Matanya masih saja tidak bisa dibuka lama lama. Ia kembali ke alam mimpi dengan suaminya di sisi ranjang.

Pagi mereka dihabiskan dengan saling memeluk dan mengucap kerinduan. Selamat pagi, Aleeah dan Johnny.

Shannon menggendong kedua anaknya dengan posisi favorite mereka. Satu mendapat pundak kiri dan satu mendapat pundak kanan. Tidak menangis dengan kencang, Jodi dan Samara agaknya hanya ingin menempel ke induk mereka.

Nyeri yang mereka rasakan di sisi lengan masing masing, menyebabkan demam tidak terlalu tinggi menyerang. Sebenarnya sudah biasa. Bagi balita, mendapat panas sehabis vaksinasi adalah hal yang lumrah terjadi. Tetapi namanya saja balita, biasa pun mereka tidak akan menormalisasi hal tersebut. Demam adalah hal yang tidak mengenakann bagi Jodi dan Samara.

“Duduk ya nak, mama duduk ya nak” kata Shannon lalu mengambil bangku di sisi ranjang. Belun juga pantatnya menyentuh seprei, baik Jodi maupun Samara sama sama mulai menyuarakan protes mereka. Merengek dengan kencang, seakan menolak sang ibu untuk beristirahat barang sebentar.

“Bobo, kalo ngga mau duduk bobo yaa, mama capek sayang” ucap Shannon kemudian, sendirian. Pundaknya sudah amat sangat kebas, lengannya bahkan sudah tidak bisa digunakan untuk merasa. Tiga puluh menit berada pada posisi seperti ini agaknya mulai menguras tenaga Shannon. Peluh yang menetes melewati pelipisnyapun sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Shannon kwalahan. Kwalahan dengan sikap sang anak kali ini.

Selama hampir dua tahun merawat mereka, efek samping vaksinasi belum pernah separah ini. Sama seperti di rumab sakit kemarin, rengek dan manjanya semakin menjadi jadi. Mungkin, duhulu ketika masih bayi dan belum mengerti apa apa, jadi Jodi dan Samara hanya perlu mendapat pelukan hangat dari orang tua mereka, terlepas itu papa atau mamanya. Namun, ketika sudah mulai tumbuh dewasa, kiranya dekapan hangat saja tidak cukup. Perlu penjelasan panjang mengenai mengapa mamanya yang disana? Apa yang dilakukan papa? Mengapa papa tidak ada? Mengingat, seburuk apapun suasana hati mereka, pawangnya hanya satu, si papa. Tidak perlu bersusah payah mengeluarkan asa, kehadiran Jaehyun saja sudah memperbaiki suasana.

“Ya Allah nak, maaf, sakit yaa? Ngga enak yaa?” ucap Shannon dengan suara bergetar. Ada perasaan sesal dalam kalimat singkatnya. Menyesal karena malah menyuruh suaminya pergi. Menyesal karena merasa bisa sendiri. Menyesal karena anaknya terluka. Air mata ternyata sudah membahasi pipi ibu dua anak itu malam ini. Mengalir dengan lirih dan berhati hsti seolah menyembunyikan diri dari dua kurcaci kecil dipelukannya.

“Mbak?” panggil Jeno dari ambang pintu. Shannon kemudian menoleh dan mengusap air matanya menggunakan lengan semampu yang ia bisa.

“Yok” balas Shannon terdengar tegar kembali.

“Sama kakak yok? Ayokk adek sama kakak yok?” ucap Jeno kepada keponakannya. Meminta dengan kehati hatian siapa tau ia bisa barang sedikit meringankan beban iparnya. Membahasakan diri sebagai kakak karena ia merasa tua jika dipanggil dengan sebutan om.

“Amauuuu” bantah Samara kemudian merengek kecil dalam dekapan ibunya. Sementara Jodi hanya menenggelamkan kepala di ceruk leher sang ibunda dengan tangan mengalung semprna, sembari terus bergerak berusaha memejamkan mata.

“Udah udah, biarin, ayok jen” jawab Shannon lalu mendahului adik iparnya untuk sampai ke depan rumah dimana mobilnya berada. Ada perasaan iba dalam diri Jeno ketika melihat istri kakaknya menggendong kedua keponakannya secara bersamaan. Dapat Jeno bayangkan, sekuat apa bahu Shannon untuk menopang beban kedua anak kembarnya. Dapat Jeno bayangkan setegar apa hatinya hingga bola mata sang ipar memancarkan keikhlasan tanoe mengharapkan sedikitpun imbalan. Dapat Jeno bayangkan, sekuat apa mama dan para ibu di dunia.

I'll be married another Shannon kak, so I'll be my own Jaehyun.” batin Jeno dalam hati.

“Masih rewel mbak?” sapa penjaga rumah tatkala melihat keadaan Shannon saat ini. Menanyakan kabar kedua anaknya. Shannon hanya tersenyum sembari mengangguk sebagai jawaban.

“Titip rumah ya, tak tidurin anak anak bentar” lanjut Shannon setelahnya.

“Ini gimana mbak?” tanya Jeno di dalam mobil, melihat keadaan mereka. “Ini beneran ngga pake carseat?” lanjutnya meyakinkan sang ipar.

“Beneran” jawab Shannon yakin sembari menatap netra coklat sang adik yang sama persis seperti milik suaminya.

“Mbak, lo utang nyawa sama gue” balas Jeno lagi, ketakutan.

“Hahahah makanya jangan ada yang bilang. Jangan cepu ke Jaehyun biar kita sama sama masih bisa menikmati dunia hahahha” balas Shannon tak kalah takutnya.

“Emang aneh banget” balas Jeno mulai menyalakan mesin mobil sang kakak ipar.

“Sekali sekali ngga ditaro carseat lah ya biarin ya nak, jangan bilang papa ya nak. Mas Noah dulu suka mama boboin begini kalo lagi rewel, diangin anginin. Bismillah bobk ya nak, bobo sayang yaaaa” ucap Shannon kepada kedua anaknya sembari mengecup kecil pucuk kepala mereka. Rasanga nyaman. Jodi dan Samara mulai menutup mata walau mobil baru berjalan di sekitar komplek perumahan. Agaknha dekapan sang mama lebih menghangatkan, dari pada carseat yang menjamin keamanan mereka berdua. Maka, dengan dua anak di atas paha, Shannon mulai mengusap usap punggung keduanya seakan menyalurkan rasa aman.

“Jen, kacanya turunin dikit” pinta Shannon.


“Alhamdulillah Ya Allah” kata Shannon amat sangat lega ketika anaknya berhasil dibaringkan dengan selamat dengan mata terpejam. Panasnya belum turun namun sudah mulai tertidur.

“Ya Allah tangan gueeee, kaya mau copot Allahuakbar” lanjutnya lagi dengan suara tertahan, takut takut membangunkan sang anak. Jeno hanya berdiam mendengar setiap keluh kesah yang keluar dari mulut sang ipar.

“Jen, dek, tolong ambilin sarung warna item polos di lemari dong, ada dua ambil yang atas ya” minta Shannon kepada Jeno yang sedetik kemudian Jeno mulai menjalankan perintahnya. Berlalu ke kamar sang kakak dan istrinya.

“Ini?” tanya Jeno sembari memperlihatkan sebuah kain berwarna hitam yang sebenarnya tidak terlalu polos, ada corak abu abu di antaranya.

“Seratuss, makasih ya” terima Shannon. Kemudian ia membaui wangi sarung sang suami. Sarung yang selalu Jaehyun gunakan untuk sholat jumat dan menunaikan ibadah ketika di rumah.

“Bobo ya nak yaa, pinter yaa, nanti kalo bangun boleh tapi pas mau pagi aja, yaa? Mama sendirian, kasian Kakak besok kuliah” ucap Shannon sendirian kepada kedua anaknya seraya menyelimuti mereka dengan sarung sang suami, kemudian mengecup pipi masing masing dengan berhati hati.

“Cape ya mbak?” tanya Jeno.

“Apa ya, udah mulai ngerti mereka itu, jadi emang harus dijelasin banget banget banget, padahal diajak ngomong juga belom ngeh tapi udah ngerti gitu lo jen” “Ya baru ini kaya begini, biasanya juga biasa aja, terakhir beberapa bulan yg lalu udah lama kok” lanjut Shannon.

“Bapaknya banget yaa, selimutan sarung doang masa langsung anteng, hahah” jawab Jeno heran terhadap tingkah laku kedua keponakannya. Shannon lalu mangambil duduk di sisi ranjang, menyelonjorkan kakinya barang sebentar.

“Makanya, kalo rewel, nangis, izin perizinan itu masalah papanya emang. Gue bagian jelek jeleknya doang huftttt” balas Shannon sembari menatap buah hatinya. Perasaannya lega. Lega sekali melihat anaknya tertidur cukup pulas dalam dekapan hangat sang papa, walaupun hanya perwakilan. Tak lama suara pintu rumah terdengar terbuka. Jeno meminta izin undur diri untuk melihat siapa gerangan di bawah sana.

