raellee

“Saya tremor banget, nyetir itu ngebut bahkan saya ngga sempet nyuruh kamu buat beli tiket” ucap Johnny yang sedang duduk di sofa panjang apartment Aleeah.

“Mama emang luar biasa ya pak, saya ikut panik.” balas Aleeah dari dapur yang jaraknya hanya beberapa langkah.

“Dissa juga ikut ikutan aja Ya Allah, jantungan.” balas Johnny. Kini ia mulai merebahkan punggungnya pada sandaran sofa dan menutup matanya.

“Pas saya nyampe airport kamu tau ngga saya gimana? Yaudah saya begini aja le. Ternyata dong, mama lagi senyam senyum sama Dissa disana liat saya panik” balas Johnny. Kini ia seperti tampak mengingat ingat sesuatu.

“Tapi emang sepanik itu pak, baru banget kita nyampe, kemarin banget, tiba tiba dikabarin drop? Saya kalo jadi bapak kayanya bakalan nangis sepanjang jalan ke bandara” balas Aleeah sembari mendekat dan meletakkan coklat panas di meja dan duduk di karpet bawah andalannya. Johnny kemudian bangkit.

“Tau apa yang ditanyain sama mama pertama kali? Aleeah mana? Kok ngga sama kamu mas? yaelah ma ini anaknya panik coba, Aleeah terus, heran” balas Johnny sambil mulai menyesap coklat panas buatan Aleeah.

“Hahahha, mama saya itu pak” balas Aleeah tertawa.

“Bagi dua” balas sang pria.

Johnny memang baru saja kembali dari bandara, ke rumah, lalu ke apartment Aleeah. Setelah mendapat kabar bahwa mamanya drop, tanpa berfikir panjang Johnny pun lansung menuju ke bandara. Tak menghiraukan bahwa dirinya baru saja kembali dari Jerman. Sesampainya di bandara, ternyata yang ia temui adalah dua orang wanita yang ia hapal benar siapa, sedang berdiri dengan koper dan beberapa barang bawaan lainnya di depan stasiun keberangkatan. Mama rupanya telah merencanakan hal ini jauh jauh hari setelah dirinya sadar, hanya untuk menjahili Johnny. Padahal jantung Johnny sudah tidak karuan lagi bunyinya, sudah tidak beraturan lagi detaknya, segala doa ia langitkan untuk menyelamatkan sang mama. Alhasil, dirinya kini lelah sekaligus kesal bukan main. Fisiknya memang tak seberapa tapi pikirannya baru saja dikuras habis habisan. Dan entah bagaimana, disini lah ia sekarang, di apartment Aleeah.

“Terus mama sekarang?” tanya Aleeah.

“Di rumah le” balas Johnny seadanya. Ia merebahkan punggungnya lagi.

“Kok bapak malah disini? Mama sendirian, pulang sana” ucap Aleeah. Johnny kembali menegakkan badannya lalu menatap Aleeah.

“Kamu ngusir saya?”

“Mama sendiri pak, jangan bercanda!”

“Mama sama tante, sama om, sama sepupu saya” balas Johnny.

“Maksudnya?” tanya Aleeah.

“Pas papa meninggal tante sama om saya pindah ke rumah, disuruh mama, dari pada sepi. Jadi yaudah mama sekarang ngga sendiri le, ada tante ada keluarga kok tenang. Lagian saya juga masih kesel” balas Johnny dengan wajah memelas. Aleeah hanya mengangguk anggukan kepalanya.

“Kamu kenapa ngga omong kalo mamamu itu Bu Anggi?” tanya Johnny kembali.

“Bu Angg-” balas Aleeah terpotong. Sedetik kemuadian... “Bapak mahasiswa mama?” tanya Aleeah mengkoreksi jawabannya.

“Pas mama kamu meninggal saya lagi bimbingan, le” “Mama kamu dospem saya” balas Johnny. Aleeah sedikit terkejut dan membelalakan matanya.

“Seriously?”

“Iyaa, saya bingung banget ini gimana, mana ngga ada dosen seenak dan sefleksibel mama kamu.” balas Johnny. Aleeah mulai menundukkan kepalanya.

“Mama emang baik pak, ya?” jawab Aleeah.

“Le, sorry saya ngga bermaksud-”

“It's ok pak, saya udah biasa kok hehe” balas Aleeah. “Bapak tau ngga si ahaha pas mama meninggal ada mahasiswa cowo ke rumah, takziah, nangis kejer banget, lebih kejer dari saya. Saya kaya mikir, ini yang anaknya saya apa dia di kenapa dia tersakiti banget, ya?” lanjut Aleeah. “Tapi di satu waktu saya merasa senang, mama banyak yang sayang”

“Le?” panggil Johnny. Aleeah menoleh.

“Itu saya.” lanjut Johnny. Aleeah sontak menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Terkejut.

“Saya yang nangis sekejer itu, jangan cemburu sama saya dong le, saya kehilangan dosen kesayangan saya pas mama kamu meninggal” lanjut Johnny. Aleeah masih membungkam mulutnya tidak percaya. Ia menemukan mahasiswa sang mama yang ikut meneteskan air mata ketika dunia Aleeah berpulang selama lamanya. Ia menemukan seseorang dengan perasaan yang sama dengannya ketika sang mama diambil Sang Maha Kuasa. Ia menemukan orang itu. Ia menemukan rasa simpati itu, kembali.

“Saya kaget banget pas liat data diri kamu, loh ini alamatnya saya kenal. Kok disini? Terus saya inget inget nama mamamu, di loteng remember? Anggina?” tanya Johnny pada dirinya sendiri.

“Ternyata bener” lanjutnya. Aleeah masih berdiam diri tidak percaya. Pasalnya tujuh tahun yang lalu memang datang banyak rekan kerja serta mahasiswa sang mama untuk ikut berbela sungkawa. Tetapi ada satu manusia yang menarik perhatian Aleeah karena ia menangis sejadi jadinya meskipun dirinya laki laki. Kehilangan yang Aleeah hadapi rasanya sama besar seperti tangis si lekaki. Tetapi Aleeah tidak cukup memiliki tenaga untuk bertanya siapa dan bagaimana hubungan laki laki muda itu dengan sang mama. Dan ternyata benar, malam itu Aleeah menemukan pencerahan. Mahasiswa akhir bimbingan sang mama yang kini akan menjadi suaminya, sama dengan laki laki yang menangis tujuh tahun silam di pemakaman Ibu Anggina.

“Sempit. Sempit banget wahhh merinding saya pak” balas Aleeah.

“Makanya, saya juga merinding pas dateng ketemu papa” balas Johnny.

“Pak. Saya beneran penasaran, bapak sebenernya ngomong apa ke papa? Kok maksud saya, papa langsung 'iya' gitu lo?” tanya Aleeah akhirnya.

“Hehe” balas Johnny.

Sepulangnya memastikan Aleeah sampai apartment dengan selamat, Johnny kemudian menimang nimang isi hatinya. Pasalnya, si hati entah mengapa berkata bahwa ia harus segera menyelesaikan semua urusannya. Sesegera mungkin.

Di berhentikannya Rubicon hitam miliknya yang sudah menemani masa remajanya hingga sekarang di depan sebuah toko roti. Ia kemudian turun dan membeli beberapa keping untuk dibawa menemui 'calon mertuanya'.

Setelah urusan roti selesai, ia kembali duduk di bangku kemudi lalu mengeluarkan ponsel pintarnya yang kemudian ia gunakan untuk mengkorek informasi mengenai sesuatu.

Jalan Jendral Sudirman 10, Kwangya 127

Johnny mematung, membaca alamat yang tertera dalam resume milik Aleeah. Lagi. Johnny kecolongan lagi. Tidak pernah sebelumnya ia seperti ini. Untuk duduk diposisi wakil direktur ia harus teliti dan mumpuni bahkan diusia yang sangat muda. Namun kali ini ia kecolongan lagi. Entah mengapa bagi Johnny, semua yang berkaitan dengan Aleeah selalu membuatnya hilang kendali. Ia menjadi ceroboh sekaligus terlihat bodoh ketika bersangkutan dengan Aleeah.


“Saya Johnny pak. Nama saya Johnny Seo, saya kemari ingin meminta restu bapak untuk hubungan saya dengan Aleeah karena saya bermaksud membawanya ke jenjang yang lebih serius.” kata Johnny dengan tenang di hadapan Sinatra Pramudya. Lelaki 28 tahun itu rupanya sudah duduk di kursi panjang terbuat dari jati dengan akses mengkilat di dalam rumah megah yang terasa amat sangat sepi.

Sinatra kemudian menarik berat nafasnya. Ia memandangi Johnny sedari pemuda ini masuk dan duduk hingga selesai mengungkapkan maksud kedatangannya. Tatapan Sinatra tidak lepas dari sosok di hadapannya.

“Aleeah ngga ada bilang apa apa sama saya sebelumnya. Dia cuman bilang mau kenalin seseorang ke saya. Dan saya pikir itu kamu?” balas Sinatra. Johnny kini menundukkan kepalanya. Walaupun hanya berpura pura namun ada perasaan tegang dalam dirinya. Lagi. Kecolongan lagi. Ia datang kesini hanya bermodalkan berani tanpa persiapan apapun. Siapa yang datang melamar anak orang lain hanya dengan membawa sekotak roti? Apalagi ini Sintarta Pramudya. Penguasanya penguasa. Siapa laki laki yang berani meminta anak gadis Sinatra seorang diri? Ya benar, Johnny.

“Kenapa ngga dateng bareng Aleeah? Bertengkar?” di luar dugaan. Jawaban Sinatra amat sangat tidak dapat diprediksi.

“Saya memang ingin meminta Aleeah seorang diri pak” jawab Johnny lagi. Hening cukup lama hingga Sintarta berkata..

“Saya ngga tau kalau Aleeah punya pacar sampe udah mau seserius ini, nak Johnny. Saya ngga tau background kamu gimana, saya juga ngga tau maksud Aleeah nanti seperti apa, memang benar saya memiliki kuasa penuh atas Aleeah tapi saya tidak bisa seenaknya sendiri. Menikah nanti dia yang jalani. Saya tidak bisa menerima atau menolak nak Johnny sekarang karena terima tau tolaknya saya, tergantung bagaimana nanti Aleeah. “ jawab Sinatra. Johnny kini dengan sekuat tenaga dan keberanian yang tersisa menatap dalam mata calon mertuanya.

“Bapak. Saya mohon izinkan saya menikahi Aleeah.” kata Johnny dengan tegas tetapi tetap sopan lembut dan penuh permohonan. Sinatra kini yang berdiam diri meminta penjelasan lebih panjang.

“Mohon maaf saya lancang. Sebelumnya saya dan Aleeah tidak pernah berpacaran pak. Saya dan Aleeah terjebak dalam situasi yang mengharuskan kami berada dalam hubungan yang serius.” kata Johnny membongkar kartu as. Sinatra membelalakkan matanya. Fakta konyol macam apa ini?

“Namun setelah saya mengenal Aleeah saya menjadi ingin menjaganya pak. Saya benar benar tulus, saya ingin menjaga Aleeah. Bukan karena Aleeah anak bapak terlepas dari siapa bapak. Bukan karena Aleeah anak dosen saya. Bukan karena Aleeah pewaris Choi'si. Bukan pak. Saya ingin menjaga Aleeah karena Aleeah adalah Aleeah. Saya benar benar tulus.” balas Johnny. Tidak ada kebohongan disini. Dari awal memang Johnny yang tertarik kepada Aleeah. Dari awal Johnny yang mengusahakan Aleeah. Namun ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan didekatkan dengan perempuan dambaannya melalui cara gila seperti ini.

“Aleeah hamil anakmu?” tanya Sinatra. Johnny membelalakan matanya. Hampir saja mencelos keluar begitu saja. Pertanyaan macam apa ini? Kaki Johnny mendadak lemas. Keringat dingin. Bagaimana bisa pikiran pria paruh baya ini sampai kesana?

“Tidak pak. Engga. Saya sama Aleeah tidak segila itu” balas Johnny lagi. Kalau dipikir pikir sebenarnya pertanyaan Sinatra adalah yang paling masuk akal, situasi apa yang mengharuskan mereka terikat dalam tali pernikahan?

“Terus?” tanya Sinatra dengan tenang. Wibawabya mendominasi suasana malam ini. Johnny dibuat mati kutu hanya dengan pertanyaan singkat tersebut.

“Mohon maaf pak, saya dan Aleeah...” mau tidak mau Johnny menjawab jujur alasan ia dan Aleeah menikah. Dengan nafas yang tersendat sendat serta keringat yang mengalir di seluruh tubuhnya, Johnny mulai menceritakan bagian dimana ia dan Aleeah memilih jalan ini.

Sintarta mengusap air matanya ketika cerita sang pria yang lebih muda darinya mencapai titik keselesaian. Tidak pernah ia pikirkan bahwa begitulah jalan pikiran putri semata wayangnya. Sesak. Mengapa Aleeah harus mengorbankan dirinya sendiri demi kebahagiaan sang papa? Yang nyatanya baik ia dan sang papa sama sama belum bahagia. Sinatra menatap lekat wajah Johnny.

“Kamu serius bisa jaga dia?” tanyanya kemudian.

“Saya serius. Saya tidak akan berjanji tapi nanti dapat lihat sendiri. Yang dapat saya jamin sekarang adalah kebutuhan Aleeah tidak akan pernah kurang.” balas Johnny. Sinatra diam menatap pemuda di depannya. Ucapannya klise sekali tetapi ada keyakinan dan bersih dari pendustaan disana. Ia menatap manik mata coklat yang mengeluarkan ketulusan disana.

“Tentukan tanggalnya nak Johnny. Kembali bersama Aleeah dan keluarga, saya tunggu.” balas Sinatra

Aleeah menutup pintu belakang taxi yang berhenti di depan gerbang tinggi dengan aksen kayu setelah membayar beberapa rupiah. Kakinya ia bawa untuk melangkah dan membuka gerbang lainnya di samping gerbang utama yang memang diperuntukkan untuk akses keluar masuk berjalan kaki. Sedangkan gerbang utama digunakan untuk kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Langkahnya terasa berat, namun ada desiran di hatinya yang entah bagaimana cara menggambarkannya, ketika Aleeah kembali pulang, ke rumah.

“Papa” panggil Aleeah setelah ia menemukan seorang lelaki paruh baya sedang berkutat di dapur. Merasa disebut, lelaki itupun memalingkan badannya. Ia temukan putri semata wayangnya yang terakhir kali ia dekap daksanya 9 bulan yang lalu sedang berdiri dengan wajah cukup sendu disana.

“Adekk” ucap sang papa sembari mendekat dan memeluk kembali tubuh munggil Aleeah yang dimatanya, putri kecilnya ini tidak pernah tumbuh dewasa. Di mata sang papa, Aleeah tetaplah anak kecil berusia 5 tahun yang jika tidak diurus maka ia akan mati kelaparan. Di mata sang papa, Aleeah adalah remaja berusia 16 tahun yang merengek meminta pindah sekolah ketika masa orientasi siswa dimulai karena terlalu malas dipelonco ini itu oleh kakak kelasnya. Di mata sang papa, Aleeah adalah semesta yang tidak boleh mendung, matahari harus selalu bersinar disana, dengan terang.

“Papa apa kabar?” tanya Aleeah di sela sela pelukan mereka.

“Papa ya baik. Kamu gimana?” “Tuman ini kalo pulang ngga pernah mau ngabarin.” balas sang papa sembari melepaskan dekapannya.

“Yang penting kan udah pulang?” elak Aleeah. Cengengesan.

“Ying pinting kin idih piling” tiru papa.

“Papa julid banget?” balas Aleeah. Lalu keduanya sama sama tertawa hingga suara mereka menggema ke seluruh sudut ruangan.

Rumah dengan aksen putih yang besar dan tinggi ini dulu pernah seramai pasar walau hanya tiga orang yang menghuni. Baik Sinatra maupun Anggina sama sama bersepakat untuk hanya memiliki Aleeah sebagai penopang hidup nereka. Rumah ini dulunya pernah amat sangat hidup walau hanya ada mama, papa dan Aleeah. Namun ketika Anggina pergi, jantung serta jiwa rumah ini ikut bersamanya. Anggina tidak pernah membawa mereka untuk masuk ke liang lahat dan dikubur bersama untuk waktu yang tidak terbatas. Namun mau tidak mau, secara otomatis, kehidupan papa dan Aleeah ikut mati bersama perginya sang mama.

“Johnny mana pa?” tanya Aleeah setelahnya.

“Johnny? Loh k-” jawab papa terputus.

“Loh katanya ada yang ngelamar Aleeah?” tanyanya ke sang papa.