Setelah Shannon iyakan, ia kemudian pergi dan Shannon mulai menikmati waktunya sendiri. Hanya berdiam diri sembari memulai kegiatan favoritenya tanpa sang suami. Memperhatikan setiap inci wajah sang buah hati. Mempertanyakan benarkah dua manusia ini adalah anaknya? Benarkah mereka keluar dari dalam perut Shannon? Benarkah ini adalah hasil cintanya dengan sang suami? Bagaimana nanti jika mereka harus menghadapi kejamnya dunia? Siapkah Shannon menjadi garda utama membela anak anaknya? Banyak pikiran pikiran random yang selalu ia tanyakan pada dirinya sendiri sembari melihat anak anaknya tertidur. Hal yang paling sering ia gemakan adalah kapan Jodi dan Samara tumbuh sebesar ini? Bukankah waktu berlalu, Shan?

“Jen, kok gue bau bauan parfum kakak lo ya?” gumam Shannon masih memandang kedua anaknya di atas ranjang. Posisinya kini berubah menjadi duduk di lantai dengan kepala menumpu di kapuk empuk tempat anaknya berbaring. “Ngga lucu kalo Jaehyun tiba tiba pul-” kata kata Shannon terhenti karena melihat suaminya sedang berdiri di ambang pintu. Memperhatikannya sedari tadi. Disusul Jeno di belakangnya.

“Lo apain anak gue?” sapa Jaehyun yang kemudian berlalu masuk ke dalam kamar.

“Huhhhh” terdengar helaan nafas panjang dari sang lelaki ketika ia menempelkan telapak tangannya ke masing masing dahi sang anak. Panas sudah nampak turun rupanya dari kali terkahir Jaehyun meninggalkan mereka. Suasana mendadak menjadi sangat sunyi. Shannon hanya merubah posisi yang tadinya duduk di lantai, menjadi naik ke tepi ranjang. Diam mengunci mulut seakan tahu apa yang akan dilakukan oleh sang lelaki.

“Gue tidur ya?” buka Jeno menyapu kesunyian.

“Heem, makasih ya om” balas Shannon.

“Kak! Om siapa si” balas Jeno kesal sembari berlalu pergi.

“Makasih cil” balas Jaehyun dan tidak ada jawaban lagi. Keadaan menjadi sunyi kembali. Shannon hanya menundukan kepala sebagai tanda bukti penyesalannya. Sejurus kemudian terdengar suara helaan nafas panjang lagi berasal dari sang suami. Shannon kemudian menaikkan pandangannya menatap Jaehyun yang sedang berkacak pinggang sembari menatap heran kearahnya, dari atas sana.

“Makasih ya, Shan” ucap Jaehyun kemudian berjongkok dan memeluk hangat sang istri. Shannon masih terdiam. Tidak menjawab atau bahkan membalas pelukan suaminya. Ia terdiam karena perlakuan aneh sang suami. Bukannya seharusnya Jaehyun marah? Ini lebih menyeramkan dari pada dicaci maki oleh suaminya sendiri. Shannon membuat kesalahan, dan Jaehyun harusnya marah akan perbuatannya kali ini.

“Kamu pasti kalut banget? Makasih ya maaaa, kamu kuat banget Shan. Makasih yaaa” lanjut Jaehyun sembari mengusap punggung Shannon.

“Makasihhhh, maaf yaaa harusnya aku ngga berangkat aja tadi” ucap Jaehyun membuka pelukan, kemudian mengecup singkat dahi sang istri.

“Takuttttttt” buka Shannon akhirnya, seraya memainkan jemari. Masih enggan menatap mata suaminya. Suaranya bergetar, ada tangis yang ia tahan.

“Hey hey look at me kamu hebat Shan. You take control for the storm kamu hebat. Kamu mama yang hebat” “Makasihhh, maaf yaaaa” ucap Jaehyun memegang kedua pipi istrinya. Meyakinkan Shannon bahwa Jaehyun, tak main main dengan kalimatnya. Shannon memang hebat. Pelupuk mata Shannon sudah penuh dengan air mata yang siap ditumpahkan.

You did great today, you always do your best as a mom, as a wife, as a child, as a ceo, as a friend, as a human. That's enough Shan, you enough and i proud of you. Aku bangga banget sama kamu” lanjut Jaehyun menenangkan istrinya yang entah mengapa pundak sang wanita malah naik turun tidak karuan dengan air mata yang mengalir deras. Isaknya tertahan. Agaknya Shannon juga sedikit bangga pada dirinya sendiri karena mengatasi hal ini tanpa bantuan dari sang suami.

“Hebat banget bini gue aduhh pengen cium” canda Jaehyun di sela sela tangisan istrinya, dengan niat memberhentikan tangis Shannon lebih cepat.

“Papaaaaaa?” suara Jodi disana. Ia membuka mata dan menatap ayahnya yang sedang menenangkan sang ibunda. Seketika mendengar suara anaknya memanggil Shannon langsung membuang muka dan mengusap seluruh air mata yang ada. Sedangkan Jaehyun berlalu menyapa anak pertamanya.

“Hallooooo, kok bangun, aduhh aduhh” katanya lalu mengangkat Jodi dan menepuk nepuk pundak sang anak. Seperti biasa, Jodi menenggelamkan wajah di ceruk leher sang ayah sembari mengisi paru parunya dengan wangi khas milik sang penyelamat dunia.

“Ngga enak ya nak? Ngga enak ya badannya ya?” gumam Jaehyun sembari menggoyang goyangkan kecil gendongan Jodi.

Cupppp

Satu kecupan melayang di pipi sang lelaki. Shannon tersenyum menatap suaminya.

“Makasih” katanya dengan suara pelan yang nyaris tidak terdengar. Dengan satu tangan menopang Jodi, satu tangannya lagi Jaehyun gunakan untuk merangkul pundak sang istri. Ia kemudian mendaratkan ciuman lembut di dahi Shannon cukup lama. Memulangkan bibir ke tempat yang seharusnya. Seakan mendapatkan kembali rumahnya, Shannon mengalungkan kedua tangannya, memeluk daksa tegap suaminya. Mengadukan segala bentuk jahatnya dunia hari ini, kepada rumahnya.

Shannon mengira, bahwa kehadiran Jaehyun hanya berlaku bagi Jodi dan Samara. Eksistensi Jaehyun yang hanya diam tidak melakukan apa apa hanya berlaku bagi Jodi dan Samara. Namun, malam ini ia sadar, dari pada anak anaknya, Shannon jauh lebih membutuhkan Jaehyun di sisinya.

Apartment yang biasa Aleeah gunakan untuk sekedar bermalam bersama suaminya tanpa sepengetahuan papa dan mama mertuanya sore ini nampak rapi. Biasanya ketika ia pergi ke tempat sang suami, maka lampu utama tempat itu masih padam dan suasana masih gelap gulita. Namun berbeda dengan sore ini. Ia lihat piano yang belum pernah sama sekali ia tangkap dengan kedua bola matanya sejak pertama kali wanita itu menginjakan kaki di rumah Johnny. Piano serta bucket marah di atasnya, dengan lampu ruangan yang telah menyala menandakan seseorang pasti sudah berada disana. Aleeah kebingungan. Otaknya mencoba menerka nerka keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi.

“Pak johnnyyyyyy?” teriak Aleeah sembsri meletakkan tas di sofa utama dan mulai celingukan kesana kemari. Berjaga jaga apabila suaminya telah ada disana sebelumnya.

“Bapakkkkkk?” panggil Aleeah kembali. Namun nihil. Tidak ada jawaban. Hanya sura kesunyian yang ia dengar. Setelah yakin bahwa hanya dirinya seorang di dalam ruangan. Aleeah kemudian berjalan ke arah dapur yang mana harus melewati tangga untuk menuju kesana. Di tengah langkah kakinya, seperti umumnya wanita biasa, Aleeah melepaskan hal yang ia amat sangat menganggu hidupnya.

Cetakkk suara berasal dari punggung Aleeah.

“Ahhh lega” katanya lalu berjalan riang ke arah dapur. Belum sampai mencapai meja makan, kaki Aleeah seakan dihentikan secara paksa. Pasalnya matanya menangkap laki laki yang sedari tadi ia cari sedang menatap sanggung ke arahnya dengan mulut penuh air serta tangan yang memegang gelas dan mata yang mengerjap ngerjao seolah melupakan bunyi benda elastis yang ia dengar beberapa waktu yang lalu.

Aleeah mengulum bibirnya ke dalam. Wajahnya memerah. Tangannya meremas celana bagian sampingnya. Nafasnya tercekat. Kalah telak. Ia telah mempermalukan dirinya sendiri.

“Bapak udah pulang?” buka Aleeah akhirnya. Johnny masih diam. Ia kemudian menelan air dalam mulutnya dan menggaruk tengkuknya tanpa alasan.

“Lain kali lihat dulu ada orang apa engga le” balas Johnny kikuk. Pandangan mereka bertemu. Sepersekian detik setelahnya pandangan mata Johnny mulai turun tepat ke dada Aleeah.

“Mesum lo Johnny!” teriak Aleeah sembari menyilangkan kedua tangannya ke deoan dada.

“Apa apaan?!” bantah Johnny.

“Liat apa lo? Liat apaa, lo?!” teriak Aleeah dari seberang sana. Johnny sontak. Memutar badannya ke samping.

“Kamu duluan yang lepas bra sembarangan ya” bela Johnny kembali. Keadaan semakin tak terkendali. Aleeah semakin menjadi jadi. Matanya melotot mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut lelakinya.

“HEH? APA APAAN LO? MEREM NGGA LO?!” teriak Aleeah semakin panik.


“Apaa?” tanya Aleeah sembari milirik sinis suaminya tat kala keadaan sudsh sedikit dapat Johnnh kuasai. Keduanya duduk di kursi depan piano yang telah Johhny siapkan sebelumnya.

“Nih” jawab Johnny sembari memberikan bucket bunga pada Aleeah tanpa menatapnya secara lagsung. Alias sama sama melirik sang puan dari samping.

“Apaa ni?” jawab Aleeah menerima bucket yang Johnny berikan. Masih belum mencair.

“Ya apaan itu diliat” balas Johnny singkat.

“Ya maksudnya?” tanya Aleeah.

“Ya itu bunga Aleeah Pramesti, dilihat dulu sayang” jawab Johnny sedikit kesal.

“IH APAAN SII?!” teriak Aleeah terkejut.

“Jangan salting dong ahahahha” balas Johnny sembari tertawa.

“Pak Johnny apaan si” jawab Aleeah merajuk. Wajahnya merah padam. Ini hanya kata sayang yang keluar dari mulut Johnny namun Aleeah dibuat tersipu karenanya.

“Dengerin” lanjut Johnny mulai memainkan jemarinya di atas piano.

Berdiam di dalam rumah ini denganmu“ “Dari malam hingga malam lagi

Aleeah terbangun karena lehernya merasakan hembusan nafas hangat dengan hidung yang ia yakini lebih tinggi dari miliknya. Ia membuka mata lalu menutupnya kembali tat kala kepalanya berdenyut kecang, seperti mendapat hantaman keras oleh benda tumpul. Nyawanya masih diambang kesadaran, belum sepenuhnya terbangun tetapi juga tidak sepenuhnya tertidur.

Tak lama, Aleeah rasakan sesuatu bergerak di sebelahnya. Seolah mencari posisi lebih nyaman dalam lengan dan leher Aleeah. Merasa seseorang sedang mengalungkan tangan pada perutnya, Aleeahpun membuka mata dengan perlahan. Kamarnya. Kamarnya di apartment Johnny. Sedetik kemudian ia temukan sang suami sedang memeluknya nyaman dengan lengan Aleeah sebagai bantal. Sontak matanya melotot. Terkejut dengan keadaannya sekarang.

Johnny tertidur dalam damai tanpa baju atasan, sedangkan Aleeah memakai hoodie sang lelaki. Pikiranya kemudian berlari ke adegan kemarin malam. Tragedi dimana ia menangis tersedu sedu di pundak Johnny, adegan dimana ia menciun Johnny di dapur, adegan dimana ia mengata ngatai sang suami hingga adegan dimana ia memuntahkan seluruh isi perutnya di paha Johnny.

Aleeah kemudian kembali menutup matanya. Mulai menyesali dan membodoh bodohkan diri sendiri. Mengapa ia menjadi senekat itu malam tadi? Sefrustasi itukah dirinya menghadapi Johnny? Apakah seluruh adegan itu adalah seluruh bagian yang memang benar terjadi? Bagaimana jika ada hal lain yang ia lupakan? Mengingat bentuknya dan Johnny pagi ini, amat sangat ambigu untuk dipikirkan oleh kepala orang normal.

Seolah memanfaatkan kesempatan, Aleeah lantas merubah posisi tidurnya menjadi menghadap Johnny. Wajahnya tampan dan terlihat begitu nyaman. Tidurnya nyenyak, namun Johnny terus menerus bergerak mendekat ke arah Aleeah hingga mungkin jika Aleeah tidak terbangun pagi ini, mereka berdua akan berakhir baku tumbuk dengan lantai.

Aleeah hanya diam. Memperhatikan setiap bagian wajah sang lelaki. Hidungnya yang tinggi, bulu matanya yang lentik, rahangnya yang tegas, rambutnya yang hitam, alisnya yang tebal. Sepersekian detik Aleeah dirundung rasa kesal. Mengapa Johnny memiliki semua hal yang wanita inginkan?

Kegiatan mengamati yang Aleeah lakukan tak berlangsung lama. Sebuah handphone yang berada di nakas, ternyata bergetar dan Aleeah yakin benar bahwa benda pintar tersebut adalah miliknya. Begitu mendapat tanda, wanita ini lalu mengambil sang sumber suara dan mulai melihat, gerangan apa yang menganggu kegiatan paginya.

28 panggilan tak terjawab. Lucas

“Mampus” batin Aleeah. Ia kemudian bangun dengan gerakan super hati hati seolah enggan menganggu waktu tidur Johnny. Memunggut tas kemudian berlari ke bawah sembari merapikan rambut dengan jemarinya.

Aleeah tengah berdiri di depan bangunan besar yang menyetel musik dengan irama cepat dan mengguncang serta minuman minuman memabukan menjadi barang pertama yang pasti terjual. Kakinya diam. Niatnya ragu ragu. Benarkah ia harus menempuh jalan ini hanya untuk meengakui perasaanya pada Johnny?


Sementara di belahan dunia lain, seorang lelaki sedang berkutik dengan beberapa dokumen hingga hampir tengah malam. Setengah 12 nampaknya waktu yang cukup bagi Johnny untuk mengistirahatkan otak serta badannya. Bangkitlah ia dari duduk depan mejanya lalu membuka pintu balkon dan mulai menyalakan tembakau dari bungkus merah kesukaannya. Marlboro. Sebatang dua batang ia habiskan sendirian sembari mempertanyakan kemana Tuhan membawa hidupnya berjalan.

Jalanan kota masih ramai rupanya ia lihat dalam diam. Lampu lampu masih banyak yang menyala, suara bising masih mengalun di telinganya walaupun sunyi lebih mendominasi. Sepersekian detik setelahnya Johnny menangkap bunyi dial code yang terpasang di pintu apartmentnya mulai ditekan.

Tit tit tit tit

Menyadari seseorang mencoba masuk ke kediamannya, Johnny lantas menahan nafas dengan siaga. Tidak ada yang tahu kode tempat teraman untuknya ini kecuali ia dan Aleeah. Bahkan mama dan Dissa tidak pernah bisa mencoba menerobos masuk ke tempat persembunyian Johnny ini. Otaknya mulai bekerja, mungkinkah Aleeah berada disana? Tapi mengapa? Apa yang dia lakukan? Konyol sekali. Tidak masuk akal.

Diiringi dengan bunyi berhasil terbukanya pintu, Johnny lalu mengambil tongkat golf di ujung ruang kerjanya dan mulai berjalan mengendap endap sembari sesekali matanya mengedar kesana kemari mencari siapa gerangan yang mencoba memaling tempat peristirahatannya.

Johnny yakin, seseorang dengan kode apartment, kini pasti tengah berada di tempat yang sama dengannya, namun ruang tamu tampak begitu sepi tatkala matanya menyisir mencari tanda tanda kehidupan disana. Bersamaan dengan bingungnya Johnny, tiba tiba muncul suara gaduh dari arah dapurnya. Dengan mode siaga, Johnny kembali mencoba mendatangi siapa gerangan disana.

“Le?” tanya Johnny ragu ragu ketika ia melihat punggung perempuan dengan rambut panjang dan turtleneck berwarna hitam, sedang meneguk air dengan kulkas yang dibiarkan terbuka.

“Ale?” panggil Johnny kembali. Merasa namanya dipanggil. Aleeahpun membalikan badan.

“Hai!” sapanya riang dengan mata setengah tertutup, pipi merah dan bau alkohol yang menyengat. Johnny sontak membuang tongkat golfnya dan berjalan mendekati Aleeah. Terkejut bukan main. Apa yang dilakukan wanita ini di apartmentnya? Mengapa ia berada disana dengan keadaan kacau seperti ini? Apa yang Aleeah lakukan?

“Kamu ngapain?” kata Johnny dari seberang meja. Jarak mereka dekat, hanya terhalang meja saja.

“Hemm? Minum hehe” jawab Aleeah.