“Loh, pacarmu itu Lucas apa Johnny dek? Kok banyak banget?”

“Lucas?” tanya Aleeah tak kalah keheranan.

“Oittt” panggil seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi memanggil seorang gadis yang ia jaga di negara orang selama 5 tahun terakhir karena merasa memiliki penderitaan yang sama. Sama sama merantau.

“Si anjir?” sapa Aleeah. Agaknya dirinya terkejut bukan main. Mengapa bisa Lucas ada disini bersama ayahnya? Apa maksud pesan papa bahwa ada seorang pria yang datang melamarnya? Bukankah seharusnya itu Johnny? Mengapa Lucas yang ada disini?


“Lo beneran mau nikah?” tanya Lucas pada Aleeah. Keduanya kini ada di halaman belakang rumah papa sembari memakan jagung bakar yang sengaja ia pesan melalui aplikasi online.

“Ya lo pikir?” balas Aleeah.

“Le, gue nyuruhnya lo cari kerja bukan cari suami, anjing” balas Lucas terheran heran.

“Ya iya gue nyari kerja terus ketemu suami juga cas” jelas Aleeah.

“Aneh banget, lo sesuka itu sama duit?” tanya Lucas kembali.

“Ini orang orang kenapa ngga ada yang percaya deh? Kenapa semua ngira kalo gue nikah karena duit?” balas Aleeah kesal.

“Ya, ya gimana ya le, gue aja ya, gimana”

“Ngomong yang jelas anjrit cas”

“Ya, jujur gue syok liat rumah lo segini gedenya” balas Lucas belum selesai. Aleeah menatapnya tajam penuh keheranan dan pertanyaan.

“Ok sorry gue liat alamat lo di facebook le. Lo tau gue ngga punya siapa siapa disini, maksudnya ya gue mau numpang gitu. Lo harus tau ya bajingan, gue di depan gerbang ngitungin kancing baju masuk engga masuk engga lihat penampakan alamat di facebook lo. Kaya, ya ngga mungkin anjing, Aleeah aja kere ini rumah siapa bangsat” jelas Lucas.

“Gue coba aja ternyata beneran rumah lo. Lo kenapa si le? Gue kalo jadi lo ya ngga susah susah kerja udah gue bernafas aja menghasilkan duit” lanjutnya.

“Ngitungin kancing baju, lo aja pake kaos ya usus lele” balas Aleeah sembari mencubit pinggang Lucas. Kesal.

“Aw aw anjing.”

“Lo kenapa ngga ke perusahaan gue aja deh cas?” tanya Aleeah setelahnya.

“Perusahaan apaan?”

“PT mencari cinta sejati. Lo bego kenapa ngga ngechat aja segala nyari di facebook. Itu akun udah ngga gue pake dari smp anjing Lucas” balas Aleeah masih sebal.

“Ya kan surprised?” balas Lucas enteng.

“Matamu. Untung bapak gue open minded ya, kalo ngga udah digorok lo” “Pake acara ngaku mau ngelamar lagi goblok” lanjut Aleeah sembari memukul mukul lengan Lucas.

“Ok ok aww udah anjing le” “Tapi lo serius sama si Johnny Johnny itu? ” tanya Lucas seketika Aleeah menghentikan aktifitas memukulnya.

“Serius.” jawab Aleeah mantap tanpa ada unsur keragu raguan di dalamnya.

“Kenapa gue kesininya ngga dari tadi aja ya biar ketemu?” ucap Lucas penuh penyesalan. Benar. Sebelum Lucas datang, Johnny sudah lebih dulu menghadap Pak Si untuk meminta restu, tanpa sepengetahuan Aleeah pula. Aleeah pun juga baru tau ketika sang papa bercerita.

“Ya ngapain? Ngapain mesti ketemu Johnny?” balas Aleeah.

“Heh banjingan. Lo di Jerman lima tahun gue yang jagain, apa apa gue yang bantuin, lo sakit gue yang ngobatin, lo ini udah kaya anak gue sendiri anjing le. Doa restu gue juga penting tcoyyy” balas Lucas tidak terima.

“Lo kaya ngga ikhlas banget?”

“Coba gue tanya. Lo kenapa mau nikah sama dia? Lo baru kenal Johnny ya le, jangan macem macem lo, mahkluk bumi itu aneh” jelas Lucas.

“Lo juga mahkluk bumi bajingan, cas ah emosi” balas Aleeah.

“Yaudah kenapa? Jujur sama gue kenapa?” tanya Lucas kembali.

Pertanyaan kali ini tidak dapat Aleeah jawab dengan seenaknya sendiri. Lucas. Lucas Wong, adalah temannya yang dengan tidak sengaja Aleeah temukan ketika dirinya sedang berdarah darah mencoba hidup di negara orang. Setiap hari bertemu dan saling berbagi cerita membuat Lucas paham benar bagaimana Aleeah sebenarnya. Bahkan semua mantan pacar Lucas tidak ada yang pernah sekalipun cemburu pada Aleeah karena memang mereka tau bahwa pacarnya dan Aleeah hanya sebatas sahabat yang lebih seperti saudara, tidak lebih. Maka untuk menjawab pertanyaan Lucas malam itu, Aleeah sedikit memutar otak karena jawaban bahwa dirinya dan Johnny telah berpacaran selama dua tahun akan terdengar konyol di telinga Lucas.

“Kenapa le? Anjg jangan ngelamun kesambet setan ayunan gue gebukin lo” rancau Lucas lagi meminta kepastian.

“Pengen aja. Gue pengen aja” balas Aleeah akhirnya. Lucas hanya diam memandang wajah sahabatnya. Tidak ada pertanyaan lagi setelahnya. Aleeah memilih untuk tidak, atau mungkin belum, bercerita.

Ceklekkk

Suara pintu kamar Johnny dibuka. Tidak lebar. Hanya separuh saja. Johnny juga tidak berniat memperlihatkan seluruh badanya. Hanya kepala sang pria muncul sebagai sambutan kepada perempuan yang kini tersenyum dengan dibuat buat menyapa pemilik kamar dengan rambut basah terbungkus handuk. Terlihat sekali bahwa Aleeah baru selesai mandi.

Dressed up yang bener dong le” kata Johnny dengan wajah malas. Aleeah tidak menjawab. Ia mengendus sesuatu melalui dua lubang hidungnya.

“Bapak makan ayam saya ya?” tanyanya penuh hardik lalu dengan cepat menarik pintu kamar Johnny dan menerobos masuk ke kamar laki laki 28 tahun itu meninggalkan sang pemilik yang masih diam mematung terkejut dengan tenaga yang dimiliki Aleeah. Ini cewe makan apaan dah kayanya cuman makan ayam kenapa kuat banget?

“Ohh bapak beli dua ternyaata, hehe he” ucapnya sendirian tatkala melihat satu bungkus ayam goreng favorite nya selama dua minggu ini yang telah terbuka dan satu lagi yang diduga miliknya masih terbungkus rapi. Johnny yang berada di ambang pintupun sudah masuk menyusul Aleeah dan memperhatikan tingkah gadis berusia 2 tahun lebih muda dari padanya.

Aleeah pun kemudian duduk di atas karpet bulu dimana beberapa minggu yang lalu, tempat ini pernah menjadi saksi bisu tersedaknya Aleeah hingga sebuah cola dengan lancar keluar dari kedua lubang hidungnya. Kemudian sang puan mulai membuka ayam goreng kesukaannya. Johnny hanya berkacak pinggang sambil menggeleng gelengkan kepala. Heran.

“Mau pake nasi?” tanya Johnny. Tidak ada jawaban. Mulut Aleeah penuh dengan sumpalan ayam. Ia hanya mengangguk mengiyakan sebagai jawaban pertanyaan Johnny. Sang pria kemudian berdiri mengambil nasi.

“Pelan pelan makannya, le” ucap Johnny. Aleeah masih tidak menjawab. Kedua tangannya sibuk. Yang kanan sibuk memuluk nasi sedangkan yang kiri memegang ayam. Sibuk sekali. Sementara Johnny hanya menggunakan satu tangannya untuk memakan ayam sedangkan satu tangannya lagi ia gunakan untuk sekedar menscroll ponsel pintarnya.

“Pak?” “Pak Johnny, pak?” panggil Aleeah dari bangku samping.

“Hmmm?” jawab Johnny acuh tak acuh sambil sesekali menggigit ayam serta pandangannya yang tetap ke ponsel.