“Kamu ngapain? Kamu mabok?” tanya Johnny geram. Belum pernah terpikir dalam otaknya bahwa ia akan menemui sisi Aleeah yang seperti ini. Belum pernah, sama sekali.

“Hemmmm” kata Aleeah menggelengkan kepala dengan mata yang tetutup dan sedetik kemudian ia terkekeh geli.

“Ayo pulang saya anterin.” balas Johnny tegas sembari memungut jaket Aleeah di atas meja makan.

“Gamau!” jawab Aleeah setengah berteriak.

“Gamau pulang. Saya mau disini. Rumah saya disini” balas Aleeah. Dapat Johnny lihat ulat wajahnya berubah menjadi sendu.

“Saya mau lihat pak johnny lama lama” lanjut Aleeah. Johnny diam di tempatnya.

“Saya mau lihat pak johnny tiap hari. Pak johnny ngga mau liat saya? Jahat. Johnny lo jahat!” rancau Aleeah.

“Le kamu mabok, ayo saya anterin pulang.” kata Johnny menyadarkan Aleeah kembali.

“Jangan diusir sayanya pak. Saya sampe harus minum dulu biar bisa lihat Pak Johnny. Saya sampe harus minum dulu biar bisa balik ke sini. Jangan diusir” kata Aleeah dengan wajah serta suara yang sendu. Johnny kembali diam di tempatnya.

“Ahahaha bentar” tawa Aleeah setelahnya. “Tapi beneran berhasil. Saya beneran liat Pak Johnny ahahah” lanjutnya. Johnny masih bingung dengan situasi yang terjadi. “Bentar” ucap Aleeah lagi. Ia kemudian berjalan mendekat ke sang suami.

Cupp

Kakinya berjinjit. Bibirnya ia bawa untuk menyapa bibir Johnny. Aleeah menutup mata tat kala benda kenyal miliknya bersinggungan dengan benda kenyal lain yang selalu ingin ia coba dihari hari sebelumnya. Berbeda dengan Aleeah yang seakan menikmati, nafas Johnny tercekat untuk beberapa detik. Tidak ads permainan disana. Hanya menempel. Saling melekat. Jantungnya berdegup dengan kencang, selain kaget, ia juga bingung apa yang harus ia lakukan jika diserang secara tiba tiba seperti ini.

“Bener” ucap Aleeah setelah ciuman pertama mereka. Ia menatap mata Johnny dengan mendongakkan kepalanya. “Bener saya harus mabok dulu biar bisa cium Pak Johnny” “Apa saya mabok aja tiap hari? Hahahaha” rancau Aleeah kembali. Johnny masih diam dengan semburat merah di pipi, semerah tomat.

“Kata Lucas kalo minum setetes dibanned 40 hari. Saya minum dua gelas berarti berapa tu? Seratus tetes? Dua ratus? Banyak” lanjut Aleeah dengan nada suara mabuk dan mata setengah tertutup. “Cuma buat liat lo Johnny, anjing. Tapi beneran bisa liat Pak Johnny. Bisa dicium juga aaaaaa” lanjut Aleeah tetap merancau tidak jelas. Johnny terkekeh kecil melihat tingkah wanitanya.

“Minum dimana?” tanya Johnny tenang dengan ekspresi tertarik pada cerita Aleeah.

“Disana. Disana pokoknya yang jual kaya jualan jamu di botol botolin” balas Aleeah. “Heheheheh” lanjutnya terkekeh kecil.

“Hahahah” Johnny sontak mendekatkan wajahnya ke wajah sang wanita. Mengamati setiap inchi rupa cantik miliknya. Aleeah balas mentap mata Johnny. Tangan besar milik Johnny menangkup kedua pipi Aleeah yang terasa panas. Ia kemudian mengecup ujung hidung wanitanya.

Aleeah mengulum bibirnya ke dalam. Malu. Malu sekali tiba tiba ia rasakan. Johnny tersenyun di seberangnya.

“Lo bukan Johnny” ucap Aleeah setelahnya.

“Hmm?” kata Johnny dengan duduk di meja pantri tetap dengan senyum manis yang mungkin malam ini tidak akan pergi meninggalkan wajah tampannya.

“Lo cuma bayangan gue aja. Bangun le. Bangun anjing” rancau Aleeah lagi kemudian berlalu meninggalkan Johnny.

“Bangun ale, bangunnnn” katanya seraya menaiki anak tangga.

“Le, kemana?” tanya Johnny.

“Hoammmm, mau ti-”

Bughh

“Astagfirullahaladzim”

Dengan tenaga yang Johnny punya,mengangkat Aleeah bukanlah perkara yang sulit. Ia bawa daksa istrinya untuk di rebahkan ke kamar dimana biasa Aleeah tinggal. Kamar yang tak kunjung ia buka setelah Aleeah meninggalkan apartmentnya. Terlalu banyak memori disana yang tidak bisa Johnny hadapi. Sebenarnya, untuk berada di rumah saja sudah amat sangat menyiksa karena setiap sudut apartment ini adalah Aleeah. Namun karena ia tetap harus melanjutkan hidup, maka dengan tidak membuka dan memasuki kamar Aleeah agaknya sudah cukup untuk Johnny.

“Berat juga ternyata” kata Johnny setelah membaringkan Aleeah di ranjangnya dengan kaki yang masih menggantung. Sempat meremehkan berat badan Aleeah, agaknya Johnny juga merasa tersiksa walaupun hanya menggendong Aleeah dari tangga bawah hingga masuk ke kamarnya. Untuk itu, Johnny ikut membaringkan diri di samping sang istri.

“Saya ngga selingkuh, Pak Johnny” buka Aleeah setelah cukup lama mereka hanya berdiam diri saling berbaring. Ternyata sang wanita belum menutup mata. Johnny kemudian menolehkan kepalanya ke arah Aleeah.

“Saya ngga selingkuh. Saya beneran pas saya bilang mau hormatin pernikahan ini sampe akhir” lanjut Aleeah dengan suara yang bergetar. Johnny masih diam tidak menjawab.

“Daffa pindah apart ke unit sebelah, di ujung. Saya lagi nyari lilin. Saya tahan saya takut saya tahan. Terus ketemu Daffa di depan. Saya ngga selingkuh. Saya cuma minta lilin aja” lanjut Aleeah dengan suara yang sudah amat sangat bergetar. Dapat Johnny dengar, ada air mata yang Aleeah tahan.

“Saya ngga selingkuh tapi Pak Johnny marah sama saya.” air matanya mulai turun.

“Saya ngga ada kewajiban buat jelasin ini sebegininya ke Pak Johnny. Ngga ada. Kita cuma kontrak. Tapi saya pengen Pak. Johnny tau. Saya ngga mau Pak Johnny salah paham. Saya ngga mau Pak Johnny marah. Saya ngga suka Daffa” lanjut Aleeah sembari tetap berbaring menatap langit langit kamar.

“Le?” tanya Johnny bangkit dan menatap Aleeah.

You may be on the different way, you may be think that im crazy but i love you” lanjut Aleeah dengan mengusap kasar air mata yang jatuh di pelipisnya.

Every single day, you have to know Johnny Seo“ “Im sorry i miss you“ “Im sorry but it hurts“ “It sucks” ucap Aleeah sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Mencoba menyembunyikan air mata yang ada.

“Ini itu konyol banget. Saya kangen Pak Johnny, sata tau rumah Pak Johnny, saya tau nomer Pak Johnny tapi saya ngga bisa ngapa ngapain. Saya kaya orang bodoh” lanjut Aleeah dengan air mata yang lebih banyak tumpah. Johnny kemudian menarik tangan Aleeah agar ia bisa menatap mata cantik kesukaannya. Aleeahpun bangun.

“Lo tau ngga Johnny, lo itu anjing. Lo pengecut.” kata Aleeah dengan wajah basah.

“Sorry” balas Johnny.

“Lo itu bikin bingung. Lo kaya mau tapi ngga mau, lo kaya suka tapi ngga suka. Lo baik kaya gitu ke gue aja apa ke semua orang haaa? Jawab!” ucap Aleeah sembari memukul mukul dada bidang sang suami. Johnny tidak bisa menjawab setiap kata yang keluar dari mulut Aleeah. Satu kata pu tidak, karena semua yang terucap adalah fakta. Sembari merutuki diri dan menyesali perbuatan bodohnya, Johnny membawa daksa Aleeah ke pelukannya.

“Lo kenapa diem aja Johnny? Kenapa?!” tangis Aleeah pecah. Johnny semakin merasa kecil di hadapan sang istri. Laki laki mana yang pantas untuk seorang perempuan sehebat Aleeah? Ditambah lagi Johnny telah berani membuatnya menangis. Pengecut.

“Lepasin. Jangan. Ngga mau. Lo pengecut” tolak Aleeah pada awalnya. Namun sia sia. Tenaganya tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan tenaga Johnny. Dengan hati yang remuk mendengar segala pengakuan dari sang puan, Johnny memeluk erat daksa Aleeah. Ia tidak berbuat apa apa. Hanya memeluk erat sembari merasakan tangan Aleeah mulai melingkar di lehernya dan baju bagian belakangnya basah oleh air mata.