“Pak Johnny, tolong” ucap Aleeah kemudian. Johnny pun menoleh. Didapatinya wanita yang sedang sibuk makan ini ternyata sudah dalam keadaan berantakan. Bungkusan handuk di kepalanya melorot menutupi hampir separuh wajah cantiknya.

“Astaga le?!” “Kamu makan model apa sampe begini bentuknya?” tanya Johnny terkejut.

“Pak tolongin ini handuknya nanti masuk saos” jawab Aleeah. Johnny kemudian menarik handuk yang menutup rambut basah gadisnya sehingga Aleeah dengan reflek menyiblakkan rambutnya ke arah yang berlawanan, yang mana kegiatannya ini secara tidak sengaja membuat rambutnya menampar wajah Johnny.

Seketika itu pula Johnny menutup matanya sembari merasakan sesuatu yang perih nan basah di wajahnya. Sakit sekali. Akibat tamparan rambut panjang Aleeah pun, muncul bekas bekas merah di wajah rupawan pewaris SeoCompany ini.

“Hoh. Astaga” ucap Aleeah tersadar dengan menutup mulut menggunakan tangannya tapi tidak menempel. Sedikit terkejut.

“Pak? Sakit? Maaf pak ngga sengaja” lanjut Aleeah.

“Terusin aja. Terusin aja nyiksa sayanya” balas Johnny sembari membuka mata dengan wajah datarnya.

“Maaf ngga sengaja” balas Aleeah lagi sambil terkekeh.

“Ketawa?” tanya Johnny kesal.

“Maaf” balas Aleeah tetap dengan kekehan kecilnya. Johnny tidak menjawab ia hanya kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat teganggu. Aleeah merasa bersalah. Ia kemudian bangkit dan berjalan sendiri ke arah kulkas. Niatnya kali ini tidak meminta bantuan Johnny.

“Pak?” panggil Aleeah akhirnya.

“Apa lagii?” balas Johnny di seberang sana.

“Hehe maaf pak. Tolong ambilin ini karet dong pak” minta Aleeah. Johnny yang sedikit malas dan kesal kemudian tetap bangkit dan menuruti permintaan Aleeah.

“Pak tolong iketin juga ke rambut saya” minta Aleeah lagi. Johnny kini membuka matanya lebar lebar. Terkejut bukan main. Bagaimana bisa bawahannya ini dengan seenak jidat sendiri menyuruhnya ini itu?

“Le, saya bos kamu ya kalo kamu lupa” ingat Johnny.

“Iya tadi” jawab Aleeah enteng sembari membalikan badanya menunggungi Johnny agar segera melakukan permintaannya.

“Tadi?” tanya Johnny.

“Iya tadi siang bapak atasan saya. Sekarang kan udah malem, bapak calon suami saya. Buruan pak laper” minta Aleeah. Johnny terkejut lagi.

“I told you to stop using that word” katanya berkacak pinggang sambil menenggok wajah Aleeah dari samping.

“Bapak juga masih sering pake calon istri calon istri udah ah buruan” balas Aleeah. Johnny hanya menghembuskan nafasnya kasar. Walaupun sudah sering diperdebatkan namun kata kata calon istri dan calon suami ini masih amat sangat asing di telinga keduanya.

Entah bagaimana mulanya, Johnny dan Aleeah menjadi sedekat ini. Embel embel bos dan sekretaris yang seharusnya menjadi penyekat hubungan keduanya mendadak melebur menjadi satu garis samar dimana baik Aleeah maupun Johnny dapat dengan bebas melewati batas.

Johnny yang menjadi sering berbicara mengenai bagaimana harinya berlalu serta Aleeah yang sudah tidak terlalu canggung meminta bantuan Johnny seperti tadi. Bagaimana tidak? Kehidupan kerja yang Aleeah pikirkan sebelumnya adalah stereotype kaku di kantor dengan atasan kolot yang selalu suka menyuruhnya. Namun keadaan berbanding terbalik 180 derajat, dimana ia dan atasannya harus bahu membahu saling membantu karena terjebak dalam perjanjian pernikahan yang palsu.


“Kamu ngga mau balik?” tanya Johnny pada wanita di seberang meja yang menatap teduh ke luar jendela lebar di kamarnya, dengan air hujan yang terus mengalir tidak terlalu deras ditemani kopi hangat buatan Johnny tentu dengan usul Aleeah sebelumnya.

“Disini bagus pemandangannya. Di kamar saya jelek. Tukeran kamar aja lah pak?” balas Aleeah.

“Ngaco” balas Johnny singkat. Acara makan ayam sudah selesai 10 menit yang lalu.

“Le, can i ask you something?” tanya Johnny membuka topik. Aleeah tidak menjawab. Ia mengalihkan atensinya ke lelali berusia dua tahun lebih tua darinya.

“What the real reason you want to marry me? Kecuali alasan mama kamu waktu itu” lanjut Johnny. Aleeah masih menatapnya diam. Hujan masih terus jatuh di luar sana. Tapi suaranya tidak terdengar, sehingga hanya suara kesunyian yang menyapa telinga keduanya jika berdua sama sama diam seperti ini.

“Saya ngga bilang bapak boleh nanya” balas Aleeah. Kali ini Johnny yang diam. Mode serius. Aleeah kemudian membuang wajahnya. Memfokuskan pandangannya ke arah jendela lebar kembali.

“I think we're on the same boat, pak.” “Bapak sama harapan mama. Saya sama pembuktian saya.” lanjut Aleeah. Tidak ada intonasi khusus yang Johnny dengar. Hanya saja kalimatnya nampak sangat sedih dan penuh dengan luka. Johnny masih setia memasang telinga.

“I told you that i am an orphan right? My mom passed when i was at my 3rd semestr.” “Saya sama papa bingung nyari alasan buat hidup. Papa cuman punya saya, saya juga cuman punya papa.” lanjut Aleeah. “Papa nyibukin diri di kantor, saya juga sibuk sama organisasi kuliah saya pak. Pulang ke rumah itu nyiksa banget. Kita berdua sama sama butuh mama.” jelas Aleeah. Johnny masih setia mendengarkan.

“Papa jadi kurus kering, saya juga jadi seadanya aja, sampai suatu hari saya liat papa senyum lagi. Gara gara temen perempuan papa. Saya kira saya bakalan marah tapi ternyata engga pak. Saya seneng liat papa saya ketawa. Long story short papa sama temennya mulai deket. Kita mulai jalan bertiga, posisi mama mulai diisi sama si tante ini” jelas Aleeah kembali. “Semakin kesini saya semakin sadar, papa needs someone who can cope with all his tears, someone who can cope with his joke, someone who stays with him all day long, terus saya coba berdoa saya bilang ke mama mah, posisi mamah mutlak. Mamah cuman satu di dunia, cuman mamah aja. Tapi istri papa boleh ya mah diganti? supaya saya punya alasan buat tetep di dunia pak, senyum papa.” lanjut Aleeah

“Saya udah deal tapi malah papa yang ngga mau. Alasannya klise banget. Papa ngga mau nikah lagi karena saya. Papa ngga mau nyakitin saya. Papa mau hidup buat saya aja. Mau jagain saya aja. Maksud saya kenapa gitu, kalo bisa bahagia kenapa mesti nolak?” akhir Aleeah. Johnny kini menyesap kopi hitamnya.

“Udah ngomong sama papa?” tanya Johnny.

“Pak si ngga pernah ngobrol sama saya lagi sejak mama ngga ada. Saya sama papa selalu sibuk pura pura baik baik aja pak. Jadi yaudah saya buktiin aja pake tindakan. Pa ini aku bisa. Just live your life, i can deal with myself” balas Aleeah.

“Inj juga alasan kamu moved aboard for last 5 years?” tanya Johnny.

“Yessss, saya pengen papa bahagia” jawab Aleeah mantap.

“Le, kamu tau ngga kamu egois?” tanya Johnny menatap dalam manik coklat di depannya.

“Selfish?” tanya Aleeah heran.

“Kamu pengen papamu bahagia tapi kamu ngga tau kebahagiaan papa apa. Bukan mama, bukan temennya. Bukan le. His true happiness is you. Kamu.” jawab Johnny.

“Papa kamu ngga butuh orang lain karena udah ada kamu. Tapi kamunya malah pergi ninggalin papamu sendiri.” lanjut Johnny. Aleeah kini diam. Memikirkan segala kemungkinan yang ada. Mengapa ia tidak pernah berfikir sejauh ini sebelumnya?

“Pulang le. Peluk papa, minta maaf, kamu harus bersyukur papamu masih ada.” ucap seorang anak yang kehilanggan ayahnya.

Johnny sedang duduk dengan menaikan kedua kakinya hingga menyentuh dada di sebuah bangku panjang terbuat dari marmer sembari menyesap Marlboro Merah yang ia bawa dari Indonesia.

Udara dingin belum juga hilang. Pas sekali pikirnya, dingin +rokok: kenikmatan mana lagi yang kau dustakan. Tak lama seorang wanita menggenakan hoodie abu abu bergabung dengan Johnny.

Aleeah berdiri canggung di samping laki laki yang auranya jauh berbeda dengan beberapa waktu lalu ketika ia dengan panik menyadari kesalahannya sementara saat ini dark sekali. Sementara si laki laki hanya memandang Aleeah yang tak dapat dijelaskan tatapan apa itu maksudnya. Setelah cukup lama kecanggungan ini berjalan....

“Duduk. Masih marah?” tanya Johnny kepada sekretarisnya.

“Siapa yang marah?” balas Aleeah lalu ikut bergabung dengan Johnny. Agaknya kursi mamer yang sedang mereka duduki ini memang diciptakan untuk selalu dapat meromantisasi keadaan. Johnny duduk disana tak lain dan tak bukan adalah karena kursi ini dihadapkan langsung ke pemandangan dimana mata bisa bebas dimanjakan dengan keadaan malam Frankfurt. Kursi ini juga bukan pertama kali bagi Johnny. Ia selalu duduk disana ketika ia merasa dunia sedang jahat kepadanya. Ia selalu duduk disana sembari mengevaluasi kembali keputusan keputusan yang ia ambil setelah ibunya tertidur dalam waktu yang cukup lama. Ia selalu, duduk disana.

“Mana pak?” tanya Aleeah meminta korek dengan sedikit gengsi. Johnny tidak menjawab. Ia memberikan benda pusaka itu kepada empunya sembari memperhatikan Aleeah mengeluarkan sesuatu dari kantong hoodie miliknya. Promild merah.

Ditepuk tepukkan tembakau dengan plastik khas tanda belum dibuka itu ke tangannya. Sedetik kemudian Aleeah mulai membuka plastik pembungkus bagian luar. Hal ini juga tak luput dari perhatian Johnny. Tidak langsung dihisap. 12 putung rokok itu ia hirup dulu aromanya. Aleeah selalu punya cara sendiri untuk menikmati sesuatu.

“Ini aja.” ucap Johnny sembari merampas paksa rokok dari tangan Aleeah lalu menggantinya dengan Marlboro Merah miliknya. Aleeah tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Johnny. Meminta penjelasan.

“Berat le. Kamu perempuan jangan ngerokok yang berat berat.” lanjut Johnny.

“Ya emang kenapa, ngga tiap hari juga pak” bela Aleeah.

“Ya tetep aja jangan. Kamu mau ngenos hidup?” tanya Johnny. Aleeah tertawa.

“Hahaha pak, kalo mau meninggal ya meninggal aja, mau rokoknya berat mau rokoknya ringan kalo udah waktunya meninggal ya meninggal aja” balas Aleeah. “Bukan berarti dengan ngeroko yang ringan terus waktu hidupnya jadi diperpanjang, kan?” lanjutnya. Johnny diam. Ia memikirkan perkataan Aleeah. Tertohok kalah telak lebih tepatnya.

“Lagian bapak juga ngerokok kan, mau berat mau engga sama sama ngotorin paru paru. Kita ini sama aja, pak” jelas Aleeah. Johnny menjadi semakin kecil di hadapan gadis 26 tahun yang berhasil mencuri atensinya satu bulan yang lalu.

“Saya duluan pak” pamit Aleeah kemudian. Johnny dengan reflek super cepatnya berhasil menahan tangan Aleeah untuk tidak pergi.

“Mau kemana?” tanya Johnny. Aleeah tidak menjawab. Tatapannya jatuh ke tangan atasan yang sedang mencengkram pergelangan tangannya.

“Sorry sorry” “Mau kemana?” ucap Johnny seraya melepaskan pegangan tangan mereka.

“Mau ke kamar” balas Aleeah singkat.

“Disini aja le, bareng saya. Enak emang ngeroko sendirian?”

“Saya malah ngga suka kalo ada orang lain.” balas Aleeah.

“Gotcha” balas Johnny lalu membuang sisa rokoknya ke lantai dan kemudian menginjaknya dengan sedikit diputar guna mematikan bara api yang tersisa.

“See? Disini aja. Udah ngga ada yang ngeroko, disini aja saya mau interview kamu tahap dua. Biar makin totalitas depan mama.” lanjut Johnny.

“Kan bapak udah liat CV saya? Ya udah itu saya semua pak” bela Aleeah. Agaknya menghindar.

“Beda, beda, yang lain” bela Johnny. “Don't you want to do get to know me? Biar makin tau juga? Buat pengetahuan aja biar ngga plonga plongo nanti depan orang” bela Johnny lagi mencari topik agar Aleeah mau bertahan disana bersamanya.

“Ok then” kata Aleeah lalu duduk kembali . Belum lama ia duduk kini sudah bangkit untuk mendekat ke pembatas guna melihat Frankfurt dengan lebih luas. Sedari tadi, ternyata wanita ini baru benar benar menyadari bahwa Frankfurt benar benar indah dilihat dari atas begini.

“Tell me about you, le” kata Johnny ikut menyusul Aleeah.

“Nama saya Aleeah Pramesti, ayah saya Sinatra Pramudya, ibu daya Anggina Pramesti, saya lulusan NCIT, saya ngga punya pengalaman bekerja karena saya cum-”

“Stop” henti Johnny mendadak. “Itu saya juga tau, yang lain” perintah si laki laki.

“Yang lain?” tanya Aleeah.

“What's your favorite food, what's your favorite number, where side are you a flat or a globe earth, do you believe in aliens? Something like that” kata Johnny kini menatap mata gadis berusia 2 tahun lebih muda darinya itu. Aleeah diam cukup lama hingga sebuah kata keluar dari mulutnya.

“Im an orphan” kata Aleeah. Johnny diam dengan maksud agar Aleeah melanjutkan.

“Mama saya meninggal pas saya semester 3 pak. Sakit udah lama sejak saya SMP. Sejak saat itu saya cuma punya papa pak. Tapi papa juga sibuk nyari alasan buat bertahan hidup haha. And my favorite food is nothing special, im an omnivore haha, my favorite number is nothing special too but i hate the eight one. Looks like an infinite symbol isn't? Padahal ngga ada yang tak terbatas, everything has a limit, termasuk hidup.” jelas Aleeah panjang lebar. Johnny masih setia memasang telingga.

“Saga juga ngga berdebat tentang alien atau bumi si pak, saya ga peduli haha kaya yaudah lah ngapain juga buang buang waktu.”

“Le, kalo kamu merasa harus nerobos privasimu sekarang mending ngga usah le. Jangan, ngga papa, ngga usah cerita ke saya biar saya yang cari tahu sendiri” balas Johnny merasa bersalah memaksa Aleeah untuk tetap tinggal dengannya.

“Lah, bukannya calon suami saya berhak dan berkewajiban tau ya? Nanti gantian bapak yang cerita enak aja saya terus” balas Aleeah. Johnny kini terbahak bahak. Entah apa namanya tapi perutnya seperti sedang dihajar habis habisan oleh sesuatu.

“You named me what? Calon suami? Hahahha” tanya Johnny.

“Haha pak? Bener kan?” tanya Aleehmah tersipu.

“Bener kok hahha. Tapi ngga papa? Kamu emang seterbuka ini ya sama orang baru?” tanya Johnny.

“Nope.”

“Seriously? Jangan bilang karena calon suami lagi” balas Johnny. Aleeah kali ini tertawa lalu menatap sang lawan bicara.

“Because we're just, pretending.” balas Aleeah. Bagai diajak terbang ke awan lalu dijatuhkan tanpa bekal parasut begitu saja, Johnny mendadak merubah raut wajahnya. Benar benar seperti dihantam benda keras, hatinya mendadak kelu. Johnny tidak berkata apa apa. Ia tetap menatap lawan bicara sambil tersenyum kecut penuh kepalsuan.