“Maaf le. Maaf” kata Johnny dengan mata berkaca kaca. Nampaknya melihat Aleeah menangis sebegitunya membuat Johnny ingin menghilangkan diri. Kali ini merasa gagal sebagai laki laki.

“Pak Johnny jangan usir saya. Saya mau sama Pak Johnny” ucap Aleeah dengan isakan isakan kecil.

“Iyaaa, maaf le. Iyaaaa” balas Johnny. Aleeah kemudian membuka pelukannya. Matanya bengkak. Hidung serta pipinya memerah. Johnny menatapnya berganti seolah bertanya *kenapa? *

“Huekkkk”

Awan mendung nampaknya mulai mengungkung tempat berlangsungnya akad nikah papa dan Tante Anya pagi ini. Entah apa yang membuat pasutri baru ini memilih melangsungkan janji suci di tempat terbuka seperti hutan pinus, yang nyatanya sudah tertata dekor rapi bertuliskan nama keduanya.

Jika dilihat dari jalannya acara sedari pagi, matahari nampaknya memberkati sepasang pegantin baru ini. Terik cahaya tidak terlalu menyengat serta awan mendung juga belum muncul, asri, dingin dan nyaman sekali. Ditambah udara pegunungan yang segar serta kicauan burung yang sesekali terdengar, nembah kesan sakral acara milik papa dan istri barunya.

Sebagai menantu sah Choi'si, Johnny Seo mengambil tempat tepat di sebelah Aleeah. Tidak ada percakapan yang berlangsung lama bagi keduanya. Berdua sama sama melempar senyum palsu kepada seluruh tamu acara sebagai tanda pura pura bahwa pernikahan mereka sedang baik baik saja. Sebenarnya, jika ditelisik kembali, memang tidak ada yang aneh dengan rumah tangga Johnny dan Aleeah. Setidaknya untuk saat ini. Johnny belum memberikan surat cerai dari sang mama kepada sang istri. Papa, Lucas dan Tante Anya juga belum tahu perihal keinginan sang mama memisahkan Johnny dan Aleeah.

Alasan mama ingin putranya melepas Aleeah juga terjadi karena suatu alasan. Rasa bersalah. Rasa bersalah yang mama tanggung amat sangat besar. Sedangkan, baik Johnny maupun Aleeah masih sama sama meluruskan benang rumit di pikiran mereka sehingga perihal ketidak tahuan mama akan alasan sebenarnya mereka melangsungkan pernikahan menjadi masalah nomor sekian. Singkatnya, mama belun diberi tahu masalah dasar Johnnh dan Aleeah menikah.

Mari kembali ke pesta pernikahan. Jarum jam menunjukkan pukul 14.37 WIB dengan hembusan angin yang semakin kencang serta percik percik air mulai berjatuhan. Papa maupun Tante Anya agaknya telah mempersiapkan segalanya secara matang. Begitu gerimis mulai mengundang, Lucas memulai sebuah pengumuman melalui microphone yang tersedia.

“Kepada tamu undangan dimohon untuk menyelamatkan dirinya sendiri sendiri, mohon maaf kami tidak menyediakan tempat berlindung hehe, kembali ke hotel atau berteduh dimanapun, sampai jumpa kembali nanti malam di acara resepsi” ucapnya seraya menutup kepalanya dengan kedua tangan. Setelah ucapan Lucas selesai, sontak tamu undangan mulai membuyarkan dirinya sendiri sendiri. Tujuan mereka semua, sama. Parkiran dan segera berlindung di bawah teduhnya kapal besi yang mereka bawa sendiri sendiri.

Aleeah melihat papanya menggandeng mempelai wanita sedangkan Tante Anya berlari bersama papa sembari mencincingkan pakaian akadnya. Di ujung jalan sana Aleeah lihat punggung Lucas telah melesat masuk ke dalam HRV putih yang terparkir cukup jauh dari tempatnya berada. Aleeah masih bingung menyelamatkan dirinya sendiri. Dengan keadaan kaki yang baru sekali sembuh serta heels tinggi yang ia kenakan saat ini, amat sangat mustahil bagi Aleeah untuk berlari sekencang orang orang.

Tetes hujan mulai membesar, dan belum juga Aleeah mencapai tempat pertahanan. Sejurus kemudian seorang lelaki yang ia yakini sebagai Johnny berlari mendahuluinnya menuju Rubicon hitam yang dahulu selalu ia naiki tiap pagi. Johnny berlari sekencang yang ia bisa agar segera mencapai titik peneduhan. Sementara Aleeah masih bersusah payah berlari dengan keadaannya saat ini.

“Pelan pelan” kata seorang lelaki, tak lama setelah Johnny menghilang dari tangkap mata Aleeah di mobilnya, yang lagi lagi berlari ke arah Aleeah sembari membawa payung berwarna hitam.

“Pelan pelan jangan lari” lanjutnya sembari memayungi Aleeah dengan benda yang ia bawa. Aleeah masih diam mengatur nafasnya.

“Pelan pelan. Jangan dipaksain lari. Pelan pelan” lanjut sang suara lagi.

“Makasih pak” balas Aleeah kepada suaminya. Ternyata, Johnny berlari mengambil payung dan kemudian menyusul Aleeah yang bahkan untuk berjalan saja nampak sangat kesusahan. Sejurus kemudian air nampaknya seperti ditumpahkan. Jatuh dengan sangat deras dan tak beraturan. Seketika itu pula Johnny relfek merangkul pundak sang puan dan menuntunnya untuk sampai ke tempat yang teduh. Rubicon hitam andalannya.

Ada desiran aneh yang timbul di hati Aleeah. Belun pernah ia mencium wangi tubuh Johnny sedekat ini secara langsung. Belum bernah Johnny menyentuhnya sehalus ini secara sadar yang lagi lagi dan lagi Aleeah kembali memikirkan. Benarkah Johnny menaruh perasaan kepadanya? Atau ini hanya tindakan kemanusiaan seperti yang ia pikirkan sebelumnya? Bodoh sekali.

“Pelan pelan le” ucap Johnny sembari membuka pintu. Membiarkan wanitanya masuk dan menyelamatkan diri.

Bughh

Suara pintu di seberang Aleeah ditutup.

“Ini apa p-” kata Aleeah terputus tat kala Johnny menyentuh kepalanya. Menghentikan aksi Aleeah bertanya akan keberadaan sebuah map mencurigakan di bangku belakang.

“Ngga penting” balas Johnny kikuk dengan tangan masih berada di kepala Aleeah. Aleeah sontak mengerjap kerjapkan matanya. Mengumpulkan kembali kesadarannya. Pasalnya hari ini sudah dua kali Johnny menyentuhnya secara tiba tiba.

“Oke sorry” lanjut Johnny lalu menurunkan tangan kekarnya. Aleeah kemudian bergerak mencari posisi yang nyaman. Canggung. Canggung sekali. Berada berdua dengan Johnny di ruangan sempit serta ada beberapa masalah yang belum diselesaikan membuat Johnny dan Aleeah sama sama membangun situasi yang mencanggungkan.

Johnny menggaruk tengkuk lehernya tanpa alasan, sementara Aleeah menatap keluar jendela melihat lihat situasi dengan usaha menghindari tatapan mata Johnny.

“Pak” “Le” ucap mereka bersamaan. Lalu kembali lagi diam. Sama sama menunggu siapa duluan yang berniat membuka obrolan.

“Kamu dulu” ucap Johnny kepada sang puan. Aleeah lalu menarik nafasnya dalam dalam.

“Pak saya ngga selingkuh waktu itu. Bapak salah paham” ucap Aleeah. Johnny masih diam menundukan kepalanya. Suara rintik hujan agaknya mendominasi pertemuan mereka sore ini.

“Daffa kebetulan pind-” lagi. Kata kata Aleeah terpotong lagi. Kali ini karena ada ketukan pada kaca mobil di sebelahnya.

“Jo” sapa Lucas membawa payung dengan sedikit merendahkan badannya ketika kaca mobil terbuka.

“Ngga balik? Ayok” lanjut Lucas kepada Aleeah. Ada perasaan kesal dalam diri Aleeah untuk sepersekian detik. Mengapa tidak ada waktu yang mendukungnya untuk sekedar menjelaskan duduk permasalahannya dengan sang suami, barang sebentar saja? Dunia seakan akan memang ingin memisahkan mereka.

“Aleeah?” tanya sebuah suara di belakang Lucas. Johnny kemudian memundurkan sedikit kepalanya untuk melihat siapa yang sedang berbicara. Ternyata, matanya menangkap sesosok manusia yang hampir menumpahkan darah dalam gelanggang pertarungan beberapa waktu yang lalu. Daffa Wardhana.