“You're right, we're just pretending. Ok” balas Johnny seraya menjauh dari Aleeah dan pemandanganan malam Frankfurt. Merasa ada yang tidak beres Aleeah pun bertanya..

“Pak?” “Pak Johnny, are we” “Are we cool?” tanya Aleeah.

“Ya, we're cool. Kamu mau balik atau masih mau disini le? Saya mau balik. Dingin banget” balas Johnny sembari berjalan menjauh tetap dengan senyum palsu yang dipaksakan. Aleeah kebingungan. *Adakah tutur katanya yang salah?”

“Bapak duluan aja, saya masih mau disini” balas Aleeah akhirnya.

“Okey, jangan balik malem malem le. Good night” kata Johnny lalu menghilang di balik pintu sebagai akses satu satunya naik ke loteng hotel ini. Sementara itu Aleeah masih dibuat overthinking karena ia membaca dengan baik raut wajah atasannya tapi tidak tahu apa maksudnya.

Yaudah lah nyebat dulu udah disini juga.

Jess jesss pufffff

Kini keduanya telah berada di hotel dengan sekresek penuh makanan ringan. Walaupun baru kembali dari bersenang senang, namun Aleeah tetap merasa lapar karena kebanyakan berbicara dan menganggurkan makanan yang ia dan temannya pesan beberapa jam yang lalu, alhasil ia ikut berbelanja dengan Johnny yang rencananya hanya ingin membeli sosis.

Entah bagaimana ceritanya, sekretaris dan atasan ini berakhir di kamar Johnny dengan Aleeah yang sudah menanggalkan mantel serta melepas alas kakinya, begitu pula Johnny yang berganti celana dan hanya berataskan kaos yang tadi ia kenakan. Lebih santai untuk sekedar bercakap cakap.

“Pak, perlu materai ngga?” tanya Aleeah. Keduanya duduk di lantai beralaskan karpet bulu cukup tebal dengan kertas dan polpen serta makanan ringan yang tadi mereka beli.

“Hah ngapain?” “Kaya mau tanda tangan kontrak aja” balas Johnny.

“Yakan emang bikin kontrak pak?” tanya Aleeah.

“Le, jangan kontrak nyebutnya kasar banget, do and don't aja”

“Hahha oke, jadi pake materai?”

“Ngga usah aja lah ya kan cuman kita berdua” usul Johnny.

“Jadi ini ngga boleh ada yang tau pak?” tanya Aleeah dengan sibuk memasukan makanan ke mulutnya. Johnny diam. Bingung harus menjawab apa. Ia hanya menatap wajah Aleeah.

“Harusnya ngga boleh ada yang tau, le” balas Johnny kemudian.

*Tapi gue udah cerita ke Jeffrey, anjir.

Aleeah kali ini memilih diam. Lah gue alesan apa ke anak anak.

“Tapi saya harus alasan apa pak ke temen temen saya?” tanya Aleeah setelahnya.

“Kamu udah cerita?”

“Ya belom si, tapi kalo tiba tiba nikah pasti ditanyain pak, ngga mungkin engga.”

“Sebenernya saya udah cerita si le, ke Jeffrey” balas Johnny.

“Pak?!” jawab Aleeah tersentak sembari menghentikan kegiatan mengunyah camilannya.

“Ya gimana saya butuh saran. Dari prespektif saya sama prespektif kamu ya ini masuk akal. Tapi saya butuh pandangan orang lain juga sebelum makin jauh.” jelas Johnny.

“Terus? Nanti pasti bocor ke Alisya, pak. Saya kayanya ngga akan bisa nikah sama bapak kalo gini ceritanya.” balas Aleeah.

“Kenapa ngga bisa?” tanya Johnny heran.

“Honestly dari pada restu papa lebih susah dapet restu temen temen saya. Kalo mereka udah curiga ya bakal dicari sampe akar akarnya” balas Aleeah meyakinkan. Johnny kini hanya diam memandang wajah lawan bicaranya. Otaknya diajak bekerja sementara ia juga sedang mengutuk diri sendiri. Bocor banget lo jo, kok bisa kecolongan lagi cerita ke Jeffrey.

“Tapi saya udah bilang jangan cepu kok le ke Jeffrey” balas Johnny. Polos sekali.

“Pak Johnny, hallo?” ucap Aleeah sambil mengayunkan telapak tangannya di depan wajah Johnny.

“Pak, mereka udah nikah, everything looks possible in bed. Mereka bisa ngomong apapun kalo udah di ranjang. Bapak masak gitu aja ngga ngerti?” tanya Aleeah. Kini raut wajah Johnny berubah. Dari yang seperti ketakutan menjadi menghardik penuh pertanyaan. Matanya mulai menyipit menatap tajam Aleeah.

“Pak, saya ngga gitu kok” ucap Aleeah seolah mengerti maksud raut wajah Johnny.

“Pak serius saya ngga, astagaa” “Ya masak bapak ngga ngerti gitu aja? Itu kan basic?” ucap Aleeah lagi. Johnny belum menjawab. Ia masih diam dengan wajah menghakiminya memandang Aleeah.

“Pak serius saya ngga pernah itu” “Pak Johnny saya masih perawan!.” kata Aleeah akhirnya. Johnny sontak tertawa terbahak bahak mendengar penuturan sang wanita.

“Hahahhahahahhah”

“Pak Johnny. Pak Johnny” panggil Aleeah sambil mencari mata lawan bicaranya. Panik. Sementara Johnny masih terpingkal pingkal dengan aksi Aleeah barusan.

“Pak, Pak Johnny” panggil Aleeah lagi. Raut wajahnya memerah. Sedikit kesal dan malu rupannya.

“Hahaha iya le saya percaya hahah, lucu banget ekspresimu” jawab Johnny.

“Bapak ih. Kalo bukan atasan gue pukul beneran lo.” “Ya kan iti basic pak, kaya ya ngga masuk akal kalo mereka cuman diem dieman, cerita apapun udah pasti mungkin banget. Semua orang juga tau pak, pak johhny ni” jelas Aleeah lagi meluruskan salah paham yang sengaja Johnny buat.

“Hahhaha iyaa. Iyaa Aleeah saya tau hahhaha” balas Johnny dengan sisa tawa yang ada. Aleeah diam. Kesal. Ingin ia memukul laki laki dihadapannya ini. Laki laki yang ia kenal baik baru beberapa hari tapi sudah membuatnya mereval keperawanannya yang bahkan dengan komplotannya pun Aleeah tidak pernah sekalipun membicarakan hal itu.

“Le bentar saya mau nanya” buka Johnny akhirnya. Aleeah tidak menjawab. Ia melanjutkan kembali kegiatan mengunyah makanan ringan.

“Kamu beneran pewaris Choi'si Grub?” satu pertanyaan terlontar. Tak tanggung tanggung efek sampingnya. Aleeah berlari ke kamar mandi karena makanan ringan yang ia nikmati malah salah jalur ke kerongkongan. Tersedak. Aleeah memuntahkan sisa makanan di mulutnya sambil terbatuk batuk di wastafel kamar Johnny. Si pemilik kamar kemudian menyusul.

“Le, kalem le, kaya bocah aja makan terus kesedek” ucap Johnny sembari membantu Aleeah menepuk nepuk punggung. Setelah cukup mereda Aleeah memberi tanda ke Johnny dengan jarinya meminta minum. Johnny pun segera meluncur ke depan mengambil cola yang mereka beli bersama.

“Uhuk uhuk” lagi. Aleeah tersedak lagi. Kali ini lebih parah. Cairan coklat yang ia minum belum ada satu menit sebelumnya keluar melalui lubang hidungnya. Johnny panik kembali.

“Le le, kenapa si le astagaaa kalem le” kata Johnny sembari kembali menepuk nepuk punggung Aleeah.

Setelah cukup mereda, Aleeah lalu menyalakan keran wastafel tempatnya tersedak lalu meminum air menggunakan tangannya. Setelahnya ia menatap tajam Johnny dengan raut muka sangat kesal melalui cermin di depannya. Kemudian ia meninggalkan kamar mandi dan Johnny dengan banyak pertanyaan.

Gue salah, ya?

“Le?” panggil Johnny iku menyusul Aleeah ke depan. Rupanya si wanita sedang memasuk masukan barangnya dan berniat meninggalkan ruangan.

“Le?” panggil Johnny lagi. Tetap berdiri dengan canggung.

“Le, saya salah?” tanya Johnny. Berhasil. Kini Aleeah menatapnya. Tajam.