Johnny kemudian membuang wajahnya dan membuka pintu tempat duduk Aleeah dari bangku kemudi. Mempersilahkan wanitanya pergi secara tidak langsung. Aleeah terkekeh miris disana. Lagi. Johnny terbakar api cemburu lagi. Lucas dan Daffa masih diam di tempat menunggu Aleeah turun dari mobil sang suami. Sementara yang ditunggu menatap wajah bagian samping suaminya dengan mata memerah menahan kembali air mata yang ingin tumpah. Tidak ada kata lagi setelahnya. Aleeah membuka pintu dan membantingnya keras keras lalu pergi meninggalkan Johnny.

Dari kaca mobilnya, dapat Johnny lihat Daffa memberikan payungnya yang juga disambut saja oleh Aleeah sehingga sang dokter berlari menyelamatkan diri meninggalkan Aleeah berjalan bersama kakaknya.

We all are sinners. We pay for what we did, so, if losing you is a payment. I may be debtor for the rest of my life – Johnny Seo.

Ilora memeluk keponakannya dengan hangat. Lalu mengambil daksa kecil Jodi dan mengendongnya sambil sedikit diayun ayunkan guna menyalurkan ketenangan. Sementara Kino berusaha menghibur balita satu tahun dalam gendongan gadisnya itu dengan mengajaknya berbicara. Tangisnya sudah tidak sekencang tadi tetapi isakan masih ia sisakan disana.

Tak lama, Shannon keluar dari ruangan dokter membawa seorang anak perempuan dengan suara tangis yang masih menggelegar di udara. Ia tenangkan anaknya dalam dekapan hangat sambil mengusap punggung kecil milik Samara. Mendengar saudaranya menangis, air mata Jodi menjadi ikut ikutan ditumpahkan. Entah apa yang membuatnya kembali meneteskan air mata. Namun nampaknya, isak keras Samara sampai pada hati nurani Jodi. Dan disanalah mereka. Menangis dalam dekapan imo dan mamanya. Menikmati sisa rasa nyeri di langan kiri masing masing.

“Yahhh kok jadi ikut nangis yang ini?” sapa seorang ibu lain dengan anak yang juga sedikit menangis di gendongan suaminya. Menyapa Jodi dan Samara.

“Ahahahha iyaaaa ngga tega liat adiknya nangis” balas Shannon tetap dengan memeluk serta mengusap usap punggung Samara sembari sesekali berkata it's ok it's ok nggapapa it's ok. Namun keduanya tak juga kunjung berhenti.

“Kembar ya mbak?” tanya sang ibu lagi.

“Kembar mbak hehe” balas Shannon.

“Laki lo panggil deh mbak asli ini gue malu diliatin” ucap Ilora setelahnya. Shannon juga frustasi. Imunisasi sebelumnya, ia tak pernah sebingung ini. Selalu ada Jeno, Bunda atau Mama yang menemani. Jaehyun tidak pernah ikut andil dalam kegiatan seperti ini. Tidak tega alasannya. Dulu, ketika anaknya belum bisa berkata. Ketika anaknya belum paham mana papa dan mana mama, Shannon bisa dengan mudah menenangkan mereka. Memperlihatkan gambar jerapah pada dinding rumah sakit tempat mereka disuntik, atau semudah memberikannya casing hp bergambar foto mereka sendiri lalu baik Samara maupun Jodi akan ter-distrak dan berhenti menangis dengan sendirinya.

Alasan yang Jaehyun buat dengan kata kata tidak tega bukan sekedar alasan belaka. Laki laki 27 tahun ini bahkan pernah sekali menangis tersedu sedu dihadapan banyak orang, tat kala anaknya mendapat imunisasi untuk yang pertama kali. Bahkan hari hari setelah imunisasi terjadi, baik Jodi maupun Samara mengalami demam tinggi. Bukan masakah direpotkannya dirinya karena anaknya sakit, tetapi karena pertanyaan dalam dirinya sendiri, mengapa imunisasi pada bayi harus melalui jarum suntik? Mengapa efek samping imunisasi pada bayi sehebat ini? Belum adakah inovasi yang mempermudah bayi dalam menjalani imunisasi mereka? Bukankah teknologi sudah semakin mutahir? Mengapa seolah olah tidak ada satu orangpun yang menaruh simpati pada lengan lengan kecil milik para bayi? Seperti itulah kira kira oerasaan Jaehyun ketika anaknya anakn mendapatkan imunisasi.

Namun berbeda dengan hari ini. Satu tahun delapan belas bulan adalah usia yang cukup bagi si kembar untuk tau dan membedakan mana ayah mana bunda. Mana Imo mana Paman Kino. Mana Nicho mana Mas Noah. Di usia mereka sebenarnya Jodi dan Samara sudah paham jika mereka diajak untuk berbicara namun kembali lagi, percakapan macam apa yang dapat dilakukan dengan seorang balita? Maka dalam ingatan mereka, hari ini mereka pergi berempat dengan mama dan papa, dan seperti biasanya ketika sedang chaos seperti ini, Samara akan mencari cari cinta pertamanya.

“Papaaaaaa” katanya dengan suara teriakan kencang sekali.

“Ikutttttt upppp” timpuk Jodi meminta dirinya agar juga berada pada dekapan sang ibunda. Maka dengan segala keterbiasaan yang pernah tercipta. Shannom kesampingkan anak perempuannya pada bahu kanan dan menerima Jodi dari dekapan sang adik dengan bahu kiri. Suara isakan mereka belum juga mereda.

“Iyaaaaa sabar yaaaaa, sebentar yaaaaa” balas Shannon dengan keringat yang agaknya mulai muncul di kedua pelipisnya. Lalu dengan tatapan memohon ia menatap Kino dan meminta tolong.

“No toling panggilin abangmu dong suruh naik cepet. Tolong” katanya. Kinopun bergegas turun melalui lift dan menuju ke sumber perintah yang Shannon berikan. Jung Jaehyun.

Beberapa menit kemudian munculah seorang laki laki berusia hampir 27 tahun, datang dengan menaiki lift terlihat berjalan ke arah Shannon dengan membuang nafasnya panjang seolah bersiap menghadapi badai besar.

“Nah itu ituuu siapa ituuu, papaaaaa” ucap Shannon kepada kedua anaknya. Lalu baik Jodi maupun Samara dengan sekuat tenaga mereka meronta minta diturunkan yang kemudian berlari menghampiri sang penyelamat dunia.

“Aduhhhh” kata Jaehyun ketika kedua anaknya menabrakan badan mereka ke daksanya. Ternyata si papa telah lebih dulu mensejajarkan tinggi badan dengan berjongkok dan membuka tangan lebar lebar. Siap menerima daksa kecil dua orang anak kembarnya.

“Allahuakbar” ucap Jaehyun seraya berdiri dan mengangkat dua buah hatinya. Memang benar seperti sulap namun bukan sihir. Tangis Jodi dan Samara mereda dengan sendirinya. Eksistensi Jaehyun membuat keadaan kacau sebelumnya menjadi amat sangat terkendali. Bagi Jodi dan Samara, sang papa hanya perlu ada di dunia. Hanya perlu ada. Tidak perlu berbuat apa apa mereka sudah amat sangat bahagia. Sejurus kemudian Jaehyun bawa anaknya yang sudah mengalungkan tangan ke lehernya dengan posisi yang sama seperti yang dilakukan Shannon. Satu dapat bahu kanan dan satu bahu kirim, ia bawa mendekat ke sang puan.

Melihat tingkah konyol keponakannya, baik Ilora maupun Kino sama sama tertawa. Shannon kemudian menolehkan kepalanya ke sumber suara dan ikut terkekeh.

“Gue tu yang ngeluarin” kata Shannon kembali menaruh atensi ke tiga orang yang sudah ia maknai sebagai dunia.

“Manja banget kalo ada bapaknya emang” balas Ilora.

“Begitu. Papanya kan emang selalu menormalisasi nangis keras kerasan ya begitu. Padahal imunisasi doang lo. Biasanya juga ngga gini” lanjut Shannon.

“Apa apaan? Orang emang sakit yaa?” balas Jaehyun tidak terima. Agaknya sang anak sudah tidak menangis atau terisak. Mereka hanya menciumi aroma tubuh sang papa. Menaruh kepala ke pundak Jaehyun dan diam menikmati tenangnya degup jangtung ayah mereka.

“See? Makanya anaknya selalu manja. Biasanya juga ngga nangis sebegininya” bela Shannon kembali.

“Ya tapi ini buktinya diem” balas Jaehyun sama. Tidak terima.

“Yi tipi ini biktinyi diim” tiru Shannon. Ilora dan Kino hanya tertawa mendegar baku ejek kakak dan ipar mereka. Yang hanya dibalas pelototan mata oleh Jaehyun.

“Bang lo emang selalu gak tegaan begini ya denger anak nangis?” tanya Kino akhirnya.

“Engga. Kalo nangisnya berantem atau apa gue nggapapa. Jatoh nangis gue nggapapa. Lah ini nangisnya kaya direncanakan gitu sengaja disuntik biar nangis, ngga tega gue” jelas Jaehyun panjang lebar.

“Ya maklum kamu ngga tega. Jangankan sama suntik sama obat aja takut” ejek Shannon.

“Apa apaan?” tanya Jaehyun yang terdengar lebih seperti pembelaan.

“Dia minum obat aja ngga bisa coba. Kudu dialusin dulu kalo bentuk bentuk ngga bisa” buka Shannon kepada dua adiknya yang sontak mengundang tawa dari Kino dan Ilora.

“Serius?” tanya Kino di tengah tengah tawa mereka. Jaehyun hanya memasang wajah kesal sembari menatap sinis ke ketiga orang dewasa di hadapannya.

“Ayo sini satu sama mama” ucap Shannon akhirnya meminta satu buah hatinya.

“Amaauuuuu” balas Jodi dengan mengeratkan pelukannya ke leher sang papa. “Gamauuuu”

“Kasian papa nak. Ayo dek yok sama mama yok” minta Shannon lagi. Samara tidak menjawab. Sama seperti kakaknya, ia juga turut mengeratkan pelukan ke leher sang papa.

“Biarin biarin” tenang Jaehyun. Sejurus kemudian mereka meninggalkan depan ruangan imunisasi dan melenyapkan diri menggunakan lift untuk mencapai dasar bangunan tinggi ini dengan tetap dua anak dalam dekapan Jaehyun.

Ketika lift terbuka berlarilah Jodi ke segela arah dengan jemari Shannon berada pada genggamannya. Sementara Samara masih menikmati wangi tubuh sang ayah. Dituntunnya oleh Shannon anak lelaki yang hari ini mengenakan celana pendek serta topi dan baju polos berwarna hitam sama seperti suaminya hingga sampai ke depan mobil mereka.

“Makasi ya no. Makasih dek. Langsung pulang jangan main lagi” kata Shannon kepada adik dan kekasih adiknya.

“Cium dulu cium cium cium” balas Ilora sembari mulai menyerang pipi Jodi dan Samara.

“Makasih dulu ke imo” “Makasih sama paman juga ayo” ucap Jaehyun kepada kedua anaknya.

“Makasih dulu gimana makasih?” lanjut Jaehyun.

“Masiii imooo” kata Samara yang mulai diletakkan dalam car seat miliknya.

“MASIII IMOOOOOO” teriak Jodi dari car seat sebelahnya.

“Ma amaaaaa” balas Ilora riang sementara Kino hanya melihat interaksi bibi dan keponakan di depannya. Sejurus kemudian mobil Shannon dan Jaehyun meninggalkan parkiran rumah sakit dengan backsound The More We Get Together di dalamnya.

Mbak, kakak, you made it. Batin Ilora dalam hati.

“Pak Johnny?” tanya Aleeah ragu ragu. Dengan air yang masih menetes dari pakaiannya, dengan kaki kebas yang ia gunakan untuk berdiri, dengan tangan mengepal karena Johnny tau siapa yang berdiri di samping perempuannya malam ini, Johnny membalas perkataan Aleeah.

“Ini yang kamu maksud komitmen sampe akhir?” tanya Johnny dengan nada suara penuh hardik.

Daffa mematung disana. Di sebelah Aleeah. Kebingungan. Tidak tahu apa yang harus ia perbuat karena pikirannya menangkap rasa tidak suka dari seberang sana.

“What you mean?” balas Aleeah keheranan. Sama seperti Daffa, Aleeah bingung apa yang dimaksud lelaki jangkung di hadapannya.

“Harus banget saya jelasin?” tanya Johnny lagi. Keadaan menjadi semakin canggung. Atmosfer baku hantam nampaknya mulai muncul di ruang tamu apartmen Johnny. Tentu dengan penerangan seadanya.

“Ya maksud bapak apa? Saya ngga ngerti.” balas Aleeah masih tidak tahu apa maksud perkataan sang suami. Tingkat kesabaran Johnny sedikit demi sedikit nampaknya mulai terkikis. Jemarinya mengepal di kegelapan. Mencoba menahan semua rasa yang hampir meledak.

“Wait, don't you think that she is getting affair?” timpuk Daffa kepada Johnny dan percakapan sepasang pasutri di hadapannya.

Butuh waktu lama bagi Johnny untuk menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangan dari Aleeah ke lelaki di samping wanitanya dengan tatapan mata penuh ketidak nyamanan akan eksistensi si laki laki.

“Isn't she?” balas Johnny kemudian. Kata kata ini terlihat enteng sekali keluar dari bibirnya. Sejurus kemudian Daffa telah berada tepat di hadapan Johnny. Mencengkram kerah baju Johnny dan langsung dibalas pula oleh empunya. Tatapan mereka saling beradu. Desis nafas dapat mereka rasakan di pipi masing masin. Cengkraman tangan mereka perlahan lahan mulai mengerat. Keduanya sama sama menggertak.

Detik ketika dua lelaki ini saling menarik, adalah detik dimana cahaya mulai menampakkan hilalnya. Satu persatu lampu kota mulai menyala tak terkecuali aliran listrik apartmen milik sepasang suami istri ini. Dapat Daffa liat dari dekat wajah Johnny yang penuh urat seakan bersiap melahap siapapun yang menghalanginya. Di depan sana pula dapat Johnny lihat tatapan penuh rasa tidak suka dari orang asing yang entah bagaimana Johnny bisa sebegini membencinya.

“Pak bapak stop!” teriak Aleeah tat kala melihat dua lelaki di hadapannya akan sama sama segera melayangkan tinju.

“Watch your mouth, dear director” ingat Daffa dengan suara penuh peringatan.

“Pak, please lepas, Pak Johnny” lerai Aleeah sembari memegang tangan Johnny yang tidak ia gunakan untuk bertahan melawan Daffa.

“Mind your own business, doctor” balas Johnny lalu menghempaskan kerah lawannya dengan kasar dan sedikit mendorong badan sang lawan ke belakanh.

“Daff you better home” minta Aleeah sembari berdiri di depan Johnny dan menggenggam erat pergelangan tangan sang lelaki. Mencoba memberikan rasa aman. Meminta Daffa agar kembali ke unitnya agar tidak semakin memperkeruh keadaan.

“You have my number if he do something bad to you. Call me on first dial, le” balas Daffa sembari sesekali melemparkan tatapan tajam ke arah Johnny. Agaknya ia enggan meninggalkan Aleeah berdua hanya dengan suaminya karena ia tidak tahu apa yang akan diperbuat Johnny nantinya kepada sang istri. Abusive?

Daffa kemudian berjalan mundur dan mulai berbalik badan. Tangannya ia gunakan untuk membuka kenop pintu dan sedetik kemudian ia mulai keluar dari apartment Johnny. Belum lagi kakinya melangkah, Daffa berhenti di depan pintu karena ada seseorang disana, sehingga jalan masuk dan keluar satu satunya itu belum tertutup dengan sempurna.

“Ini yang kamu maksud komitmen?” tanya Johnny kembali. Suaranya tidak tinggi namun dapat Aleeah dengat banyak rasa tidak suka disana.

“Maksud bapak apa?” tanya Aleeah sewot. “Saya ngga selingkuh. Selingkuh itu buat orang yang sama sama sayang. Dan saya. Ngga. Selingkuh.” balas Aleeah penuh penekanan. Johnny diam barang sebentar. Menutup mata dan mencoba mencari kembali akal sehatnya.

Jadi kamu ngga sayang saya, le?

“Then call you ngga selingkuh karena kita juga cuman kontrak. Terus kamu sama dia ngapain?” tanya Johnny lagi

“Kenapa saya harus jelasin ke bapak?” balas Aleeah. Agaknya sang puan mulai kesal. Tidak ada angin tidak ada hujan. Mengapa Johnny tiba tiba menghakiminya?

“The contract. Remember?” tanya Johnny.

“Mind your own business.” balas Aleeah.

“Then you are my business” balas Johnny dengan tegas. “You are my business in two years later, so please be cope with me” lanjut Johnny tetap mengkorek alasan Aleeah bisa bersama Daffa malam ini.

“Are you jealous?” tembak Aleeah tepat sasaran.

Who dare you? Saya cuma nanya kenapa kamu bisa sama Daffa? Saya ngga ada hak buat cemburu, buat marah kamu sama siapapun. Kamu sendiri yang bilang kamu hormatin pernikahan ini, tapi begini? Begini caranya?” balas Johnny.

“How if i give-”

“Kontrak?” tanya mama. Kalimat Aleeah terputus karena suara lain yang tidak ia duga tiba tiba berada disana.

“Kontrak apa? Dua tahun?” tanya mama kembali sembari mendekat ke arah anak dan menantunya. Saat ini.