“Orang kesedek malah dikasih cola. Bapak sehat?” tanya Aleeah kesal.

“Maaf maaf. Soalnya tadi yang paling deket yang itu” jelas Johnny. Aleeah tidak menjawab dan tetap memilah memilah belanjaannya.

“Le, jangan pundung ini kontrak gimana?” tanya Johnny berhati hati. Ia tahu wanita di hadapannya sedang dalam suasana hati yang kurang baik perihal perbuatannya. Aleeah kemudian mengalihkan atensinya ke kertas dan bolpoin yang tercecer di atas meja.

“Yaudah buruan” katanya. Johnny tersenyum lalu segera mengambil tempatnya semula.

“Jadi gimana? Boleh tau ngga?” tanya Johnny kembali.

“Ngga usah aja pak. Ngga boleh ada yang tau. Nanti saya coba ngomong sama Alisya. Terumata mama.” balas Aleeah. Johnny mengangguk paham.

“Tapi bapak tetep ke rumah ya, formalitas aja” lanjut Aleeah.

“Okey.” jawab Johnny singkat. Takut hal serupa terjadi lagi. Padahal ia juga masih penasaran walaupun kevalidan seorang Jeffrey tidak dapat diragukan lagi. Alias si anti hoax.

“Bener pak.” ucap Aleeah setelah nafas panjang ia hembuskan. Johnny menoleh ke arahnya.

“Bener pak” ulang Aleeah sembari memainkan jari kakinya.

“Jadi bener?” tanya Johnny pada wanita di sampingnya.

“Bener.” “Sinatra Pramudya itu ayah saya” jawab Aleeah bahkan tidak mengangkat kepalanya. Johnny nampak sedikit terkejut walau tidak sekaget sebelumya.

“Tapi kenapa kamu sok miskin gini le?” tanya Johnny kembali. Kini Aleeah melemparkan tatapan tajam pada lawan bicaranya ini. Tumpukan emosi yang ia tahan sedari tadi nampaknya tidak bisa dibendung lagi.

“Hukumnya halal halal aja kalo bapak saya pukul sekarang” jawab Aleeah.

Plakkkkkk

Sebuah telapak tangan menyapa lengan berotot Johnny. Si empu hanya meringis kesakitan sembari mengusap usap bekas merah akibat dari ulah Aleeah.

“Bapak dari tadi bikin saya kesel ya. Do and don't versi saya nanti saya kirim lewat chat.” lanjut Aleeah lalu berdiri dan berlalu pergi meninggalkan Johnny dengan sakit di lengannya.

Sumpah gue heran kenapa ada laki laki begitu? Ngeselin banget. Johnny kalo bukan atasan gue, udah gue bejek bejek beneran lo.

Aleeah sedang berjalan dengan dua tangan masuk ke kantong mantel hangat miliknya. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. Bagaimana tidak, walaupun masih sebulan menetap di Indonesia, Aleeah benar benar sudah merindukan aroma musim gugur negeri panzer ini.

Frankfurt cerah malam ini. Ya walaupun udara dingin tetap menyelimuti, tetapi setidaknya awan mendung tidak menutup gemintang malam. Johnny dengan celana panjang serta outer tipis sedang berdiri di depan hotel dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Menunggu seseorang rupanya. Tak lama kemudian wanita yang Johnny tunggu datang. Pukul setengah sembilan malam. Tentu saja jalanan masih ramai.

Aleeah menyadari laki laki jangkung nan tampan yang ia kenal sedang menatap ke arahnya. Yang menjadi pertanyaan Aleeah adalah, apa yang membuat laki laki ini berdiri dengan hidup merah di malam yang dingin seperti ini?

“Pak?” sapa Aleeah memastikan sembari mendekat.

“Baru pulang?” tanya Johnny.

“Bapak ngapain?” bukan menjawab ia malah balik bertanya.

“Coba liat hp kamu le” sungguh tidak menjawab pertanyaan sebelumnya.

“Astaga maaf pak saya have fun banget sama anak anak ngga liat bapak chat” balas Aleeah sembari melihat notifikasi di hpnya. Johnny hanya mengangguk angguk mengerti.

“Bapak ngapain berdiri disini?” tanya Aleeah lagi. Kali ini Johnny menghentikan kegiatan menggerakan kepalanya. Ia diam. Agaknya sang pria juga bingung mengapa ia berdiri disana.

“Bapak ngga lagi nunggu saya kan?” tanya Aleeah memastikan. Johnny kaget setengah mati. Matanya melebar.

“HAH? NGAPAIN SAYA NUNGGU KAMU?” jawab Johnny. Sewot. Aleeah tak kalah terkejutnya. Kaget bukan main. Apa pertanyaannya salah? Mengapa Johnny berubah menjadi sensi?

“Ok. Ok ok ok. Ok pak, kalem, kalem” jawab Aleeah.

“Saya ngga lagi nunggu kamu. Saya mau ke super market” balas Johnny kemudian.

“Ke super market?” tanya Aleeah memastikan.

“Beli sosis” jawab Johnny.

“Beli sosis?” tanya Aleeah.

“Le kamu ini emng lemot apa gimana?” tanya Johnny.

“Bapak aneh soalnya, ya ngga aneh juga si, ya aneh si” jawab Aleeah mengkoreksi kata katanya sendiri.

“Yaudah yuk saya anter” lanjut Aleeah.

“Ngapain?”

“Bapak ngga tau tempat nya kan? Makanya berdiri disini nunggu saya?” tanya Aleeah lagi. Johnny diam. Nampak berfikir.

“Okee” jawabnya kemudian. Bohong. Sebenarnya Johnny berbohong. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekedar mengingat tata letak Frankfurt. Hidup Johnny setiap pertengahan hingga akhir bulan ia habiskan di pusat bisnis Negada Jerman untuk memantau keadaan sang ibu. Hotel tempat mereka menginap pun sudah seperti rumah kedua bagi Johnny. Pergi ke super market juga bukan hal yang sulit untuk dilakukan pewaris SeoCompany ini. Memang benar ia menunggu Aleeah kembali. Namun tidak pernah ia sadari bahwa ia akan menunggu di depan hotel. Benar benar di depan hotel.

Johnny baru berusia 26 tahun ketika sang mama berkehandak bahwa dirinya harus menikah dengan perempuan pilihan sang mama. Padahal, 26 adalah usia dimana seharusnya Johnny menikmati manisnya hidup, setelah hampir 16 tahun memikul tanggung jawab sebagai anak tunggal dan merasakan kesendirian sepeninggalan sang papa. 16 tahun pula Johnny menyaksikan mamanya banting tulang berusaha mempertahankan SeoCompany yang dibangun mendiang kakek dan ayah Johnny, sendirian. Maka setelah Johnny dinyatakan lulus dari perguruan tingginya, bahkan dengan usia yang amat sangat muda, 22 tahun, ia naik tahta menjadi seorang wakil direktur dengan posisi utama dipegang sang mama.

Hidup Johnny sebenarnya dapat dikatakan beruntung walaupun ketika 10 tahun ia harus ditinggal sang ayah untuk selama lamanya. Ibu Johnny benar benar membagi waktu mana bekerja mana menjadi ibu agar Johnny tidak merasa sendiri. Inilah juga yang menbuat Johnny membuka mata dan selalu menururti perkataan mamanya serta menyayangi sang mama dengan sepenuh hatinya. *Tinggal mama, kalo bukan gue siapa lagi. *

Hak istimewa yang didapat Johnny ini membuatnya menyandang gelar The Only Child dari masyarakat karena memang ia adalah anak tunggal kaya raya yang jika dilihat hidupnya enak enak saja. Padahal selama dua tahun belakangan, dirinya dikungkung rasa ketakutan akan trauma masa kecilnya serta ketakutan akan kehilangan sang mama.

Sore itu, selepas bekerja, ponsel Johnny dinyalakan karena ada satu pesan masuk. Dari sang mama rupanya. Namun setelah melihat isi dari chat tersebut, dirinya mendadak malas. Pasalnya, si mama mengingatkan Johnny untuk segera pergi karena telah ditunggu oleh mama dan perempuan yang akan didapuk menjadi calon istri Johnny.

Wajahnya berubah menjadi malas. Dilemparkannya ponsel pintarnya ini ke sofa tempatnya sekarang merebahkan badan. Tak lama sebuah pesan masuk lagi menginterupsi kegiatannya. Johnny sebenarnya tau pesan itu pasti dari mamanya lagi, ingin rasanya ia mengabaikan pesan tersebut namun niat itu ia urungkan karena mau bagaimanapun juga ibu ini pasti akan terus menganggu waktu istirahat Johnny.