“Mama?” ucap Johnny tidak percaya. Mengapa ibunya bisa berada disana? Sedetik kemudian pintu apartment keduanya terbuka. Menampilkan Daffa dengan kepala menunduk dan perlahan lahan menatap ke arah Johnny dan Aleeah. Ikut mencerna percakapan sepasang suami istri yang sekarang di hadapannya, secara tidak sengaja.

“Mama yakin mama ngga salah denger. Kalian nikah kontrak?” tanya mama dengan nada suara meyakinkan bahwa apa yang ia dengar sepenuhnya adalah salah.

“Mamaa?” panggil Aleeah mendekat. Ia kemudian menggenggam tangan sang mertua yang dengan halus dihindari oleh si empunya.

“Mas?” tanya mama. Mendongak mencari mata anak semata wayangnya. Sementara Daffa masih berdiam diri di depan pintu.

“Mama, mas bisa jelasin” balas Johnny. Mulai panik.

“Bener le?” tanya mama kepada menantu satu satunya. Aleeah tidak bisa menjawab. Ia hanya diam menahan air matanya.

“Le, liat mama. Bener?” tanya sang ibu sekali lagi. Aleeah menutup matanya untuk sekejap. Mengambil nafas dalam dalam seolah siap menerima segala macam bentuk sumpah serapah sebelum selanjutnya ia menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan sang mertua.

Plakkk

Aleeah membungkam mulutnya dengan kedua tangannya, sementara Daffa tersentak. Kaget bukan main. Johnny kemudian memegang sebelah pipinya dengan telapak tangan kanannya.

“Mama inget mama ngga pernah ngajarin kamu jadi sebrengsek ini mas. Jonathan Artandi!” teriak mama di hadapan wajah Johnny. Sementara si empu hanya menundukkan kepala sebagai tanda bahwa ia sangat menyesal akan perbuatannya.

“Mama pukul Ale juga. Ini salah Ale juga. Pukul Ale ma” ucap Aleeah dengan air mata mulai berjatuhan di pipinya sembari menghadang sang mertua di hadapan suaminya seolah olah menjaga Johnny dari kejamnya dunia.

“Ale juga salah” lanjut Aleeah. Johnny masih tidak bersuara. Selama 27 tahun hidupnya, baru kali ini sang mama berani menggunakan tangannya sendiri untuk memberi peringatan kepada Johnny. Selama 27 tahun hidupnya, baru kali ini Johnny lihat sang mama amat sangat begitu kecewa. Selama 27 tahun hidupnya, baru kali ini Johnny merasa sangat berdosa. Selama 27 tahun hidupnya, baru kali ini Johnny merasa tidak berguna menjadi manusia, mengecewakan sang mama untuk yang kedua kalinya.

“Mama yang salah.” tutup mama dengan air mata juga mulai luruh melalui pipi yang mulai keriput. “Mama yang salah. Maafin anak mama, Aleeah” lanjut mama. Aleeah mulai terisak dengan keras.

“Ambil barang barangmu nak, mama anter kamu pulang sampe rumah” kata mama sembari menghunuskan tatapan tajam kepada anak semata wayangnya. Aleeah masih berdiam diri di depan Johnny sembari menahan pundaknya yang bergetar kencang akibat air mata yang minta dikeluarkan dengan lancar.

“Ma, Johnny bisa jelasin” mohon Johnny kemudian.

“Le? Ayo nak” minta mama kepada Aleeah.

“Le?” panggil Johnny sembari mengambil pergelangan tangan sang puan. Maksud hatinya menahan Aleeah agar tetap berada disana. Maksud hatinya menahan Aleeah agar tetap bersama dengannya.

“Saya ngga selingkuh.” jawab Aleeah dengan suara lirih penuh kesakitan. Ia telah membalikkan badan menatap netra coklat kesukaannya. “Bapak saya pamit” pungkas Aleeah setelahnya.

Dengan mata yang memerah serta badan yang masih basah, malam itu Johnny biarkan dunianya pergi. Ia biarkan sang mama membawa pergi wanitanya. Mungkin jalan terbaik bagi Johnny maupun Aleeah memang seperti ini. Salahnya. Salah Johnny. Salahnya karena membawa Aleeah pada mala petaka yang entah sendirinya pun tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Salah Johnny karena jatuh hati pada Aleeah.

Johnny meminggirkan mobilnya dengan bersusah payah. Butuh sekitar 20 menit hanya untuk menepikan kapal besi yang ia tumpangi karena memang jalanan yang ia lewati tidak bergerak sama sekali dan Johnny sudah terjebak disana selama hampir satu jam. Begitu ada kesempatan untuk berpindah, Johnny akan langsung membanting setirnya agar menuju ke tepian jalan.

Persetan dengan air hujan dan kegelapan malam. Johnny berlari sekencang yang ia bisa agar segera menjamah apartment tempat Aleeah berada. Kakinya ia bawa dengan langkah super besar dengan sendal hitam memijak setiap sudut porselen trotoar. Tangannya mengayun seraya ikut menyumbangkan tenaga. Jemarinya menggenggam erat sebuah benda yang selalu ia lihat sesekali sembari berlari. Air memang tidak turun dengan deras tetapi tetap saja, suara gemuruh petir serta fakta bahwa cahaya kota sedang padam membawa Johnny pada pelarian dimana otaknya selalu menyebut nama Aleeah.

Can you just give me a sign Le? It's just a dark you afraid of, I'll be there. Please.

Ucapnya dalam hati. Dengan sisa tenaga yang ada ia paksakan daksa lelahnya berlali dengan kecepatan konstan seperti awal ia memulai. 10 menit setelahnya bangunan tinggi yang ia tinggali mulai nampak. Masih dengan keadaan gelap gulita, pencahayaan seadannya, badan yang basah akibat air bercampur keringat serta nafas yang tersenggal senggal, Johnny masih memaksakan dirinya untuk terus berlari. Pikirannya selalu berada pada wanita 26 tahun yang sudah hampir satu tahun seatap dengannya. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa yang dia lakukan? Mungkinkah Aleeah sedang menangis? Mengapa Aleeah harus takut pada kegelapan? Frustasi. Pikirannya menerawang segala macam kemungkinan.

Jika dipikirkan kembali, seharusnyaa Johnny tidak seperti ini. Terlepas dari pernikahan kontrak mereka, Johnny dan Aleeah hanyalah orang asing yang tidak sengaja tinggal berdua. Mereka, tidak jelas. Ada beberapa bagian yang selalu membuat Aleeah bertanya tanya. Apakah Johnny memang selalu sebaik ini? Ke dirinya saja atau ke orang lain juga? Tak jauh berbeda dengan sang lelaki. Johnny juga sedang memikirkan apa yang sedang ia lakukan. Mengapa ia nekat berlari menerobos hujan hanya untuk wanita yang berstatus sebagai istri pura pyranya? Terlepas dari janjinya ke sang papa, Johnny juga bingung sendiri apa yang membuatnya berti dak sampai sejauh ini. Namun disinilah ia sekarang. Dengan perasaan khawatir yang memuncak ia memasukkan beberapa digit nomor dan berlari ke dalam ruangan.

“Alee?” “Aleeah?!” panggilnya keras keras ketika ia mendapati apartmentnya dalam keadaan kosong. Tidak ada siapapun disana. Ditambah lagi ponselnya yang tidak terhubung dengan jaringan signal yang memang terputus akibat dari pemadaman malam ini membuat Johnny semakin frustasi. Kemana perginya wanita yang ada dalam pikirannya tadi? Dalam bayangan Johnny, ketika ia sampai di apartmentnya, mungkin Aleeah akan menangis meraung raung mengingat betapa penakutnya ia dengan gelap. Di pikiran Johnny, mungkin Aleeah akan pingsan karena ketakutannya akan tidak ada cahay. Di pikiran Johnny Aleeah mungkin dalam situasi yang berbahaya.

Sejurus kemudian, dengan masih mengatur nafasnya sembari mengedarkan mata kesana kemari, samar samar ia dengar suara perempuan sedang bercanda dengan seorang laki laki dari arah luar.

“Untung lo kesini asli” ucap si perempuan.

“Hahaha apaan badan doang gede sama gelap takut” balas sang lelaki.

“Takut banget anjir” balas si perempuan kembali. Lalu sebuah cahaya berwarna putih menyilaukan mata Johnny. Aleeah sedang berdiri disana memegang senter melalui ponsel dan mengarahkannya ke arah sang suami.

“Pak Johnny?” tanya Aleeah ragu ragu. Dengan air yang masih menetes dari pakaiannya, dengan kaki kebas yang ia gunakan untuk berdiri, dengan tangan mengepal karena Johnny tau siapa yang berdiri di samping perempuannya malam ini, Johnny membalas perkataan Aleeah.

“Ini yang kamu maksud komitmen sampe akhir?”