“Kesini jo, jangan malu malu in mama. Seenggaknya ketemu dulu, baru kalo nolak boleh.”

Johnny kemudian mengganti pakaiannya dengan pakaian lebih nyaman lain yang ia sengaja siapkan di kantornya dan berlalu menuju tempat perjanjian sang ibu.

Dirinya kini sedang berdiri menunggu lampu hijau berganti merah karena hendak menyebrang ke sebrang jalan. Mobilnya ia parkirkan di bangunan lain karena tempat sang mama dan gadis calon istrinya bertemu sudah penuh. Dilihatnya Johnny seorang wanita berdiri di ujung trotoar yang sibuk menoleh ke kanan ke kiri menunggu anak semata wayangnya tiba. Johnny tersenyum melihat sang mama, selalu merasa tidak enakan.

Brukkkk

Sedetik kemudian tiba tiba sebuah mobil menghantam pimpinan utama SeoCompany itu. Di depan mata kepala Johnny sendiri. Tanpa melihat ke kanan ke kiripun Johnny langsung berlari menghampiri sang mama. Darah berceceran dimana mana. Suara teriakan menggema. Namun anehnya, sang mama malah terlihat tidur dengan biasa.

“Ma” “Mama” panggil Johnny dengan memangku kepala sang ibu.

“Ma, mama!” teriaknya berusaha menyadarkan. “Ma mama bangun, ma!” usaha kesekian Johnny sembari menggoyang goyangkan daksa sang ibu.

“Ma, bangun!” “Ma, Johnny udah punya pacar, Johnny nikah sekarang tapi mama bangun” “Ma, mamaa!!” teriaknya lagi tapi nihil tak ada balasan dari sang ibu. Setelahnya yang tersisa adalah rasa takut dan penyesalan. Bagaimana jika Tuhan mengambil orang tua satu satunya yang ia punya?

Harusnya gue turutin aja kata mama. Harusnya gue nikah aja. Pa, maaf Johnny ngga berguna. Maaf Johnny ngga bisa banggain mama papa. Pa jangan ambil mama dulu. Jangan bawa mama pergi pa. Johnny ngga tau sendirian. Tuhan tolong.

Johnny sedang duduk dengan menyilangkan kedua kakinya dan tangan di depan dada. Menunggu seorang gadis yang telah membuat janji temu dengannya di lobi beberapa menit yang lalu. Tak lama kemudian matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Aleeah berjalan ke arah Johnny dengan celana panjang santai, sandal hotel, serta kardigan untuk menutupi baju tidurnya dan rambut dibiarkan lurus terurai. Johnny pun begitu, tak kalah santainya dengan Aleeah. Ia hanya mengenakan celana pendek jeans berwarna hitam serta crewneck berwarna merah bata dengan aksen tulisan hitam di atasnya.

“Pak maaf udah lama?” tanya Aleeah sopan menyapa atasannya.

“Baru aja kok” jawab Johnny seraya bangun dari duduknya.

“Ehmmmm” gumam Aleeah sambil menyalakan hpnya dan menoleh ke kanan ke kiri seperti melihat lihat situasi. 22.39 malam. Lobi hotel sudah tidak seramai tadi. “Bapak mau kopi?” tanya Aleeah mengakhiri gumamannya.

“Saya ngga le. Kamu, kopi?” balas Johnny.

“Saya juga ngga pak” jawab Aleeah.

“Mau ngomong apa?” tembak Johnny tepat sasaran. To the point sekali.

“Ehmmmm” gumaman lagi yang muncul dari mulut Aleeah. “Ehm duduk dulu pak” kata Aleeah setelahnya mempersilahkan bosnya untuk duduk.

“Oh haha sorry sorry, duduk le duduk” kata Johnny terkekeh. “Jadi mau ngomong apa?” tanya Johnny lagi setelah kedua pantat mereka menyentuh lapisan paling atas sofa.

“Ehmmm” lagi, gumaman lagi. “Saya bingung pak mau mulai dari mana” buka Aleeah akhirnya.

“Sini le, gini nih” balas Johnny sambil kedua tangannya memegang sofa. Niatnya mencontohi Aleeah. “Kalo bingung pegangan dulu aja le” lanjutnya.

“Pak!?” ucap Aleeah sembari terkekeh. Lalu Johnny juga ikut tertawa kecil.

“Jangan tegang tegang kita ngga lagi kerja, udah bukan jamnya, sekarang juga lagi ngga ngomongin kerjaan kan?” balas Johnny. Aleeah kemudian tersenyum dan mulai membuka ceritanya.

“Saya juga ngga yakin si pak. Saya tau bapak juga pasti ngga yakin. Tapi bapak harus tau pas saya bilang iya tadi itu saya beneran pak. Itu bukan tindakan impulsif. Saya serius pak.” buka Aleeah. Johnny masih diam. Mencoba mencari penjelasan lebih dalam.

“Saya ngga pernah tau gimana rasanya punya ayah dan ibu disaat saat kaya bapak begini. Harusnya saya bisa banggain mereka tapi saya ngga tau gimana rasanya. Jadi tadi pas mama bapak nanya, saya tersentuh pak. Maaf saya lancang tapi saya beneran tersentuh dan malah iya iyain omongan bapak. Harusnya saya sanggah, harusnya saya bilang engga. Maaf pak” lanjut Aleeah saraya berdiri dan membungkuk ke arah Johnny sebagai tanda penyesalannya. Johnny kemudian buru buru berdiri dan memegang pundak Aleeah pertanda agar dirinya tidak perlu melakukan hal tersebut.

“It's ok le, udah udah, salah saya disini saya yang salah” lanjut Johnny. Selanjutnya yang tersengar hanya kesunyian. Keduanya memilih diam dan larut di pikiran masing masing. Aleeah sedikit merutuki dirinya karena ulah sok iya nya tadi. Sementara Johnny kini dipenuhi banyak pikiran. Ada begitu banyak pula pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Aleeah jika jika memang mereka berlanjut, maka secara otomatis Aleeah lah yang memegang gelar sebagai calon istrinya.

“Jadi gimana? Kamu tetap mau bantu saya pura pura?” tanya Johnny akhirnya menyudahi kesaling diam diaman. Aleeah tidak langsung menjawab. Ia tampak memikirkan dulu jawaban yang akan ia keluarkan dari mulutnya.

“Bapak ada alasan buat engga?” tanya Aleeah setelah cukup lama.

“Ngga ada. Ini kemungkinan jadi kesempatan terakhir saya” jawab Johnny dengan yakin.

“Saya ikut bapak” balas Aleeah.

Aleeah menahan kantuk yang datang kepadanya dengan sekuat tenaga. Rasa segan dan tidak enak menghampirinya karena lelaki berumur 28 tahun di sampingnya ini tak kunjung tidur. Johnny hanya memegang erat ponselnya sambil sesekali menyalakannya untuk melihat ada notifikasi atau tidak disana.

“Tidur aja” kata Johnny akhirnya ke sekretaris barunya yang bahkan belum ada 24 jam bekerja.

“Ngga ngantuk kok pak” balas Aleeah tersadar.

“Tidur aja dari pada mata kamu keluar saking dipaksanya melotot” “Tidur aja le” kata Johnny di bangku samping.

“Bapak ngga ngantuk?” tanya Aleeah ganti.

“Ngantuk. Tapi ngga bisa tidur” balas Johnny.

“Maaf pak. Saya lihat dari tadi bapak gelisah ya? Kalau boleh tau, ada apa ya pak? Maksud saya kenapa tiba tiba mendadak pergi begini?” tanya Aleeah akhirnya setelah menahan rasa penasaran.

“Saya bingung dari tadi kamu ngga nanya” balas Johnny.

Ting ting

“Kita ke jerman, le” lanjut Johnny membuka pesan di ponselnya dan sibuk mengetik sesuatu tanpa ada niat menatap lawan bicaranya. Dapat Aleeah lihat sebuah nama tertulis disana Dissa Brasilia. Aleeah tampaknya cukup mengerti. Namun ia memilih untuk bertanya lagi..

“Emangnya mau ketemu siapa pak?” tanya Aleeah di bangku samping. Sedikit ragu ragu.

“My beloved one” jawab Johnny tanpa menoleh sedikitpun ke Aleeah.

Owalah udah punya pacar toh.